BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Peran pemerintah masih cukup dominan sebagai mesin penggerak pembangunan (engine of development). Menurut J.M. Keynes (dalam Said Zainal Abidin:2008:137), kebebasan pasar tanpa ada campurtangan pemerintah tidak akan mampu melakukan alokasi sumber daya dan output secara optimal (full employment of output), karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong kegiatan bisnis. Menurut Said Zainal Abidin (2008:26), strategi pembangunan diarahkan untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, yang berarti, pembangunan berlangsung diseluruh wilayah yang dilaksanakan dengan partisipasi aktif secara meluas dari masyarakat.
Yang
dimaksud
dengan
partisipasi
aktif
adalah
keikutsertaan banyak pihak atas dasar sukarela dalam proses kegiatan pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat hanya mungkin dapat dilakukan bila rakyat mempunyai kemampuan, baik secara politik maupun secara ekonomi dan tekhnologi. Mereka mampu ikutserta
dan mampu mengambil manfaat dari keikutsertaan itu secara wajar. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan
kualitas
dan
kuantitas
pelayanan
publik
dan
kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo:2002:59). Dalam meningkatkan pelayanan publick dan memajukan perekonomian daerah pada saat sekarang ini tidak akan terlepas dari pengaruh perekonomian global.Pengaruh tersebut dapat berupa peluang,sekaligus dapat pula berupa ancaman. Dari berbagai dampak atau pengaruh negatif dari globalisasi yang mungkin ditimbulkan terhadap perekonomian lokal dan nasional, peran pembinaan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah sangat diperlukan, agar pelaku ekonomi daerah dan nasional mempunyai kekuatan untuk mengatasi dampak negatif dari globalisasi terutama dalam mengantisipasi masuknya kontraktor atau penyedia barang/jasa dari luar negeri. Kegiatan pembangunan yang dibiayai dengan APBD disamping bertujuan untuk kelancaran tugas pemerintahan, juga bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, yang dilaksanakan
dalam
bentuk
kegiatan
pembangunan.
Secara
ekonomi,
akan
memberikan peluang usaha dan lapangan kerja kepada masyarakat. Pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan dapat bertindak secara langsung, atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak swasta dengan menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. APBD mempunyai fungsi alokasi yang mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan
efisiensi
dan
efektifitas
perekonomian
(Permendagri nomor 13 tahun 2006, pasal 16 ayat 4). Alokasi
anggaran
daerah
yang
dilaksanakan
melalui
program/kegiatan pembangunan merupakan salah satu peluang bagi masyarakat
untuk
dapat
berpartisipasi
aktif,terutama
dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah. Kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa pada pasal 4 Keppres nomor 80 Tahun 2003 adalah; pada huruf: (a) Meningkatkan penggunaan pruduksi dalam negeri,rancang
bangun dan perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang/jasa internasional
produksi
dalam
negeri
pada
perdagangan
(b) Meningkatkan peranserta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa. Dari
kebijakan
umum
tentang
pengadaan
barang/jasa
pemerintah terutama pada huruf (a) dan huruf (b) tersebut ,pemerintah berupaya untuk membangun kemampuan ekonomi nasional ,dengan tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip dasar efisiensi, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel, dalam menumbuhkembangkan
peran
serta
usaha
nasional
dalam
pembangunan. Kegiatan pembangunan daerah yang dibiayai dengan APBD dapat dikelompokan kedalam belanja daerah yang terdiri dari : a. Belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksana program dan kegiatan. b. Belanja langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: a. Belanja pegawai, belanja untuk pengeluaran honorarium/upah
dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. b. Belanja barang dan jasa, belanja digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa dimaksud mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa
alat berat, sewa peralatan dan perlengkapan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus hari-hari tertentu, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai. c. Belanja modal, belanja digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangunan aset. Kelompok belanja langsung; belanja barang dan jasa dan belanja modal, pada prinsipnya menurut Keppres nomor 80 tahun 2003 pasal 17 ayat 1 harus dilakukan melalui pelelangan umum (tender terbuka). Menurut Hendry Faizal Noor (2007:336) tender terbuka mempunyai manfaat yang strategis, baik secara mikro, yaitu bagi pemilik proyek (project’s owner), dan peserta tender (bidders), maupun secara makro (manfaat bagi perekonomian nasional). Secara mikro manfaat dari adanya atau dilaksanakannya tender atau lelang terbuka ini adalah: 1. Bagi pemilik proyek Memperkecil resiko atau peluang kegagalan proyek.Melalui tender terbuka pemilik dapat memilih kontraktor yang paling baik dari segi kualitas, dengan biaya atau harga penawaran yang paling rendah.Dengan demikian efektifitas dan efisiensi akan lebih baik. 2. Bagi peserta tender
