Kasus 3 : Tuan P, 24 tahun, dibawa ke IGD oleh keluarga karena ditemukan tidak sadar di dalam kamar tidurnya sekitar 1 jam yang lalu. Dari pengkajian awal didapatkan data GCS 3, E1M1V1, tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 108x/ menit, frekuensi nafas 12x/menit dan dangkal. Kulit pasien dan akral teraba dingin serta terlihat sianosis, pupil miosis dan tidak reaktif. Terlihat banyak bekas suntikan pada lengan kiri pasien. A. Jelaskan Istilah-istilah pada Kasus 1. Tidak Sadar dengan Nilai GCS 3 (E1 M1 V1) GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan instrumen penilaian kesadaran. Nilai GCS ditentukan dengan cara berikut ini: Respon
Nilai
Respon Membuka Mata (Eye) -
Spontan
4
-
Terhadap
3
perintah/pembicaraan
2
-
Terhadap rangsangan nyeri
1
-
Tidak membuka mata
Respon Motorik (M) -
Sesuai perintah
6
-
Mengetahui lokalisasi nyeri
5
-
Reaksi menghindar
4
-
Reaksi fleksi dekortikasi
3
-
Reaksi ekstensi deserebrasi
2
-
Tidak berespon
1
Respon Verbal (V) -
Dapat berbicara dan
5
memiliki orientasi baik -
Dapat berbicara, namun
4
disorientasi -
Berkata-kata tidak tepat dan
3
tidak jelas -
Mengeluarkan suara tidak
2
jelas -
Tidak bersuara
1
Berdasarkan penilaian di atas, pasien dengan GCS 3 diartikan sebagai koma. (N: 15 (sadar)) (Aprilia, 2015). Mekanisme Koma Kesadaran diatur oleh ARAS (ascending reticular activating system) dan kedua hemisfer otak. Jaras saraf pada ARAS menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak berperan penting dalam mengatur kerja jantung, pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur.
Koma dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi infl amasi, infeksi sistem saraf pusat, seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik. (Aprilia & Wreksoalmojo, 2015). Kesadaran ditentukan oleh interaksi antara ARAS dengan korteks serebri . ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Koma disebabkan karena kegagalan difus metabolisme saraf. Fungsi sistem aktivasi retikular dapat terganggu oleh lesi struktural fokal di otak atau proses difus. Obat- obatan dan toksin (opiat,antidepresan, hipnotik, alkohol) dapat menyebabkan penurunan kesadaran akibat dari proses difus. (Ginsberg, 2005)
Intoksikasi obat atau keracunan obat adalah dalah satu penyebab dari penurunan kesadaran karena adanya zat kimia yang masuk menganggu proses fisiologis. Racun diklasifikasikan menurut aksinya yaitu racun korosfi, racun iritan, racun saraf, racun jantung, asphyxiants, dan lain-lain. Salah satu aksi racun yaitu racun saraf, racun saraf beraksi di sistem saraf pusat. Gejala yang ditimbulkan biasanya sakit kepala, sianosis, pupil miosis, ngantuk, pusing, delirium, stupor, koma dan kejang. (Safitrih, 2015). Implementasi Koma pada Overdosis Opioid Opioid memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas berat yang tergantung pada dosis dan rute pemberian. Efek toksik terkait dengan tindakan yang berbeda dari obat ini pada reseptor opiat di SSP. Respon klinis analgesia, euforia, depresi pernafasan, dan miosis diyakini hasil dari pendudukan preseptor. Jenis berbeda hasil analgesia ketika k-reseptor yang terlibat, dan efek psikogenik, seperti dysphoria, delusi, dan halusinasi, akibat dari aksi opioid di o-reseptor. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ovedosis opioid akut biasanya dimulai dalam waktu 20 sampai 30 menit setelah konsumsi oral dan dalam beberapa menit setelah pemberian parenteral. Tingkat depresi SSP dan durasinya akan bervariasi sesuai dengan opioid yang terlibat, kuantitas dan rute pemberian. Untuk overdosis besar, korban cepat penyimpangan ke dalam koma dan tidak arousable oleh rangsangan secara verbal atau sakit. 2. Tekanan Darah 100/70 mmHg dan HR: 108x/menit Alat klinis yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah sphygmomanometer. Kategori hasil pemeriksaan tekanan darah terdiri dari 4 menurut The Joint National Committe VII (JNC-VII):
Klsifikasi
Tekanan Tekanan
Sistolik Tekanan
Darah
(mmHg)
(mmHg)
Normal
<120
<80
Pre- Hipertensi
120 - 139
80 - 89
Hipertensi Stage 1
140 - 159
90 - 99
>160
>100
Diastolik
Hipertensi Stage 2 Berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah di atas maka didapatkan hasil bahwa pasien mengalami hipotensi atau tekanan darah rendah (TD: 100/70 mmHg. Sedangkan hasil pemeriksaan nadi/arteri: Jumlah frekuensi nadi/menit pada dewasa (N: 60-100x/menit). Pada pasien dengan tanda gelaja yang sudah disebutkan di atas mengalami takikardia. Yaitu bila frekuensi nadi > 100 kali/menit. Mekanisme Hipotensi dan Takikardi Jantung merupakan organ yang berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme sistim saraf otonom. Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon stress psikis atau disebut juga ‘fight of flight response’ memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun. Sedangkan sistim saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai sistim organ lainnya. Hipotensi adalah kondisi dimana tekanan darah (rasio tekanan sistolik dan tekanan diastolik) lebih rendah dari nilai normal. Hipotensi terjadi ketika tidak seimbangnya kapasitas vaskuler darah dan volume darah, atau jantung terlalu lemah untuk menghasilkan tekanan darah yang mendorong darah ke seluruh tubuh. Pada tekanan darah yang terlalu rendah dapat menyebabkan masalah yang mengancam nyawa, karena akan terjadi penurunan aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen pada organ vital seperti jantung dan otak .
