Jalan Menuju Penahbisan Pendeta Gki

  • Uploaded by: X Sunhodos
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jalan Menuju Penahbisan Pendeta Gki as PDF for free.

More details

  • Words: 1,560
  • Pages: 2
[ sun hodos - edisi I1 - oktober 2009 ]

SOROTAN

11

PENAHBISAN PENDETA GKI

JALAN

menuju Penahbisan PRAKTIS kini kita memiliki dua pengerja. Keduanya diharapkan dapat saling mengisi dalam pelayanan untuk mengantisipasi pelbagai pergumulan jemaat, termasuk di antaranya perkembangan jemaat GKI Seroja yang semakin lama semakin berkembang, demikian kata sambutan Majelis Jemaat GKI Seroja (MJ). Memang biaya yang dianggarkan untuk program ini jauh di atas anggaran yang sudah tersedia sehingga Majelis Jemaat mengambil kebijakan untuk menanggulanginya melalui penggalangan dana melalui persembahan kasih, baik melalui persembahan ibadah Minggu, atau melalui rekening bank yang telah ditentukan. Khusus acara ini pula panitia melakukan aksi donasi door to door ke rumah-rumah jemaat. Bagaimana kondisi keuangan GKI Seroja untuk membiayai KPP ini? Beberapa jemaat dan aktivis di komisi cukup tahu dan kritis tentang hal ini. Bagaimana biasanya membiayai program kegiatan dan bagaimana mencari solusinya. Tergantung tolok ukur mana yang mau dipakai, anggaran tersebut relatif boleh dibilang besar atau kecil. “Kalau dikaitkan dengan kondisi keuangan jemaat dan GKI Seroja, anggaran tersebut boleh dibilang besar,” ujar Ibu Esther Sinaga, mantan Penatua. Bahkan, sewaktu dirinya masih di MJ, di tahun-tahun belakangan GKI Seroja tidak punya kas sebesar itu. MJ dan Panitia KPP mengakui besarnya anggaran acara ini. Berdasarkan keterangan Ibu Lely Purba (Sie Acara KPP), Ibu Budiningsih dan Ibu Sinulingga (Penatua) salah satu faktor penyebabnya adalah karena GKI sudah menjadi tubuh Sinode Am dengan

Melalui simbolisasi tumpang tangan para Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI), Rinto Tampubolon, S.Si (Teol) secara resmi diangkat sebagai Pendeta GKI, lewat penahbisan dirinya di Aula BPK Penabur, 3 Agustus 2009 lalu. Beliau menjadi pengerja berbasis jemaat GKI Seroja mendampingi Pdt. Setiawati Sucipto, M. Min., yang ditahbiskan di GKI Seroja, 11 tahun lalu.

wilayah yang lebih luas dan anggota yang lebih banyak. Sinode Am GKI: Penyatuan Penyatuan GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah, dan GKI Jawa Timur yang diikrarkan pada tanggal 26 Agustus 1988 silam itu menjadikan GKI Seroja bukan lagi bagian dari Sinode Wilayah GKI Jawa Barat saja, melainkan sudah menjadi bagian yang lebih luas lagi, yakni Sinode Am GKI. Implikasi dari penyatuan itu, KPP dan Pendeta Rinto Tampubolon, S.Si (Teol) adalah juga bagian dari Sinode Am GKI. Daftar nama undangan pendeta dan perwakilan GKI dari tiga sinode menjadi sangat panjang. “Kami mengundang dari seluruh Sinode Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” jelas Bapak Peter Chandra, Bendahara KPP. Berdasarkan Laporan Keuangan KPP (selanjutnya disingkat LK KPP), tercatat sebanyak 600 buah undangan memang disebarkan untuk itu, hanya untuk para tamu, selain jemaat GKI Seroja. Kondisi tersebut membuat panitia dan MJ mau tak mau harus memutar otak untuk memikirkan bagaimana cara menutup biaya hotel bagi tamu yang berasal dari luar kota, dan undangan beserta ongkos kirimnya. Tentunya hal itu membutuhkan biaya yang boleh dikatakan tidak sedikit. Belum lagi biaya-biaya lain seperti buku tamu, spanduk, dokumentasi, perlengkapan liturgi kebaktian dan pos-pos lain terkait dengan KPP itu sendiri. Satu lagi, karena jumlah tamu dan undangan diperkirakan cukup besar, maka KPP pun diputuskan dilaksanakan di Gedung BPK

