Mengatasi Keterbatasan Dan Bagikan 02 April 2009 jam 12:05 Problem klasik yang selalu muncul dalam pengembangan pendidikan adalah soal keterbatasan dana yang tersedia. Demikian pula pada awal pengembangan STAIN Malang yang dimulai pada awal tahun 1998. Dana yang tersedia ketika itu amat kecil. STAIN Malang sebagai lembaga baru setelah berpisah dari induknya, IAIN Surabaya, belum disersediakan dana secara memadai. Anggaran yang digunakan untuk menjalankan kegiatan sehari-hari hanya mencukupkan dari sumber yang datang dari pemerintah. Sedangkan pemerintah sendiri, ketika itu lagi mengalami krisis, sedang terjadi proses perubahan pemerintahan dari kekuasaan Orde Baru ke Pemerintahan baru, yang selanjutnya dipimpin oleh Presiden B.J.Habibie. Perubahan pemerintahan ketika itu terasa sekali, sebagai bentuk penyempurna keruwetan memimpin lembaga baru oleh karena tanpa tersedia dana yang memadai. Memimpin lembaga pendidikan yang masih baru, dalam keadaan dana tidak tersedia ditambah harus mendampingi mahasiswa yang sehari-hari ikut demo, menentang pemerintahan Orde Baru terasakan cukup berat. Ketika itu keberadaan STAIN belum dianggap sebagai lembaga yang diperhitungkan oleh pemerintah sendiri. Modal utama menggerakkan birokrasi kampus hanya sebatas suasana kegembiraan -----walaupun tidak semuanya, menyanmbut perubahan sebagai lembaga yang mandiri. Saya masih ingat persis, ketika memulai memimpin kampus ini, anggaran dari pemerintah pusat berupa DIK (Daftar Isian Kegiatan) hanya sebesar Rp.173 juta rupiah untuk satu tahun. Sebagai bandingan IAIN Sunan Ampel Surabaya kabarnya ketika itu sudah memiliki DIK ----sekitar 4 milyard rupiah. Terasa benar, hal itu sebagai sebuah perbandingan yang benar-benar tidak sebanding. Tetapi bisa dimengerti, sebab sebagaimana dikemukakan di muka, STAIN pada umumnya memang belum dianggap penting dan diperhitungkan. Mungkin pemerintah, yakni Departemen Agama, mengambil sikap terhadap lembaga yang baru saja dimandirikan tersebut seperti itu karena memang belum siap hingga penyediaan dananya. Dana dari pemerintah, berapapun jumlahnya saya anggap bukan menjadi sumber masalah. Saya mengajak seluruh dosen dan karyawan meyakini bahwa dalam membangun dan memajukan lembaga pendidikan, factor dana bukan segala-galanya. Saya selalu mengatakan bahwa modal yang lebih utama adalah kebersamaan, tekat, cita-cita, niat, semangat untuk berbuat yang diikuti oleh kesediaan berkorban. Itu semua jauh lebih penting dan menentukan daripada hanya sebatas ketersediaan dana. Modal semangat dan
optimisme itu selalu saya kobarkan agar dimiliki bersama. Sebagai upaya mengembangkan semangat itu, cita-cita dan tekat bersama mengembangkan kampus, beberapa dosen saya minta melakukan studi banding ke beberapa perguruan tinggi yang sudah dikenal maju. Saya pilihkan sasaran studi banding itu ke beberapa perguruan tinggi swasta non muslim. Saya mengetahui, bahwa perguruan tingi swasta soal pendanaan tidak pernah menggantungkan dari pemerintah, biasanya bermodalkan dari usaha sendiri. Sengaja pilihan ke perguruan tinggi non muslim dengan maksud agar tumbuh suasana iri terhadap kemajuan agama lain. Saya melarang mereka datang ke perguruan tinggi Islam agar tidak tumbuh rasa puas, karena sudah setara, yakni setara sama-sama tidak maju. Mereka datang ke beberapa perguruan tinggi, yaitu ke Universitas Kristen Petra Surabaya, Universitas Katholik Widya Mandala, Universitas Satya Wacana Solotiga, Universitas Parahyangan Bandung, UKI, Universitas Atma Jaya dan lain-lain. Hasilnya cukup menggembirakan. Beberapa hari sepulang mereka dari studi banding, mereka menjadi sangat bersemangat ingin mengembangkan STAIN Malang, tidak saja bertahan hidup tetapi ingin maju dan berkembang. Dengan semangat itu, sekalipun mereka mengetahui bahwa STAIN Malang ketika itu tidak memiliki dana, mereka bekerja keras dan bersatu ingin meniru kebesaran perguruan tingi non Islam yang telah dikunjunginya. Dengan semangat kerja dan berjuang yang amat tinggi itu, mereka