Jantung yang berdetak terlalu cepat dapat membuat tekanan darah menjadi turun karena tidak ada waktu untuk jantung mengisi diantara setiap denyut (diastole). Otot jantung yang rusak/ lemah tidak dapat memompa darah secara adekuat sehingga sulit untuk mempertahankan tekanan darah. Selain itu katup jantung yang memungkinkan darah mengalir satu arah, apabila mengalami kegagalan dapat menyebabkan darah mundur kembali lagi ke atrium sehingga darah yang mengalir ke tubuh menjadi sedikit dan menyebabkan hipotensi (Rampengan, 2014). Implementasi Hipotensi dan Takikardi pada Overdosis Opioid Konsumsi opioid dalam dosis yang besar dan tidak terkontrol (overdosis) dapat berpengaruh pada saraf otonom yang mengatur sistem kardiovaskuler. Opioid dapat menghambat tonus simpatis dan meningkatkan tonus parasimpatis.
Meningkatnya aktivitas tonus parasimpatis
dapa
menyebabkan hipotensi berat bahkan sampai syok. Opioid juga dapat menyebabkan vasodilatasi melalui penekanan pusat vasomotor di batang otak. Vasodilatasi juga terjadi langsung pada pembuluh darah dan menyebabkan penurunan preload dan afterload yang berakibat pada penurunan tekanan darah (hipotensi). Dilatasi atau penurunan tahanan pada arteri perifer dan vena yang berlebihan menyebabkan sistim darah kembali, sehingga pengisian jantung menjadi berkurang. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Hal ini jika berlangsung terlalu lama maka akan menyebabkan syok yang ditandai dengan penurunan kesadaran (koma), akral dingin, depresi nafas, pupil meiosis, dan sirkulasi jaringan perifer
tidak
normal.
Sebagai
kompensasi
untuk
mempertahankan
homeostatisnya maka jantung akan meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan frekuensi jantung sehingga isi volume sekuncup jantung dapat kembali normal. Frekuensi jantung yang meningkat tersebut dapat kita dideteksi sebagai takikardi. Sehingga pada kasus-kasus hipotensi sering dijumpai pula pasien dengan nadi lebih cepat (>100/mnt/ takikardi) (Melati, Sari, Claudia, & Faradia, 2016). 3. Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal
Sistem pernapasan secara garis besarnya terdiri dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, faring, laring, tenggorokan, paru-paru. Metabolisme normal dalam selsel manusia memerlukan oksigen dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme yang harus dikeluarkan dari tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 dalam tubuh makhluk hidup disebut pernapasan atau respirasi. O2 dapat keluar masuk jaringan dengan cara difusi. Paru-paru merupakan alat pernapasan yang kerjanya dikontrol oleh otak pada bagian medulla oblongata. Di dalam paru-paru akan terjadi pertukaran O2 dengan CO2 melalui mekanisme difusi. Mekanisme difusi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial antara darah yang terdapat pada alveolus dengan udara yang masuk melalui saluran pernapasan. Berikut terjadinya mekanisme pernapasan: adanya rangsangan ==> aktifasi medulla oblongata bagian dorsal ==> terjadilah kontraksi otot-otot inspirasi ==> sehingga dada dan paru mengembang, sehingga tekanan di dalam paru lebih kecil dari pada tekanan di atmosfer ==> udara masuk ke paru-paru ==> terjadilah proses inspirasi (menarik nafas) ==> saat paru sudah mengembang berlebih akan terjadi feedback negative sehingga akan menghambat medulla oblongata bagian dorsal ==> terjadilah relaksasi otototot inspirasi (m. intercostalis externa & diafragma) ==> rongga thoraks kembali mengecil ==> tekanan di paru-paru berubah menjadi lebih besar daripada tekanan di atmosfer ==>sehingga udara keluar ke lingkungan yang biasa disebut proses expirasi (menghembuskan nafas). Frekuensi pernapasan 12x/menit dan dangkal termasuk tanda ketidak normalan system pernapasan. Hal ini bisa diakibatkan oleh banyak factor seperti, penyakit, overdosis obat, aktivitas, posisi, dsb. Kondisi tersebut diistilahkan sebagai bradipneu, dimana frekuensi napas tidak adekuat/ kurang dari normal. Hal ini akan membahayakan organ lain, karena suplai O2 dapat terganggu dan tidak adekuat terutama ke bagian perifer dengan ditandai akral dingin dan pucat/ kebiruan (Mutakin, 2007). 4. Implementasi Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal pada Overdosis Opioid Opioid merupakan obat berbahaya yang berbentuk zat kimia. Dalam bidang pengobatan medis, dikenal zat-zat kimia yang mampu mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit, namun tidak memiliki efek penyembuhan. Zat kimia itulah yang sering disalahgunakan karena pemakaian dengan dosis yang berlebihan akan berakibat buruk bagi kesehatan. Zat-zat kimia tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada sistem saraf. Penggunaan obat-obatan ini memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf, misalnya hilangnya koordinasi tubuh, karena di dalam tubuh pemakai, kekurangan dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang terdapat di otak dan berperan penting dalam merambatkan impuls saraf ke sel saraf lainnya. Hal ini menyebabkan dopamin tidak dihasilkan. Apabila impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis, maka gelembung-gelembung sinapsis akan mendekati membran presinapsis. Namun karena dopamin tidak dihasilkan, neurotransmitter tidak dapat melepaskan isinya ke celah sinapsis sehingga impuls saraf yang dibawa tidak dapat menyebrang ke membran post sinapsis. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada membran post sinapsis dan tidak terjadi potensial kerja karena impuls saraf tidak bisa merambat ke sel saraf berikutnya. Efek dari konsumsi opioid berlebih (overdosis) maka salah satunya akan merusak sistem respirasi. Hal tersebut karena adanya kerusakan system saraf pada bagian medula oblongata sebagai pengatur pernapasan. Berikut mekanismenya: Overdosis opioid kerusakan system saraf pernapasan (medulla oblongata) penurunan respon pernapasan kegagalan pernapasan ventilasi hipoventilasi alveoli-gangguan difusi alveoli PCO2 meningkat depresi pusat pernapasan-> hipoventilasi (kompensasi takipneu) bradipnea (RR 12x, dangkal) (Amin, 2006). 5. Kulit dan Akral Dingin dan Terlihat Sianosis Pada pengkajian pada tangan, perlu dilihat salah satu bentuk temuan yang berhubungan dengan gangguan jantung yaitu akral dingin. Hal itu sangat berguna karena untuk mengetahui apakah seseorang dalam kondisi syok atau tidak. Pada kondisi syok kardiogenik, tangan akan terasa sangat dingin akibat sistem saraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi. Kulit akan tampak pucat dan terasa dingin karena pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi dan kadar hemoglobin yang tereduksi meningkat sehingga mekanisme sianosis akan mengikuti selanjutnya. (Muttaqin, 2012)
Sianosis adalah perubahan warna kulit dan membrane mukosa menjadi kebiruan akibat konsentrasi hemoglobin tereduksi yang berlebihan dalam darah (Fauci, Kasper, & Longo, 2000). Jumlah normal hemoglobin tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5g per 100ml. Pada orang dengan konsentrasi hemoglobin yang normal, sianosis akan
pertama kali terdeteksi pada
kejenuhan oksigen sekitar 75% dan PaO2 50mmHg atau kurang (Silbernagl & Lang, 2003). Adanya warna kebiruan pada sianosis adalah sebagai akibat dari peningkatan kadar hemoglobin terinduksi atau devirat hemoglobin di dalam pembuluh darah kecil pada daerah tersebut. Untuk deteksi klinis akurat mengenai derajat dan adanya sianosis sulit ditunjukan oleh oksimetri (Fauci, Kasper, & Longo, 2000). Terdapat dua tipe sianosis, yaitu sianosis sentral dan sianosis perifer. a. Sianosis Sentral Pada sianosis sentral, terdapat penurunan jumlah saturasi oksigen atau derivat hemoglobin yang abnormal. Biasanya sianosis sentral terlihat terutama di bantalan kuku, wajah, bibir, dan lidah. Adanya penurunan saturasi oksigen merupakan tanda dari penurunan tekanan oksigen dalam darah. Penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh penurunan laju oksigen tanpa adanya kompensasi yang cukup dari paru-paru untuk menambah jumlah oksigen tersebut (James, Jay, & Hein, 2007) b. Sianosis Perifer Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan tekanan oksigen yang menurun pada ujung vena sistem kapiler. Penyebab sianosis primer adalah vasokontriksi generalisasi yang terjadi akibat terkena air dan udara dingin. (AS Fauci, 2000) Implementasi Kulit serta Akral Dingin dan Sianosis pada Overdosis Opioid Pada kasus, sianosis dapat terjadi karena adanya depresi pernapasan yang disebabkan oleh kerusakan syaraf yang mengatur pernafasan di medulla oblongata. Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan menurunnya tekanan oksigen pada ujung vena sistem kapiler menyebabkan kulit kebiruan. Adanya sianosis disertai dengan akral yang teraba dingin dikarenakan
vasokonstriksi kulit sebagai mekanisme kompensasi agar aliran darah dapat dialihkan dari kulit ke bagian yang lebih vital seperti sistem saraf pusat (medulla oblongata) yang mengalami gangguan. (Fauci, Kasper, & Longo, 2000) 6. Pupil Miosis Tidak Reaktif Pupil normal berdiameter sekitar 2-6 mm. Rata-rata diameter pupil 3 ½ mm. Miosis adalah keadaan pupil yang sempit. Miosis terjadi dalam keadaan tidur, koma, dan tekanan intrakranial yang tinggi. Iritasi pada saraf okulomotoris membangkitkan miosis. Dapat juga dijumpai akibat paralisis saraf simpatetik bagian torakal atas. Penyebab pupil yang miosis diantaranya yaitu: sindrom horner (jaras okulosimpatis), pupil argyll robertson, lesi pons, dan narkotika (Muttaqin, 2008). Pupil kecil dan tidak reaktif menunjukkan adanya gangguan batang otak. Reaksi pupil (konstriksi dan dilatasi) diatur oleh sistim saraf simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis). Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya, cenderung disebabkan kelainan struktural yang mempengaruhi derajat kesadaran. Adapun serabut-serabut parasimpatis berasal dari midbrain dan menuju pupil melalui saraf okulomotorius (Nervus III). (Trihono, 2012)
Mekanisme Pupil Miosis Tidak Reaktif Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N.III. Miosis akibat pemberian opioid disebabkan akibat kerja langsung opioid terhadap nukleus otonom nervus okulomotorik (Edinger Westphal). Miosis digunakan sebagai indikator adanya paparan opioid. Penurunan diameter pupil /daerah membatasi rentang mekanik iris dan mengurangi intensitas fluks cahaya retina. Amplitudo refleks cahaya menurun sangat erat kaitannya dengan penurunan ukuran pupil pada saat stimulus cahaya (dibawa oleh administrasi remifentanil).
