Mengingat Orang Tua Di Hari Pendidikan

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mengingat Orang Tua Di Hari Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 1,248
  • Pages: 4
Mengingat Orang Tua di Hari Pendidikan Bagikan 03 Mei 2009 jam 10:46 Di hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2009 ini, saya ingin menulis hal yang sangat sederhana. Yaitu tentang pendidikan yang diberikan oleh orang tua, sejak ketika saya masih kecil hingga dewasa. Orang tua saya bukan orang yang pernah belajar tentang ilmu pendidikan, apalagi lulus fakultas ilmu pendidikian atau Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam. Ayah hanya, menurut cerita yang pernah saya terima, hanya pernah belajar di Pondok Pesantren, dan juga tidak terlalu lama. Sekalipun tidak pernah belajar ilmu pendidikan, saya merasakan sepertinya beliau mengerti tentang ilmu tersebut. Sudah barang tentu pendidikan yang saya maksudkan di sini bukan ilmu pendidikan sebagaimana diajarkan di fakultas ilmu pendidikan seperti misalnya tentang pemikiran para ahli pendidikan, filsafat pendidikan, ilmu jiwa pendidikan, proses belajar mengajar, manajemen pendidikan, evaluasi pendidikan hingga inovasi pendidikan dan seterusnya. Bukan itu semua, tetapi yang saya maksudkan adalah bagaimana ayah saya memberikan sentuhan-sentuhan terhadap pikiran, perasaan, dan hati hingga seseorang tumbuh dan berkembang cita-citanya, pikirannya, semangat hidup, rasa bertanggung jawab, jujur, kesadaran peduli sesama, keberanian dan seterusnya. Ayah saya dalam mendidik, biasanya antara lain melalui ceritera para nabi, sahabat, para pejuang Islam dan orang-orang sholeh, yang hal itu diberikan di mana dan kapan saja tatkala ada waktu atau kesempatan. Misalnya, ketika duduk bersama di rumah setelah pulang dari masjid sholat isya’ berjama’ah. Dengan didengarkan oleh para anak-anaknya, ayah menceriterakan berbagai kisah itu. Kadang juga ketika bepergian, beliau mengajak saya memperhatikan tempat atau hal penting terkait dengan karya-karya atau peristiwa sejarah yang beliau ketahui. Ayah senang sekali menceritakan tentang tokoh-tokoh pejuang yang ia kenal. Orang tua saya yang tidak begitu lama belajar di pesantren, meyakini betapa pentingnya budi pekerti atau akhlak seseorang. Berulang-ulang kali, dan bahkan hampir setiap ada kesempatan, beliau mengingatkan

tentang betapa pentingnya akhlak ini, Jika seseorang akhlaknya jelek, kata beliau, maka akan dijauhi oleh siapapun. Saya masih ingat, beliau mengumpamakan dengan kalimat sederhana. Jangankan orang, binatang seperti ayam, kambing, sapi saja tidak mau didekati oleh orang yang suka berbuat tidak baik. Beliau memberi contoh sederhana, tentang perilaku kucing. Kucing saja ternyata bisa membedakan antara orang baik yang biasa memberi kasih sayang kepadanya, dan orang yang suka mengganggu. Terhadap orang yang terbiasa memberi makanan, kucing akan selalu berusaha mendekat, dan sebaliknya terhadap orang yang suka menganggu, kucing akan segera lari kencang menghindar tatkala ketemu. Hal sederhana lainnya terkait dengan pendidikan yang diberikan oleh ayah adalah kebiasaannya bertanya. Sampai menjelang umur 60 tahun ini saya selalu ingat, bagaimana ayah selalu bertanya jika saya mendapatkan sesuatu. Beliau selalu menanyakan dari mana barang itu diperoleh, harus jelas. Selain itu juga selalu bertanya tentang halal atau haram barang itu. Sebagai seorang muslim, kata ayah saya, harus hati-hati menjaganya. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah, jika orang tersebut memakan makanan yang tidak halal. Begitu juga jika seseorang mengkonsumsi barang haram, menempati tempat yang tidak semestinya, ----haram, dan juga pakaian yang dikenakan diperoleh tidak halal, maka ibadah seseorang tidak akan diterima. Orang tua yang hidup di pedesaan, sedemikian hati-hati dalam hal yang terkait dengan halal dan haram ini. Kebiasaan ayah, terkait dengan kesukaannya bertanya tentang halal dan haram terhadap apa saja yang diperoleh oleh anak-anaknya, tidak saja dilakukan ketika saya masih kecil, hidup bersamanya di desa, tetapi bahkan ketika saya sudah dewasa dan berumah tangga sendiri pun masih sempat dilakukannya. Saya tidak pernah melupakan reaksi ayah tatkala mendengar bahwa saya baru membeli sepeda motor baru pada pertengahan tahun 1980 an. Beliau bukannya gembira mendengar informasi itu, tetapi justru sangat terkejut, dan berhari-hari memikirkan dari mana saya bisa membeli barang yang menurut hitungannya tidak mungkin saya lakukan. Memang saya pernah melapor bahwa gaji dosen, sekalipun namanya melangit, -----apalagi bagi orang desa, tidak seberapa banyak, sama dengan gaji pegawai negeri pada umumnya, ---- hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap bulannya.

