PENGENDALIAN KENAIKAN INTENSITAS WARNA DAN KEHILANGAN GULA DI KILANG GULA RAKYAT.
Slamet sulaiman
-1-
Terbentuknya warna gula tebu. Sebagaimana diketahui warna gula merupakan salah satu ukuran dari kwalitas gula, dalam standarisasi mutu warna gula dinyatakan dalam nilai ICUMSA yaitu membandingkan warna gula dengan warna standart, sementara itu orang awam dan utamanya domestik konsumen hanya melihat secara visual saja , sering kita dengan komentar “gulone Gempol Kerep niku putih” atau “ gulone Pesantren niku rodok tanjung”, atau juga kita dengar istilah “Gulo abang” artinya gula tebu rakyat. Apabila kita ambil sebatang tebu dan kita potong melintang terlihat bahwa warna potongan adalah putih, logika sederhana tentu akan didapat warna gula yang putih, tetapi pengaruh proses dll membuat produk yang dihasilkan tidak seputih warna potongan melintang dari tebu. Warna gula putih produk refineri mencerminkan Dirt Content yang sangat rendah , sementara putihnya warna gula sulphitasi lebih kearah pemucatan warna (bleaching effect) , artinya ada rotasi optic/ tipuan mata karena putihnya reaksi pemucatan tidak diikuti dengan berkurangnya kadar kotoran. Asal usul terbentuknya warna gula tebu dapat diklasifikasikan sbb: 1. Warna asli dari nira. 1.1.Batang tebu dengan kulit hijau dan mungkin tercampur dengan helai hijau daun pada proses penggilingan akan terlikut bersama nira “CHLOROPHYL” (green substance) yang berwarna hijau, sehingga hasil perahan nira sudah berwarna hijau, chlorophyl tidak larut diair, larut dialkohol dapat dieliminasi dengan penyaringan mekanis. 1.2.Pada tebu dengan kulit hitam/ ungu tua akan didapatkan ikut terlarut dalam nira adalah “ANTOCYANIN” (red substance), pada penetralan dengan susu kapur akan berubah menjadi hijau tua dieliminasi dengan proses pengendapan. 1.3.Penggilingan juga terikut fibre/sabut halus yang mengandung “SACCARETIN” (yellow pigment) pada proses penambahan susukapur memberikan warna kuning, dapat dieliminir dengan proses penyaringan dan pengendapan.
-2-
1.4.Dari bagian mata dan bagian pucuk tebu ditemukan “TANNINS” (green pigment) dengan warna hijau , larut dalam air dan bereaksi dengan besi (Ferric) akan berwarna gelap. 1.5.Terikutnya lempung/ clay yang menempel pada batang tebu juga memberi pengaruh kenaikan intensitas warna dari nira. 2.Kenaikan intensitas warna selama proses. 2.1. Pengaruh Ph (Kondisi asam basa) dan waktu Normalnya Ph nira kasar dibawah 6 (kondisi asam) , pada kondisi ini kontaminasi antara ferric dengan polyphenol akan menyebabkan warna gelap, meskipun dapat dibleaching dengan SO2, ,apa lagi apabila bahan baku tebu yang digiling masih muda (immatured) atau terlalu tua (over ripe) yang biasanya Ph niranya pada kisaran 4.5 dan dengan kandungan asam organik yang relatif tinggi, penambahan susu kapur ke Ph netral atau sedikit diatasnya yang tujuan utamanya adalah mengendalikan inversi akan membuat gula reduksi didalam nira terutama pada suhu diatas 55-75 Celsius akan mengalami dekomposisi , sementara untuk pengendalian efek bakteriosis Nira selalu melalui pemanasan lewat juice heater sampai temperature app 100 C, reaksi dekomposisi tersebut akan menimbulkan juga warna gelap (ada kenaikan intensitas warna). 2.2.Pengaruh temperature selama proses dan waktu. Temperature dan waktu proses menentukan kenaikan intensitas warna , meskipun dengan close pan dengan kondisi operasi normal kemungkinan karamel tidak terjadi tetapi tidak mungkin dapat dihindari terjadinya beberapa reaksi yang menyebabkan kenaikan intensitas warna antara lain reaksi antara asam amino dengan gula reduksi , reaksi antara polyphenols dengan ferric dan oxygen pada kondisi basa. Terbentuknya warna selama proses. Proses ektraksi. Makin tinggi ektrasi yang dicapai makin banyak impurities yang terikut, apabila dibandingkan nira perahan pertama dengan nira perahan akhir akan terlihat terjadi kenaikan intensitas warna rata rata 21%, diffuser dengan tingkat ektrasi yang lebih tinggi akan terikut pula impurities yang lebih banyak. Proses Klarifikasi. Kenaikan intensitas warna pada klarifikasi tergantung waktu, temperature nira (juice heater) dan Ph (penambahan susu kapur diberikan), makin tinggi susu kapur diberikan berarti terjadi -3-
decomposisi gula reduksi dan akan meningkatkan intensitas warna, penambahan bleaching (SO2 dan atau CO2 ) akan menurunkan intensitas warna dalam proses pemurnian.