Implementasi Pupil Miosis dan Tidak Reaktif pada Overdosis Opioid Pusat saraf yang mengontrol ukuran pupil dan refleks pupil pada manusia. Struktur berwarna adalah pusat saraf pusat dan jalur yang memodifikasi refleks cahaya pupil. Edinger Westphal (EW) Neuron nukleus adalah sel-sel pacu yang dimodifikasi oleh input rangsang dan penghambatan. Opioid memblokir penghambatan inti EW. Tanda bintang hijau (*) menunjukkan lokasi di mana hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu refleks cahaya, meskipun analisis kami menunjukkan bahwa efek opioid pada refleks cahaya terutama merupakan fungsi ukuran pupil. * = lokasi di mana hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu refleks cahaya. IN = neuron penghambatan (Rollins, 2014). 7. Banyak Bekas Suntikan Pada Lengan Kiri Pasien Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien menginjeksikan obat mengandung opioid secara intramuskular berkali-kali.
B. Sebutkan Data-data Pengkajian yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut/Dilengkapi pada Kasus 1. Riwayat Pengkajian riwayat untuk menangani keracunan atau overdosis. Riwayat yang diperhatikan untuk diidentifikasi yaitu, obat atau racun, waktu dan lama pajanan, penanganan pertama yang diberikan sebelum sampai di rumah sakit, alergi, dan proses penyakit yang mendasari. Informasi riwayat dapat diperoleh dari keluarga, teman, atau orang yang menemukan. Informasi tambahan dapat diperoleh dari pakaian dan benda dari pasien. Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih secara kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental, dan kehidupan sosialnya (Martono, 2008). Perlu diwaspadai tanda dan gejala orang yang sudah keceanduan terhadap narkoba (opioid) dilihat dari kesehariannya, sebagai beikut: Tanda-tanda kelainan fisik dan emosional: 1. Teman/kelompok sering berganti-ganti. 2. Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti. 3. Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol, mariyuana, dan rokok dari nafas atau badan. 4. Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat dijelaskan. 5. Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid (ketakutan dan curiga), destruktif (merusak), tampak cemas. 6. Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang seharusnya. 7. Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan. 8. Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis. 9. Kadang tampak depresi, mudah sedih dan tertekan. 10. Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan mencuri. 11. Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa punya uang lebih. 12. Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus.
2. Pemeriksaan Fisik Pada dasarnya pemeriksaan fisik umum pada kasus toksikologi adalah sama dengan pemeriksaan fisik pada kasus lainnya. Berikut adalah pemeriksaan fisik umum pada pasien overdosis: 1. Keadaan umum: kesadaran menurun 2. Pernafasan: nafas tidak teratur 3. Kardiovaskuler: hipertensi atau hipotensi, nadi aritmia 4. Persarafan: kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise 5. Gastrointestinal: muntah, diare 6. Integumen: berkeringat 7.
Muskuloskeletal: kelelahan, kelemahan
8. Integritas ego: gelisah, pucat 9. Eliminasi: diare 10. Selaput lendir: hipersaliva 11. Sensori: mata mengecil/membesar, pupil miosis (Mansjoer, 2009). Selain dengan pemeriksaan head to toe, pemeriksaan fisik pada pasien overdosis dapat dilakukan dengan menggunakan toksidroma. Toksidroma atau tanda gejala overdosis atau keracunan dapat membantu mengidentifikasi racun obat yang terpajan pada pasien. Toksidroma membantu untuk menegakkan diagnosa dan mengetahui/ menentukan obat – obatan (toksik) yang telah terpajan ke tubuh pasien (Morton., dkk, 2008). Sindrom Toksik (Toksidroma) (Hudak, 1996) Sindrom
Gejala gejala
Kolinergik
TTV
Penyebab – penyebab umum
menurun,
berlebihan,
salivasi Insektisida
emesis
diaforesis,
deresi
pusat,
fasikulasi pulmonal,
dan
lakrimasi, karbamat, fisostigmin, beberapa
urinasi,
saraf
organofosfat
otot,
dan jamur sistem
fasikulsiedema miosis,
bradikardi, dan kejang. Opiate
/ TTV
hipnotik sedatif
menurun,
koma, Narkotik,
depresi pernapasan, miosis, barbiturat, hipotensi,
benzodiazepin, etanol,
klodinin,
bradikardi, metaqualon
penurunan
bising
usus,
edema pulmonal Antikolinergik
Delirium,
kering,
ruam Antihistamin, atropin, agen anti
kulit, pupil melebar, suhu depresan, beberapa tanaman dan tinggi,
retensi
penurunan
bising
urin, jamur usus,
takikardi, kejang Simpatomimetik Delusi, paranoia, takikardi, Kokain, teofilin, kafein, LSD, hiperensi, midriasis, kejang
Gejala
amfetamin, fenipropanolamin
putus Diare, midriasis, takikardi, Alkohol, barbiturat, narkotik,
obat
halusinasi, kram
benzodiazepin.
Pengamatan Keracunan Opioid (Hudak, 1996): Bahan
Pengkajian
Diagnostik Intervensi
Uraian
Skin urin/ Perawatan suportif:
Upaya untuk
keperawatan Opioid
Tanda-tanda
vital: hipotensi, plasma
1. Jalan napas
mendapatkan
bradikardi,
Gas-gas
2. Sirkulasi
riwayat
penurunan
darah
3. Pernapasan
lengkap
pernapasan,
arteri
Pencegahan absorbsi:
hipotermia,. Kardiovaskular: Bradikardi Neurologi: pupil pin point, koma,
depresi
pernapasan,
tentang takar
1. Lavage
lajak,
rute
2. Obat arang
pemajanan,
3. Katartik
kuantitas, tipe
Pemantauan jantung
obat
Penatalaksanaan
digunakan,
gejala putus obat Antidote: Naloxone
yang
riwayat kecanduan.
