Memahami Stain Malang

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Memahami Stain Malang as PDF for free.

More details

  • Words: 1,512
  • Pages: 5
Memahami STAIN Malang Bagikan 27 Maret 2009 jam 9:54 STAIN Malang pada awal tahun 1998, jika dibanding dengan perguruan tinggi lainnya di Malang tergolong kecil dan sudah cukup lama belum menunjukkan dinamika yang mampu menarik perhatian banyak orang. Kesan banyak orang mengatakan bahwa kampus ini seperti sudah tidak laku dijual lagi, bangunannya seperti SD Inpres. Kesan itu mungkin tidak seluruhnya benar, tetapi juga tidak terlalu salah. Sebab, pada kenyataannya menggambarkan seperti itu. Kampus ini hanya memiliki gedung kuliah yang terbatas jumlahnya, 24 lokal yang hampir semuanya sudah tua. Kendaraan roda empat hanya tiga buah dan itupun juga sudah lama dibeli. Jumlah dosen hanya 43 orang, pada umumnya sudah senior kecuali beberapa saja yang berusia muda. Keadaan seperti itu, kata banyak orang, disebabkan oleh statusnya, yakni sebagai cabang dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Seolah-olah lembaga pendidikan tinggi Islam ini tidak memiliki kekuatan di hadapan induknya, Surabaya. Keadaan yang kurang menguntungkan ini, semakin terasa ketika IAIN Sunan Ampel Surabaya membuka Fakultas Tarbiyah dengan cara memindahkan Fakultas Tarbiyah Cabang Bojonegoro ke Surabaya bergabung dengan induknya. Oleh karena alasan untuk memperkukuh fakultas baru ini, sekalipun Fakultas Tarbiyah IAIN Malang semula diakui sebagai fakultas induk, maka sejak itu tidak pernah memperoleh perhatian yang cukup. Beruntung, pimpinan Fakultas Tarbiyah Malang cukup kreatif, dengan caranya sendiri menghimpun dana dari wali mahasiswa sehingga sekalipun terbatas dapat menambah beberapa fasilitas pendidikan yang dibutuhkan. Betapapun keadaannya, saya ketika itu melihat STAIN Malang masih menyimpan kekuatan yang dapat digunakan sebagai modal pengembangan lebih lanjut. Beberapa kekuatan itu antara lain sebagai berikut. Pertama, perguruan tinggi ini sesungguhnya menyandang kepercayaan masyarakat yang sedemikian besar. Buktinya, sekalipun dalam waktu sekian lama tidak mengalami kemajuan tetapi tokh masyarakat masih mempercayainya. Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah peminat masuk yang cukup lumayan banyak. Rata-rata setiap tahunnya tidak kurang dari 500 an calon mahasiswa mendaftar menjadi mahasiswa baru. Kedua, memiliki orang-orang yang berdedikasi tinggi, dengan ikhlas ingin mengembangkan lembaga pendidikan Islam. Orang-orang yang terlibat pada pengembangan kampus yang berlabelkan Islam ini, bekerja tidak sekedar didasari motivasi mencari kehidupan melainkan juga -------dan ini yang lebih penting, didorong oleh semangat memajukan agama Islam, yakni berjuang dan beramal shaleh. Ketiga, Stagnasi yang menimpa kampus

