Mengambil Hikmah Kebisingan Pasca Pemilu

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mengambil Hikmah Kebisingan Pasca Pemilu as PDF for free.

More details

  • Words: 825
  • Pages: 3
Mengambil Hikmah Kebisingan Pasca Pemilu Bagikan 24 April 2009 jam 19:29 Selesai pemilu tanggal 9 April 2009 lalu, di tataran masyarakat bawah terasa tidak ada gejolak. Protes tidak puas karena jagonya kalah, ribut karena kesalahan menghitung suara, honor panitia yang tidak mencukupi dan soal-soal lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari, ternyata tidak banyak terjadi. Setidak-tidaknya, saya tidak mendengar persoalan itu. Rakyat, baik yang pilihannya unggul atau yang kalah, ternyata tidak mempersoalkan. Mereka menganggap pelaksanaan itu cukup dan selesai. Termasuk mereka yang tidak mendapat panggilan, karena tidak masuk DPT, juga tenang-tenang saja. Mereka, seolah-olah pemilu legislative selesai, tugas rakyat sudah dirasakan cukup. Berbeda dengan masyarakat tingkat bawah, rupanya pada tataran elitenya justru masih belum seluruhnya menerima. Sementara tokoh masih mempersoalkan tentang banyaknya DPT, sekalipun sesungguhnya belum tentu mereka yang masuk kelompok itu, berpihak pada partainya. Persoalan yang masih tersisa lainnya adalah terkait proses lambatnya mentabulasi dan sistem IT. Selain itu, akhirakhir ini juga ramai dibicarakan soal cawapres dan kualisi. Misalnya, koalisi antara Partai Demokrat dan Golkar. Tentu partai-partai lain juga melakukan hal yang sama, mereka berkumpul dan berembuk mencari dan mengumpulkan dukungan dan kekuatan untuk menghadapi proses kompetisi selanjutnya. Partai Demokrat dan Golkar, lebih serius keduanya memperbincangkan soal siapa yang akan dicalonkan sebagai cawapres. Kiranya hal itu masih terhitung wajar, karena yang dibicarakan sebatas calon wakil dan bukan calon presidennya. Namun sebenarnya, jika kita berpikir jernih, siapa sesungguhnya yang sekiranya wajar berbicara posisi wakil calon presiden. Partai politik pemenang pemilu, ataukah partai kalah tetapi ikut merasa menang? Perbincangan itu, sekalipun wajar, memang agak aneh karena tatkala berkampanye, kedua-duanya misalnya, tampak saling berkompetisi. Melihat suasana berisik dan bising pasca pemilu, saya kadang juga bertanya-tanya, kenapa masyarakat di negeri ini justru terbalik. Pasca

pemilu rakyat justru lebih bisa tenang daripada para elitenya. Biasanya elitelah yang berupaya untuk menenangkan rakyat. Karena yang berisik itu biasanya adalah rakyat. Tetapi kali ini rupanya berbalik, elitenya berisik, sementara justru rakyatnya tenang. Jika rakyat berisik, tentu para elitenya yang sibuk mencari cara dan strategi menenangkan mereka. Akan tetapi, karena yang berisik itu adalah para elite politiknya, maka pertanyaannya, apakah rakyat yang harus menenangkan? Rasanya rakyat tidak begitu lazim mengurus para elite.

Namun saya juga berpikir dari sudut yang agak lain. Jika setelah pemilu kemudian tidak terdengar ada suara berisik, rasanya juga tidak lazim. Hajatan besar, berupa pemilu di sebuah negeri berpenduduk lebih dari 200 juta, lantas tidak ada yang berisik, rasanya juga aneh. Jika masih ada di antara para elite berisik, menjadikan suasana lebih hidup. Pemilu terasa melahirkan getaran-getarannya. Setiap pertandingan olah raga saja, beberapa hari setelahnya masih ada komentar, kontroversi, keluhan-keluhan dan seterusnya. Itu baru pertandingan olah raga. Apalagi, adalah pertandingan sejumlah banyak partai politik, sehingga rasanya tidak wajar jika setelahnya lalu semua diam, tenang, tidak ada persoalan sama sekali. Umpama itu terjadi maka perlu dipertanyakan, apakah benar ketenangan itu oleh karena pemilu telah dilakukan secara sempurna, ataukah karena sebab lain. Jika betul, dan betul-betul sempurna, pertanyaannya adalah, apakah hal itu mungkin bisa terjadi. Fenomena berisik selama ini sebenarnya juga terasa wajar, karena masih sebagaimana pada umumnya sebuah pertandingan. Dalam pertandingan apapun dan pada level apapun pasti ada pihak yang kalah dan juga sebaliknya, ada yang menang. Saling protes dalam pertandingan adalah wajar. Mereka yang memprotes, karena merasa tidak puas, atau merasa dirugikan adalah wajar datang dari pihakpihak yang hasil perolehan suaranya lebih sedikit. Protes itu bukan dari mereka yang menang. Sekali lagi wajar, di mana pun dan kapan pun, pihak yang menang tidak pernah protes. Tetapi justru menjadi wajar karena adalah sebaliknya, yang berisik adalah dari pihak yang kalah. Sehingga, semuanya masih wajar. Ke depan, apapun yang akan terjadi, jika masih berada dalam batasbatas tertentu, sesungguhnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

Proses-proses social di manapun dan kapan pun akan dan selalu terjadi. Semua itu justru akan melahirkan dinamika. Suasana seperti itu akan menjadi lebih hidup dan menggairahkan. Bayangkan, jika kehidupan ini tenang, bagaikan air dalam kolam yang tidak mengalir, semuanya tersumbat. Air itu menjadi tidak sehat. Hal yang sangat berbeda jika air itu terus mengalir dan bergerak, apalagi tampak jernih, maka air itu dipandang saja akan indah dan sehat serta menyehatkan. Dinamika politik yang dimainkan oleh para elite politik akhir-akhir ini harus kita pahami bagaikan air yang harus bergerak lagi mengalir itu. Akhirnya, sepanjang rasa tidak puas, keprihatinan, kegalauan dan seterusnya itu didasari oleh suasana batin yang masih terkait dengan upaya memajukan, menyatukan, membesarkan dan memakmurkan bangsa ini kiranya tidak perlu ada sesuatu yang dikhawatirkan. Semua pihak memang seharusnya menjaga satu hal, ialah kesatuan dan keselamatan bangsa ini. Bangsa ini tidak boleh berhenti dan juga tidak boleh secuilpun dikalahkan oleh kepentingan selainnya. Kepentingan bangsa ini harus secara bersama-sama diletakkan di atas segalagalanya. Kita tidak boleh memenangkan siapapun, kelompok, golongan, partai apapun di atas kepentingan negara dan bangsa. Keberadaan kelompok, golongan dan juga partai adalah dalam kontek membangun bangsa ini. Dan saya selalu yakin, seyakin-yakinnya, bahwa para elite politik bangsa ini, tetap sadar dan sesadar-sadarnya akan hal itu semua. Bangsa dan negeri ini, apapun harus diselamatkan dari segala yang tidak menguntungkan. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "Septria Yanto"