Konsep Diabetes mellitus dan Tuberkulosis Paru 1. Definisi Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes mellitus ini mempunyai etiologi yang bermacam-macam, meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin. Tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus (Price & Wilson, 1995). Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Noer, 1999). Lebih lanjut Noer (1999) menyatakan bahwa diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari adanya perubahan seperti minum yang menjadi banyak, buang air kecil lebih sering lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi berobat dan diperiksa kadar glukosanya. Noer (1999) juga mengatakan bahwa diabetes mellitus mungkin pula ditemukan pada pasien yang berobat untuk infeksi saluran kemih dan tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes mellitus mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit infeksi, khususnya tuberkulosis paru. Jika kepada mereka kemudian ditanyakan dengan teliti mengenai gejala dan tanda diabetes mellitus, pada umumnya juga akan ditemukan gejala khas diabetes mellitus, yaitu poliuria akibat diuresis osmotik, polidipsia, dan berat badan yang menurun. Dengan sendirinya, untuk diagnosa pasti harus dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah (Noer, 1999) Tuberkulosis paru (sering disingkat dengan TB paru) adalah suatu penyakit infeksi yang biasanya menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang hampir setiap bagian dari tubuh. Tuberkulosis paru dapat ditularkan dari orang ke orang melalui udara (American Lungs Association, 2005). Sedangkan Hinsaw & Murray (1980 dikutip dalam Yunus dkk, 1992) menyatakan bahwa tuberkulosis paru adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh basil Mikobakterium tuberkulosis yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis pada jaringan. Infeksi ini mengenai berbagai organ di dalam tubuh, tetapi yang sering terkena adalah jaringan paru. Secara teoritis diagnosis tuberkulosis paru tidaklah susah. Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, temuan kelainan pada pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan radiologist toraks, dan pemeriksaan bakteriologis (Chan, 2005). Lebih lanjut Chan (2005) menyatakan bahwa diagnosis pasti tuberkulosis paru ditegakkan bila ditemukan BTA positif dalam sputum penderita. Bila BTA negatif, hasil pemeriksaan foto roentgen dada yang relevan untuk tuberkulosis dipakai sebagai dasar diagnosis. Selain itu tipe penderitanya pun dapat dibedakan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu Kasus Baru, Kasus Kambuh (Relaps), Gagal Pengobatan (Treatment Failure), Kasus Berobat Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Default/Drop Out), Kasus Pindahan (Transfer In) dan Kasus Kronik (Situmeang, 2004).
2. Tuberkulosis paru sebagai salah satu komplikasi diabetes mellitus Infeksi tuberkulosis pada diabetes mellitus biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi dari fokus infeksi yang lama daripada kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang baru saja terjadi. Dengan alasan inilah, tuberkulosis digambarkan sebagai komplikasi dari diabetes mellitus (Rao, 2005). Hal yang senada disampaikan oleh Noer (1999), diabetes mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ. Sejak ditemukannya insulin oleh Banting dan Best tahun 1921 serta kemudian dikembangkan dan diterapkannya pengelolaan terhadap penderita diabetes mellitus, gambaran komplikasi diabetes mellitus bergeser dari komplikasi akut ke arah komplikasi kronik. Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus adalah mudah timbul infeksi (makro dan mikrovaskuler) yang salah satunya adalah infeksi tuberkulosis pada paru-paru. Diabetes mellitus juga diakui sebagai salah satu faktor resiko independen terhadap berkembangnya infeksi saluran pernapasan bawah (Guptan & Shah, 2000). Secara umum, organisme yang menyebabkan infeksi/peradangan pada paru-paru memiliki kesamaan pada populasi non-diabetik; tetapi organisme gram-negatif, Stafilokokkus aureus, dan Mikobakterium tuberkulosis paru yang lebih sering patogen (Braunwald dkk, 2001). Selanjutnya individu dengan diabetes mellitus memperlihatkan suatu kekerapan dan derajat infeksi yang lebih berat. Pertimbangan yang dipakai untuk peningkatan infeksi ini meliputi
kesenjangan yang menggambarkan kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, seperti halnya berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang (Lakshmi & Murthy, 1999). Mengenai mekanisme predisposisi pasien diabetes mellitus menjadi tuberkulosis paru belum dapat diketahui sepenuhnya. Perubahan pada imunitas seluler telah pernah diajukan. Hiperglikemia dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag (Rom & Garay, 2004). Lebih lanjut menurut Guptan dan Shah (2000) bahwa abnormalitas multipel pada fungsi fisiologis paru juga ditemukan pada diabetes mellitus yang berkontribusi terhadap keterlambatan pada perlawanan infeksi dan penyebarannya di dalam tubuh penderita.