ini dalam waktu cukup lama, menurut hemat saya, hanya semata-mata disebabkan oleh belum adanya kepemimpinan dan manager yang mampu mengenali potensi yang ada dan mengembangkannya lebih lanjut. Keempat, belum ditemukan simpul yang dapat menggerakkan berbagai potensi yang dimiliki, misalnya menemukan sumber kekuatan penggerak SDMnya, sumber pendanaan, jaringan kerjasama dan sejenisnya. Saya berpendapat jika berbagai potensi itu dapat dikembangkan maka tidak menutup kemungkinan STAIN Malang akan mengalami perkembangan yang cepat untuk menjadi perguruan tinggi Islam yang terpercaya. Persoalannya ketika itu adalah bagaimana seluruh potensi itu dapat digerakkan. Saya menggambarkan, bahwa STAIN Malang ketika itu tidak ubahnya mobil tua. Kendaraan itu sesungguhnya memiliki seluruh perangkat yang diperlukan untuk bergerak dan berjalan. Hanya persoalannya, beberapa suku cadang sudah tua dan bahkan aus. Lebih-lebih lagi beberapa bagiannya sudah berkarat, sehingga tidak mampu lagi memainkan fungsi-fungsinya secara baik. Yang ada pada pikiran saya ketika itu ialah bagaimana agar mobil tua itu semakin lama dapat berjalan lebih cepat dan suatu ketika dapat melaju sebagaimana mobil-mobil modern pada umumnya. Menghadapi persoalan tersebut, oleh karena ketika itu belum tersedia dana yang cukup, maka yang dapat saya lakukan adalah mendorong seluruh elemen yang ada. Jika menggunakan sebuah metafora, maka tepat kalau apa yang saya lakukan adalah mendorong mobil tua. Mobil itu tentu saya beri olie agar bisa berjalan. Berbagai komponen yang saya pandang berkarat maka bagaimana agar karat itu hilang dan akhirnya mobil itu dapat berfungsi, setidak-tidaknya agar mobil tua ini bisa bejalan. Yang saya umpamakan sebagai olie adalah (1) membangun semangat atau motivasi, (2) memperjelas dan memperteguh cita-cita lembaga ini ke depan, (3) merumuskan format keilmuan yang seharusnya dikembangkan oleh kampus ini, disesuaikan dengan tuntutan zaman yang selalu berkembang tanpa berkesudahan, (4) membangun kesadaran tentang betapa pentingnya melakukan evaluasi diri dan menatap masa depan secara tepat, (5) membangun kebersamaan atau persatuan, (6) membangun kepercayaan diri ---self confidence, dan (7) menyusun perencanaan dalam berbagai hal secara menyeluruh tentang kampus masa depan. Persoalannya kemudian tatkala harus menggerakkan seluruh potensi, yang digambarkan dengan metafora mobil tua tersebut adalah menentukan pilihan-pilihan pendekatannya. Untuk menggerakkan orang dalam sebuah organisasi dapat ditempuh dengan beberapa pilihan, yaitu dengan peraturan, reward berupa uang, atau juga dengan semangat berjuang meraih nilai tertinggi dalam kehidupan

yaitu ridho Allah. Jika pilihan pertama yang digunakan maka dalam suasana pertumbuhan dipandang kurang memberi ruang kreatifitas yang sesungguhnya sangat diperlukan bagi kehidupan perguruan tinggi. Peraturan seringkali melahirkan suasana semu dan karikatif dan bahkan bisa jadi melahirkan suasana formalitas dan bahkan juga sifat munafik. . Hubungan-hubungan antar sesama dengan pendekatan formal juga menjadi kurang manusiawi, tidak mampu menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kemanusiaan. Karena itu, pendekatan peraturan digunakan tetapi pada batas-batas yang sangat kecil. Pendekatan uang juga tidak mungkin ditempuh dengan pertimbangan kondisi obyektif, pada saat itu tidak tersedia dana yang yang cukup. Atas dasar pertimbangan itu, pendekatan yang dipandang tepat adalah memberikan sentuhan jiwa untuk mau berjuang. Motivasi atau dorongan yang dibangun adalah untuk mendapatkan sesuatu yang lebih abstrak dan bukan material. Dalam bahasa agama Islam, mereka dimotivasi untuk beramal sholeh secara ikhlas, penuh istiqomah dan tawakkal untuk memperoleh pahala dan ridho Allah swt. Terkait dengan upaya menghidupkan jiwa berjuang ini, sesungguhnya saya mengacu pada ayat al Qur^an yang berbunyi : “ Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sepanjang kaum itu tidak mau mengubah jiwa (anfusihiem) mereka.”. Anfus saya maknai jiwa. Dan, jiwa merekalah yang harus disentuh dan dihidup-kembangkan. Pandangan ini mengantarkan pada pemahaman bahwa kemajuan adalah produk dari jiwa orang-orang yang maju. Orang menjadi kaya karena memiliki jiwa sebagai orang kaya dan sebaliknya si miskin menjadi miskin oleh karena berjiwa miskin dan seterusnya. Oleh karena itu jika bermaksud membangun perguruan tinggi agar maju, maka orang-orang yang terlibat dalam pengembangan kampus harus dibangun jiwanya, menjadi sekelompok orang yang berjiwa maju. Terkait dengan membangun jiwa harus dilakukan lewat tema-tema perjuangan. Saya belum memperoleh teori yang berkenaan dengan ini, tetapi saya membaca dalam banyak tempat ayat-ayat al Qur^an memerintahkan untuk berjuang. Berjuang selalu dikaitkan dengan berkurban. Berkurban selalu untuk perjuangan, dan tidak pernah terjadi perjuangan tanpa melalui pengorbanan. Rumusan-rumusan seperti ini selalu saya gunakan untuk menggerakkan orang. Saya mengatakan bahwa mengaku berjuang, tanpa diikuti oleh pengorbanan, maka tak ubahnya seorang makelar atau simsyarah atau brokers. Saya selalu mengatakan bahwa tidak selayaknya, kampus STAIN Malang hanya dihuni oleh para makelar. Selain itu, mengajak orang atau sekelompok orang untuk maju atau berbuat sesuatu yang sholeh harus dimulai dari pimpinannya, ibda^ binafsika. Saya mengilustrasikan mengajak orang sama halnya dengan