Memperkecil resiko atau peluang kegagalan proyek, peserta tender atau kontraktor akan terhindar dari menerima pekerjaan yang bukan keahliannya. Sehingga melalui tender terbuka peserta tender akan terhindar dari kerugian karena kurang kompeten dibidang pekerjaan yang akan diikuti. Secara makro manfaat dari adanya atau dilaksanakannya tender atau lelang terbuka adalah: 1. Meningkatkan efisiensi ekonomi secara nasional. Karena proyek yang ditenderkan dikerjakan dengan biaya yang terendah, dengan kualitas yang terbaik, maka apabila ini diberlakukan secara nasional, tentu ekonomi nasional akan lebih efisien. 2. Meningkatkan daya saing ekonomi nasional Para
pelaku
ekonomi
(peserta
tender)
akan
berusaha
menawarkan pekerjaannya dengan sebaik mungkin, disamping itu, peserta tender juga akan berusaha menawarkan harga serendah mungkin. Hal tersebut akan dapat mendorong inovasi, kreatifitas dan efisiensi yang akan dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional. 3. Mendorong iklim usaha yang lebih baik Dengan adanya lelang atau tender terbuka, maka iklim transparansi dan akuntabilitas akan menjadi persyaratan utama yang akan dapat mendorong atau meningkatkan kualitas iklim berusaha kearah yang lebih baik.
Program dan kegiatan pemerintah yang dibiayai dengan APBD terutama terhadap pengadaan barang/jasa harus dapat dilaksanakan dengan
efektif,dan
efisien,
dengan
prinsip
persaingan
sehat,
transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan nilai diatas Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) wajib dibentuk panitia pengadaan, dan untuk nilai sampai Rp.50.000.000. (ima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh panitia pengadaan atau pejabat pengadaan. Anggota panitia pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri, maupun instansi teknis lainnya. (pasal 10 PerPres nomor 70 tahun 2005). Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan melalui metodae pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, dan penunjukan langsung. Pengadaan barang/jasa pemerintah selalu dipandang sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ( KKN ), sehingga berimplikasi terhadap sulitnya untuk menunjuk dan mengangkat panitia pengadaan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi efektifitas kegiatan dan penyerapan APBD. Menurut Rohim ( 2008:17 ),persoalan korupsi yang sekarang telah
menjadi
gurita
dalam
sistim
pemerintahan
di
Indonesia
merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan dinegeri ini.
Jaksa Agung juga telah membentuk tim khusus yang akan menangani pengadaan barang/jasa pemerintah, sebagai petanda positif dari keinginan Jaksa Agung untuk mencari terdakwa yang merugikan keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Menurut Barda Nawawi Arif (dalam Nurdjana : 2005:70), korupsi disebabkan karena korupsi berkaitan erat dengan kompleksitas masalah lain seperti masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial,masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistim
ekonomi,
masalah
lingkungan
hidup/sosial
dan
kesenjangan sosial-ekonomi, masalah struktur/budaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistim pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan umum. Keinginan barang/jasa
yang
kuat
untuk
pemerintah
dari
KKN
membersihkan melalui
pengadaan
perangkap
hukum,
merupakan hal yang biasa dan wajar dinegara hukum. Hal yang tidak wajar, adalah bagaimana menegakan hukum dinegara terkorup. Kondisi inilah yang membuat “gamang”, bahkan menjadi beban phisikologis bagi PNS apabila ditunjuk/diangkat untuk menjadi anggota panitia pengadaan. Ruang lingkup Kebijakan Panitia Pengadaan Berdasarkan peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2006 tentang perubahan keempat atas keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, pada pasal 10 mengatakan:
Ayat 1. Panitia
pengadaan
wajib
dibentuk
untuk
semua
pengadaan dengan nilai diatas Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah). Ayat 2. Untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dilaksanakan oleh panitia atau pejabat pengadaan. Ayat 3. Anggota panitia pengadaan/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri, maupun instansi teknis lainnya. Persyaratan
Panitia/Pejabat
pengadaan/unit
layanan
pengadaan
adalah sebagai berikut: a. Memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam
mlaksanakan tugas; b. Memahami keseluruhan tugas yang akan diadakan; c. Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan yang bersangkuta; d. Memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan berdasarkan peraturan Presiden ini; e. Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat
dan
menetapkan
sebgai
panitia/pejabat
pengadaan/anggota unit pelayanan pengadaan; f.
Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, (pasal 4 ayat 10 PerPres nomor 8 tahun 2006).
Tugas, wewenang, dan tanggungjawab panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan meliputi sebagai berikut: a. Menyusun jadwal dan menetapkan cara pelaksanaan
serta
lokasi pengadaan; b. Menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri; c. Menyiapkan dokumen pengadaan; d. Mengumumkan pengadaan barang/jasa disurat kabar nasional
dan/atau
propinsi
dan/atau
pengumuman
resmi
dan
diupayakan diumumkan di website pengadaan nasional; e. Menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi; f. Melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; g. Mengusulkan calon pemenang; h. Membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada pejabat pembuat komitmen dan/atau pejabat yang mengangkatnya; i.
Manandatangani
pakta
integritas
sebelum
pelaksanaan
pengadaan barang/jasa dimulai ( pasal 10 ayat 4 PerPres nomor 8 tahun 2006 ) Grindel (dalam Sujianto : 2008:31) mengatakan, implementasi kebijakan
sesungguhnya
bukan
sekedar
berhubungan
dengan
mekanisme penjabaran atau operasional dari keputusan politik kedalam prosedor-prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, yaitu menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa akan memperoleh apa dari suatu kebijakan.
Mengurai prasangka KKN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tentunya juga sama kompleksnya dengan KKN secara umum, banyak variabel atau faktor yang saling berkaitan,sebagai mana yang telah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arif. Dilihat
dari
Tugas,
wewenang,
dan
tanggungjawab
panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan, akan selalu berhadapan dengan masalah konflik, keputusan, dan siapa akan memperoleh apa dari pelaksanaan pengadaan. Prasangka pemerintah,menjadi
KKN
dalam
pengadaan
beban
phisikologis
bagi
barang/jasa PNS
apabila
ditunjuk/diangkat sebagai Panitia pengadaan. Sebab panitia pengadaan secara struktur birokrasi berada dalam sistim yang dianggap korup. Menurut George Edwar III
( dalam Sujianto:2008:38 ) ada
empat faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu; 1. Komunikasi 2. Sumber Daya 3. Disposisi 4. Struktur Birokrasi Pada penilitian ini penulis tertarik untuk melihat implementasi proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang telah dilaksanakan oleh panitia pengadaan,yang selama ini selalu dipandang sarat dengan KKN. Fenomena yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya mendorong minat peneliti untuk lebih mendalami kebijakan pengadaan
barang/jasa pemerintah, terutama dalam melihat peranan panitia pengadaan dalam mengimplementasikan kebijakan. Akhirnya, penelitian ini akan berangkat dari asumsi bahwa, pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah akan dapat efektif dan efisien, apabila adanya optimalisasi pemberdayaan Panitia pengadaan.