3. Aspek klinis dan radiologis tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa gejala penyakit diabetes mellitus yang disertai oleh tuberkulosis paru penyakit akan saling menutupi, di antaranya pada kedua penyakit tersebut secara bersamaan terdapat penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan dan kelelahan umum. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa kondisi ini lebih umum terjadi pada usia di atas 40 tahun dan pria memiliki resiko yang agak lebih besar dari pada wanita. Pasien tuberkulosis paru yang menderita diabetes mellitus memiliki kondisi klinik yang lebih berat sewaktu terjadinya onset penyakit, apalagi dengan derajat keterlibatan dan kerusakan paru yang lebih besar. Aspek radiologis pada tuberkulosis paru dan diabetes mellitus yang terjadi bersamaan menurut Guptan dan Shah (2000) pertamakalinya digambarkan oleh Sosman dan Steidl (1927) yang melaporkan bahwa diabetik tuberkulosis paru mempunyai gambaran radiologis khusus terdiri dari gambaran pertemuan aliran sungai, kavitasi, lesi yang menyebar dari hilum sampai perifer, predominan pada area bawah dengan luas sekitar 20%. Tetapi Ikezoe dkk (1992) dikutip Rom & Garay (2004), dalam tinjauan gambaran Computerized Tomography (CT) terhadap tuberkulosis paru pada pasien diabetik, menemukan bahwa tak ada predileksi lokasi yang tak lazim (lobus bawah, segmen anterior lobus atas atau lobus tengah kanan), namun terdapat prevalensi yang lebih tinggi multipel kavitas dalam beberapa lesi yang ada seperti distribusi non segmental dari tuberkulosis.
4. Pencegahan tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor yang menurunkan daya tahan alamiah dan didapat terhadap penyakit infeksi termasuk tuberkulosis paru. Karena itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan roentgenologis toraks pada penderita diabetes mellitus (Taufik, 1992). Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga mennyatakan bahwa semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya. Hal ini harus dilaksanakan dengan lebih ketat pada pasien yang berumur di atas 40 tahun atau pasien dengan berat badan yang kurang dari 10% dari berat badan ideal. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan terhadap beberapa kasus diabetik yang mengalami batuk yang tiba-tiba, kehilangan berat badan, radiogram dada abnormal atau yang membutuhkan peningkatan dosis insulin untuk kontrol gula darah harus diperiksa kemungkinan adanya tuberkulosis paru. American Thoracic Society (1986) telah merekomendasikan pada pasien diabetik, terutama pasien diabetes mellitus Tergantung Insulin dengan kontrol yang jelek, harus diberi kemoprofilaksis INH. Meskipun, kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan prevalensi diabetes mellitus dan tuberkulosis paru yang tinggi. Kemoprofilaksis sekunder pada pasien diabetik dengan tuberkulin positif biasanya direkomendasikan, walaupun beberapa penyelidik masih mempertanyakan apa manfaatnya yang nyata pada pasien diabetik tersebut (Rose dkk, 1985 dikutip dalam Guptan & Shah, 2000).