mengajak kuda, dan bukan sebagaimana menggembalakan bebek. Penggembala bebek cukup membawa tongkat kecil dan mengikuti dari belakang rombongan bebeknya. Bahkan, jika bebek sudah di tempat penggembalaan, penggembala bebek dengan enaknya menancapkan tongkatnya dan menaruh topinya di atas tongkat itu, dan dengan enaknya bebek itu ditinggal pulang. Bebek tidak pernah akan meninggalkan tempatnya atapalagi harus protes. Berbeda dengan kuda. Jika penggembala mau memandikan di kolam atau di sungai, penggembala kuda harus mesuk kolam terlebih dahulu, baru kuda ditarik. Sekalipun kuda merasa kedinginan, ia akan mengikut saja. Akan tetapi, jika penggembala berada di belakang kuda, sebagaimana penggembala bebek, kemudian kuda dihalau dengan memukul-mukul dari belakang, maka kuda akan menyepak penggembala dengan kedua kakinya sekaligus. Tamsil ini digunakan untuk memberikan kesadaran bahwa menggembala manusia sesungguhnya mirip dengan menggembala kuda. Penggembala harus memposisikan diri di depan, khususnya yang terkait dengan menunaikan tanggung jawabnya. Dan sebaliknya, tatgkala dalam menuai hasil baru berposisi di belakang. Menggerakkan orang, selain seyogyanya dimulai dari pimpinannya, juga harus mengikuti prinsip menyenangkan atau menggembirakan. Jika mereka sudah senang, maka imbalan akan dinomor duakan. Bahkan, jika kesenangan sudah berhasil diraih, sekalipun tidak diberi imbalan dan bahkan masih harus berkurban pun, akan bersedia. Untuk menggembirakan semua pihak memang bukan pekerjaan mudah. Untuk itu diperlukan seni memimpin. Pemimpin dituntut melakukan hal-hal yang dapat (1) mengakui akunya semua pihak, (2) memberikan harapan-harapan, baik harapan pribadi maupun kelompok, (3) menghilangkan atau menyingkirkan rintangan atau halangan, (4) membagi cinta kasih secara merata, (5) membagi informasi secara terus menerus secara luas, (6) menfasilitasi dan membangun kepercayaan diri lewat pengakuan kalangan yang semakin luas, (7) adil dan jujur serta mampu bertindak tegas (8) mengayomi semua orang tanpa membeda-bedakan, (9) aspiratif untuk semua. Hal-hal seperti ini berat sekali dilakukan oleh pemimpin, akan tetapi jika berhasil dibangun, keberhasilan membangun lembaga akan dapat diraih. Hal lain yang perlu dicatat bahwa dalam menggerakkan orang perlu digunakan pendekatan bisnis. Seorang pebisnis selalu bersedia mengeluarkan modal agar selanjutnya agar mendapat keuntungan. Tidak mungkin seorang pebisnis hanya berusaha memperoleh sesuatu tanpa sebelumnya bersedia berkorban. Ternyata menggerakkan orang harus dilakukan dengan pendekatan pedaang itu. Pemimpin harus berkorban untuk menyenangkan semua orang yang dipimpinnya. Menyenangkan orang tidak selalu menggunakan uang. Mengikuti

aspirasi termasuk bagian dari menyenangkan. Siapa saja yang merasa disenangkan akan membayar dengan cara membalas kesenangan yang telah diterima. Sebagai warga kampus Islam, apalagi mayoritas adalah simpatisan Nahdlatul Ulama, menyenangi kegiatan-kegiatan spiritual. Oleh karena itu mereka akan gembira jika kebutuhan spiritual tersebut disalurkan. Maka, diselenggarakanlah kegiatan-kegiatan seperti khotmul Qur’an, sholawat, riyadhoh kubro, kultum setiap selesai sholat berjama’ah di masjid dan sebagainya. Kegiatan semacam itu menjadikan mereka gembira, dan kemudian selanjutnya akan melaksanakan apa saja yang diprogramkan oleh kampus yang bernuansa pembaharuan.

Related Documents

Memahami Stain Malang
June 2020 15
Stain Removal
June 2020 20
Gram Stain
June 2020 20
Malang Pdf
November 2019 47
Lebai Malang
October 2019 35

More Documents from "Nur Ain Mohd Amin"