Pengasuh Pesantren Darul Musthafa, Tarim, Hadramaut Bagikan 12 Juni 2009 jam 11:56 Bersama beberapa kyai, saya pernah diajak bersilaturrahmi ke Pesantren Darul Musthofa, Tarim Hadramaut, Yaman. Bagi saya, kunjungan itu baru yang pertama kali. Tetapi beberapa kyai yang bergabung dalam kunjungan tersebut, yang berjumlah kurang lebih 30 an orang, ternyata ada yang sudah berulang kali ke pesantren itu. Ada banyak hal menarik yang saya peroleh dari kunjungan tersebut. Tarim adalah salah satu pilihan utama para santri-santri Indonesia yang belajar ke Yaman. Ratusan santri dari Indonesia belajar di negeri yang dikenal memiliki ribuan wali ini. Gejala itu sesungguhnya sudah lama terjadi, sehingga banyak alumni dari Tarim, tersebar di manamana. Sesungguhnya, dibanding dengan pesantren-pesantren di Indonesia, apalagi jika hanya dilihat dari fasilitas pendidikannya, pesantren di Tarim, Hadramaut tidak menunjukkan kelebihan. Pesantren di Indonesia banyak yang memiliki fasilitas fisik jauh lebih lengkap dan bagus dari pesantren di Yaman ini. Hanya saja anehnya, menurut pengakuan para kyai yang pernah berziarah ke Tarim tersebut, pada umumnya para santri yang belajar dari Tarim, memiliki banyak kelebihan dibanding dari tempat lainnya, termasuk dari Indonesia. Menurut para kyai, bahwa letak kelebihan pesantren di Tarim -----pesantrean Darul Musthafa, misalnya adalah pada kepribadian kyainya. Habib Umar al Hafidz, pengasuh pesantren Darul Musthafa, selain alim dalam berbagai ilmu, juga memiliki keikhlasan yang tinggi. Tidak sedikit para santri yang belajar di pesantren Darul Musthafa, tercukupi atas biaya dari pengasuh pesantren ini sendiri. Habib Umar al Hafidz, pengasuh pesantren tersebut dikenal dan memiliki pengaruh yang amat luas, tidak saja di Yaman, tetapi juga di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Seringkali Habib Umar datang ke Indonesia, dan melakukan kunjungan ke berbagai kota, untuk bersilaturrahmi dengan banyak tokoh. Saya beberapa kali mengikuti ceramahnya, memang terasa sekali misi yang dikembangkan olehnya, ialah berdakwah untuk mengembangkan Islam secara damai kepada siapapun. Di mana-mana ia menekankan betapa pentingnya persatuan para habaib, kyai dan ulama untuk keberhasilan dakwah. Kunjungan Habib Umar ke Indonesia, misalnya dilakukan beberapa
bulan yang lalu. Pada kunjungan tersebut, Habib Umar bertemu para ulama di Bogor, Semarang dan kemudian ke Batu Malang. Di kota-kota itu, ia bertemu dan berdialog dengan sejumlah habaib, kyai dan atau ulama. Pada kunjungannya yang terakhir di Indonesia, setelah dari Malang, perjalanan diteruskan ke Banjarmasin, kemudian ke Malalaysia dan, masih kembali lagi ke Jakarta dan kemudian ke Palembang. Di setiap kota, Habib Umar selalu mendapat sambutan dari para ulama’ yang luar biasa banyaknya. Perjalanan yang sama dilakukan oleh Habib Umar ke berbagai negara, pada setiap saat, termasuk juga ke negara-negara Barat. Ada sesuatu yang mengesankan bagi saya, bahwa membandingkan antara penampilan pesantren asuhannya dengan keluasan pengaruh yang dimiliki, tampak tidak seimbang. Kesederhanaan tampilan fisik pesantrennya, sama sekali tidak menggambarkan keluasan ilmu dan kebesaran jiwa, maupun pengaruh ulama’ ini. Dari sini saya belajar