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Terjadinya Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Faktor yang secara umum menyebabkan kejadian infeksi tuberkulosis paru meliputi keadaan sosial lemah/miskin, diabetes mellitus, penduduk imigran, tidak mendapat vaksinasi BCG dan infeksi HIV (Gaude GS, 1998 dikutip dalam Lakshmi & Murthy, 1999). Faktor lain yang tak kalah pentingnya menurut Yunus dkk (1992) adalah faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis paru. Sementara American Lungs Association (2005) menambahkan dengan beberapa faktor lain, yaitu: orang-orang kontak erat penderita TB yang infeksius, orang-orang
yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan dan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma. Namun untuk kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus sendiri menurut Singh (1997 dikutip dalam Lakshmi dan Murthy, 1999) adalah adalah: jenis kelamin, umur, ras, malnutrisi dan lama penyakit (duration of illness). Dengan demikian, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor umur, faktor jenis kelamin, faktor pengetahuan, faktor pekerjaan, faktor sosial ekonomi, faktor malnutrisi (IMT < 18,5 kg/m2), faktor lama penyakit diabetes mellitus, faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru, faktor faktor ras dan faktor penduduk imigran serta faktor infeksi HIV. 1. Faktor umur Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang (Azwar, 1999). Sedangkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis terutama ditentukan oleh keampuhan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap tuberkulosis paru (Danusantoso, 1999). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pada penderita diabetes mellitus terdapat kondisi hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag. Di sisi lain Danusantoso (1999) menyatakan proses penuaan dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem pernapasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru, berupa: penurunan kekuatan dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan reflek batuk juga akan menurun. Maka kondisi umur tua dan diabetes mellitus, keduanya akan sama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh dan hal ini juga diperkuat oleh Lakshmi dan Murthy, 1999 menyatakan bahwa umur pasien dan derajat diabetes mellitus merupakan faktor yang signifikan menyokong terjadinya infeksi tuberkulosis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur seorang penderita, maka keampuhan sistem imunitas tubuhnya akan semakin berkurang. Sebagaimana halnya Guptan dan Shah (2000) membagi kategori usia penderita dengan dua kategori, yaitu umur 40 tahun ke atas dan umur dibawah 40 tahun. Pada kenyatannya di India penderita diabetes mellitus yang
berumur di atas 40 tahun lebih sering terkena tuberkulosis paru dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun. 2. Faktor jenis kelamin Menurut Azwar (1999) kondisi perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan, diantaranya terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria. Kaum pria lebih banyak yang merokok daripada kaum wanita. Selanjutnya terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita dan pria. Pada umumnya kaum wanita lebih memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada kaum pria. Hal yang tak kalah pentingnya adalah terdapatnya perbedaan macam pekerjaan, karena memang kaum pria yang lebih banyak bekerja. Guptan dan Shah (2000) melaporkan bahwa perbandingan angka kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus untuk pria dan wanita masing-masing adalah 10% dan 8,7%. Maka dengan demikian angka kejadian tuberkulosis paru lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus laki-laki daripada wanita. 3. Faktor Pengetahuan Secara umum Yunus dkk (1992) menyatakan bahwa faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tuberkulosis paru di Indonesia. Pada penelitian AB Silfa 2006 terhadap pasien diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS DR. M. Djamil Padang menggunakan uji statistik Fisher’s Exact terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Pengetahuan menurut Notoatmodjo (1997) merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (1997) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, seperti: awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang) trial, dan adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Bertitik tolak dari pernyataan Notoatmodjo (1997) tentang pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, maka jika pasien diabetes mellitus memiliki pengetahuan kesehatan yang baik tentang resiko terjadinya tuberkulosis paru, pasien akan mampu melaksanakan tindakan memodifikasi gaya hidupnya untuk mencegah tuberkulosis paru tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, mematuhi dan melaksanakan program pengobatan serta selalu menjaga kesehatan dan kebugarannya. Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga menganjurkan agar semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 1997). 4. Faktor pekerjaan Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, meliputi faktor lingkungan lingkungan pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan kerumunan dalam suatu tempat pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan penyakit di antara para pekerja. Sebagaimana tuberkulosis paru ini dapat ditularkan melalui percikan sputum (droplet nuclei), yang berukuran ± 5 mikron, yang mengandung basil tuberkulosis. Perbedaan jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang, menyebabkan terdapatnya pula perbedaan status sosial ekonomi (Azwar, 1999). Dimana pada keadaan sosial ekonomi yang lemah, penyakit tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus akan mudah berjangkit disebabkan faktor sosial ekonomi yang lemah seperti yang dinyatakan oleh Aditama (1990) akan menyebabkan sesorang susah untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal pemeriksaan kesehatan rutin dan dalam hal membeli obat-obatan. Berkaitan juga dengan jenis pekerjaan ini American Lungs Association (2005) menyatakan beberapa orang yang mempunyai resiko terkena penyakit tuberkulosis paru adalah: orang-orang yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis pekerjaan berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus.