Proses Penguapan. Kenaikan intensitas warna pada proses penguapan tergantung dari proses klarifikasi dan system operasi dari evaporator, nira dengan defikasi mempunyai kenaikan intensitas warna yang lebih tinggi dibanding dengan nira sulfitasi, kenaikan intensitas warna syrup 40-50% dengan evaporator quaduple effect (4 effect) dan kenaikan intensitas warna sebesar 50-70% dengan evaporator Quintuple effect (5 effect). Proses Masakan. Terjadi juga kenaikan intensitas warna pada proses masakan. Pengendalian terbentuknya warna: 3.1.Pengendalian Ph , waktu dan temperature proses pemurnian. Nira kasar dipanaskan pada temperature 80-90 Celsius pada temperature diatas bakteri bakteri (LM,Levan, Froth) telah dapat diinactivkan kecuali Thermophilic Bakteria sehingga effect bakteriosis sudah dapat dikendalikan, sementara itu dengan temperature tersebut untuk pengendapan albumin pada proses pemurnian sudah berlangsung cukup baik. Kondisi Ph nira selama proses idealnya dalam kisaran 6.8-7.2, dengan demikian inversi sakarosa pada kondisi asam yang menyebabkan turunnya rendemen gula dapat dihindari dan decomposisi gula reduksi yang menyebabkan kenaikan intensitas warna pada kondisi basa juga terkendali , waktu proses pemurnian secepat mungkin. Penerapan pemurnian yang diterapkan adalah phopho defikasi, nira dari juice heater diberikan larutan asam phosphat s/d Ph 5.4 kemudian dinetralkan dengan penambahan susu kapur s/d Ph 7.2 selanjutnya untuk mempercepat pengendapan ditambahkan polimer (flokulan) 2-3 ppm, diperkirakan temperature , waktu dan Ph proses dalam daerah yang cukup ideal. 3.2.Pengendalian temperature penguapan. Diatas terlihat bahwa kenaikan intensitas warna pada penguapan multiple effect cukup tinggi, hal ini karena penguapan pada badan pertama selalu dengan tekanan diatas atmosphere -4-
sehingga titik didih pada badan pertama selalu diatas 100 Celsius dan pada sisi luar pipa (steam side) akan menerima temperature 110-120 Celsius , tergantung dari tekanan uap. Penerapan double atau maximum triple effect diprediksikan akan dapat mengendalikan kenaikan intensitas warna karena temperature pada sisi luar pipa (steam side) 106 Celsius (tekanan 15 psi) dan titik didih tidak lebih dari 60 Celsius (pada kehampaan 24 inchi kolom air raksa).
Kondisi Proses (Ph, Temperature dan Waktu) Dari Nira s/d Syrup
5.6
90
8 7
7
80
6
6
65 60
4.6
5 4 3
30 15
Ph Waktu tinggal Temperature
2 1
p Sy ru
Ni ra
Nir
ab
ers
ih
r pu ka
pa
sp
na
s
ha t
0
Ni ra
as NI ra k
30
15
ho
10
30
ar
0
85
5.6
60 50 40 30 20 10
7.2
Ph proses
95
Ni ra+
90 80 70
+p
Waktu tinggal (menit)
Temperature proses (C)
100
1.Total waktu nira ke syrup 160 menit. 2.Ph max proses 7.2 - min 4.6 (10 menit) 3.Suhu max 95 celsius (juice heater)
Grafik diatas memberikan gambaran kondisi temperature, waktu dan Ph yang dikondisikan untuk mereduksi terjadinya kenaikan warna gula dan juga diprediksikan untuk mengendalikan kehilangan gula selama proses.
-5-
Pengendalian Kehilangan Gula. Betapapun baiknya mutu tanaman tebu tanpa diimbangi dengan pengendalian kehilangan gula yang sudah terbentuk dalam batang tebu akan didapatkan tingkat pengutipan gula yang kurang optimal. Kehilangan gula diklasifikasikan sbb: 1. Kehilangan gula diluar pabrik. Adalah sejumlah kehilangan gula dimulai dari saat pemanen mengayunkan sabitnya untuk memotong tebu sampai tebu terkirim dihalaman kilang untuk diproses, kehilangan dapat diindentifikasikan sbb: -
Tebangan kotor.
