Makala Tb Dgn Dm Ibu Susanti.docx

  • Uploaded by: Adeningsi Manggas
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makala Tb Dgn Dm Ibu Susanti.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,693
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.1 Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor resiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.2 Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.1-2 Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas. Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT). Upaya pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat penting untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada penderita DM.1 2.2. rumusan masalah 1. memahami konsep pada penderita TB dengan DM 2

Memahami patomekanisme TB dengan DM

3

Memahami criteria pengobatan TB dengan DM

4

Komplikasi TB dengan DM

5

Penanganan pengobatan TB dengan penyakit DM

2.3 tujuan penulis TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 1

BAB II PEMBAHASAN

1.1 Konsep Diabetes mellitus dan Tuberkulosis Paru 1. Definisi Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes mellitus ini mempunyai etiologi yang bermacam-macam, meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin. Tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus (Price & Wilson, 1995). Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Noer, 1999). Lebih lanjut Noer (1999) menyatakan bahwa diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari adanya perubahan seperti minum yang menjadi banyak, buang air kecil lebih sering lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi berobat dan diperiksa kadar glukosanya. Noer (1999) juga mengatakan bahwa diabetes mellitus mungkin pula ditemukan pada pasien yang berobat untuk infeksi saluran kemih dan tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes mellitus mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit infeksi, khususnya tuberkulosis paru. Jika kepada mereka kemudian ditanyakan dengan teliti mengenai gejala dan tanda diabetes mellitus, pada umumnya juga akan ditemukan gejala khas diabetes mellitus, yaitu poliuria akibat diuresis osmotik, polidipsia, dan berat badan yang menurun. Dengan sendirinya, untuk diagnosa pasti harus dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah (Noer, 1999) Tuberkulosis paru (sering disingkat dengan TB paru) adalah suatu penyakit infeksi yang biasanya menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang hampir setiap bagian dari tubuh. Tuberkulosis paru dapat ditularkan dari orang ke orang melalui udara (American Lungs Association, 2005). Sedangkan Hinsaw & Murray (1980 dikutip dalam Yunus dkk, 1992) menyatakan bahwa tuberkulosis paru adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh basil Mikobakterium tuberkulosis yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis pada jaringan. Infeksi ini mengenai TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 2

berbagai organ di dalam tubuh, tetapi yang sering terkena adalah jaringan paru. Secara teoritis diagnosis tuberkulosis paru tidaklah susah. Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, temuan kelainan pada pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan radiologist toraks, dan pemeriksaan bakteriologis (Chan, 2005). Lebih lanjut Chan (2005) menyatakan bahwa diagnosis pasti tuberkulosis paru ditegakkan bila ditemukan BTA positif dalam sputum penderita. Bila BTA negatif, hasil pemeriksaan foto roentgen dada yang relevan untuk tuberkulosis dipakai sebagai dasar diagnosis. Selain itu tipe penderitanya pun dapat dibedakan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu Kasus Baru, Kasus Kambuh (Relaps), Gagal Pengobatan (Treatment Failure), Kasus Berobat Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Default/Drop Out), Kasus Pindahan (Transfer In) dan Kasus Kronik (Situmeang, 2004). 2. Tuberkulosis paru sebagai salah satu komplikasi diabetes mellitus Infeksi tuberkulosis pada diabetes mellitus biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi dari fokus infeksi yang lama daripada kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang baru saja terjadi. Dengan alasan inilah, tuberkulosis digambarkan sebagai komplikasi dari diabetes mellitus (Rao, 2005). Hal yang senada disampaikan oleh Noer (1999), diabetes mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ. Sejak ditemukannya insulin oleh Banting dan Best tahun 1921 serta kemudian dikembangkan dan diterapkannya pengelolaan terhadap penderita diabetes mellitus, gambaran komplikasi diabetes mellitus bergeser dari komplikasi akut ke arah komplikasi kronik. Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus adalah mudah timbul infeksi (makro dan mikrovaskuler) yang salah satunya adalah infeksi tuberkulosis pada paru-paru. Diabetes mellitus juga diakui sebagai salah satu faktor resiko independen terhadap berkembangnya infeksi saluran pernapasan bawah (Guptan & Shah, 2000). Secara umum, organisme yang menyebabkan infeksi/peradangan pada paru-paru memiliki kesamaan pada populasi non-diabetik; tetapi organisme gram-negatif, Stafilokokkus aureus, dan Mikobakterium tuberkulosis paru yang lebih sering patogen (Braunwald dkk, 2001). Selanjutnya individu dengan diabetes mellitus memperlihatkan suatu kekerapan dan derajat infeksi yang lebih berat. Pertimbangan yang dipakai untuk peningkatan infeksi ini meliputi kesenjangan yang menggambarkan kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, seperti halnya berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 3

