Meneropong Permen Gula

  • Uploaded by: Adi Surya (Ucox Unpad)
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Meneropong Permen Gula as PDF for free.

More details

  • Words: 1,407
  • Pages: 9
Meneropong Permen Gula-Gula Korporasi Oleh : Adi Surya Ketua DPC GMNI Sumedang, Studi Di Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD

Banyak

pihak

yang

mengutarakan

keraguan

sinergisnya Corporate Social Responsibility (CSR) dengan strategi perusahaan. Di satu sisi CSR adalah sebuah pelayanan sebagai

sosial

yang

konsekuensi

tentunya logis

memerlukan

untuk

biaya

memberdayakan

masyarakat. Pada sisi lainya, motif ekonomi setiap perusahaan

adalah

kapaital.Sulit

kapitalistik

melakukan

dipahami

lembaga

nir-laba

sebagai

kegiatan

manifestasi kewajiban moralnya kepada masyarakat. Sesuai

dengan

prinsip

ekonomi

bahwa

untuk

memperoleh keuntungan haruslah dengan modal yang sekecil-kecilnya demi untung yang sebesar-besarnya. Inilah motif ekonomi yang menjadi landasan filosofi dari strategi perusahaan di sebagian besar perusahaan yang ada di Indonesia. Bagi kebanyakan pelaku bisnis yang berorientasi

kapital

dan

mengejar

profit,

adanya

kewajiban untuk melaksanakan CSR sama saja dengan mengurangi insentif. Padahal, CSR merupakan sebuah strategi yang dapat memberi keuntungan terhadap

perusahaan , namun belum banyak pelaku usaha yang menyadari hal tersebut. Secara umum CSR dapat kita defenisikan sebagai tanggung

jawab

perusahaan

untuk

mewujudkan

komitmen yang berkelanjutan dari suatu perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi secara positif kepada karyawan, komunitas( masyarakat sekitar) dan lingkungan sekitarnya . Dalam pasal yang mengatur tentang siapa

saja yang wajib melaksanakan CSR juga

patut kita kritisi. Pasal 74 ayat 1 menyebutkan bahwa perseroan

yang

menjalankan

kegiatan

usahanya

di

bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam saja yang wajib melaksanakan program CSR. Artinya tidak semua pelaku usaha yang wajib melaksanakan CSR. perusahaan otomotif, mall, pabrik non-ekstraktif dan usaha-usaha lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan

kegiatan

menafsirkan

ekstraktif

komitmen

sama

untuk

sekali

bebas

meredistribusikian

keuntungannya dalam bentuk CSR. Harusnya setiap perusahaan

diatur

agar

memiliki

kewajiban

untuk

melaksanakan CSR, bukan hanya terbatas pada industri ekstraktif saja. Pembangunan

dapat diartikan secara luas sebagi

usaha perubahan yang di inginkan dan direncanakan (intended

and

planned

changes)

untuk

mencapai

kemakmuran material (standard of life) dan sosial yang lebih baik , lebih maju dan lebih diharapkan dari kondisi sebelumnya.

Di

tengah

derap

laju

industrialisasi

,

paradigma pembangunan yang berwawasan lingkungan mutlak

menjadi

prioritas.

Konsepsi

mengenai

pembangunan berwawasan lingkungan sangat besar pengaruhnya

bagi

kelahiran

proses

pembangunan

berkelanjutan. Lingkungan dalam hal ini tidak hanya terbatas pada lingkungan alam , melainkan menyangkut aspek sosial dan ekonomi. Sebelum reformasi wajah pembangunan di Indonesia bersifat top down dalam artian pemerintah beranggapan paling

mengetahui

kebutuhan

masyarakat.

Namun,

setelah era reformasi dan desentralisasi , pola ini mulai digugat dengan keinginan untuk memberikan penguatan kapasitas

bagi

masyarakat

untuk

mandiri.

Wacana

tentang paradigma pembangunan sosial yang dianggap dapat mengintegrasikan proses pembangunan ekonomi di satu sisi dan di bidang sosial di sisi lainnya dianggap sebagai jawaban untuk membawa masyarakat keluar dari masalah

sosial seperti kemiskinan, pengangguran

rendahnya

pendidikan.