B. Perumusan Masalah Panitia
pengadaan
barang/jasa
pemerintah
memegang
peranan yang sangat penting dalam mewujudkan efektifitas dan efisiensi kegiatan pembangunan. Yang
dimaksut
dengan
efektifitas
dan
efisiensi
dalam
pengadaan barang/jasa menurut prinsip dasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 tahun 2003, pasal 3 mengatakan; a. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan
dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkatsingkatnya dan dapat dipertanggung jawabkan, b. Efektif, berart pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan, Peranan Panitia pengadaan yang sangat strategis dalam mewujudkan efektifitas dan efisiensi kegiatan pembangunan masih diselubungi
oleh
pandangan
yang
penuh
dengan
KKN
yang
berarti,implementasi kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Panitia pengadaan belum optimal sesuai dengan kebijakan pemerintah. Isu
yang
berkembang,
bahwa
pengadaan
barang/jasa
pemerintah sarat dengan prasangka KKN,ditambahlagi dengan adanya “ancaman”
Jaksa
Agung
,akan
membawa
implikasi
semakin
mempersulit posisi PNS apabila ditunjuk/diangkat menjadi Panitia Pengadaan. Pada penelitian ini, penulis ingin melihat factor-faktor yang mempengaruhi
panitia
pengadaan
dalam
mengimplementasikan
kebijakan diantaranya; factor komunikasi,sumber daya,dan disposisi yang merupakan factor penentu dari keberhasilan panitia pengadaan dalam mengimplementasikan kebijakan. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana
proses
pengadaan
barang/jasa
yang
telah
dilaksanakan oleh panitia pengadaan 2. Apa
faktor
penghambat
panitia
pengadaan
dalam
melaksanakan proses pengadaan? C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang dan perumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah; 1. untuk
mengidentifikasi implementasi proses pelaksanaan
Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan.
2. Untuk
mendiskripsikan
faktor-faktor
penghambat
proses
pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diharapkan akan dapat memberikan pemikiran sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis Sebagai masukan bagi Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. 2. Manfaat Akademis Sebagai
bahan
telaahan,
kajian
dan
analisa
dalam
pengembangan teoritik dan konsep-konsep ilmiah yang memiliki
relevansi
terhadap
pengadaan
barang/jasa
pemerintah, terutam proses pengadaan yang dilaksanakan oleh Panitia pengadaan. .
BAB II KERANGKA TEORI A. Konsep implementasi kebijakan Grindel (dalam Sujianto : 2008:31) mengatakan, implementasi kebijakan
sesungguhnya
bukan
sekedar
berhubungan
dengan
mekanisme penjabaran atau operasional dari keputusan politik kedalam prosedor-prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, yaitu menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa akan memperoleh apa dari suatu kebijakan. Menurut
konsepsi
Lester
(dalam
Sujianto
:
2008:33)
implementasi didefinisikan sejauhmana arah dan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan benar-benar tercapai. Meter dan Horn (dalam Sujianto : 2008:35) menetapkan ada enam variabel yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan antara lain; 1. Standar dan tujuan Kebijakan (Policy Standars Objectives)
Perhatian utama pada faktor-faktor yang menentukan hasil kerja 2. Sumber Daya Kebijakan (Policy Resources)
Sumber daya yang dimaksut meliputi dana dan insentif yang diharapkan dapat menunjang implementasi yang efektif. 3. Aktifitas pengamatan dan komunikasi inter organisasi Implementasi yang akan berhasil memerlukan mekanisme dan prosedur institusional dimana otoritas yang lebih tinggi dapat
memungkinkan
pelaksana
akan
bertindak
dengan
cara
konsisten. 4. Karakteristik pelaksana Karakteristik berhubungan dengan kemampuan dan kriteria staf tingkat pengawas (kontrol) hirarkis terhadap keputusankeputusan sub unit dalam proses implementasi. 5. Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Hal yang berhubungan dengan ekosospol, yaitu; a. Apakah sumber daya ekonomi yang tersedia dalam
organisasi pelaksana cukup memadai untuk menunjang keberhasilan pelaksana. b. Sejauh
mana
kondisi
sosial
ekonomi
yang
akan
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. c. Seberapa jelas masalah kebijakan yang terkait. d. Apakah
kelompok
elit
menyetujui
atau
menentang
pelaksanaan kebijakan. e. Apakah karakteristik partisipan dari organisasi pelaksana ada dukungan untuk kebijakan tersebut. 6. Disposisi atau sikap pelaksana Ada
tiga
unsur
yang
mempengaruhi
pelaksana
dalam
mengimplementasikan kebijakan yaitu; 1. Kognisi ( pemahaman dan pengetahuan ) pelaksana terhadap kebijaka. 2. Arah respon pelaksana terhadap implementasi menerima atau menolak.