tampaknya lupa jika saat itu tidak punya uang. Mereka seolah-olah yakin bahwa bekerja tanpa uang pun bisa dijalankan. Memimpin orang yang lagi memiliki cita-cita, tekat dan semangat berjuang dan berkorban, ketika itu memang terasa mudah. Yang saya lakukan waktu itu adalah hanya meyakinkan agar semua warga kampus mau bekerja keras, ikhlas dan sabar, menjaga semangat berkorban, meyakini bahwa kampus ini bisa maju jika ditopang oleh kesatuan dan persatuan, dan kesediaan untuk berkorban. Saya selalu mengatakan bahwa dalam sejarah perjuangan apa saja, asal semua yang terlibat masih memiliki jiwa berjuang dan sekaligus kesediaan berkorban, akan mendapatkan hasil. Mental pejuang selalu saya tanamkan, dan sebaliknya mental sebagai broker, syimsaroh atau makelaran saya ajak untuk dibenci dan dihindari jauh-jauh. Saya juga menyebut tim yang baru melakukan studi banding ke beberapa perguruan tinggi swasta non muslim, sebagai kelompok ummatan washathan yakni kelompok tengah. Sebutan yang saya ambil dari al Qur’an itu saya maknai sebagai umat yang ditengah-tengah atau jika mengikuti istilah permainan sepak bola adalah pemain inti. Mereka yang berada di kelompok menengah itulah sebagai penentu permainan. Bahwa keindahan dan juga kemenangan selalu tergantung
pada kelompok inti ini. , Tugas saya ketika itu lebih banyak membangun citra ke luar, terutama ke Departemen Agama sebagai institusi Pembina perguruan Tinggi Agama Islam, termasuk STAIN. Saya selalu meyakinkan bahwa STAIN Malang telah memiliki kekuatan dan program-program unggulan. Salah satu yang dilakukan adalah pengembangan Program Bahasa Arab. Saya meyakinkan bahwa tanpa penguasaan Bahasa Arab, studi Islam di perguruan tinggi Islam tidak ada apa-apanya. Studi Islam selalu bersumber pada kitab suci Al Qur’an dan juga Hadits Nabi. Kitab itu termasuk literature lainnya menggunakan Bahasa Arab. Karena itu, tanpa penguasaan Bahasa Arab tidak akan mungkin mata kuliah tafsir, hadits, fiqh, dan lain-lain pada tingkat pendidikan tinggi bisa berjalan. Kalau pun toh bisa berjalan hanya asal-asalan. Saya tunjukkan, banyak lulusan perguruan tinggi agama Islam sesungguhnya kualitasnya jauh di bawah standar. Sudah banyak orang yang merasa prihatin dengan lulusan PTAIN. Itu semua disebabkan oleh karena mereka (lulusan itu) tidak menguasai bahasa al Qur’an ini. Saya katakan berkali-kali ke Departemen Agama bahwa keprihatinan itu sesungguhnya sudah lama dirasakan oleh Prof. Mukti Ali, ketika beliau menjabat Menteri Agama. Tetapi belum ada langkah-langkah strategis untuk mengatasinya. Saya yakinkan pada Departemen Agama bahwa STAIN Malang sudah menemukan pendekatan yang strategis dan tepat. Hampir setiap minggu saya pergi ke Jakarta menemui para pejabat Departemen Agama. Hal itu saya lakukan berulang-ulang, tidak pernah bosan dan lelah, agar apa yang saya kemukakan mendapat perhatian. Karena keterbatasan dana, saya ke Jakarta bolak balik tidak pernah naik pesawat terbang. Saya selalu memilih naik kereta api. Memang memakan waktu lama, tetapi murah. Tidak mungkin ketika itu sebagai Ketua STAIN berkali-kali ke Jakarta mampu membeli tiket pesawat terbang. Naik kereta api pun harus memilih klas ekonomi, agar bekal yang sedikit mencukupi. Demikian pula di Jakarta, tidak perlu naik taksi, ongkosnya mahal. Saya selalu harus memilih naik bus kota atau bajae agar murah dan bekal yang sedikit bisa cukup. Usaha-usaha seperti itu ternyata membawa hasil. STAIN Malang dipercaya memiliki program pengembangan Bahasa Arab dan manajemen yang baik. Setidak-tidaknya saya membangun citra atau promosikan seperti itu. Atas dasar kepercayaan itu, maka program penataran pengembangan Bahasa Arab bagi dosen PTAIN/PTAIS dan juga bagi guru-guru madrasah selalu dipercayakan pelaksanaannya kepada STAIN Malang. Selain itu STAIN Malang juga seringkali dipercaya menyelenggarakan penataran tentang manajemen dan kepemimpinan pendidikan bagi Kepala Madrasah. Kepercayaan dari Departemen Agama itu bukan saja memberi peluang bagi STAIN