(Lakshmi & Murthy, 1999). Mengenai mekanisme predisposisi pasien diabetes mellitus menjadi tuberkulosis paru belum dapat diketahui sepenuhnya. Perubahan pada imunitas seluler telah pernah diajukan. Hiperglikemia dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monositmakrofag (Rom & Garay, 2004). Lebih lanjut menurut Guptan dan Shah (2000) bahwa abnormalitas multipel pada fungsi fisiologis paru juga ditemukan pada diabetes mellitus yang berkontribusi terhadap keterlambatan pada perlawanan infeksi dan penyebarannya di dalam tubuh penderita. 3. Aspek klinis dan radiologis tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa gejala penyakit diabetes mellitus yang disertai oleh tuberkulosis paru penyakit akan saling menutupi, di antaranya pada kedua penyakit tersebut secara bersamaan terdapat penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan dan kelelahan umum. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa kondisi ini lebih umum terjadi pada usia di atas 40 tahun dan pria memiliki resiko yang agak lebih besar dari pada wanita. Pasien tuberkulosis paru yang menderita diabetes mellitus memiliki kondisi klinik yang lebih berat sewaktu terjadinya onset penyakit, apalagi dengan derajat keterlibatan dan kerusakan paru yang lebih besar. Aspek radiologis pada tuberkulosis paru dan diabetes mellitus yang terjadi bersamaan menurut Guptan dan Shah (2000) pertamakalinya digambarkan oleh Sosman dan Steidl (1927) yang melaporkan bahwa diabetik tuberkulosis paru mempunyai gambaran radiologis khusus terdiri dari gambaran pertemuan aliran sungai, kavitasi, lesi yang menyebar dari hilum sampai perifer, predominan pada area bawah dengan luas sekitar 20%. Tetapi Ikezoe dkk (1992) dikutip Rom & Garay (2004), dalam tinjauan gambaran Computerized Tomography (CT) terhadap tuberkulosis paru pada pasien diabetik, menemukan bahwa tak ada predileksi lokasi yang tak lazim (lobus bawah, segmen anterior lobus atas atau lobus tengah kanan), namun terdapat prevalensi yang lebih tinggi multipel kavitas dalam beberapa lesi yang ada seperti distribusi non segmental dari tuberkulosis. 4. Pencegahan tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor yang menurunkan daya tahan alamiah dan didapat terhadap penyakit infeksi termasuk tuberkulosis paru. Karena itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan roentgenologis toraks pada penderita diabetes TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 4

mellitus (Taufik, 1992). Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga mennyatakan bahwa semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya. Hal ini harus dilaksanakan dengan lebih ketat pada pasien yang berumur di atas 40 tahun atau pasien dengan berat badan yang kurang dari 10% dari berat badan ideal. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan terhadap beberapa kasus diabetik yang mengalami batuk yang tiba-tiba, kehilangan berat badan, radiogram dada abnormal atau yang membutuhkan peningkatan dosis insulin untuk kontrol gula darah harus diperiksa kemungkinan adanya tuberkulosis paru. American Thoracic Society (1986) telah merekomendasikan pada pasien diabetik, terutama pasien diabetes mellitus Tergantung Insulin dengan kontrol yang jelek, harus diberi kemoprofilaksis INH. Meskipun, kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan prevalensi diabetes mellitus dan tuberkulosis paru yang tinggi. Kemoprofilaksis sekunder pada pasien diabetik dengan tuberkulin positif biasanya direkomendasikan, walaupun beberapa penyelidik masih mempertanyakan apa manfaatnya yang nyata pada pasien diabetik tersebut (Rose dkk, 1985 dikutip dalam Guptan & Shah, 2000). 2.2 PATOMEKANISME TB DENGAN DM Hubungan antara DM dan TB bersifat dua arah. Tuberkulosis dapat menyebabkan timbulnya kasus-kasus DM baru. Studi-studi juga telah menunjukkan prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa yang tinggi pada pasien TB. Diabetes dapat meningkatkan risiko terinfeksi Myocbacterium tuberculosis melalui beberapa mekanisme. Mekanismemekanisme tersebut diantaranya adalah yang berhubungan langsung dengan hiperglikema dan insulinopenia seluler, atau mekanisme tidak langsung terhadap fungsi sel pertahanan tubuh (makrofag dan sel limfosit), yang akan berdampak pada penurunan imunitas berupa gangguan respon selular pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis akan menurun. Efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi, hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi sel neutrofil dan monosit (makrofag) dalam pertahanan tubuh. Akibatnya terjadi penurunan fungsi fagosit/ membunuh kuman dalam merespons serangan infeksi kuman M.tuberculosis.