3. Intensitas dari respon pelaksana. Menurut George Edwar III
( dalam Sujianto:2008:38 ) ada
empat faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu; 1. Komunikasi 2. Sumber Daya 3. Disposisi 4. Struktur Birokrasi Soren Winter (dalam Riant Nugroho : 2007:85) mengidentifikasi empat variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu; 1. Proses formasi kebijakan; 2. Prilaku organisasi pelaku implementasi; 3. Prilaku birokrasi pelaksana ditingkat bawah;
4. Respon kelompok target kebijakan dan perubahan dalam masyarakat. Struktur organisasi/birokrasi pelaksana pengadaan barang/jasa pemerintah adalah struktur organisasi pelaksana intraorganisasional yang berada didalam organisasi SKPD, yang terdiri dari ; Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen ( PPK ) dan Panitia Pengadaan. Pengertian organisasi (Lubis dan Husaini, 1987) adalah sebagai kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai
suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya. Menurut Kasim (1984) organisasi merupakan pola kerjasama antara
orang-orang
yang
terlibat
dalam
kegiatan
yang
saling
berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu.Menurut Hendry (1988) organisasi adalah suatu koneksitas manusia yang kompleks dibentuk untuk tujuan tertentu, dimana hubungan antar anggotanya bersifat resmi. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melibatkan banyak kepentingan, baik PA, PPK, Panitia Pengadaan dan Rekanan (penyedia barang/jasa), yang masing-masingnya memperjuangkan kepentingannya. Dalam memperjuangkan masing-masing kepentingan agar dapat sesuai dengan kebijakan pengadaan barang/jasa, masingmasing kepentingan harus mempunyai keinginan yang sama untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Bekhard dan Harris (dalam Rhenald Kasali : 2007:100) perubahan akan terjadi kalau ada sejumlah syarat, yaitu; 1. Manfaat-biaya. Manfaat yang diperoleh lebih besar dari pada
biaya perubahan; 2. Ketidakpuasan.
Adanya
ketidak
puasan
yang
menonjol
terhadap keadaan sekarang; 3. Persepsi hari esok. Manusia dalam suatu organisasi melihat
hari esok yang dipersepsikan lebih baik;
4. Cara yang praktis. Ada cara praktis yang dapat ditempuh untuk
keluar dari situasi sekarang. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah mempunyai manfaat yang strategis, baik secara mikro, yaitu bagi pemilik proyek (Project’s Owner), dan peserta tender (bidder), maupun secara makro (manfaat perekonomian Nasional) (Hendry Faisal Noor : 2007:136). Dalam proses pengadaan,bukan tidakmungkin akan terjadi tindak
kejahatan
penyelewengan
antara
pelaku
bisnis
dengan
pelaksana pengadaan . Menurut
Igm.
Nurdjana
(2005),
tindak
kejahatan
penyelewengan dikalangan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku bisnis
dan
birokrat
termasuk
jenis
korupsi
endemic
(endemic
corruption). Prosese pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah sangat rentan dengan prasangka (prejudice) KKN, untuk itu sangat diperlukan pemberdayaan panitia pengadaan. Menurut Rendi R. Wrihatnolo, Riant Nugroho D (2007), pemberdayaan adalah sebuah proses yang mempunyai tiga tahapan, yaitu; 1. Penyadaran Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan, dan dalam proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka sendiri. 2. Pengkapasitasan
Memberikan daya atau kuasa (capacity building) untuk membuat mereka cakap (skilfull) Proses capacity building terdiri atas tiga jenis yaitu; 1. Manusia Memampukan manusia baik sebagai individu, maupun kelompok dengan training (pelatihan). 2. Organisasi Restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut.
