[ sun hodos - edisi I1 - oktober 2009 ]
1
Syaloom... JUMPA lagi di edisi ke-2 Sun Hodos! Mohon maaf karena edisi ini baru dapat Anda baca pada bulan Oktober, yang seharusnya terbit di akhir bulan Agustus kemarin. Kami redaksi mesti mengalami pergumulan berat, karena rubrik Sorotan kali ini harus digodok berkali-kali bersama Dewan Redaksi dari MJ. Kami terus menggali dan berdiskusi, mencari referensi dan mengumpulkan masukan dari teman dan narasumber ahli. Tidak kurang dari tujuh kali kesempatan kami berikhtiar untuk mencari titik temu yang terbaik, hingga kami sampai pada keputusan untuk menuntaskan masalah dan masuk ke dapur cetak. Tidak baik membuat jemaat menunggu karena majalah ini sudah terlalu lama tertunda dan masih ada PR edisi berikutnya. Jika memakai hitungan duniawi, hal seperti ini sungguh sebuah pemborosan dan tidak boleh terjadi. Terlalu banyak energi, waktu, dan dana yang tercurah untuk menggarap satu edisi. Belum lagi resiko pembaca yang terbengkalai karena majalah kok tak kunjung tiba? Namun kami percaya, bahwa
kehadiran majalah ini bukanlah sekedar mading, warta apalagi corong propaganda. Setiap isi betul-betul kami cermati, gumuli dan doakan agar isi majalah dapat bermanfaat dan bisa dipertanggungjawabkan. Selain Sorotan, rubrik Kesaksian Bapak Hidayat Musa dan Profil Bapak Albernard Tambunan juga menyuguhkan pelajaran berharga. Masih ada rubrik rutin seperti Tips & Trik, Momentum, dan diselingi Cerpen, Prosa dan Humor untuk rileksasi. Sebuah kehormatan, Emeritus Andar Ismail juga mengirimkan artikel wawasan yang bermanfaat. Percayalah, redaksi berusaha memberi yang terbaik meski dalam kelemahan sekalipun. Puji Tuhan media Sun Hodos akan tetap eksis sebagai sarana pemberitaan karya keselamatan Tuhan Yesus Kristus. Sebuah kesempatan dan anugerah bagi kita semua, siapa saja yang mau belajar dan melayani dengan rendah hati. Semuanya demi kemuliaan Tuhan. Selamat membaca dan semakin meresapi makna!
DAFTAR ISI
SAMPUL : Ide Sampul Juru Foto Judul Foto Detail Tanggal Desain
: Tim Redaksi : Samuel Tony : Penumpangan Tangan : Penahbisan Pdt. Rinto T. : 3 Agustus 2009 : Ferdinand Tobing
RENUNGAN Sekali Merdeka Tetap Merdeka TANYA JAWAB Dari Jemaat Untuk Pnt. Rinto T. SOROTAN Penahbisan Bukan Ikrar Main-Main Tanpa Jemaat Tidak Ada Pendeta Jalan Menuju Penahbisan Setelah Penahbisan Lalu Apa? PROFIL Albernard Tambunan WAWASAN Menulis Buku Resensi TIPS N’ TRIK Cooling Down The Earth Mendeteksi Bahaya Mobil 20 Tips Menulis
Hal. 2 Hal. 4 Hal. 6 Hal. 8 Hal. 9 Hal. 11 Hal. 14 Hal. 17 Hal. 19 Hal. 21 Hal. 22 Hal. 23
Retreat Remaja 2009 Prosa Senja TIba Liputan Peristiwa KETAWA KESAKSIAN Selalu Ada Pengampunan PERNIK Harapan Jemaat Kepada Pendeta Prosa Saat Jiwa & Ragaku Sekarat CERPEN LAGU ROHANI GAYA HIDUP Futsal Asah Team Work SAYANG ANAK Fun Bible EDITORIAL
Hal. 24 Hal. 26 Hal. 28 Hal. 27 Hal. 30 Hal. 31 Hal. 32 Hal. 33 Hal. 35 Hal. 37 Hal. 38 Hal. 39
[ sun hodos - edisi I1 - oktober 2009 ]
39
EDITORIAL oleh : Mauliate Pakpahan
(Tell me Why..?)