5. Faktor sosial ekonomi Tuberkulosis paru umumnya menyerang masyarakat miskin (Yunus dkk, 1992). Lebih lanjut Aditama (1990) menyatakan akibat status sosial ekonomi yang rendah, maka seseorang akan sulit untuk menjangkau fasilitas kesehatan, tidak mampu membeli obat-obatan, tidak dapat memperoleh pendidikan yang tinggi, serta tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Sementara Yunus dkk (1992) juga menyatakan bahwa kemiskinan mengharuskan bekerja keras (secara fisik), sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. Menurut Azwar (1990), dalam membicarakan hubungan antara status sosial ekonomi dengan masalah kesehatan, yang paling sulit untuk menentukan status sosial ekonomi seseorang. Penentuan status sosial ekonomi secara langsung dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data tentang penghasilan dan kekayaan yang dimiliki. Namun hal ini amat sulit dilakukan di negara-negara yang sedang berkembang. Di Inggris penggolongan status sosial ekonomi didasarkan atas jenis pekerjaan seseorang, yakni: (I) professional, (II) menengah, (III) tenaga terampil, (IV) tenaga setengah terampil, dan (V) tidak mempunyai keterampilan. Di Indonesia penggolongan seperti ini sulit karena jenis pekerjaan tidak memberikan jaminan dalam perbedaan tingkat penghasilan (Notoatmodjo, 1997). Rendahnya status sosial ekonomi akan menyebabkan seorang penderita tidak sanggup menjangkau fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkaitan dengan deteksi dini penyakit tuberkulosis, dan membeli obat-obatan sebagaimana dinyatakan oleh Yunus dkk (1992). Hal ini tentu akan menyebabkan penyakit diabetes mellitus menjadi tidak terkontrol dengan baik. Dengan demikian semakin rendah tingkat sosial ekonomi penderita diabetes mellitus maka semakin besar resiki untuk terkena penyakit tuberkulosis. Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa dengan uji statistik Fisher’s Exact ternyata ada perbedaan proporsi antara responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi dengan responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah terhadap kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus dengan nilai p=0,011. Hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. 6. Faktor Malnutrisi Sebagaimana dinyatakan oleh Lakshmi & Murthy (1999) bahwa salah satu faktor penyebab
yang dihubungkan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor malnutrisi, maka pada semua kasus diabetes mellitus terdapat beberapa derajat malnutrisi akibat defek pada metabolisme. Kondisi malnutrisi pada pasien diabetes mellitus ini menurut Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004), digambarkan dengan berat badan di bawah normal. Sementara De Leon dkk (2004) menggunakan nilai pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) yang kurang dari 18 kg/m2 terhadap variabel yang menggambarkan keadaan klinis malnutrisi pada pasien diabetes mellitus dengan tuberkulosis paru di Meksiko. Pengukuran IMT ini merupakan salah satu bentuk pengukuran antropometrik yang dipakai dalam pengkajian status nutrisi secara akurat (Hartono, 2000). IMT dihitung dengan pembagian berat badan (dalam kg) oleh tinggi badan (dalam m) pangkat dua. Korelasi berat badan dengan jumlah total lemak tubuh cukup erat, kendati sebagian orang dengan lean body mass yang tinggi bisa memberikan IMT yang tinggi walaupun orang tersebut tidak gemuk. 7. Faktor lama penyakit (Duration Of Illness) Lakshmi & Murthy (1999) menyatakan bahwa Root (1934), dalam penelitian klasiknya telah mengamati terdapatnya peningkatan insiden tuberkulosis paru dengan lamanya diabetes mellitus. Senada dengan hal tersebut, Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004) juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan penyakit tuberkulosis paru pada pasien yang telah menderita diabetes mellitus lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang sehingga individu lebih rentan diserang oleh infeksi tuberkulosis paru (Lakshmi & Murthy, 1999). Dengan demikian semakin lama seseorang menderita diabetes mellitus, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan tuberkulosis paru. 8. Faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei dalam udara (Danusantoso, 2000). American Lungs Association (2005) menyatakan bahwa ketika orang-orang dengan tuberkulosis paru atau laring batuk, tertawa, bersin, bernyanyi, atau berbicara, maka kuman penyebab tuberkulosis berkemungkinan akan tersebar ke udara. Jika orang lain menghirup kuman ini, maka berkesempatan mereka akan