Terikut daun kering/basah, pucuk, sogolan, tebu kering , tanah dll, normalnya dapat ditoleransi kotoran s/d 3.5% dari berat tebu dari data di Afrika Selatan dicatat penurunan kotoran kering dari 8% menjadi 3% menyebabkan kenaikan kapasitas giling sampai 13.1% dan meningkatkan perahan 0.8% serta menaikkan rendemen 0.75%. Hal ini sangat mudah difahami karena bahan kering 8 % tersebut pada saat proses penggilingan tidak menyumbangkan nira tetapi justru menyerap nira yang ter-ekstrak dari batang tebu (masuk kering keluar basah).
P en g a ru h K o to ra n Thd R en demen
14
Rendemen & drop purity %
12
11.48
11.29
11.08
10.87
10.65
10.42
10.5 9.65
10 8
P u rity d ro p
6 4 2
0.78
1.3
1.93
2.34
2.85
3.57
3.89
4.41
0 3
5
7
9
11
13
15
% kot or an
-6-
17
Ren d emen
Grafik berdasar data Edward Delden – Sugar series 1. Dari data grafik diatas terlihat betapa cukup signifikannya kadar kotoran terikut terhadap kehilangan gula. -
Keterlambatan pengiriman dan/atau keterlambatan giling.
Keterlambatan pengiriman dan penggilingan tebu sangat berpengaruh terhadap tingkat kehilangan gula, seperti yang diketahui sesaat setelah tebu terpotong terjadi activtas micro organisme yang memang selalu ada antara lain activitas bakteri LM mulai invertase sacarose dan akan menghasilkan dextran yang meskipun dalam jumlah kecil berarti ada kehilangan gula dan dextran akan memberikan effect menyulitkan kristalisasi maupun separasi serta membuat kecenderungan kearah pembentukan kristal berbentuk jarum.Pengaruh sinar matahari selama masa tunggu mengakibatkan terjadinya proses penguapan batang tebu dan memacu activnya ragi ragi liar dalam proses fermentasi , apabila diamati tebu yang ditahan beberapa hari akan terlihat seperti “TAPE” dengan guratan warna merah dalam batang tebu , kondisi tebu yang demikian apabila diperah akan menghasilkan nira dengan Ph dibawah 4, sangat asam dan berarti akan menaikkan penggunaan susu kapur yang pada akhirnya residu CaO dalam nira juga relatif tinggi yang pada akhirnya kecepatan pengerakan dalam pipa evaporator lebih cepat terbentuk. Beberapa peneliti telah mengamati dan menyimpulkan pengaruh keterlambatan dari tebang sampai giling sbb: Foster menunjukkan persen kehilangan gula pada batang tebu lonjoran dan tebu terpotong, antara tebu dibakar dan tebu tidak terbakar sbb: Waktu 1 hari 3 hari
Tebu Lonjoran 0.7 % 2.7%
Tebu dipotong 2 2.6% 9.0%
Waktu 20 jam 50 jam
Dipotong 2 0.63% 3.31%
Dipotong & dibakar 2.6% 9.0%
-7-
Foster juga mencatat kandungan dextran akibat activitas bakteri LM 10 jam keterlambatan tidak ditemukan pengaruh dextran. 20 jam keterlambatan ditemukan dextran 100-500 ppm thd brix. Libur minggu ditemukan dextran 2.000-13.000 ppm thd brix. Kandungan dextran 400 ppm thd brix sudah memberikan efek merugikan. Edward Delden memberikan data terjadinya penurunan tingkat kemurnian dan kandungan gula sbb:
-8-
Kehilangan gula lainnya seperti yang dibawah ini masuk dalam lingkup tanaman (On Farm). -
Kemasakan belum optimal dan atau terlewati. Pengaruh iklim utamanya curah hujan. Terkenanya serangan hama pada batang tebu, tebu terbakar dll. 2.Kehilangan Gula dalam Proses.
