Pengalaman Memodali Orang Miskin Berikut ini adalah pengalaman pribadi yang tidak pernah saya lupakan selamanya, setidaknya hingga saat ini. Pengalaman itu sederhana, tentang pertemuan saya dengan orang yang benar-benar miskin. Namun dari pertemuan itu, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Yaitu, pertama tentang sesuatu yang sesungguhnya amat kecil dan sederhana tetapi ternyata bernilai tinggi. Kedua, usaha yang gigih, sabar, dan pantang menyerah ternyata membawa keberhasilan. Peristiwa itu terjadi sudah tidak kurang dari empat puluh tahun yang lalu. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMP. Sudah menjadi kebiasaan, setiap sabtu sore dua minggu sekali, sepulang sekolah saya pulang kampung. Jarak dari rumah ke SMP, ----sekolah saya, yang berada di kota kawedanan cukup jauh. Ketika itu belum ada kendaraan umum. Maka, setiap pulang ke desa, saya harus berjalan kaki, kira-kira selama tiga jam. Hanya cita-cita dan tekat saja yang mengantarkan saya sekolah ke kota. Saya sendiri lupa, apa sesungguhnya yang mendorong saya harus sekolah sampai tingkat lanjutan, padahal teman-teman saya sedesa, setamat dari sekolah dasar, bekerja membantu orang tua, bertani. Seingat saya, orang tua selalu memberi gambaran, bahwa betapa menderitanya orang yang tidak bersekolah. Saya ingat, kata ayah, bahwa orang yang tidak sekolah itu akan menjadi orang bagaikan bandul. Benda itu hanya bisa bergerak jika digerakkan. Demikian pula arah geraknya, tergantung pemilik bandul itu. Kalimat seperti itulah di antaranya yang menumbuhkan semangat pada diri saya untuk melanjutkan sekolah. Pada suatu hari, sekembali dari rumah menuju ke kota kawedanan, dengan berjalan kaki, terjadi hujan deras. Untuk berteduh, saya singgah di sebuah rumah baru, tidak jauh dari jalan. Saya dipersilahkan masuk oleh pemiliknya, agar tidak kedinginan. Rupanya, penghuninya adalah suami isteri yang baru saja menempati rumah, yang saya ingat rumah itu sekalipun baru, sangat sederhana, terbuat dari bahan kayu dan gedek (anyaman bambu). Karena hujan cukup lama tidak berhenti, saya ditawari oleh pemilik rumah untuk menginap di rumah itu. Saya setuju, apalagi waktu sudah terlalu sore, dan perjalanan menuju kota kawedanan harus melewati hutan, saya tidak berani. Saya mengikuti saran pemilik rumah baru tersebut. Sebelum tidur, dan waktu itu hujan masih belum sepenuhnya reda, pemilik rumah bercerita atas penderitaannya. Dia mengatakan bahwa hari itu, ia tidak bisa memberi apaapa, misalnya makan malam, karena memang tidak memilikinya. Mendengar cerita itu saya yang pada saat itu masih duduk di SMP, sangat terharu, ikut merasakan betapa susahnya orang yang tidak memiliki apa-apa. Biasanya, setiap minggu sore sekembali dari rumah ke kota, saya diberi sangu yang jumlahnya tidak banyak. Tapi berbeda dengan biasanya, saat itu memang agak berlebih, karena harus membayar SPP. Tanpa berpikir panjang, uang pemberian ayah, seluruhnya saya berikan kepada keluarga tersebut. Awalnya, mereka enggan menerimanya, tetapi saya memaksa, akhirnya diterima. Saya berani memberikan uang itu, dengan pertimbangan, -------sekalipun tidak membawa uang, kebutuhan saya dua minggu berikutnya masih tercukupi. Kewajiban pembayaran SPP masih bisa ditunda. Pagi setelah subuh, saya berpamitan berangkat ke kota tujuan dengan berjalan kaki. Pemilik rumah rupanya tidak tega, saya diantar. Sesampai di ujung hutan, dan mata hari