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 5

a. Gangguan Fungsi Imun Pada Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan penurunan sistem imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan netrofil pada pasien DM yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan penurunan produksi mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1β serta IL-6. Limfosit Th1 mempunyai peranan penting untuk mengontrol dan menghambat pertumbuhan basil M.tb, sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun fungsi limfosit T secara primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik yang menurun. Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan tubuh melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif. Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi. Gangguan fungsi imun dan fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada tabel 1.

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 6

Tabel 1. Gangguan Fungsi Imun dan Fisiologis Paru Penderita DM

Kelainan fungsi imunologi paru pada DM Gangguan kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikrobisida polimorfonuklear

Disfungsi fisiologis paru pada DM Reaktifitas bronkial berkuran

Penurunan monosit perifer dengan gangguan fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi limfosit

Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3.

Sumbatan mukus pada saluran napas Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksemia

Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren, gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam.3 b. Hiperglikemia akibat Tuberculosis Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan 13% pasien TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan kontrol tanpa TB dengan usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar 3,2% yang memiliki DM, dari 13% pasien tersebut ternyata 60% didiagnosis sebagai pasien DM baru. Penelitian di Nigeria juga mendapatkan hasil bahwa pada pasien TB yang disertai dengan gangguan toleransi glukosa

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 7

Penelitian di Tanzania pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA) positif, 9 di antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus yang didiagnosis melalui tes toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB tambahan memberikan peningkatan pada prevalens DM menjadi 4%. Gangguan toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien (16,2%). Sebagai perbandingan survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan dan Shah pada suatu komunitas mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan GTG sebesar 8,8%. Gangguan toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi dibandingkan dengan DM. Walaupun GTG dapat kembali normal pada sejumlah besar kasus TB dengan kemoterapi yang efektif, namun persentase yang lebih tinggi pada GTG adalah signifikan karena menurut National Diabetes Data Group dari National Institutes of Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG dapat berkembang menjadi DM setiap tahunnya. Data-data yang telah ditemukan di atas menekankan pentingnya dilakukan uji penapisan DM pada pasien TB.1 Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. Hal inilah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi.3 c. Intoleransi Glukosa Pada Tuberculosis Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada perkembangan GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat merangsang hormon stres seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan yang bekerja secara sinergis meningkatkan kadar gula darah lebih dari 200 mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF α juga meningkat pada penyakit berat yang dapat merangsang sekresi hormon antiinsulin. Usia, penyakit komorbid dan alkohol juga dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon adrenokortiko-tropin, kortisol dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB, kelainan ini menyebabkan kemampuan respons inang terhadap stress menjadi terganggu.1 Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB yang berat dan ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan kalsifikasi lebih tinggi pada kasus DM dengan TB, mendorong suatu keadaan defisiensi insulin absolut. Kelompok protein transporter asam lemak yang terdapat pada basil tuberkel kemungkinan dapat menyebabkan disregulasi homeostasis energi pada penyakit TB. Gen protein transporter asam lemak dari mikobakterium yang diekspresikan pada hepatosit mamalia dapat meningkatkan ambilan TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 8

asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai panjang merupakan sumber energi penting pada sebagian besar organisme serta berfungsi pula sebagai hormon darah yang mengatur berbagai fungsi penting seperti metabolisme glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat gangguan metabolisme lipid tersebut.1 d.

Kerusakan pankreas akibat tuberkulosis Seorang ahli patologi Dr. Phillip Schwarz membuat hipotesis bahwa TB dapat menyebabkan DM karena terdapat amiloidosis pada pankreas. Otopsi yang dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia 16-87 tahun, Schwartz menemukan lesi TB yang berasal dari infeksi TB saat anak-anak

dan 224 kasus diantaranya terdapat amiloidosis pankreas.