Penabur. Kebijakan ini mau tak mau diambil mengingat kapasitas gereja kita yang tidak memungkinkan dan tempat parkir yang tidak memadai. “Andaikata kita melaksanakan di GKI Seroja, bukan nggak bisa, bisa. Pertama kali mungkin di dalam gereja hanya ada tamu, jemaat kita di luar,” terang Bapak Rahardjo, Ketua Umum KPP dengan mimik serius Anggaran Bukan Hambatan Jika alasan penyatuan tersebut menjadi pegangan dalam penyusunan anggaran KPP apalagi dijadikan hal yang mengikat maka hal ini jangan sampai memberatkan proses perkembangan kesaksian dan pelayanan GKI, khususnya tentang penahbisan Pendeta di sebuah Gereja Jemaat di masa yang akan datang. Mengapa demikian? Faktanya masih ada GKI Jemaat yang kondisi atau kemampuan keuangannya berada di bawah GKI Seroja. “Bayangkan anggaran 50 sampai dengan 60 juta itu? Kasihan mereka,” ujar Bapak Frans Pada, mantan Penatua GKI Seroja, dengan nada prihatin. Pasal 4 Tata Dasar Tata Gereja 2003 (Tager) menyebutkan bahwa tujuan GKI di bumi ini adalah menjalankan misi Allah dengan mewujudkan persekutuan serta melaksanakan kesaksian dan pelayanan. Sungguh suatu tujuan yang sangat mulia dan harus kita dukung sepenuhnya. Kemudian kita sepakati bersama-sama: salah satu komponen penting untuk mewujudkan misi mulia tadi adalah keberadaan Pendeta. Maka selain harus menelurkan dan memiliki Pendeta-pendeta yang berkualitas, jumlahnya pun harus kita perhatikan bersama.

12

[ sun hodos - edisi I1 - oktober 2009 ]

Lalu, mengingat biaya penahbisan yang ternyata tidak kecil, dapatkah hal ini menjadi sebuah hambatan? “Kalau rata-rata biaya penahbisan satu Pendeta saja sudah sebesar ini, bagaimana GKI mau menelurkan banyak Pendeta?” tanya Bapak Freddy Iskandar, mantan penatua GKI Seroja yang memang sudah lama concern dengan masalah ini. Menurutnya lagi, Sinode sepatutnya tidak menutup mata dengan permasalahan ini. Apalagi dengan adanya penyatuan seperti sekarang, dimana KPP jelas-jelas merupakan program Sinode, maka yang seharusnya membiayai program tersebut adalah Sinode, bukan malah GKI Jemaat. Hal ini, selain kurang bijaksana, juga secara finansial terlalu membebani jemaat. Tidak Ada Patokan Mutlak Dari hasil penelusuran redaksi Sunhodos, Tatib - Tager 2003 yang menjadi pegangan, hanya mengatur syarat, evaluasi dan tahap-tahap yang harus ditempuh seorang calon pendeta. Selain itu ada Buku Liturgi GKI yang mengatur segala macam liturgi kebaktian termasuk KPP. Sumber-sumber tersebut tak satupun pasal dan ayat yang merujuk kepada berapa seharusnya jumlah pendeta yang menumpangkan tangan dan berapa dana yang harus dianggarkan. Menurut Direktur Binawarga, Pendeta Melani A.Egne, M.Pd., Tager hanya mengatur hal-hal mendasar, dan memang itulah yang terpenting dalam hidup kita sebagai GKI. Sedangkan dalam suatu penahbisan, yang terpenting adalah liturgi yang merupakan makna dari panggilan Tuhan itu sendiri. “Rangkaian liturgilah yang harus menjadi fokus utama bagi gereja-gereja yang hendak melaksanakan penahbisan. Bukan hal-hal non-formal yang sifatnya tidak mutlak, seperti kata sambutan, ramah-tamah, sesi foto, makan bersama dan lain-lain,” ujar beliau. Hal-hal itu boleh saja, tergantung pada kebijakan, kemampuan, dan kreativitas masing-masing gereja yang bersangkutan. “Demikian juga dengan anggaran acara yang mahal, tidaklah menjadi sebuah patokan yang wajib dilaksanakan. Sekali lagi, yang paling krusial dalam suatu KPP adalah rangkaian liturgi ibadah sebagai bentuk hubungan langsung antara kita dengan Tuhan. Oleh karena itu. anggaran seharusnya dikaitkan dengan perlengkapan atau peralatan ibadah penahbisan,” terang Pendeta Melani lagi. Mengenai berapa jumlah pendeta dan perwakilan yang diundang jumlahnya relatif tidak ditentukan secara spesifik oleh Sinode. “Relatif bisa sedikit atau banyak, yang penting pendeta yang ikut menahbis-