Desentralisasi

,

menyiratkan

keterbatasan negara untuk melakukan perannya. Sektor privat

dan

masyarakat

dapat

memasuki

ranah

pembangunan untuk menyumbangkan resources-nya. Konsekuensi logis dari pembangunan sosial adalah pembangunan

yang

berpusat

pada

pembangunan

kapasitas manusia. Paradigma top down diubah menjadi bottom

up,

dimana

masyarakat

dianggap

paling

mengetahui kebutuhan dan masalahnya. Masyarakat menjadi fokus dari pembangunan itu sendiri, dan bukan

lagi hanya mengejar angka-angka ekonomi semata. Community Development ( pemberdayaan masyarakat ) menjadi tuntutan untuk menjadikan masyarakat memliki kekuatan dan kapasitas untuk memperbaiki kualitas hidup melalui penggunaan sumber-sumber yang ada pada mereka. Menurut Jack Rothman dalam karya klasiknya Three Models of Community Organization Practice ( 1968) mengembangkan tiga model tentang pengembangan masyarakat. Pertama , pengembangan masyarakat lokal, kedua , perencanaan sosial dan ketiga adalah aksi sosial. Poin

penting

partisipasi

dari

dan

community

keberlanjutan.

development Dalam

hal

adalah ini

CSR

merupakan salah satu bagian dari semangat untuk memberdayakan masyarakat khususnya pengembangan masyarakat lokal. Pertemuan antar korporat di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan 'Corporate Sosial Responsibility-Concepts and Solutions menegaskan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha. Program-program CSR yang di klaim oleh beberapa perusahaan

telah memenuhi aspek tanggung jawab

sosial perusahaan terlihat masih jauh panggang dari api. Banyak program yang (charity)

seperti

diberikan hanya bersifat derma

pendirian

infrastruktur

fisik

dalam

bentuk pembanguan fasilitas pendidikan, kesehatan,

transportasi, air bersih , dan tempat ibadah. Namun , setelah perusahaan tersebut mengeruk habis sumber daya di daerah tersebut maka program pun otomatis berhenti

dan

masyarakat

kembali

seperti

keadaan

semula. Sebaiknya program yang diberikan lebih banyak menyentuh pembangunan kapasistas, seperti pendidikan, pelatihan, pemberian modal untuk usaha kecil maupun pembuatan aturan persentase dalam hal perekrutan warga sekitar sebagai karyawan. Di samping sangat sulit untuk membedakan apakah pembangunan fisik bagi masyarakat hanya bersifat sementara atau tidak , juga ditengarai banyak kegiatan yang dilakukan perusahaan dapat memunculkan ketergantungan ( interdependency ) . Dalam hal pembuatan program CSR , perusahaan masih cenderung bersifat elitis , dalam artian belum memaknai

partisipasi

sebagai

poin

penting

untuk

memberdayakan masyarakat. Akibatnya, program yang di desain tidak mencerminkan kebutuhan warga sekitar yang lebih paham masalah dan kebutuhan mereka. Pemerintah

daerah

pun

terkesan

membiarkan

implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan di daerahnya berjalan menurut logika korporasi. Bagaimana tidak, pemerintah daerah harus berusaha “ membuat nyaman ” pelaku usaha dikarenakan investasi di daerah turut menyumbang pendapatan bagi kas daerah. Artinya, pelaksanaan

CSR

di

Indonesia

belumlah

berbasis

masyarakat , masih multi tafsir dan lebih banyak

dimaknai sebagai sekedar memberi bantuan derma maupun

sekedar

pembangunan

fisik

semata

yang

dianggap mengurangi keuntungan perusahaan. Padahal,

manfaat

keuntungan

CSR

jangka

sebenarnya

panjang

bagi

memberikan perusahaan.

Pertama,memberikan image yang baik. Di era globalisasi dan kapitalisme global yang mengagungkan kompetisi antar

pelaku

persaingan,

usaha,

jika

perusahaan

ingin

mutlak

bertahan

dalam

memerlukan

suatu

keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelaku uasaha lainnya. Strategi tersebut dapat berupa kemenangan citra perusahaan (corporate image building ) dimata konsumen. Kita dapat ambil contoh PT. Unilever yang memiliki program CSR berupa pendampingan terhadap petani kedelai. Bagi kepentingan petani, adanya program CSR ini berperan dalam meningkatkan kualitas produksi, sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan bagi Unilever sendiri, hal ini akan menjamin pasokan bahan baku untuk setiap produksi mereka yang berbasis kedelai. Kedua, dengan adanya pelibatan masyarakat dapat

memberikan

suatu

usaha.Jika

keamanan perusahaan

dan

keberlangsungan

ingin

terhindar

dari

gangguan dan ancaman masyarakat sekitar, kiranya perlu

untuk

hubungan

melibatkan

baik dan

masyarakat

masyarakat

agar

memiliki

terjalin

sense of

belonging yang tentunya berakibat positif terhadap perusahaan..

