Mencari Guru Bagikan 17 Juni 2009 jam 8:38 Diunggah melalui Facebook Seluler Pada suatu saat saya pulang ke kampung, sebatas untuk melepas rasa rindu dengan saudara-saudara yang tinggal di desa. Memang tidak sebagaimana dulu, ketika orang tua masih ada, acara pulang kampung merupakan hal rutin untuk sungkem. Tetapi setelah keduanyasudah tidak ada, maka hanya sekali-sekali saja, biasanya jika ada perlu, seperti misalnya ada kundangan perkawinan dari saudaradan sejenisnya. Sekalipun sudah tidak kurang dari 45 tahun, saya meninggalkan desa tempat kelahiran, tetapi terasa desa itu masih dekat. Mungkinhal seperti itu dirasakan oleh semua orang. Siapapun akan selalu rindu pada tempat kelahirannya. Ikatan emosional kedaerahan tidak pernah putus. Orang tua sudah tidak ada, tetapi masih banyak saudara, kenalan, teman bermain ketika masih kecil, yang semuanya itu menyenangkan jika sedang ketemu. Hal-hal seperti ini menjadi daya tarik tersendiri untuk pulang ke desa asal kelahiran.Seperti biasa kalau bertemu saudara, berbincang-bincang tentang apa saja, sekalipun sesungguhnya bermaksud sebatas untuk melepasrindu. Dalam suatu perbincangan yang sangat akrab, ada pertanyaan dari seorang teman lama yang menarik, sehingga pertanyaan itutidak pernah saya lupakan. Pertanyaan itu ialah, jika seseorang itu sudah bergelar professor, lalu apa masih harus belajar, belajarnya ke mana, apa masih perlu mencari guru lagi?. Sebagai orang desa, mungkin ia membayangkan bahwa orang yang telah bergelarguru besar, ----- seperti saya, sudah dianggap mengerti segala hal. Sehingga, yang ia bayangkan, apa masih perlu belajar lagi.Orang desa dimaklumi, tidak tahu bahwa gelar akademik itu sesungguhnya hanyalah sebatas pengakuan terhadap seseorang yang telah melakukan sejumlah kegiatan akademik tertentu. Mereka tidak paham bahwa professor pun sesungguhnya, pengetahuannya masih sangat terbatas. Tetapi karena gelar professor itu hanya ada di lingkungan perguruan tinggi, dan lembaga itu hanya ada di kota, maka
wajar jika mereka tidak begitu memahaminya.Atas pertanyaan itu, saya juga terangkan dengan jawaban yang sederhana. Maksud saya agar mereka tahu, bahwa professor pun pengetahuannya juga sederhana dan sangat terbatas. Saya mengatakan bahwa belajar itu tidak dibatasi oleh usia, tempat dan waktu dan juga gelar tertentu. Belajar harus dilakukan oleh siapapun, dari mana saja dan kapan pun bisa dilakukan. Belajar tidak perlu harusdi sekolah. Belajar bisa dilakukan sepanjang hidup, di mana dan dengan cara apa saja. Untuk memperjelas keterangan itu, saya mengambil contoh sederhana. Saya mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan ini misalnya, kita bisa belajar bahkan dari binatang sekalipun. Misalnya dari kehidupan kucing yang ada di hampir setiap rumah. Mereka saya ajak memperhatikan binatang yang sangat jinak itu. Kucing, jika sudah merasa kenyang langsung tidur, tidak mikir apa-apa. Binatangini sesungguhnya sangat malas, dipelihara hanya karena mahir menangkap tikus, dan hasilnya pun hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.Kemahiran kucing terbatas, maka binatang ini tidak laku dijual, kecuali jenis tertentu dan juga oleh orang-orang tertentu pula. Naluri solidaritas binatang ini juga terbatas, tidak pernah mau bekerjasama ----sebagaimana lebah misalnya. Jika binatang ini berhasil menangkap tikus langsung membawanya lari, takut direbut temannya. Dalam soalsoal makanan, kucing sangat individual. Binatang ini baru mau makan bersama dan tidak berebut, jika makanan itu diberikan oleh pemiliknya. Binatang yang tidak menyukai air -----tidak pernah mandi, selalu mendekat pada orang, yang diperkirakan akan memberinya makanan.Melalui cerita pendek tentang kucing itu, saya mengajak teman semasa kecil tersebut memperhatikan ayat-ayat kauniyah. Ialah ayat-ayat Allah yang terbentang luas di jagad raya ini. Ayat-ayat itu bisa kita pelajari sendiri pada setiap saat. Melalui khayalan sederhana, tentang kucing tersebut, ternyata teman semasa kecil yang masih tinggal di desa, ------dan sudah sama-sama tua, lebihpandai lagi mengiventarisasi beberapa prinsip hidup yang bisa didapat dari kehidupan kucing. Misalnya kucing itu tidak pernah teriak kecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika mau melampiaskan nafsu seksnya. Kucing loyal kepada seseorang, jika orang tersebut selalu memberinya makanan. Binatang ini hanya mau kerja ----menangkap tikus, jika bermanfaat untuk dirinya sendiri saja.
Dalam pembicaraan yang sesungguhnya tidak lebih dari sebatas pelepas rindu itu, ada pertanyaan, ----masih tentang kucing, yang saya sendiri juga belum bisa menjawab secara memuaskan. Pertanyaan tersebut ialah, mengapa kucing selalalu bermusuhan dengan anjing. Apakah keduanya saling punya rasa iri atau hasat. Atas pertanyaan itu, terus terang, saya juga tidak tahu jawabnya. Kedua binatang itu statusnya sama, yaitu sama-sama sebagai penjaga rumah. Kucing bertugas menangkap tikus, sedangkan anjing mengusir penjahat. Jika keduanya bersatu, alangkah indahnya kehidupan mereka, bisa saling melengkapi.Selanjutnya pada waktu itu, saya sudah tidak bersemangat menjawabnya. Tetapi dalam hati kecil saya mengatakan, jangankan anjing dan tikus, ------- suka berkelahi, sedangkan pemimpin manusia yang terhormat saja seringkali juga begitu, bersaing dan bertengkar. Namun ketika itu, agar tidak ada pihak-pihak yang tersinggung, saya juga tidak mengatakan bahwa, memang perilaku kita masih seperti kucing, dan bahkan juga antara kucing dan anjing, selalu ribut. Wallahu a’lam.