Sebagian besar pasien yang diotopsi tersebut didiagnosis DM sebelum kematiannya sehingga diduga amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas tersebut yang menyebabkan DM. Menurut Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis pada pankreas yang menyebabkan DM harus dianggap sebagai kelainan imunologi yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan dengan uji laboratorium rutin, namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses kerusakan tersebut berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun sampai kelainan tersebut ditemukan.1 Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas yaitu melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik yang disebut sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb dan produk-produk inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan kerentanan inflamasi (reaksi hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis. Schwartz mengakui fakta bahwa mikroba tidak perlu selalu ditemukan dalam jaringan pankreas akan membingungkan para ilmuwan untuk generasi mendatang karena mereka akan menduga bahwa amiloidosis ini adalah suatu penyakit autoimun akibat ketidakmampuan untuk mengenali infeksi TB tersebut.1 Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu serangan mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran tuberkel bakteri dalam darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan kelenjar getah bening abdominal yang ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans dan epiteloid, merupakan tanda infeksi pada infeksi TB, biasanya tidak ditemukan pada jaringan pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya kalsifikasi dan amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa ketika pankreas mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens DM.1

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 9

2.3 KRITERIA PENGOBATAN TB DENGAN DM Saat ini data mengenai terapi TB dengan DM masih terbatas. Banyak pertanyaan yang belum ditentukan jawabannya seperti pasien TB dengan DM yang cenderung gagal pengobatan TB-nya apakah perlu dilakukan pengawasan terhadap konsentrasi obat, penyesuaian dosis atau mungkin dengan penambahan jangka waktu konsumsi OAT. Organisasi International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa belum terdapat bukti yang cukup untuk mengganti pengobatan standar TB yang ada ataupun membuat rekomendasi baru dalam penanganan TB pada pasien DM. Infectious Disease Society of America (IDSA) menyatakan bahwa pasien dengan tampakan kavitas saat foto toraks pertama kali dan hasil kultus positif setelah 2 bulan terapi obat TB meningkatkan resiko kambuh. Pasien dengan kriteria seperti ini sebaiknya memperpanjang fase lanjutan menjadi 7 bulan dengan total masa terapi TB sebanyak 9 bulan. Dosis Obat TB Pirazinamid dan Etambutol pada umumnya perlu disesuaikan pada pasien dengan nefropati diabetik berdasarkan nilai kreatinin pasien. Panduan obat dengan regimen OAT 2RHZ(E-S)/4RH pada regulasi gula darah terkontrol/baik, 2RHZ(ES)/7RH pada regulasi gula darah tidak terkontrol, aspek pengontrolan DM, penggunaan obat Etambutol yang berhati-hati karena efek samping ke mata yang sering menjadi komplikasi penyakit DM, peningkatan dosis obat Rifampisin karena dapat mengganggu efektivitas obat oral antidiabetik dan pengontrolan kembali pasien setelah selesai menjalani terapi merupakan tata laksana TB paru dengan DM yang perlu diperhatikan. 2.4 KOMPLKASI TB DENGAN DM Penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunde dari komplikasi mikroangiopati dan nefrofati. Gangguan neufrofati saraf apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas recoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi krbon dioksida.

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 10

2.5 FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN TERJADINYA TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

Faktor yang secara umum menyebabkan kejadian infeksi tuberkulosis paru meliputi keadaan sosial lemah/miskin, diabetes mellitus, penduduk imigran, tidak mendapat vaksinasi BCG dan infeksi HIV (Gaude GS, 1998 dikutip dalam Lakshmi & Murthy, 1999). Faktor lain yang tak kalah pentingnya menurut Yunus dkk (1992) adalah faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis paru. Sementara American Lungs Association (2005) menambahkan dengan beberapa faktor lain, yaitu: orang-orang kontak erat penderita TB yang infeksius, orang-orang yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan dan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma. Namun untuk kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus sendiri menurut Singh (1997 dikutip dalam Lakshmi dan Murthy, 1999) adalah adalah: jenis kelamin, umur, ras, malnutrisi dan lama penyakit (duration of illness). Dengan demikian, faktorfaktor yang berhubungan dengan terjadinya tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor umur, faktor jenis kelamin, faktor pengetahuan, faktor pekerjaan, faktor sosial ekonomi, faktor malnutrisi (IMT < 18,5 kg/m2), faktor lama penyakit diabetes mellitus, faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru, faktor faktor ras dan faktor penduduk imigran serta faktor infeksi HIV. 1. Faktor umur Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang (Azwar, 1999). Sedangkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis terutama ditentukan oleh keampuhan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap tuberkulosis paru (Danusantoso, 1999). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pada penderita diabetes mellitus terdapat kondisi hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monositmakrofag. Di sisi lain Danusantoso (1999) menyatakan proses penuaan dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem pernapasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru, berupa: penurunan kekuatan dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan reflek batuk juga akan TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 11