600 buah, konsumsi yang tadinya untuk 800 kepala kemudian diciutkan menjadi untuk 400 orang saja, dan 700 buku acara diubah menjadi 600 buah saja. Tidak hanya itu, efisiensi pos-pos anggaran juga telah dilakukan, seperti untuk dekorasi, video dan cetak foto. Kesemuanya itu sudah disesuaikan dengan kebutuhan GKI Seroja, bukan kemampuan. Karena, pada dasarnya melalui berkat Tuhan berapapun kita mampu. “Kita bikin apa saja asal objektif dan itu ada aja,” ujar Pak Rahardjo yakin. Arah jarum jam: Ibu Ester, Bpk.Freddy, Bpk.Frans, Ibu Lely

kan adalah pendeta yang mengenakan toga dan stola,” ujar Sekretaris Umum BPMSW Jabar, Pendeta Sheph David Jonazh. Beliau menambahkan pentingnya makna KPP bagi pendeta dan jemaat sebagai sebuah komitmen pelayanan. Mengenai biaya dan undangan, memang kita harus mengantisipasi segala keperluan, maka penting untuk membuat prioritas misalnya undangan diutamakan dari gereja terdekat, yang lain minimal ada pemberitahuan karena ini menyangkut pada kemampuan tempat dan kondisi keuangan gereja. Praktis, lanjutnya lagi, hanya peralatan atau perlengkapan penahbisanlah yang seharusnya diurus oleh gereja jemaat secara mandiri. Perlengkapan itu akan diserahkan ke pendeta yaitu berupa Alkitab, alat-alat sakramen perjamuan kudus, baptis kudus, Buku Tata Gereja, Buku Liturgi, Buku Nyanyian KJ, NKB, Nyanyian Mazmur, Toga dan Stola. Efisiensi Sudah Dilakukan Menurut Bapak Rahardjo, GKI Seroja belum berpengalaman mengadakan KPP pasca penyatuan GKI-Sinode Am seperti saat ini. Untuk mengatasi kendala itu, panitia melihat patokan dari GKI lain yang juga menyelenggarakan KPP. “Memang pertama kali kita pakai GKI Nurdin dahulu sebagai benchmarking (baca: patokan)- daripada kita ngarang-ngarang dari permulaan,” terang beliau di kediamannya. Menurut panitia, efisiensi dan optimalisasi anggaran sudah dilakukan melalui hitung-hitungan yang cermat dan demokratis. Ini bisa dibuktikan lewat pencoretan pos-pos anggaran yang diasumsikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pak Rahardjo kemudian membeberkan beberapa contoh seperti, dari target yang hadir 800 orang diubah menjadi 500 orang, 1000 souvenir diturunkan menjadi

Pendapat Jemaat Mendengar pendapat Jemaat, kita dapat saja membatasi jumlah undangannya. Misalnya perwakilan saja, dari GKI Jatim 2 orang, dari Jateng 2 orang dan lain sebagainya, cukup kan?” usul Bapak Freddy Iskandar. Efeknya jika diaplikasikan, anggaran penahbisan bisa jauh lebih ditekan lagi, khususnya dari pos penginapan, transport, cetak undangan dan tentu saja konsumsi. Hal ini berarti membuka kemungkinan bahwa kebaktian penahbisan dapat diselenggarakan di gereja sendiri. Tapi apa kondisi GKI Seroja cukup memadai? “Kita mau menghormati Tuhan apa tamu, itu kan rumah Tuhan, kenapa mesti malu?“ kata Bapak Frans Pada dengan nada heran. Jika diselenggarakan di gereja sendiri, akan ada pos-pos yang bisa dihilangkan. Contohnya, sewa audio system, transportasi, dan uang lembur untuk para karyawan gedung. “Biar mereka tahu inilah GKI Seroja, janganlah malu melihat kondisi gereja kita, gereja kita bagus kok,” ujar Bapak Tujuan Simanjuntak. Setidaknya kita memupuk rasa memiliki terhadap gereja sendiri, lanjutnya. Bagaimana dengan kapasitas dan tempat parkir? Jika menengok pada pengalaman Kebaktian Malam Natal, gedung gereja kita mampu menampung lebih dari 600 orang dengan kondisi parkir yang masih bisa disiasati. Apalagi kita memang selalu dibantu oleh saudara-saudara kita yang tinggal di lingkungan sekitar GKI Seroja. Beberapa jemaat memang sempat menyayangkan rencana ini tidak disosialisasikan dengan detail. Bisa jadi ada jemaat yang memang sarat pengalaman, menguasai atau mengerti pos tertentu yang terkait dengan harga, kualitas dan lain-lain. Informasi-informasi tersebut, jika disikapi dengan positif, justru akan menjadi hal yang sangat berguna dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, kebijakan dan efisiensi anggaran. n Budi, Ferdinand.

Related Documents


More Documents from "Sarah Latifah"