kejang
Evaluasi
terhadap
edema pulmonal. 3. Pemeriksaan Toksikologi Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnosa klinis, dimana diagnosa ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan intervensi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Terdapat dua instrumen yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari suatu kasus keracunan, yaitu (Clarmann, 1987): a. Melalui gejala-gejala klinis, dimana gejala ini dapat dibedakan menjadi: 1. Sympthom, biasanya symthom dapat diamati oleh manusia dengan menggunakan panca indranya. Sympthom ini pada umumnya dijadikan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada keracunan. 2. Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan alat-alat tertentu, seperti rontgen, laboratorium, dan sebagainya. 3. Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang ditimbulkan. Proses dapat diamati sediri oleh dokter dan perawat atau diperoleh dari informasi pasien atau pendampingnya. b. Melalui Analisis Racun (analisis toksikologi) Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa yang spesifik dan terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan diagnosa akhir pada kasus keracunan. Dari pengalaman, Clarmann menemukan, bahwa sekitar 20% dari kasus instoksikasi, diagnosa akhir ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. Dengan kata lain, hampir satu dari setiap lima kasus keracunan adalah salah diagnosa jika diagnosa hanya didasarkan pada gejala klinis saja. Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin. Untuk
mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi. Secara umum dapat disimpulkan, bahwa manfaat analisis toksikologi klinik adalah: a. Indentifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang spesifik dan terarah b. Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi c. Untuk memastikan atau menjamin diagnosa klinis. 4. Pemeriksaan Laboratorium Untuk menentukan pemakaian narkoba (opioid) pada seorang individu, pemeriksaan seringkali dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti darah, urin, cairan oral, keringat ataupun rambut. Berikut adalah beberapa pemeriksaan yang dilakukan: 1) Pemeriksaan Urin, Skrining dan Konfirmatori Urin merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. (Dasgupta, 2007) Pemeriksaan narkoba dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada golongan yang besar atau metobolitnya dengan hasil presumptif positif atau negatif. Pada pemeriksaan skrining, metode yang
sering
digunakan
adalah
immunoassay
dengan
prinsip
pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan di luar laboratorium dengan metode onsite strip test maupun di dalam laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada pemeriksaan skrining. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas chromatography / mass spectrometry (GC/MS) atau liquid chromatography/mass spectrometry (LC/MS) yang dapat
mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat bereaksi silang dengan substansi lain. Pada pemeriksaan narkoba baik untuk skrining maupun konfirmasi, telah ditetapkan standar cutoff oleh NIDA untuk dapat menentukan batasan positif pada hasil pemeriksaan. Pada tabel berikut disampaikan kadar cutoff pemeriksaan narkoba untuk skrining maupun konfirmasi. Tabel.1 Obat
Kadar Skrining
Kadar Konfirmasi
(ng/mL)
(ng/mL)
THC
50
15
Metabolit Kokain
300
150
Metabolit Opiat
300 atau 2000
300 atau 2000
Morfin
-
300 atau 2000
Kodein
-
300 atau 2000
25
25
1000
500
-
500
Phenicyclidin Amfetamin Metamphetamin
(Dasgupta, 2007) Waktu deteksi obat dalam urin tergantung berbagai kondisi termasuk waktu paruh obat. Pada tabel berikut disampaikan durasi deteksi obat dalam urin: Tabel. 2 Obat
Durasi Deteksi dalam Urin
Amfetamin dan
1-2 hari
metamfetamin Barbiturat
1-3 hari
Benzodiazepin
Sampai 21 hari
Kanabinoid
Sampai 60 hari
Kokain
1-3 hari
Methadon
1-3 hari
Opiat
1-3 hari (Lum 2006)
Pada pemeriksaan dengan metode immunoassay dapat menyebabkan positif palsu karena reaksi silang dengan substansi lain. Berbagai substansi yang dapat menyebabkan reaksi silang pada pemeriksaan skrining disampaikan pada tabel berikut: Jenis Obat Opiat Phencyclidine
Faktor Pengganggu Quinolon (levofloxacin, ofloxacin) Antidepresan venlafaxine, dextromethorphan, dyphenhydramin, Ibuprofen
Methadon THC
Antipsikotik atipik quetiapin Antiretroviral efaviren, proton inhibitor (pantoprazole)
Amfetamin
Pil diet (clobenzorex), promethazin, imetamphetamin (otc nasal inhaler), pseudoephedrin, ranitidin, thioridazin
Benzodiazepin
Oxaprozin, sertraline (zoloft)
2) Rapid Test Dalam pemeriksaan narkoba ada beberapa cara salah satunya dengan menggunakan Rapid Test. Rapid Test ini menggunakan Strip/Stick Test dan Card Test. a. Strip/Stick Test Dalam pemeriksaan Strip/Stick Test tersebut ada yang menggunakan 3 parameter yaitu Amphetamine (AMP), Marijuana
(THC),
Morphine
(MOP),
dan
ada
yang
menggunakan 6 parameter yaitu Amphetamine (AMP), Methamphetamine
(METH),
Cocaine
(COC),
Morphine
(MOP), Marijuana (THC), dan Benzidiazephine (BZO). Dengan sampel urin teknik ini memiliki sensitivitas sesuai dengan standard Nasional Institute on Drug Abuse (NIDA, sekarang SAMHSA), dan dengan spesifisitas 99,7%. Jika pada pemeriksaan Strip/Stick Test ini menggunakan metode imunokromatografi kompetitif kualitif yang ditandai
hasil positif dengan terbentuk hanya 1 garis yaitu pada area control, dan hasil negative dengan terbentuk 2 garis yaitu pada area control dan test, dan invalid apabila terbentuk garis pada test atau garis tidak terbentuk sama sekali. Perlu diingat untuk pemeriksaan ini, pembacaan hasil harus dilakukan saat 5 menit dan tidak boleh melebihi 10 menit karena akan terbentuk hasil yang positif palsu. b. Card Test Card Test ini sama dilakukan seperti Strip/Stick Test yang sudah dijelaskan sebelumnya. Yang membedakan, jika Strip/Stick Test ini dicelupkan pada wadah yang sudah diisi dengan urin, sedangkan pada Card Test ini urin yang diteteskan pada zona sample sekitar 3-4 tetes urin. 3) Tes Darah Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti Strip/Stick dan Card Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena biasanya
pemakaian
narkoba
dalam
jangka
panjang
dapat
menyebabkan terjadinya hepatomegali. (Reisfield GM, 2009) 4) Pemeriksaan EKG EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan AV block dapat terjadi pada pasien yang keracunan α agonis, antiaritmia, β blocker, calcium channel blocker, obat kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat), glikosida
jantung, litium,
magnesium, atau trisiklik antidepresan. Pemanjangan QRS dan interval QT dapat disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat membran aktif.
