Perempuan Di Hadapan Pusaran Otonomi Daerah Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang Mahasiswa FISIP Unpad
Di dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang,Kartini menulis "engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya”.Kartini adalah simbol dari emansipasi ataupun kebangkitan perempuan untuk melepaskan diri dari penjara dirinya dan kondisi sosial budaya yang membuatnya selalu dalam posisi sub-ordinat.Namun,hari ini tembok-tembok yang memenjarakan perempuan bukanlah berwujud fisik,melainkan berada dalam panggung kebijakan-kebijakan,ideologi,kultur yang diskriminatif. Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2008 telah terjadi sebanyak 54.425 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) di Indonesia.Mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus (dari jumlah 46.884 kasus KTI), sedangkan mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 469 kasus (dari jumlah 1.870 kasus). Jumlah KTP yang ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (tahun 2001 - 2008). Tahun 2008 ini, peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus KTP), yaitu
213% mencapai
sejumlah 54.425 kasus KTP. Data-data ini memberikan cermin bagi kita bahwa di dalam negeri yang merdeka,rakyatnya(perempuan) masih terbelenggu dan terjajah dalam ruangruang domestik maupun ranah publik.
Persoalan ketidakadilan gender berada dalam ranah kesadaran yang secara terus menerus dikonstruksi secara terus menerus,diperkuat,disosialisasikan secara sosial dan kultural melalui institutusi pendidikan,agama bahkan negara.Pelegalan melalui instrumen negara kemudian menjadi menarik untuk diulas karena mencerminkan bagaimana wajah pengambil
kebijakan
memaknai
pembangunan
berwawasan
gender.
Dalam
arti,
mempertanyakan peran negara disini karena negara juga sebagai solusi ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan. Menjadi sebuah ambivalensi jikalau alat pemecah masalah juga turut serta mereproduksi masalah. Pemusatan kekuasaan (sentralisasi) kemudian mendapat gugatan dalam proses reformasi
karena
negara
dianggap
terlalu
rakus
dan
tidak
adil
memperlakukan
daerah.Semangat desentralisasi kemudian melahirkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 2004. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.Artinya,ada kewenangan daerah untuk membuat perumusan kebijakan menyangkut persoalan-persoalan daerah yang bersangkutan. Hal ini bisa menjadi positif karena maslah-maslah daerah yang tidak sama dengan daerah-daerah lainnya bisa lebih terperhatikan dengan adanya kewenangan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Namun,di sisi lain,otonomi bisa menyebabkan kesewenangwenangan pejabat daerah untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan semangat keadilan. Catatan Tahunan tahun 2007 dari Komnas Perempuan terhadap pemenuhan hakhak perempuan setelah 10 tahun reformasi, telah mendokumentasikan hasil pemantauan terhadap kebijakan lokal dari beberapa daerah yang berjumlah 58 Kebijakan Lokal (Perda), di mana kebanyakan perda-perda ini bernuansa Agama dan Moralitas. Dan dari ke-58 Perda tersebut terdapat 27 Perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan, baik melalui
kriminalisasi
pengendalian
tubuh
perempuan
(ada
perempuan
(10
sebanyak
17
kebijakan)
kebijakan).Data-data
maupun
tersebut
melalui
sebenarnya
menelanjangi sebuah fakta bahwa otonomi daerah ternyata bisa menjadi ancaman bagi
perempuan. Perda-perda diskriminatif itu jelas bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi diatasnya seperti UUD,Pancasila dan nilai –nilai HAM sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 2 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Fenomena ini bisa disebabkan oleh wajah maskulinitas pengambil kebijakan publik di tingkat daerah,minimnya pemahaman legal drafting yang berwawasan gender,perebutan otoritas politik kelompok-kelompok agama. Disadari atau tidak,kita harus jujur bahwa para pengambil kebijakan mayoritas adalah laki-laki yang masih belum peka terhadap keadilan gender. Hal ini ditambah lagi dengan masih minimnya pemahaman pembangunan yang berwawasan gender (pro gender) sebagai arus utama untuk melibatkan dan memperhatikan kepentingan perempuan.Bahkan,ada fenomena perebutan klaim agama dalam ruang publik dimana mayoritas mendominasi minoritas dalam bingkai kesatuan dan keberagaman Indonesia. Hal yang sangat disayangkan. Untuk itu perlu kiranya solusi-solusi jangka panjang untuk memperjuangkan keadilan terhadap perempuan di era otonomi ini. Pertama,pembentukan koalisi-koalisi di tiap daerah untuk mengawal perda-perda yang berpotensi melanggar hak-hak perempuan. Kedua,mendesak pemerintah mengevaluasi perda-perda yang bertentangan dengan UUD 45 dan mencabut perda yang bernuansa diskriminatif. Ketiga,melakukan advokasi dan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh departemen terkait bekerja sama dengan LSM atau organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat. Keempat,memperjuangkan keterwakilan perempuan yang lebih besar dalam ruang politik sebagai corong pengambilan kebijakan berwawasan gender. Untuk mengangkat derajat perempuan haruslah pertama-tama dilakukan dan disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Kartini hanyalah sosok dan simbol dari perlawanan terhadap diskriminasi pada zamannya.Oleh sebab itu bangsa ini butuh kartinikartini lainnya untuk menjadi ujung tombak penyadaran dan perjuangan akan nilai-nilai penghormatan hak-hak perempuan. Srikandi-srikandi yang berjuang atas nama keadilan
gender akan menjadi lilin-lilin yang menerangi gelap hingga tidak perlu sampai menunggu terang menjelang,namun sejatinya mengusahakan terang tersebut dengan mandiri.