menurun. Maka kondisi umur tua dan diabetes mellitus, keduanya akan sama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh dan hal ini juga diperkuat oleh Lakshmi dan Murthy, 1999 menyatakan bahwa umur pasien dan derajat diabetes mellitus merupakan faktor yang signifikan menyokong terjadinya infeksi tuberkulosis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur seorang penderita, maka keampuhan sistem imunitas tubuhnya akan semakin berkurang. Sebagaimana halnya Guptan dan Shah (2000) membagi kategori usia penderita dengan dua kategori, yaitu umur 40 tahun ke atas dan umur dibawah 40 tahun. Pada kenyatannya di India penderita diabetes mellitus yang berumur di atas 40 tahun lebih sering terkena tuberkulosis paru dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun. 2. Faktor jenis kelamin Menurut Azwar (1999) kondisi perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan, diantaranya terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria. Kaum pria lebih banyak yang merokok daripada kaum wanita. Selanjutnya terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita dan pria. Pada umumnya kaum wanita lebih memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada kaum pria. Hal yang tak kalah pentingnya adalah terdapatnya perbedaan macam pekerjaan, karena memang kaum pria yang lebih banyak bekerja. Guptan dan Shah (2000) melaporkan bahwa perbandingan angka kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus untuk pria dan wanita masing-masing adalah 10% dan 8,7%. Maka dengan demikian angka kejadian tuberkulosis paru lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus laki-laki daripada wanita. 3. Faktor Pengetahuan Secara umum Yunus dkk (1992) menyatakan bahwa faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tuberkulosis paru di Indonesia. Pada penelitian AB Silfa 2006 terhadap pasien diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS DR. M. Djamil Padang menggunakan uji statistik Fisher’s Exact terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Pengetahuan menurut Notoatmodjo (1997) merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 12

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (1997) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, seperti: awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbangnimbang) trial, dan adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Bertitik tolak dari pernyataan Notoatmodjo (1997) tentang pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, maka jika pasien diabetes mellitus memiliki pengetahuan kesehatan yang baik tentang resiko terjadinya tuberkulosis paru, pasien akan mampu melaksanakan tindakan memodifikasi gaya hidupnya untuk mencegah tuberkulosis paru tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, mematuhi dan melaksanakan program pengobatan serta selalu menjaga kesehatan dan kebugarannya. Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga menganjurkan agar semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 1997). 4. Faktor pekerjaan Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, meliputi faktor lingkungan lingkungan pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan kerumunan dalam suatu tempat pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan penyakit di antara para pekerja. Sebagaimana tuberkulosis paru ini dapat ditularkan melalui percikan sputum (droplet nuclei), yang berukuran ± 5 mikron, yang mengandung basil tuberkulosis. Perbedaan jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang, menyebabkan terdapatnya pula perbedaan status sosial ekonomi (Azwar, 1999). Dimana pada keadaan sosial ekonomi yang lemah, penyakit tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus akan mudah berjangkit disebabkan faktor sosial ekonomi yang lemah seperti yang dinyatakan oleh Aditama (1990) akan menyebabkan sesorang susah untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal pemeriksaan kesehatan rutin dan dalam hal membeli obatTB Paru dengan Diabetes Mellitus | 13

