Pengukuhan Guru Besar Bagikan 29 April 2009 jam 17:26 Sudah begitu sering saya menghadiri undangan upacara pengukuhan Guru Besar di beberapa perguruan tinggi. Hari Sabtu, tanggal 25 April 2009 lalu, saya menghadiri undangan pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Samsul Arifin, M.Si di Universitas Muhammadiyah Malang. Sekalipun pada hari yang sama ada undangan lainnya, sengaja saya memilih hadir di kampus yang saya pernah ikut terlibat membesarkan selama tidak kurang dari 20 tahun. Saya merasa harus hadir pada acara itu, karena kebetulan saya memiliki hubungan dekat dengan Prof. Samsul Arifin, baik sebagai tetangga, murid dan juga teman diskusi dalam waktu yang cukup lama. Kebetulan, dulu sama-sama tinggal di satu RT. Hanya bedanya, saya di bagian depan sedangkan Mas Samsul ------sebutan yang saya gunakan sehari-hari, tinggal di bagian belakang. Setiap hari selalu ketemu di masjid yang terletak di depan rumah Mas Samsul pada setiap sholat jama’ah. Saya sebut sebagai mahasiswa sekaligus kolega, karena Mas Samsul pernah menjadi mahasiswa saya ketika ia kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang ----sekarang berubah menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Begitu juga tatkala dia masuk menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang, banyak membantu tugas-tugas saya menggerakkan kegiatan, khususnya dalam kajian-kajian Islam. Selain itu masih banyak lagi, kegiatan bersama dan karena kecakapannya menulis dan ketekunan membaca, saya sering meminta tolong agar tulisan saya dikoreksi olehnya. Ada satu hal yang menarik yang sesungguhnya tidak terlalu lazim dilakukan dalam pengukuhan Guru Besar, yaitu bahwa orasi ilmiahnya dibaca tidak sepanjang ucapan terima kasihnya. Memang di mana saja, Guru Besar yang dikukuhkan, dalam orasinya selalu dilengkapi dengan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa, ikut mengantarkannya menjadi Guru Besar. Tetapi ucapan terima kasih itu tidak terlalu panjang. Biasanya hanya ditujukan kepada beberapa dosen yang dianggap dekat, pimpinan perguruan
tinggi, teman, kedua orang tua, mertua, saudara dan isteri serta anakanaknya. Pidato ilmiah Pak Samsul Arifin justru memberikan porsi ucapan terima kasih dibaca lebih panjang dari isi orasinya sendiri. Orang-orang yang dianggap telah berjasa, mulai dari guru-guru di madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Pendidikan Guru Agama (PGA) dosen-dosen ketika kuliah S1, S2 dan S3 disebutnya semuanya. Bahkan tidak saja menyebut nama-nama mereka itu, tetapi beberapa orang yang dianggap lebih dekat, diberikan komentar panjang lebar. Apa saja yang didapat dari guru yang dianggap dekat itu diuraikan secara rinci dan dilengkapi dengan ilustrasi kasus demi kasus, hingga menjadi cerita dan uraian yang segar. Ucapan terima kasih itu benar-benar panjang, saya lihat ditulis lebih dari 20 halaman. Para undangan mendengarkan ucapan terima kasih itu justru terhibur. Tatkala menyebut beberapa nama tertentu, -----guru dan orang tua, Mas Samsul terharu, tampak dari suaranya, hampir menangis. Semua orang yang hadir memahami hal itu dan bahkan juga ikut merasakan keharuan itu. Namun, naskah itu berhasil dibaca hingga akhir. Di tengah-tengan ucapan terima kasih itu dibaca, beberapa orang yang duduk di kanan kiri saya berkomentar yang isinya sangat positif. Pidato pengukuhan Guru Besar ini sekaligus memberikan peringatan kepada siapapun tentang seharusnya sikap yang harus dibangun terhadap orang-orang yang telah berjasa banyak dalam hidup, semisal guru yang telah mendidiknya. Pembicaraan itu kemudian berlanjut setelah pidato pengukuhan itu usai. Satu hal yang akhir-akhir ini sangat disayangkan adalah semakin merosotnya kualitas hubungan guru dan murid atau juga mahasiswa dan dosennya. Guru dan dosen sering dipandang hanya sebatas sebagai pekerja sebagaimana profesi lainnya. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai orang yang harus dijadikan tauladan dalam pengertian yang luas. Hubungan guru dan murid dan begitu juga dosen dan mahasiswa dikembangkan sebagaimana hubungan pembeli dan penjual di pasar yang serba transaksional. Padahal, semestinya tidak begitu. Hubungan itu semestinya lebih mendalam, -----bagaikan hubungan anak dan orang tua, di sana terbangun ikatan emosional, tanggung jawab, ikhlas, ketulusan dan bahkan juga saling mencintai dalam pengertian hubungannya guru dan murid.
Hubungan ideal itu biasanya tampak di dunia pesantren. Para santri tidak hanya ingin mendapatkan ilmu, lebih dari itu, bagi para santri agar ilmu itu bermanfaat bagi hidupnya maka harus memperoleh ridho dari guru atau kyainya. Menurut keyakinan para santri ridho atau keikhlasan itu baru didapat jika santri selalu mengembangkan ketaatan pada guru, tawadhu’ dan khurmah. Hubungan seperti itu benar-benar dijaga oleh santri terhadap guru, dan rupanya hal itu belum banyak berubah. Pidato Prof.Dr.Samsul Arifin, M.Si di kampus Universitas Muhammadiyah, terutama terkait dengan ucapan terima kasih yang panjang tersebut, saya rasakan sebagai hal yang sangat tepat dan sesuai dengan momentumnya. Saat ini hubungan mahasiswa dan dosen, sejak reformasi sepuluh tahun terakhir, agak terganggu kualitasnya. Dosen hanya dipandang sebagaimana pekerja, tidak beda dengan profesi lainnya. Tugas mereka hanya dipandang sebagai penyampai bahan pelajaran, sehingga akibatnya tidak jarang dirasakan sebagai beban. Kurang terbangun suasana ikhlas. Lebih dari itu, hubungan mahasiswa dan dosen bagaikan hubungan buruh dan majikan. Sebagai buruh berhak memprotes majikannya dan demikian pula mahasiswa dianggap berhak memprotes dan bahkan melawan para dosennya. Hubungan menjadi sangat transaksional, tidak sebagaimana lagi hubungan orang tua dan anak. Pidato ilmiah Mas Samsul dengan memperpanjang ucapan terima kasih kepada para guru-gurunya itu, saya maknai sebagai peringatan kembali terhadap apa yang seharusnya dibangun dalam hubungan guru dan murid atau dosen dan mahasiswa. Saya menganggap hal itu sangat penting mendapatkan perhatian oleh semua pihak tatkala kita lagi serius berupaya meningkatkan kualitas pendidikan. Hubungan guru dan murid tidak cukup dibangun atas dasar pertimbangan rasional, maka lebih dari itu harus disempurnakan dengan hubungan yang bersifat emosional agar pengetahuan yang disampaikan oleh guru atau dosen benar-benar nyampai atau baligh. Hubungan antara keduanya, ----guru dan murid, tidak saja cukup dikembangkan dari pikiran ke pikiran, melainkan juga harus disempurnakan dari hati ke hati. Kualitas hasil pendidikan akan diraih, salah satunya jika ada kesediaan memposisikan guru pada tempat yang tepat. Prof. Samsul Arifin rasanya ingin mengingatkan tentang itu semua. Wallahu a’lam.