I Don’t Like Mondays Judul di atas mengingatkan kita kepada judul sebuah lagu tahun 80-an yang dipopulerkan oleh seorang komposer, pemain musik, dan penyanyi bernama Bob Geldof. Di era lagu pop andalannya ini, ia pernah memotori konser amal bertajuk Live Aid bersama musisi-musisi kondang lainnya berpartisipasi menanggulangi bencana kelaparan di Afrika. Ironisnya Negeri Kita yang pada saat itu terkenal sebagai “surganya kaset bajakan” melalui momentum tersebut tak mau ketinggalan berperan-serta membajak, mengedarkan dan konon mengekspor hasil rekaman bajakan konser tersebut. Bayangkan, bahkan sebuah rekaman untuk niat mulia masih saja dibajak! Kejadian ini tak pelak membuat Geldof mencak-mencak. Amukan Geldof inilah yang ditenggarai membuat kita berubah. Sejak saat itu kita mulai untuk tidak lagi memproduksi dan mengedarkan apalagi mengekspor kaset-kaset yang berisikan lagu-lagu bajakan. Meski kondisi seperti ini bagi sebagian orang (termasuk penulis) terasa membebani karena berdampak terhadap naiknya harga kaset yang jadi jauh lebih mahal, namun dibalik itu kita diajari untuk lebih menghargai hak orang lain. Jika kita melihat kondisi “kemakmuran” para seniman musik kita sekarang yang lebih baik ketimbang para pendahulunya dan pada gilirannya ikut menyumbang pemasukan bagi negeri kita, mungkin malahan kita akan bersyukur dengan adanya “amukan” Geldof dulunya. Balik lagi ke judul di atas, GKI punya cerita sendiri dengan hari Seninnya. Hampir sepanjang tahun setiap Senin GKI rutin menyelenggarakan kebaktian penahbisan dan peneguhan juga emeritasi para pendetanya. Rutinitas ini ada miripnya dengan perhelatan yang digelar Geldof, yaitu bertujuan mulia. Kemulian dan kasih Tuhan Yesus Kristus terpancar lewat prosesi kebaktian penahbisan atau peneguhan ini. Namun dalam mengartikannya kita lebih sering terpana pada seremonialnya. Hal ini tampak dari sikap tindak kita dalam persiapan untuk penyelenggaraannya. Kita terlalu memusatkan perhatian kepada maksimalisasi daya dan dana serta persiapan sematang-matangnya guna menghadapi perhelatan tersebut. Kita jangan mau terjebak di situ. Kita butuh pemaknaan yang hakiki tentang diselenggarakannya kebaktian itu sendiri. Jika tidak kita akan terjebak dalam seremonialisme belaka. Jika yang mutlak terutama adalah liturgi ibadah atau liturgi kebaktiannya, maka selebihnya merupakan kreasi non-formal yang tidak mutlak, dan bukan sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua hal tadi berujung penggunaan kemampuan daya dan dana kita sendiri. Apabila gejala ini berkembang di lingkungan kita, sadarkah kita bahwa berapa banyak kemampuan kita di hari Senin yang telah atau akan kita pergunakan selama hampir setahun untuk hal-hal yang tidak mutlak? Bukankah masih banyak sisi-sisi mutlak lainnya yang masih memerlukan manfaat dari kemampuan kita itu? Jawabnya ada pada diri kita sendiri. Bagi GKI pendeta dan jemaat adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meski masih ada Jemaat yang belum mempunyai pendeta tetap yang melayani di basisnya, bukan berarti Jemaat Basis itu tak punya pendeta karena GKI punya mekanisme penanggulangannya. Namun mengingat kebutuhan akan gembala yang langsung dekat dengan domba-dombanya, sebaiknya tiap-
tiap Jemaat Basis mempunyai setidaknya satu pendeta. Jika melihat kepada kebutuhan jemaat yang makin besar, akan lebih baik lagi jika ia mempunyai lebih dari satu pendeta. Sudah pasti hasilnya akan lebih maksimal lagi. Beberapa waktu lalu, GKI Seroja baru saja mengadakan Kebaktian Penahbisan Pendeta yang rencananya akan mendampingi pendeta yang sudah lebih dari sepuluh tahun setia melayani Jemaat di GKI Seroja. Acara Penahbisan berlangsung khidmat, megah dan meriah. Lebih dari lima puluh pendeta, Calon-calon pendeta, juga Jemaat GKI Seroja beserta undangan hadir memenuhi Aula SMAK I, Lantai 8, BPK Penabur, Tanjung Duren untuk mengikuti kebaktian itu. Kegiatan ini merupakan pelaksanaan dari Program Kerja Majelis Jemaat GKI Seroja dan Komisi-komisi periode April 2008 sampai dengan Maret 2009. Jika melirik angkanya, maka ia menempati peringkat kedua setelah Biaya Kebutuhan Hidup dan Honor Pegawai, kemudian disusul oleh kebutuhan Rumah Tangga. Hal-ikhwal penyatuan GKI (Jabar, Jateng, dan Jatim) yang menjadikan kita sebuah keluarga yang besar santer memotivasi kita untuk mendongkraknya lagi. Tak pelak hati Jemaat pun terketuk olehnya. Sebaliknya, dinamika kehidupan jemaat di GKI Seroja tak lepas dari kritik dan tanda-tanya. Apakah memang aturan mainnya sudah seharusnya demikian? Bukankah masih banyak hal lain yang seharusnya lebih didahulukan? Lalu, kalau begini bagaimana terhadap Jemaat-jemaat GKI lain yang tidak punya pendeta tetap karena belum mampu? Tidakkah hal ini malah membikin ciut mereka? Dan jika memang kita satu keluarga besar, tertutupkah kemungkinan bagi kita semua untuk saling-silang dalam pemenuhan kebutuhan ini? Inilah serentetan kepedulian yang ditemui di jemaat. Selayaknya kita menginsyafi bahwa kepedulian itu tak lain adalah berkat anugrah yang diyakini datang dan kita terima dari Tuhan. Bahwa rencanaNya selalu yang terbaik bagi kita. Kita pun tak perlu menyikapinya secara berlebihan. Waspada terhadap jebakan si jahat justru perlu kita tingkatkan. Upaya pemerataan dan peningkatan pemahaman tentang aturan main di keluarga besar kita diharapkan dapat menaikkan tingkat kepedulian kita lagi. Berhenti sejenak untuk merenungi arah langkah kita bukanlah hal yang tabu. Meski terjadi perubahan, coba kita simak pernyataan Arnold Bennett sorang Penulis Inggris bahwa “Setiap perubahan, bahkan untuk sesuatu yang lebih baik sekalipun, selalu diikuti oleh kemunduran dan ketidaknyamanan”. Belum lagi jika kita mau bertanya, dalam hal apa kemundurannya? Dimana ketidaknyamanannya? Pertanyaan yang merupakan cerminan dari kebesaran jiwa dan kerendahan hati kita semua. Mungkinkah semua ini diilhami oleh senjata pamungkas penakluk setiap persoalan? Jawabnya: Pasti! Bersyukurlah kita telah diperlengkapiNya dengan KASIH.