C. Jelaskan Kasus Apa Yang Kemungkinan Pada Pasien Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Misalnya bila ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada, aritmia yang mengancam nyawa orang dewasa yang menunjukkan gejala klinis di lingkungan yang mengandung bahan kimia, tingkah laku aneh atau kelainan neurologis dengan kausa yang sulit diketahui. Pada simtomalogi opiat, tanda dan gejala yang sering ditemukan antara lain: koma, depresi pernapasan, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat). Melihat dari tabel toksidroma, gejala klinis di atas masuk pada golongan obat opiat. Sindrom Opiate hipnotik sedatif
Penyebab – penyebab umum
Gejala gejala / TTV
menurun,
koma, Narkotik,
depresi pernapasan, miosis, barbiturat, hipotensi, penurunan
benzodiazepin, etanol,
klodinin,
bradikardi, metaqualon bising
usus,
edema pulmonal
Jadi, kasus yang terjadi pada pasien adalah keracunan obat opioid (overdosis). D. Jelaskan Patofisiologi Kasus Tersebut Dalam Bentuk Pathway (terlampir)
Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan visceral. Didalam susunan saraf pusat opioid berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus, talamus, hipotalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medulla oblongata dan medulla spinalis. Didalam sistem saraf visceral opioid bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi Dalam overodosis opioid respirasi akan sangat tertekan pada tingkat serendah-rendahnya 2-4 per menit. Ketika ada konsentrasi tinggi obat di medulla dan batang otak, ada penurunan sensitivitas pusat pernafasan otak untuk peningkatan karbon dioksida, dan di medulla ada depresi irama pernafasan. Depresi pernafasan disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah injeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi sub kutan atau intramuskular. Respirasi kembali normal dalam 2-3 jam. Depresi pernafasan dengan overdosis akut akan lebih parah ketika disertai dengan hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin. Hipotensi biasanya terjadi pada tahap akhir keracunan dan akibat dari hipoksia. Pada kasus overdosis opioid biasanya mengalami pengecilan pada pupil yang disebut juga miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westtphal N.III. Namun juga terdapat pada beberapa kasus overdosis pupil tidak dapat mengecil hal ini dikarenakan adanya perubahan asfiksia akibat penurunan pertukaran oksigen paru. (Pratiwi & Suharman, 2014) E. Susun Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul Beserta Intervensinya. Urutkan Sesuai Prioritas dan Rasionalisasi dari Setiap Intervensi yang Disusun I. ANALISA DATA NO 1.
HARI/T
DATA FOKUS
GL Selasa, 13
DO : -
Novemb er 2018
Frekuensi
nafas
klien 12x/menit -
Nafas dangkal
ETIOLOGI
MASALAH
Depresi
Ketidakefektifan
pusat
pola
pernafasan
(00032)
nafas
TTD
2.
Selasa, 13
DO : -
Kulit
Novemb er 2018
Hipoksia
perfusi jaringan
pasien
perifer (00204)
dingin -
Akral
Ketidakefekifan
pasien
teraba dingin -
Terlihat sianosis
-
Frekuensi
nafas
12x/menit
dan
dangkal
3.
Selasa,
DO :
13
-
Novemb er 2018
Takikardi (108x/menit)
-
Perubahan
Penurunan curah
frekuensi
jantung (00029)
jantung
Hipotensi (100/70 mmHg)
-
Sianosis
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN a.
Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan Depresi pusat pernafasan
b.
Ketidakefekifan perfusi jaringan perifer (00204) berhubungan dengan Hipoksia
c.
Penurunan curah jantung (00029) berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung.
III. PERENCANAAN KEPERAWATAN NO
HARI/TGL
1
Selasa,
DX.KEP
13 Ketidakefekti
TUJUAN Setelah
INTERVENSI
dilakukan a. Manajemen
November
fan pola nafas tindakan
Jalan
2018
(00032)
(3140)
b.d keperawatan
Depresi pusat selama 3x24 jam, pernafasan
-
Nafas
Posisikan
diharapkan
pasien
ketidakefektifan
memaksimalk
pola
an ventilasi
nafas
dapat
klien
berkurang
dengan
-
kriteria
untuk
Identifikasi kebutuhan
hasil :
aktual/
a. Status
potensial
-
Pernafasan
pasien
(0415)
memasukan
Frekuensi
alat membuka
pernafasan
jalan nafas -
(041501) klien
-
dari
Masukan alat nasopharynge
deviasi berat
al
menjadi
(NPA)
ringan
oropharyngea
Irama
l
pernafasan
sebagiamana
(041502)
mestinya
klien
-
untuk
dari
-
airway atau
(OPA),
Lakukan
deviasi berat
fisioterapi
menjadi
dada,
ringan
sebagaimana
Kedalaman
mestinya
inspirasi
-
Auskultasi
(041503) dari
suara
nafas,
deviasi cukup
catat
area
TTD
-
berat menjadi
yang
ringan
ventilasinya
Kepatenan
menurun atau
jalan
nafas
tidak ada dan
(041532) dari
adanya suara
deviasi cukup
tambahan
berat menjadi
-
ringan
pengobatan
b. Status
aerosol,
Pernafasan:
sebagaimana
Pertukaran Gas
mestinya
(0402) -
b. Monitor
Saturasi
Pernafasan
oksigen
(3350)
(040211) dari
-
kecepatan,
ke
irama,
deviasi
Klien
kedalaman dan kesulitan
yang
bernafas
mengalami sianois
-
Monitor
deviasi berat
normal -
Kelola
dari
-
Monitor pola
deviasi cukup
nafas
berat menjadi
(misalnya.,
normal
bradipneu,
Klien
yang
takipneu,
mengalami
hiperventilasi,
penurunan
pernafasan
kesadaran dari
kusmaul,
deviasi berat
pernafasan
menjadi
1:1, apneustik
ringan
respirasi biot, dan ataxic)
pola
-
Auskultasi suara
nafas,
catat
area
dimana terjadi penurunan atau
tidak
adanya ventilasi
dan
keberadaan suara
nafas
tambahan -
Auskultasi suara
nafas
setelah tindakan, untuk dicatat -
Catat perubahan saturasi
O2,
volum
tidal
akhir
CO2,
dan perubahan nilai
analisa
gas
darah
dengan tepat -
Monitor secara
ketat
pasien-pasien yang beresiko tinggi mengalami gangguan respirasi
(opioid) 2.