terkena infeksi tuberkulosis. Pada umumnya dibutuhkan kontak yang berulang-ulang untuk terjadinya proses infeksi tersebut. selanjutnya American Lungs Association (2005) menganjurkan kepada orang-orang agar melakukan tes tuberkulin jika memiliki gejala-gejala tuberkulosis atau jika tinggal bersama atau dengan kata kontak erat dengan seseorang yang sedang menderita penyakit tuberkulosis. Di Indonesia, sebagaimana di kebanyakan negara sedang berkembang lainnya, hampir semua penduduk dewasa sudah pernah mengalami infeksi oleh basil tuberkulosis pada masa mudanya, maka penyakit tuberkulosis pada orang dewasa di negara ini ditimbulkan oleh basil “tempo doeloe” yang mengalami reaktivasi. Untuk tes tuberkulin, selama tuberkulosis masih endemik di Indonesia, maka tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi kurang berarti (Danusantoso, 2000). Namun sesuai dengan pernyataan American Lungs Association (2005) bahwa jika seseorang, apalagi jika sudah menderita diabetes mellitus mempunyai kontak erat dengan penderita tuberkulosis yang infeksius, maka ia akan beresiko untuk terserang penyakit tuberkulosis paru. Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara kontak erat pasien diabetes mellitus dengan penderita tuberkulosis paru dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Akan tetapi, walaupun tidak terdapat anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita diabetes mellitus yang menderita tuberkulosis paru, masih banyak kesempatan bagi seorang pasien diabetes mellitus untuk tertular penyakit tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penyakit tuberkulosis ini sudah merupakan penyakit yang endemik di Indonesia, sehingga kontak atau penularan dapat berlangsung di mana saja ada kerumunan, di antaranya di pasar, di dalam gedung pertemuan atau gedung hiburan, di dalam kendaraan umum, dan sebagainya, dimana tuberkulosis akan tersebar dengan mudah dalam ruangan tertutup seperti halnya American Lungs Association (2005) melaporkan bahwa transmisi di dalam pesawat udara, walaupun jarang, tapi telah pernah dicatat sebelumnya.
PATOMEKANISME TB DENGAN DM Hubungan antara DM dan TB bersifat dua arah. Tuberkulosis dapat menyebabkan timbulnya kasus-kasus DM baru. Studi-studi juga telah menunjukkan prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa yang tinggi pada pasien TB. Diabetes dapat meningkatkan risiko terinfeksi Myocbacterium tuberculosis melalui beberapa mekanisme. Mekanisme-mekanisme tersebut diantaranya adalah yang berhubungan ;angsung dengan hiperglikema dan insulinopenia seluler, atau mekanisme tidak langsung terhadap fungsi sel pertahanan tubuh (makrofag dan sel limfosit), yang akan berdampak pada penurunan imunitas berupa gangguan respon selular pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis akan menurun. Efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi, hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi sel neutrofil dan monosit (makrofag) dalam pertahanan tubuh. Akibatnya terjadi penurunan fungsi fagosit/ membunuh kuman dalam merespons serangan infeksi kuman M.tuberculosis. KRITERIA PENGOBATAN TB DENGAN DM Saat ini data mengenai terapi TB dengan DM masih terbatas. Banyak pertanyaan yang belum ditentukan jawabannya seperti pasien TB dengan DM yang cenderung gagal pengobatan TB-nya apakah perlu dilakukan pengawasan terhadap konsentrasi obat, penyesuaian dosis atau mungkin dengan penambahan jangka waktu konsumsi OAT. Organisasi International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa belum terdapat bukti yang cukup untuk mengganti pengobatan standar TB yang ada ataupun membuat rekomendasi baru dalam penanganan TB pada pasien DM. Infectious Disease Society of America (IDSA) menyatakan bahwa pasien dengan tampakan kavitas saat foto toraks pertama kali dan hasil kultus positif setelah 2 bulan terapi obat TB meningkatkan resiko kambuh. Pasien dengan kriteria seperti ini sebaiknya memperpanjang fase lanjutan menjadi 7 bulan dengan total masa terapi TB sebanyak 9 bulan.
Dosis Obat TB Pirazinamid dan Etambutol pada umumnya perlu disesuaikan pada pasien dengan nefropati diabetik berdasarkan nilai kreatinin pasien. Panduan obat dengan regimen OAT 2RHZ(E-S)/4RH pada regulasi gula darah terkontrol/baik, 2RHZ(E-S)/7RH pada regulasi gula
darah tidak terkontrol, aspek pengontrolan DM, penggunaan obat Etambutol yang berhati-hati karena efek samping ke mata yang sering menjadi komplikasi penyakit DM, peningkatan dosis obat Rifampisin karena dapat mengganggu efektivitas obat oral antidiabetik dan pengontrolan kembali pasien setelah selesai menjalani terapi merupakan tata laksana TB paru dengan DM yang perlu diperhatikan. KOMPLKASI TB DENGAN DM