obatan. Berkaitan juga dengan jenis pekerjaan ini American Lungs Association (2005) menyatakan beberapa orang yang mempunyai resiko terkena penyakit tuberkulosis paru adalah: orang-orang yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis pekerjaan berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus. 5. Faktor sosial ekonomi Tuberkulosis paru umumnya menyerang masyarakat miskin (Yunus dkk, 1992). Lebih lanjut Aditama (1990) menyatakan akibat status sosial ekonomi yang rendah, maka seseorang akan sulit untuk menjangkau fasilitas kesehatan, tidak mampu membeli obatobatan, tidak dapat memperoleh pendidikan yang tinggi, serta tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Sementara Yunus dkk (1992) juga menyatakan bahwa kemiskinan mengharuskan bekerja keras (secara fisik), sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. Menurut Azwar (1990), dalam membicarakan hubungan antara status sosial ekonomi dengan masalah kesehatan, yang paling sulit untuk menentukan status sosial ekonomi seseorang. Penentuan status sosial ekonomi secara langsung dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data tentang penghasilan dan kekayaan yang dimiliki. Namun hal ini amat sulit dilakukan di negara-negara yang sedang berkembang. Di Inggris penggolongan status sosial ekonomi didasarkan atas jenis pekerjaan seseorang, yakni: (I) professional, (II) menengah, (III) tenaga terampil, (IV) tenaga setengah terampil, dan (V) tidak mempunyai keterampilan. Di Indonesia penggolongan seperti ini sulit karena jenis pekerjaan tidak memberikan jaminan dalam perbedaan tingkat penghasilan (Notoatmodjo, 1997). Rendahnya status sosial ekonomi akan menyebabkan seorang penderita tidak sanggup menjangkau fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkaitan dengan deteksi dini penyakit tuberkulosis, dan membeli obat-obatan sebagaimana dinyatakan oleh Yunus dkk (1992). Hal ini tentu akan menyebabkan penyakit diabetes mellitus menjadi tidak terkontrol dengan baik. Dengan demikian semakin rendah tingkat sosial ekonomi penderita diabetes mellitus maka semakin besar resiki untuk terkena penyakit tuberkulosis. Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa dengan uji TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 14

statistik Fisher’s Exact ternyata ada perbedaan proporsi antara responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi dengan responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah terhadap kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus dengan nilai p=0,011. Hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. 6. Faktor Malnutrisi Sebagaimana dinyatakan oleh Lakshmi & Murthy (1999) bahwa salah satu faktor penyebab yang dihubungkan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor malnutrisi, maka pada semua kasus diabetes mellitus terdapat beberapa derajat malnutrisi akibat defek pada metabolisme. Kondisi malnutrisi pada pasien diabetes mellitus ini menurut Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004), digambarkan dengan berat badan di bawah normal. Sementara De Leon dkk (2004) menggunakan nilai pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) yang kurang dari 18 kg/m2 terhadap variabel yang menggambarkan keadaan klinis malnutrisi pada pasien diabetes mellitus dengan tuberkulosis paru di Meksiko. Pengukuran IMT ini merupakan salah satu bentuk pengukuran antropometrik yang dipakai dalam pengkajian status nutrisi secara akurat (Hartono, 2000). IMT dihitung dengan pembagian berat badan (dalam kg) oleh tinggi badan (dalam m) pangkat dua. Korelasi berat badan dengan jumlah total lemak tubuh cukup erat, kendati sebagian orang dengan lean body mass yang tinggi bisa memberikan IMT yang tinggi walaupun orang tersebut tidak gemuk. 7. Faktor lama penyakit (Duration Of Illness) Lakshmi & Murthy (1999) menyatakan bahwa Root (1934), dalam penelitian klasiknya telah mengamati terdapatnya peningkatan insiden tuberkulosis paru dengan lamanya diabetes mellitus. Senada dengan hal tersebut, Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004) juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan penyakit tuberkulosis paru pada pasien yang telah menderita diabetes mellitus lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang sehingga individu lebih rentan diserang oleh infeksi tuberkulosis paru (Lakshmi & Murthy, 1999). Dengan demikian semakin lama seseorang

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 15

menderita diabetes mellitus, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan tuberkulosis paru. 8. Faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei dalam udara (Danusantoso, 2000). American Lungs Association (2005) menyatakan bahwa ketika orang-orang dengan tuberkulosis paru atau laring batuk, tertawa, bersin, bernyanyi, atau berbicara, maka kuman penyebab tuberkulosis berkemungkinan akan tersebar ke udara. Jika orang lain menghirup kuman ini, maka berkesempatan mereka akan terkena infeksi tuberkulosis. Pada umumnya dibutuhkan kontak yang berulang-ulang untuk terjadinya proses infeksi tersebut. selanjutnya American Lungs Association (2005) menganjurkan kepada orang-orang agar melakukan tes tuberkulin jika memiliki gejala-gejala tuberkulosis atau jika tinggal bersama atau dengan kata kontak erat dengan seseorang yang sedang menderita penyakit tuberkulosis. Di Indonesia, sebagaimana di kebanyakan negara sedang berkembang lainnya, hampir semua penduduk dewasa sudah pernah mengalami infeksi oleh basil tuberkulosis pada masa mudanya, maka penyakit tuberkulosis pada orang dewasa di negara ini ditimbulkan oleh basil “tempo doeloe” yang mengalami reaktivasi. Untuk tes tuberkulin, selama tuberkulosis masih endemik di Indonesia, maka tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi kurang berarti (Danusantoso, 2000). Namun sesuai dengan pernyataan American Lungs Association (2005) bahwa jika seseorang, apalagi jika sudah menderita diabetes mellitus mempunyai kontak erat dengan penderita tuberkulosis yang infeksius, maka ia akan beresiko untuk terserang penyakit tuberkulosis paru. Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara kontak erat pasien diabetes mellitus dengan penderita tuberkulosis paru dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Akan tetapi, walaupun tidak terdapat anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita diabetes mellitus yang menderita tuberkulosis paru, masih banyak kesempatan bagi seorang pasien diabetes mellitus untuk tertular penyakit tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penyakit tuberkulosis ini sudah merupakan penyakit yang endemik di Indonesia, sehingga kontak atau penularan dapat berlangsung di mana saja ada kerumunan, di antaranya di pasar, di dalam gedung pertemuan atau gedung hiburan, di dalam kendaraan umum, dan sebagainya, dimana tuberkulosis akan tersebar dengan TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 16