3. Sistim nilai Aturan main, pada tingkat yang lebih maju, sistim nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good governence. 3. Pendayaan (empowerment) Kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Menurut Ujang Nurohma (Figur:2007), banyak organisasi mengalami kegagalan bukan karena tidak memiliki visi, misi, tujuan dan strategi yang baik, melainkan tidak mampu mengimplementasikannya, sehingga dapat saja gambaran citra (brand image) dan kinerja dari personil yang terlibat didalam pengadaan barang/jasa umpamanya
kurang berhasil menjalankan tugas dan fungsinya sebagai motor penggerak
percepatan
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan,
disebabkan ketidakmampuannya mengimplementasikan kebijakan.. Pemberdayaan akan mampu mendemokratisasikan khususnya proses pengadaan barang/jasa pemerintah dan pembangunan pada umumnya yang dalam istilah internasionalnya dikenal sebagai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
B. Konsep Operasional Berdasarkan
deskripsi
dari
aspek
teoritis,
implementasi
kebijakan pengadaan barang/jasa melalui panitian pengadaan dapat diuraikan
indikator
variabel
yang
mempengaruhi
keberhasilan
implementasi yaitu: 1. Komunikasi Komunikasi yang dimaksut disini adalah hubungan antara pemilik pekerjaan,dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan pelaksana pengadaan, dalam hal ini Panitia pengadaan, yang antara lain bertugas merumuskan dokumen pengadaan yang akan ditetapkan oleh PPK. Komunikasi juga dimaksudkan antara Panitia Pengadaan dengan pedoman
Penyedia
pekerjaan
pengadaan
yang
dalam tertuang
mengkomunikasikan didalam
dokumen
pengadaan yang akan dijadikan pedoman bersama oleh Panitia
Pengadaan dalam mengevaluasi dan pengajuan penawaran oleh penyedia pekerjaan (rekanan) didalam pengadaan. Hubungan
timbalbalik
antara
Panitia
pengadaan
dengan
penyedia pekerjaan juga dapat dilihat pada saat penjelasan pekerjaan, dan pada saat pembukaan sampul penawaran. 2. Sumber daya Sumber daya panitia pengadaan berjumlah gasal, sekurangkurangnya anggotanya berjumlah 3 orang yang memahami: a. Tatacara pengadaan b. Substansi pekerjaan, c. Dan lain yang di perlukan, baik unsur dari dalam maupun
dari luar instansi yang bersangkutan. Implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah memerlukan sumberdaya yang memadai, tanpa dukungan yang memadai
terhadap
Sumber
Daya
Panitia
Pengadaan,
implementasi akan mengalami hambatan, bahkan mungkin mengalami
kegagalan
dalam
arti,
pemilihan
terhadap
barang/jasa tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan. 3. Disposisi Disposisi merupakan suatu sikap dari pelaksana (Panitia Pengadaan) untuk mau, menerima atau menolak,atau motivasi pelaksana untuk melaksanakan kebijakan. Ada
4
unsur
yang
mempengaruhi
disposisi,atau
pelaksana untuk mau melaksanakan kebijakan, yaitu:
sikap
1. Pengetahuan dan pemahaman para pelaksana terhadap kebijakan 2. Arah dari respon para pelaksana untuk menerima atau menolak kebijakan yang akan diimplementasikan. 3. Insentif 4. Intensitas dari respon para pelaksana terhadap kebijakan. Dengan adanya sikap para pelaksana untuk menerima atau menolak
hal-hal
yang
mengimplementasikan mempunyai
inisiatif
tidak
diperbolehkan
kebijakan dan
kreatifitas
,maka
mereka
untuk
dalam akan
mengefektifkan
implementasi kebijakan tersebut. Dari uraian tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir penelitian sebagai berikut:
Komunikasi, sumber daya dan disposisi dari panitia pengadaan akan mempengaruhi implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang ditinjau dari sisi panitia pengadaan, apakan panitia pengadaan dalam
pelaksanaan
pengadaan
barang/jasa
pemerintah
telah
memenuhi kriteria baik/tidak baik yang didasarkan kepada variabel ;
komunikasi.
Sumber
Daya
dan
disposisi.