Selasa,
13 Ketidakefekif
Setelah
dilakukan Manajemen
November
an
perfusi tindakan
2018
jaringan
keperawatan
perifer
selama 3x24 jam,
(00204) Hipoksia
syok
(4250 ) -
Monitor tanda-
b.d diharapkan
tanda
vital, tekanan
ketidakefektifan
darah,
perfusi
jaringan
status mental
perifer
dapat
-
dan
Monitor
berkurang dengan
tekanan
kriteria hasil :
oksimetri
a. Perfusi
sesuai
Jaringan
:
Perifer (0407)
kebutuhan -
- Suhu kulit
Berikan oksigen/
pada
ventilasi
ekstremitas
mekanik
dari deviasi
sesuai
cukup berat
kebutuhan -
menjadi
Ambil
normal
darah
normal
dan
- Pengisian
arteri monitor
oksigenasi
kapiler
jaringan
pada ujung kaki
gas
-
dan
Berikan cairan IV
kristaloid
tangan dari
dan
deviasi
sesuai
berat
kebutuhan
menjadi
-
koloid
Monitor EKG
normal
sesuai
normal
kebutuhan
- Tekanan
darah klien dari deviasi sedang menjadi normal b. Status Sirkulasi (0410) -
Saturasi oksigen dari deviasi berat menjadi normal
-
Capillary refill time klien dari deviasi cukup berat menjadi normal
-
Tingkat kesadaran berubah dari berat menjadi ringan
3.
Selasa,
13 Penurunan
Setelah
dilakukan Pengaturan
November
Curah
tindakan
hemodinamik
2018
Jantung
keperawatan
(4150)
(00029)
b.d selama 3x24 jam,
-
Monitor
dan
Perubahan
diharapkan
catat tekanan
Frekuensi
penurunan
curah
darah , denyut
Jantung
jantung
dapat
jantung,
berkurang dengan
irama,
kriteria hasil:
denyut nadi
a. Keefektifan
-
jantung,
Jantung
indeks
(0400):
kardiak, indeks
Tekanan
dan
sistol
kerja
stroke
diastol
naik menjadi
ventrikuler -
Monitor
normal
pengisian
Sianosis pada
kapiler, warna
kulit hilang
ekstermitas, suhu,
b. Status
(0401):
-
Tekanan nadi turun menjadi
dan
adanya edema
Sirkulasi -
Monitor curah
Pompa
darah
-
-
dan
Tinggikan kepala
-
Berikan obat
normal
inotropik
-
PaCO2 turun
positif
-
Saturasi
obat
oksigen
kontraktilitas
normal
-
dan
Berikan obat vasodilator atau vasokonstrikt or
-
Jaga keseimbangan cairan dengan
emberian
IV
atau diuretik. Manajemen asam basa (1910) -
Ambil spesimen darah
untuk
mendapatkan keseimbangan asam
basa
(AGD) -
Monitor AGD
F. Rasionalisasai intervensi No 1.
Diagnosa
Rasionalisasi
Intervensi
keperawatan
- Agar jalan nafas pasien
Ketidakefektifan Manajemen Jalan Nafas pola
nafas (3140)
(00032)
b.d
Depresi
pusat
-
pernafasan
tidak terganggu
Posisikan
- Supaya
pasien
dapat
untuk
memberikan alat bantuan
memaksimalkan
nafas yang tepat
ventilasi -
Identifikasi kebutuhan
aktual/ -
Agar dapat mengelola
potensial
pasien
kepatenan jalan nafas
untuk
memasukan
alat membuka jalan nafas -
Masukan
alat
-
apakah
nasopharyngeal
mengetahui ada
suara
tambahan pada nafas
airway (NPA) atau
klien
oropharyngeal (OPA), sebagiamana
Untuk
-
Agar pasien diberikan
mestinya -
obat sesuai dosis (misal
Lakukan dada,
nalorphine)
fisioterapi
sebagaimana -
mestinya -
Untuk memantau proses pernafasan pada klien
Auskultasi
suara
nafas, catat area yang -
ventilasinya
Agar dapat memantau
menurun atau tidak
perkembangan kelainan
ada dan adanya suara
pola nafas
tambahan -
Kelola
pengobatan
aerosol, sebagaimana mestinya Monitor
Pernafasan
(3350) -
Monitor
kecepatan,
irama,
kedalaman
dan
-
yang masih mengalami
kesulitan
penurunan
bernafas -
Monitor pola nafas (misalnya.,
-
apneustik
1:1, respirasi
biot, dan pola ataxic) -
Auskultasi nafas,
catat
dimana
suara area terjadi
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan keberadaan
suara
Agar dapat di tangani tenaga medis kembali apabila ada yang turun/
hiperventilasi,
pernafasan
atau tidak
ada ventilasi suara nafas
bradipneu, takipneu,
pernafasan kusmaul,
Untuk memantau bagian
naik -
Untuk
memantau
pasien-pasien beresiko
agar
yang segera
ditangani tenaga medis
nafas tambahan -
Auskultasi
suara
nafas
setelah
tindakan,
untuk
dicatat -
Catat
perubahan
saturasi O2, volum tidal akhir CO2, dan perubahan analisa
nilai
gas
darah
dengan tepat -
Monitor secara ketat pasien-pasien beresiko
yang tinggi
mengalami gangguan respirasi 2.