Apabila diadakan pelacakan kehilangan gula selama proses terhitung mulai tebu masuk ke module ektraksi maka akan terlihat bahwa kehilangan kehilangan akan terjadi sbb: Kehilangan gula di module extraksi (terikut diampas). Kehilangan gula di module pemurnian (terikut di blotong). Kehilangan di module separasi (terikut ditetes). Kehilangan tidak diketahui (uap,inversi dan bakteriosis). Untuk memberikan gambaran yang jelas dan sebagai comparasi berikut data kehilangan gula selama proses diberbagai tempat yang dilaporkan Edward Delden dalam sugar series 1. Cuba 1958 Pol Balance Lost in bagasse Lost in molasse Lost in mud/cake Lost (Undetermined) Total lost Recover in sugar Pol in Juice Peru 1960 Pol Balance Lost in bagasse Lost in molasse Lost in mud/cake Lost (Undetermined) Total lost Recover in sugar Pol in Juice
Pol balance
Excellent
% Pol Extracted
% 0f cane 0.612 0.763 0.025 0.193 1.592 12.458 10.050
5.673 0.189 1.433 7.295 92.705 100 Pol balance
Good
% Pol Extracted
% 0f cane 0.952 1.299 0.061 0.090 2.332 11.755 14.087
9.357 0.462 0.686 10.505 89.495 100 -9-
Guatemala 1977 Pol Balance Lost in bagasse Lost in molasse Lost in mud/cake Lost (Undetermined) Total lost Recover in sugar Pol in Juice
Pol balance
Mediocre % 0f cane 1.076 1.641 0.029 0.356 3.102 8.156 11.258
% Pol Extracted 16.133 0.287 3.504 19.904 80.096 100
Dari tiga kategory diatas excellent, good dan mediocre dengan tingkat rendemen 12.458 % (excellent), 11.755% (good) dan 8.156% (mediocre) kita bisa introspeksi bahwa posisi kita diluar tiga kategory tersebut (barang kali masuk kategory “POOR” atau “FOOLISH” ). 2.1. Kehilangan di Module ektraksi. Betapapun kecilnya kehilangan dimodule ektraksi pasti akan terjadi, pengendalian kehilangan hanyalah pada konsistensi pelaksanaan standart operating prosedure (operating snd mill setting), kehilangan disini juga dipengaruhi equipment dan susunan equipment yang diterapkan. 2.2.Kehilangan di module pemurnian. Cake atau blotong dari pemurnian dengan moist content app 60% dipastikan juga terikut gula didalamnya, meskipun telah dilakukan cake washing . 2.3.Kehilangan domodule separasi. Sejumlah sacarose juga terikut didalam molasse. 2.4.Kehilangan tidak diketahui. Sejumlah kehilangan yang tidak diketahui (undetermined losses) perlu dikendalikan, pengendalian kehilangan ini relatif tidak berhubungan dengan penambahan equipment, pengendalian menitik beratkan kepada kedisiplinan operating sistem. Bakteriosis. Kehilangan akibat pengaruh buruk dari aktivitas jasad renik dapat dikendalikan dengan selalu menjaga sanitasi, perlakuan penyaringan dan perlakuan pemanasan dan pemberian anti bakteria.
- 10 -
Beberapa jasad renik yang dikenal cukup populer yang mengakibatkan invertasi dan fermentasi diantara banyak jasad renik dengan aktivitasnya adalah: LM (leuconostoc Mesenteriodes). LM + Sucrose Æ Insoluble gummy substance (dextran)+ Acids. BL (Bacillus Levaniforman) BL + Sucrose Æ Gummy substance (Levan) + Acids. LB (Lactic Bacteria). Sucrose Æ Invert sugar +LBÆ Lactic Acids+ CO2+H2 Invertase yeast Sucrose Æ Glucose + Fructose Zymase yeast Invert sugar Æ Alcohol. Dari beberapa bakteriosis diatas yang mempunyai efek paling merugikan (kehilangan gula ) adalah bakteri LM sedangkan pengaruh jelek lainnya adalah terbentuknya dextran , substansi seperti jelly yang akan membuat kesulitan pada tahapan proses selanjutnya antara lain: memberikan efect polarisasi pada nira sehingga terbaca pol semu dan harkat kemurnian semu, menaikkan persentage kristal palsu, menghambat pertumbuhan kristal sehingga waktu masak lebih lama, cenderung kearah pembentukan kristal seperti jarum, menyulitkan proses separasi di sentrifugal separator, begitu pula gula D yang didapat apabila dijadikan magma bersifat poor footing. Pengendalian yang mutlak harus dilakukan adalah menjaga sanitasi lingkungan proses yang bersih terutama pada module ektraksi, melakukan penyaringan nira kasar dengan saringan mesh 100 akan mengurangi terikutnya jasad renik, pemanasan nira sampai dengan 80 celsius sudah menginactifkan jasad renik kecuali thermophilic bacteria yang baru inactive pada pemanasan 125 celsius, netralisasi nira sampai Ph normal sangat mengurangi activitas jasad renik karena beberapa jasad renik ada yang berkembang pada daerah acid dan ada yang berkembang didaerah alkaline.
- 11 -
Inversi. Adalah proses hidrolisis yang membuat gula sakarose dalam larutan terpecah menjadi gula invert (glukose dan sacarose) , akibat pengaruh panas dan keasaman. Sacarose (C12H22O11)
+ Air (H2O)
Æ D Glukose + D Fruktose (C6H12O6) (C6H12O6)
Kecepatan inversi sangat tergantung kondisi operasi, beberapa penelitai mengamati kerusakan gula akibat hidrolisis sbb:
- 12 -
Dari gambaran gambaran diatas dapatlah dilihat kondisi ideal dari proses sbb:
Inversi (hidrolisis) dan kerusakan gula reduksi relatif kecil terletak pada daerah sekitar netral (Ph 7). Dengan suhu < 70 celsius .
- 13 -