pun sudah mulai bersinar, saya mempersilahkan orang tersebut kembali. Saya sudah berani berjalan sendirian. Atas permintaan saya itu, pemilik rumah yang ngantar itu kembali, dan saya meneruskan perjalanan sendirian hingga nyampai di sekolah. Suasana yang sangat mengharukan, dua minggu berikutnya, tatkala saya melewati lagi rumah yang saya ceritakan itu, pemiliknya sudah menghadang saya. Segera ia mengajak saya singgah, katanya ada sesuatu yang akan disampaikan. Segera dia menceritakan tentang uang yang dua minggu lalu saya berikan. Ia bercerita bahwa uang tersebut oleh isterinya dibelikan ketela pohon, kelapa, dan gula, lalu dimasak sebisanya dijadikan kue. Kue itu kemudian dijual ke pasar dan ternyata laku. Hanya dalam waktu dua minggu, modal itu sudah kembali dan bahkan ia juga bisa hidup dari jualan itu. Ia ingin mengembalikan pinjamannya. Sesungguhnya, saya tidak berharap uang itu dikembalikan. Sejak awal saya sudah serahkan dengan ikhlas. Saya menyaksikan,----- ia dan isterinya, sangat gembira, haru, dan berkali-kali menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan saya. Saya tidak tahu lagi, orang tersebut sekarang apa masih ada, saya sudah lama tidak ketemu. Tetapi sekitar lima belas tahun yang lalu, tatkala sempat ketemu, ia masih ingat peristiwa itu. Keluarga itu sudah tidak miskin lagi, dan ia selalu mengakui bahwa modal awal kehidupannya dari sangu yang saya berikan. Setiap bertemu selalu menunjukkan rasa haru dan terima kasih yang amat mendalam, atas modal yang saya berikan tersebut. Cerita ini memang sangat sederhana dan bahkan sangat sepele. Tetapi, jika dikaitkan dengan keadaan sekarang, di mana masih sedemikian banyak orang miskin, lagi tidak punya modal, maupun pekerjaan, maka pengalaman tersebut kiranya penting direnungkan. Andaikan kita semua, -----khususnya bagi yang sudah berlebih, bersedia memberikan modal, petunjuk, atau bimbingan kerja kepada mereka yang membutuhkan, akan banyak arti dan manfaatnya. Jumlah orang miskin pada saat ini memang sedemikian banyak. Namun jika kita berhasil mengentaskan satu keluarga saja, maka jumlah orang miskin yang besar itu, akan berkurang satu keluarga. Tidak sedikit orang miskin yang memiliki keuletan, jujur, dan tanggung jawab, sehingga tidak terlalu sulit diajak maju. Cara sederhana mengentaskan kemiskinan sesungguhnya bisa dilakukan, tanpa harus berteori terlalu tinggi, berseminar terlebih dahulu, diskusi atau workshop, dan bahkan juga tidak harus lewat perumusan strategi yang pelik. Memang pendekatan ini skalanya kecil, tetapi jika dilakukan secara bersama, yakni oleh semua orang yang berkecukupan, maka hasilnya juga akan menjadi besar. Tidak sedikit orang yang tinggal di kanan kiri kita, yang memerlukan uluran tangan dan bimbingan. Dengan bermodalkan semangat hidup dan jiwa yang ulet, uluran tangan dan bimbingan itu akan banyak arti bagi kehidupan mereka. Kisah yang saya alami dan tuturkan di muka, -----yaitu memberi modal pada orang miskin, ternyata memberikan pelajaran bahwa, sesuatu yang kecil dan sederhana ternyata bisa jadi penting bagi orang lain. Selain itu, sekecil apapun jika diusahakan sungguhsungguh, ulet, dan semangat ternyata membawa hasil yang besar. Melalui contoh itu pula, kiranya dapat dipahami bahwa untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini, -----yang jumlahnya amat besar, sesungguhnya bisa juga dilakukan melalui cara sederhana, yakni masing-masing orang yang mampu membantu yang tidak mampu, sekecil apapun bantuan itu . Menolong orang tidak harus menunggu dalam jumlah banyak. Memulai dari yang kecil dan sederhana, kiranya segera bermanfaat. Wallahu a’lam.