bahwa seseorang yang menyandang pikiran besar, keluasan ilmu, dan jiwa besar tidak selalu berasal dari keunggulan dan atau kemewahan penampakan fisiknya. Pengaruh Habib Umar juga sedemikian kuatnya di Tarim sendiri. Saya mendapatkan cerita menarik dari para santrinya. Habib Umar al Hafdz dikenal sangat hormat kepada para tamunya. Beberapa bulan sebelum saya berkunjung ke Tarim, ulama kharismatik ini menyelenggarakan walimatul ursy atas pernikahan putranya. Hal yang berbeda dari keluarga lainnya, pesta pernikahan itu diselenggarakan selama tiga hari dan tiga malam tanpa henti. Puluhan ribu tamu hadir ke tempat itu. Yang menarik, ------menurut informasi dari beberapa santri, undangan walimatul ursy tersebut hanya disampaikan melalui radio. Ribuan tamu tersebut dijamu dan dihormati secara sama oleh Habib Umar sebagai tuan rumah. Pengasuh pesantrean ini, sekalipun tidak ada acara yang terjadwal, selalu menerima tamu dari berbagai kota dan juga beberapa negara. Tamu-tamu tersebut, semua -----jika Habib sedang di tempat, selalu ditemui dan dijamu di rumahnya. Hal yang dikagumi oleh para santri, Habib Umar tidak pernah menunjukkan kegelisahan atau juga kekhawatiran tidak bisa mencukupi hidupnya. Ulama yang sangat kharismatik dan dikenal di berbagai Negara Islam, selalu mengajarkan kepada para santrinya, bahwa rizki itu semuanya akan datang dari Allah. Masih betapa besar pengaruh dan perhatian kepada para tamu, saya sendiri pernah bisa merasakannya. Dalam kunjungan itu, saya
memisahkan diri dari rombongan, pulang terlebih dahulu, namun akan singgah ke Makkah untuk umroh. Pagi setelah sholat subuh berjama’ah di masjid, saya mohon ijin, pamit pada Habib Umar. Karena itu sebelum berangkat ke airport, saya merasa tidak perlu pamit lagi. Dari penginapan yang juga masih berada di lokasi pondok, saya berangkat ke airport yang kira-kira memerlukan waktu perjalanan sekitar 30 menit dengan kendaraan mobil. Sesampainya di airport, setelah semua prosedur selesai, saya menunggu di ruang tunggu pemberangkatan pesawat. Pada jadwal yang semestinya sudah harus berangkat, ternyata ada informasi bahwa pesawat terbang yang saya tumpangi ke Jeddah akan ditunda keberangkatannya. Setelah saya tanyakan, alasanya sangat aneh, yakni harus menunggu kedatangan Habib Umar al Hafidz ke airport untuk melepas tamunya. Ulama’ yang sangat kharismatik itu, menurut petugas airport baru saja tilpun, meminta agar pesawat ke Jeddah diminta tidak berangkat terlebih dahulu, sebelum ia melepaskan tamunya. Tamu yang dimaksudkan, tidak lain adalah saya sendiri. Mengalami peristiwa itu, saya menjadi tahu, begaimana seorang ulama’ menghormat dan memuliakan tamunya. Siapapun tamu itu. Saya yakin ulama’ ini berpegang pada sunnah Rasul bahwa menghormat tamu adalah sebuah kewajiban dan dipandang sebagai bagian dari pertanda keimanan seseorang. Karena itu, harus ditunaikan. Selain itu, yang saya anggap menarik lagi adalah sedemikian besar pengaruh ulama’ di negeri itu, hingga pejabat airport, yang bertugas mengurus transportasi modern pun----pesawat terbang, merasa harus mengikuti perintahnya. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika ulama tidak diposisikan pada pada tempat yang terhormat dan mulia di negeri itu. Wallahu a’lam