didalam
implementasi
kebijakan
mengimplementasikan kebijakan. C. Teknik Pengukuran Pengukuran dijabarkan
variabel/indikator
dalam
pertanyaan/pernyataan
dalam
bentuk
skala
pengukuran yaitu; 1. Baik, apabila pada masing-masing pertanyaan/pernyataan
memenuhi semua kriteria penilaian diberi skor 3 2. Cukup
baik,
apabila
pada
masing-masing
pertanyaan/pernyataan hanya memenuhi 2 kriteria penilaian diberi skor 2 3. Tidak
baik,
apabila
pada
masing-masing
pertanyaan/pernyataan hanya memenuhi 1 kriteria penilaian diberi skor 1. Untuk lebih jelasnya dituangkan pada tabel berikut ini: Tabel I Pengukuran Variabel Penelitian Konsep
Variabel
Indikator
Kategori
Skor
PPK 1 PPK menetapkan paket pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh panitia pengadaan. 2 PPK menetapkan dokumen pengadaan, HPS, dan jadwal pelelangan yang telah disusun oleh Panitia 3. PPK menetapkan pemenang pengadaan, atas usulan panitia pengadaan
3
Panitia Komunikasi
Implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui panitia pengadaan
2
1. Panitia menyusun jadwal, dokumen, mengumumkan pengadaan secara terbuka. 2. Panitia melaksanakan penjelasan pekerjaan, dan pembukaan sampul penawaran secara terbuka.. 3. Panitia bersama anggota melakukan evaluasi,dan mengusulkan pemenang kepada PPK. 4. Panitia mengumumkan pemenang pengadaan
Sumber Daya
1. Persyaratan panitia
Disposisi
1. Pengetahuan dan pemahaman Panitia
2. Tugas,wewenang,tanggug jawab panitia
2. Respon panitia 3. Insentif
1 Baik Cukup baik Tidak baik
BAB III METODE PENELITIAN A.
Jenis penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Menurut Sugiono (1992), penelitian diskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain.Menurut Nasir (1988), metode diskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian. Dengan demikian, metode penelitian diskriptif akan digunakan untuk mengetahui implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa pada bagian umum Sekretariat daerah Kabupaten Kampar.
B. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini yang menjadi objek pengamatan adalah Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia Pengadaan dan rekanan
pada bagian umum Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar yang dipengaruhi oleh: 1. Komunikasi 2. Sumber daya 3. Disposisi
C. Populasi dan sampel Pemilihan sampel/informan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Panitia Pengadaan Yang melaksanakan proses pengadaan 2. Rekanan Sebagai penyedia pekerjaan. Untuk memudahkan pengambilan informan sebagai sampel dari
penyedia
pekerjaan,
dan
proses
pengadaan
yang
telah
dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan, maka diambillah data kontrak tahun anggaran 2008 sebanyak 30 dokumen kontrak, dan dokumen pelaksana anggaran tahun anggaran 2008 yang ada pada bagian umum Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar. D. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara dan menggunakan dokumen kontrak yang ada. Pengumpulan data dengan wawancara, agar peneliti dapat menggali tentang yang diketahui dan dialami
oleh
pertanyaan.
objek
yang
diteliti
dengan
menggunakan
daftar
E. Teknik Analisa Data. Teknik analisa data yang digunakan adalah kombinasi dari dua teknis analisa data,yaitu analisis domain dan analisis taksononi.Analisa domain dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup dalam pokok permasalahan yang diteliti. Pada teknis analisis taksononi ,menjelaskan fenomena yang menjadi sasaran penelitian .
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Said Zainal, 2008, Strategi Kebijakan dalam Pembangunan dan Ekonomi Politik, Suara Bebas, Jakarta. Faisal Noor Hehdry, 2007, Ekonomi Manajerial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Igm. Nurdjana, 2005, Korupsi Dalam Praktek Bisnis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rendi R, Rian Nugroho, 2007, Manajemen Pemberdayaan, PT Alex Media Komputindo, Jakarta. Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Depok. Kasim, Ashar, 1993, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, UI, Jakarta. Lubis, Hari, dan Husaini, 1987, Organisasi ( Suatu Pendekatan Makro ), Pusat Antar Universitas ilmu-ilmu Sosial, UI, Jakarta. Kasali, Renald, 2007, Chane, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Nugroho, Riant, 2007, Analisis Kebijakan, PT Alex Media Komputindo, Jakarta. Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta. Sugiono, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabet, Bandung Sujianto, 2008, Implementasi Kebijakan Publik, Alaf Riau, Pekanbaru. Kepres nomor 80 Tahun 2003, Tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah.
Proposal Penelitian Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Panitia pengadaan Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar Tugas akhir
Fakhruddin
Penyusun: SUWARDI NIM : 200701068
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI KONSENTRASI KEBIJAKAN PUBLIK PASCA SARJANA UNIVERSITAS RIAU PEKANBARAU