Ketidakefekifan perfusi jaringan
Manajemen syok (4250 ) -
- Mengetahui
dan
Monitor tanda- tanda
mengupayakan
perifer (00204)
vital, tekanan darah,
klien tetap stabil
b.d Hipoksia
dan status mental -
Monitor
tekanan
oksimetri
sesuai
darah
pasien suplai
oksigen agar pernfasan
ventilasi
mekanik
klien adekuat
Ambil
gas
darah
oksigenasi jaringan
- Mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan pH darah - Memenuhi
kebutuhan
Berikan cairan IV
cairan klien agar tidak
kristaloid dan koloid
dehidrasi
sesuai kebutuhan -
dalam
oksigen/
arteri dan monitor
-
oksigen
kadar
Berikan
sesuai kebutuhan -
- Mengetahui
- Mendukung
kebutuhan -
TTV
Monitor EKG sesuai
- Mengukur aktivitas listrik jantung
apakah
ada
kebutuhan
kelainan atau tidak - Memantau
perubahan
pada warna kulit dan suhu kulit Memantau sirkulasi dengan melihat perubahan warna kulit 3.
Penurunan Curah
Pengaturan hemodinamik
-
Jantung (4150)
(00029)
b.d
-
mengetahui perubahan tekanan darah, denyut
Monitor dan catat
jantung, irama, dan
Perubahan
tekanan
nadi
Frekuensi
denyut
Jantung
irama, dan denyut
jantung,
nadi
kardiak, indeks kerja
-
darah
,
jantung,
Monitor
curah
jantung,
indeks
kardiak, indeks kerja
-
-
mengetahui
curah indeks
stroke ventrikuler dan perubahannya -
mengetahui
perfusi
stroke ventrikuler
aliran darah di bagian
Monitor
pengisian
ekstermitas
kapiler,
warna
ekstermitas,
-
suhu,
melancarkan ke
bagian
dan adanya edema
ekstermitas
atau
-
Tinggikan kepala
bagian yang jauh dari
-
Berikan
jantung
obat
inotropik positif dan
-
-
untuk
meningkatkan
obat kontraktilitas
kekuatan
Berikan
otot jantung
obat -
vasokonstriktor -
darah
aliran
Jaga
emberian
cara
dengan IV
pembuluh
atau
kontriksi darah
perifer
diuretik. Manajemen asam basa
meningkatkan
tekanan darah dengan
keseimbangan
cairan
untuk
kontraksi
-
untuk
memenuhi
(1910) -
Ambil
cairan
-
tidak
terjadi dehidrasi atau
spesimen
darah
agar
syok.
untuk
Pemberian
mendapatkan
diuretik
untuk
keseimbangan asam
menjaga
basa (AGD)
keseimbangan cairan
Monitor AGD
agar
tidak
terjadi
edema -
untuk
mengetahui
adanya asidosis atau alkalosis -
untuk
mengontrol
oksigen, karbondioksida, PH dalam darah
dan
Daftar Pustaka Amin, Z. P. (2006). Gagal Napas Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. . Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Aprilia, M. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun. CDK-233 vol. 42 no. 10, 780-786. Aprilia, M., & Wreksoalmojo, B. R. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun. Jakarta: Universitas Atmajaya. AS Fauci, K. D. (2000). Prinsi Prinsi Penyakit dalam Volume 1 Edisi 13. Jakarta: EGC. Clarmann, M. (1987). Klinisch-toxikologische gische Analytik - gegenwaertiger Stand der Forderung fuer die Zukunft. Dasgupta. (2007). The Effects of Adulterants and Selected IngestedCompounds on DrugsofAbuse Testing in Urine. Am J Clin Pathol, 128:491-503. Fauci, A., Kasper, D., & Longo, D. (2000). Harisson, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13 ed., Vol. 1). (A. H. Asdie, Trans.) Jakarta: EGC. Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 178-182. Hudak, C. (1996). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC. James, T. W., Jay, N. C., & Hein, J. W. (2007). Cardiovascular Medicine. London: SpringerVerlag. Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI. Martono, L. H. (2008). Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarga. Jakarta: Balai Pustaka. Melati, A. C., Sari, A. P., C. L., & F. R. (2016). OPIOID dalam Praktik Anastesia dan Terapi Intensif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestologi dan Terapi Intensif Indonesia. Mutakin, A. (2007). Medikal bedah, Askep dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, A. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskular: Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika. Rampengan, S. H. (2014). Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: FKUI. Reisfield GM, G. B. (2009). 'False-positive’ and ‘false-negative’ test resultsin clinical urine drug testing. Bioanalysis, 937–952. Rollins. (2014). Pupillary Effects of High-dose Opioid Quantified with Infrared Pupillometry. Anesthesiology V 121 • No 5, 1037-1044. Safitrih, L. (2015). Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Silbernagl, S., & Lang, F. (2003). Teks dan Altas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC. Trihono, P. d. (2012). Kegawatan pada Bayi dan Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.