mudah dalam ruangan tertutup seperti halnya American Lungs Association (2005) melaporkan bahwa transmisi di dalam pesawat udara, walaupun jarang, tapi telah pernah dicatat sebelumnya. 2.6 ASPEK KLINIS TB PARU DAN PASIEN DM Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa gejala penyakit diabetes mellitus yang disertai oleh tuberkulosis paru penyakit akan saling menutupi, di antaranya pada kedua penyakit tersebut secara bersamaan terdapat penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan dan kelelahan umum. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa kondisi ini lebih umum terjadi pada usia di atas 40 tahun dan pria memiliki resiko yang agak lebih besar dari pada wanita. Pasien tuberkulosis paru yang menderita diabetes mellitus memiliki kondisi klinik yang lebih berat sewaktu terjadinya onset penyakit, apalagi dengan derajat keterlibatan dan kerusakan paru yang lebih besar. 2.7 GAMBARAN RADIOLOGI PASIEN TB PARU - DM Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya lama sakit dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan Steidl melaporkan bahwa pada sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas, dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju bagian tepi, terutama pada zona bagian bawah paru, sementara pada pasien TB non DM lesi biasanya berupa infiltrat di lobus atas paru. Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Jabbar, dkk pada 173 pasien TB-DM mendapatkan gambaran radiologi sebagian besar melibatkan lapang bawah paru yaitu sebanyak 36%, lesi bilateral didapatkan pada 47% pasien, efusi pleura sebanyak 32% pasien. Lesi juga disertai dengan kavitas yang secara signifikan lebih sering ditemukan pada laki-laki sebanyak 32% dibandingkan dengan perempuan sebanyak 15%.1 Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM menemukan bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih banyak dibandingkan dengan lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya sebesar 16%. Lesi bilateral sebanyak 32%, 20% pasien terdapat kavitas pada paru dengan sebagian besar letak kavitas terdapat di lapang bawah paru yaitu 80%, lesi nodular ditemukan pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36% pasien. Mereka menyimpulkan bahwa gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM cenderung atipikal oleh karena itu bila menemukan pasien DM dengan gambaran lesi di lapang bawah paru harus dipikirkan kemungkinan infeksi TB sehingga dapat dilakukan diagnosis serta penanganan yang tepat.1 TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 17

Pada beberapa penelitian yang lain juga ditemukan gambaran radiologis yang umum ditemukan pada pasien TB-DM adalah berupa lesi yang mengenai banyak lobus serta kavitas multipel. Individu usia tua cenderung mengalami lesi di lobus bawah paru, kemungkinan hal ini disebabkan karena terjadi perubahan tekanan oksigen alveolar di lobus bawah paru yang disebabkan oleh pengaruh usia atau penyakit DM. Gambaran Radiologi pada pasien TB dengan Diabetes Mellitus

2.8

PENANGANAN DAN PENGOBATAN TB DENGAN PENYAKIT DM Prinsip pengobatan obat anti tuberculosis (OAT) terdiri dari dua fase yaitu fase intensif selama2 sampai 3 bulan dan fase lanjutan selama 4 sampai 6 bulan, terkadang sampai 12 bulan karena jumlah M.Tb yang harus diradikasi. Lini pertama pengobatan TB paru menggunakan rimfampisin, isoniazid,pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

a.