Ketiga, terhindarnya perusahaan dari ancaman bencana

lingkungan.

CSR

juga

memfokuskan

pada

terjaganya lingkungan alam yang turut serta mendukung keberlangsungan usaha. Masih segar dalam ingatan kita PT. Lapindo Brantas yang merugi dikarenakan kurang memperhatikan

aspek

lingkungan.

Keempat,

ikut

menyumbang bagi pembangunan daerah. Masyarakat di sekitar perusahaan biasanya tak lepas dari kemiskinan dan

pengangguran.

Melalui

program-program

CSR,

seperti perekrutan warga lokal menjadi karyawan dan pemberian modal usaha turut mengurangi masalah sosial di daerah. Kelima, kebijakan dan keputusan yang diambil juga haruslah senantiasa berdasarkan need assessment terhadap apa yang ada di masyarakat. Jika perusahaan menyusun program yang bukan menjadi kebutuhan masyarakat ,akan menjadi bom waktu bagi perusahaan itu

sendiri

karena

masyarakat

tidak

akan

merasa

diperhatikan. Dana bukanlah satu-satunya faktor yang mendukung implementasi CSR, dibutuhkan ketulusan, keseriusan dan ketekunan. Dengan dimasukannya CSR ke dalam undang-undang yang

mengikat

dan

mempunyai

sanksi

kita

boleh

berharap pengaturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan semakin berkembang di Indonesia. Yang menjadi kendala utama adalah sejauh mana komitmen dan kesadaran pelaku usaha untuk mengintegrasikan CSR dengan kebijakan perusahaan. Paradigma yang menganggap CSR hanya sebgai cost harus dihapus dan

diganti dengan logika investasi sosial bagi perusahaan. Jika pelaku usaha mangkir dari kewajiban , tentunya sudah ada aturan yang mengatur tentang sanksi yang diberikan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu,sebagai sebuah kesatuan sistem dalam kehidupan bermasyarakat, tanggung jawab untuk mengawasi implementasi CSR oleh perusahaan tidak datang hanya dari pemerintah melalui kebijakan,namun harus

muncul

pengawasan

dari

bawah.

Baik

itu

organisasi swadaya masyarakat maupun masyarakat lokal itu sendiri. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) dapat mengambil bagian sebagai pengontrol dan dapat pula menjadi mitra kerja perusahaan. Masyarakat juga memiliki hak untuk berdemonstrasi dalam menyalurkan aspirasinya

ketika

hak

yang

seharusnya

mereka

dapatkan diingkari oleh pihak perusahaan yang ada di daerah. Diperlukan perubahan kerangka berfikir di masa depan , baik itu pelaku usaha, masyarakat, pemerintah, LSM

dan

pihak-pihak

terkait

untuk

meletakkan

kepentingan masyarakat sebagai prioritas. “Pergilah ke tengah Belajarlah

masyarakat. dari

Hiduplah

mereka.

Buatlah

bersama

mereka.

rencana

bersama

mereka. Bekerjalah dengan mereka. Mengajar seraya menunjukkan. keterpisahan menyesuaikan meringankan

Belajar

seraya

melainkan melainkan melainkan

mengerjakan.

Bukan

keterpaduan.

Bukan

mengubah.

Bukan

membebaskan.

Sehingga

akhirnya mereka berkata , semua akan kami kerjakan sendiri”. Untaian kalimat dari pelopor rekonstruksi desa di Cina Dr. YC James tersebut hendaknya menjadi ruh program CSR dalam memberdayakan masyarakat. Tanpa itu semua, maka masyarakat hanya dijadikan objek eksploitasi nafsu kapitalisme yang berorientasi profit dan bukanya sustainability ( keberlanjutan).

Adi Surya Purba Ketua DPC GMNI Sumedang Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad

Related Documents


More Documents from ""