Mendengar informasi bahwa saya telah membeli sepeda motor tersebut, beberapa hari ayah justru gelisah memikirkan tentang asal uang yang saya gunakan membeli kendaraan roda dua tersebut. Agar kegelisahannya segera terjawab, sekalipun sudah sore hari, beliau nekat pergi berangkat ke Malang. Saat itu, bepergian dari desa di Trenggalek ke Malang, naik kendaraan umum, yaitu bus dan harus sambung menyambung, memerlukan waktu yang lama. Berangkat dari rumah sekitar jam dua siang, nyampai di terminal bus Malang sudah jam 11 malam. Nyampai di terminal itu sudah tidak ada lagi angkutan kota, ke Dinoyo, yang berjarak sekitar 7 km. Terpaksa, tanpa ada yang menemaninya, beliau berjalan kaki di malam hari itu dan nyampai di rumah sekitar jam 01.00 malam. Peristiwa itu tidak pernah bisa saya lupakan. Di tengah malam, terdengar ada orang mengetuk pintu. Setelah saya buka, ternyata ayah saya sendiri yang datang. Beliau yang sudah berumur di atas 60 tahun, tampak kelelahan setelah berjalan kaki sekitar dua jam sendirian di malam hari. Saya segera menanyakan, apa maksud kedatangannya di malam hari itu. Sebelum berkenan menjawab pertanyaan saya itu, beliau meminta dibuatkan kopi dulu dan sebentar duduk istirahat melepas kelelahannya. Baru setelah meminum kopi, ayah menceritakan maksud kedatangannya. Bahwa beberapa hari, beliau tidak bisa tidur nyenyak, disebabkan mendengar informasi bahwa saya baru membeli sepeda motor baru. Beliau datang hanya ingin mengetahui, dari mana sesungguhnya uang yang saya gunakan untuk membayar sepeda motor baru tersebut. Agar ayah segera lega, saya segera menjelaskan bahwa sepeda motor tersebut saya beli dengan cara mengangsur ke Bank dengan agunan berupa ijazah dan SK sebagai PNS. Saya tunjukkan sepeda motor dimaksud, berikut dokumen pinjaman dan pembayaran yang harus saya lakukan pada setiap bulannya. Mendengar penjelasan saya di tengah malam itu, ayah langsung tidak henti-hentinya mengucapkan kalimah alhamdulillah, sebagai rasa syukur. Beliau menjadi mengerti dan yakin bahwa saya tidak menggunakan uang yang tidak semestinya. Selanjutnya, segera beliau ingin istirahat, tidur dan berpesan agar setelah sholat subuh diantar ke terminal bus, ingin kembali pulang ke desa, setelah mendapatkan kejelasan terhadap hal yang beberapa hari dipikirkannya.

Cerita sederhana dan bahkan sangat sepele yang masih saya ingat ini, saya rasakan betapa pentingnya diungkap di hari pendidikan nasional ini. Saya menganggapnya penting, terkait dengan kondisi kehidupan bangsa ini, baik pada skala kecil maupun besar. Bangsa ini sedang membutuhkan model pendidikan yang tepat. Beberapa tahun terakhir ini, banyak pihak merasa gelisah oleh karena sulitnya mendapatkan orang-orang yang jujur, tidak saja di level bawah di kalangan rakyat biasa, tetapi juga di level atas yakni para pejabat pemerintah. Keharusan adanya gerakan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri ini, sesungguhnya sangat terkait dengan persoalan terbatasnya orang-orang yang menyandang kejujuran itu. Selanjutnya membicarakan kejujuran juga sangat erat kaitannya dengan pendidikan, baik pendidikan yang diberikan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Saya merasakan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di lingkungan keluarga yang sangat sederhana sekalipun, ternyata saya rasakan sedemikian mendalamnya. Pendidikan semacam itu, di alam modern sebagaimana yang kita alami saat ini, mungkin sudah banyak dilupakan orang. Orang sekarang lebih mengedepankan kekuatan rasio atau akalnya. Padahal sentuhan-sentuhan nurani dari orang tua yang diberikan di lingkungan keluarga, justru sangat penting, sebagai bagian penting pendidikan yang tidak boleh diabaikan. Kebanyakan orang tua di pedesaan, sebagaimana orang tua saya sendiri melakukannya, dengan berpegangkan pengetahuan yang diperoleh dari al Qur’an dan juga sejarah Nabi, maupun orang-orang sholeh lainnya, mereka melakukan pembiasaan dan juga ketauladanan pada anak-anaknya, termasuk membiasakan bertanya, tentang halal dan atau haram terhadap apa saja yang diperolehnya. Gambaran inilah yang selalu saya sebut sebagai bagian dari pendidikan Islam, yang sedemikian indahnya. Hanya sayangnya, karena sibuk atau lupa, hal sederhana, ------namun sesungguhnya amat penting, akhir-akhir ini kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Akibatnya, tidak saja kenakalan remaja yang terjadi, bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme pun, sesungguhnya berawal dari pendidikan yang kurang tepat dan juga kurang memadai. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from ""