interaksi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Obat Hipoglikemia Oral (OHO) Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat juga harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TB-DM. Pasien TB-DM juga memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila dibandingkan dengan pasien non DM. Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer kuat terhadap enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme suatu zat termasuk enzim sitokrom P450. Induksi pada enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi efek pengobatan yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.1 TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 18

Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin besarnya bervariasi antara 20-70%. Takayasu dkk. mengamati bahwa rifampisin menginduksi hiperglikemia fase awal yang dihubungkan dengan peningkatan penyerapan di usus, namun tidak ada kasus diabetes yang nyata dan dia berpendapat bahwa rifampisin tidak diabetogenik. Efek rifampisin secara langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol glikemik menyebabkan perlunya monitoring kadar gula disertai dengan penyesuaian dosis OHO terutama pada pasien TB-DM. Isoniasid (INH)

dapat menyebabkan toksisitas berupa neuropati perifer yang dapat

memperburuk atau menyerupai neuropati diabetik, sehingga harus diberikan suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan TB pada pasien DM. Obat anti TB lain sangat jarang mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH mungkin dapat menyebabkan hiperglikemia dan pada kasus yang jarang DM mungkin menjadi sulit untuk dikontrol pada pasien yang menggunakan Pirazinamid.1 Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada pasien TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan TB terutama pada pasien-pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan dan kekambuhan TB lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB non DM. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih besar dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi rifampin plasma. Penelitian Nijland dkk. mendapatkan kadar rifampisin plasma 53% lebih rendah pada pasien TB-DM dibandingkan dengan pasien TB non DM. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien TB-DM yang lebih berat memerlukan dosis rifampin yang lebih besar dan kontrol glikemik yang lebih baik untuk meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. Diabetes melitus juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan protein dengan obat, insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat.1 b. Prinsip Pengobatan TB – DM Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. 3 Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 19

insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan hidrasi dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.3

Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan TB paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien TB-DM, yaitu :1-5 1. Paduan OAT (obat anti TB) pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol. 2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk menstabilkan kadar gula darahnya dan pengobatan harus dilanjutkan selama 9 bulan. 3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. 4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat interaksi Rifampisin dengan OHO golongan sulfonilurea sehingga dosisnya harus dinaikkan. 5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg% dan HbA1c <7%. 6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring terhadap efek samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system saraf. Pertimbangkan penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien dengan neuropati perifer. 7. Hati-hati memberikan terapi etambutol sehubungan efek sampingnya pada mata, karena penyandang DM juga sering terjadi komplikasi pada mata. 8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme harus dilakukan. 9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

c. Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 20

Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat metabolisme obatobat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang, INH dapat menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin.3 Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera dimulai dengan menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The American Association of Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog atau insulin modern karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring dengan tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi. Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :1 1. Infeksi TB yang berat. 2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau defisiensi endokrin pankreas. 3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek anabolic. 4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT. 5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.1

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 21

DAFTAR PUSTAKA

1. Prameshwari, A.I. Hubungan Tuberculosis Pada Diabetes Mellitus. 2013. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, FKUI/RSUP Persahabatan. Jakarta; Indonesia.

2. Cahyadi, A, Venty. Tuberculosis Paru Pada Pasien Diabetes Mellitus. 2011. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran universitas Kristen Atma Jaya- RS Atma Jaya. Jakarta; Indonesia.

3. Sidarta, P. Pengelolaan DM Tipe II yang Disertai TB Paru BTA Positif. 2009. Cited 28 Juni 2014. Available from http://www.usebrains.wordpress.com/2009/09/29/pengelolaan-dm-tipe-II-yangdisertai-tb-paru-bta-positif.

4. Bonas, A. Tuberkulosis Pada Penderita Diabetes Mellitus.2009. Cited 28 Juni 2014. Available from http://www.ansharbonassilfa.wordpress.com/2009/04/17/tuberkulosisdan-diabetes-mellitus.

5. Subagyo, Ahmad. TB dan DM Bila Menyerang Bersamaan. 2013. Cited 28 Juni 2013. Available from http://www.klikparu.com/2013/06/tb-dan-dm-bagaimana-bilamenyerang.html

TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 22

Related Documents


More Documents from "Dya Puthreey Abdullah Maika"

Makala Ibu Ratna.docx
November 2019 15
Sambungan Ibu Ratna.docx
November 2019 9
Judul - Copy.docx
November 2019 16
Materi Ibu Susanti.docx
November 2019 11