Malang untuk mendapatkan dana, melainkan juga penting untuk membangun kepercayaan diri atau self confidence bagi para dosennya. Mereka dengan berbagai kegiatan itu merasa sudah maju, penting dan diperhitungkan oleh Departemen Agama. Memang sesungguhnya siapapun akan mengatakan, bahwa STAIN Malang belum maju. Tetapi perasaan maju, penting dan diperhitungkan oleh kalangan luar saya anggap sangat penting, sebagai kekuatan untuk bergerak dan berkembang. Dengan berbagai proyek kegiatan itu, maka sedikit banyak STAIN Malang mendapatkan tambahan dana. Proyek-proyek melaksanakan penataran pengembangan Bahasa Arab dan juga manajemen dan lainnya menghasilkan uang. Namun demikian saya selalu mengingatkan bahwa uang biasanya rentan melahirkan fitnah. Jika hal itu benaR terjadi, justru AKAN mengganggu perjuangan mengembangkan lembaga ini. Oleh karena itu dana harus dikelola secara baik dan transparan, dihindarkan dari lahirnya fitnah antar sesamA. Semangat berjuang jangan sampai surut, hanya karena didapatkan sumber-sumber pendanaan. Oleh karena itu saya mengambil strategi yang disepakati oleh semuanya, bahwa dana yang dihasilkan dari pelaksanaan proyek sebagian besar harus digunakan sebagai modal pengembangan kampus. Setiap honorarium ------sebagai penatar maupun panitia selalu dipotong, kadang potongan itu melebihi 75 % dan bahkan kadang semuanya untuk diserahkan pada pengembangan kampus. Para panitia dan juga penatar biasanya ikhlas dengan suka rela, menyerahkan haknya itu ke Bendahara STAIN Malang. Oleh bagian keuangan dana yang bersumber dari kegiatan itu dicatat rapi dan dilaporkan setiap saat penggunaannya. Pernah STAIN Malang membeli tujuh mobil dinas yang dananya diperoleh dari kegiatan seperti itu. Semangat berjuang yang diikuti oleh kemauan berkorban memang menjadi kekuatan yang luar biasa. Saya sebagai Ketua STAIN Malang, menjadi orang yang paling banyak menanda-tangani kuitansi penerimaan uang. Seolah-olah saya menerima uang sedemikian banyak. Padahal kuantansinya saja saya tanda-tangani, sedangkan uangnya saya kembalikan ke kas Bendahara. Hal semacam itu selalu diketahui oleh semua dosen. Tanda-tangan penerimaan uang selalu diperlukan, sekalipun uangnya tidak diterima, sebagai pertanggungjawaban proyek. Jika ada pemeriksaan dari Irjen, BPKP atau apa saja, dokumen itu ditunjukkan. Tanda-tangan penerimaan uang sebagai honor, menjadikan seolah-olah setiap panitia dan penatar menerima uang. Padahal uang honor itu tidak diterimanya. Dengan strategi seperti itu hadirnya banyak proyek ketika itu, tidak pernah melahirkan persoalan apa-apa, misalnya iri hati karena
sedikitnya honor, merasa tidak dilibatkan, konflik dan seterusnya. Semua tahu bahwa semua kegiatan itu hasilnya digunakan untuk membiayai pengembangan kampus. Mereka mau mengikhlaskan tidak menerima haknya, karena tahu bahwa uang itu benar-benar digunakan untuk membiayai kampus yang memang tidak tersedia dana dari pemerintah. Belajar dari pengalaman itu, saya semakin yakin bahwa sesungguhnya membangun kehidupan ini, ------termasuk institusi pendidikan Islam, bukanlah uang yang menjadi satu-satunya kekuatan agar meraih keberhasilan, melainkan semangat, tekat, cita-cita, kerja keras, dan kesediaan berjuang yang diikuti kemauan berkorban, itu semua adalah kunci keberhasilan. Sayangnya pandangan itu kini telah semakin berubah. Orang lebih mempercayai kekuatan uang. Uang itu memang perlu, tetapi bukan segala-galanya. Belajar dari perjuangan kemerdekaan bangsa ini, sesungguhnya juga sudah jelas. Keberhasilan merebut kemerdekaan dari penjajah dulu, juga bukan karena tersedianya dana, melainkan karena adanya cita-cita dan semangat bekerja dan berkorban yang cukup. Bung Tomo memimpin serbuan di Surabaya dan ternyata berhasil menang, bukan karena tersedianya DIPA tetapi karena semangat berjuang itu. STAIN Malang mulai bangkit ketika itu, awal tahun 1998, juga hanya berbekalkan semangat berjuang dan kesediaan berkorban oleh seluruh warganya. Wallahu a’lam (masih bersambung)