MAKIAN CHAVEZ DAN SOPAN SANTUN DIPLOMASI Oleh: Dodik Ariyanto
Hanya berselang hari sejak peristiwa kudeta di Thailand, kita kembali dikejutkan oleh pernyataan Presiden Venezuela Hugo Chavez di PBB bahwa Presiden Amerika Serikat adalah Iblis. “IBLIS itu kemarin berdiri di sini, bahkan hingga saat ini masih tercium bau busuknya”, begitu kira-kira bunyi pembukaan pidato Chavez yang diikuti oleh sebutan ofensif lain seperti “diktator”, “orang gila”, dan “imperialis” yang kesemuanya merupakan ungkapan sarkastik terhadap Presiden Bush yang kebetulan tampil di forum yang sama, sehari sebelumnya. Sinyalemen permusuhan yang ditunjukkan oleh orang pertama Venezuela tersebut kiranya dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sejarah permusuhan Chavez dengan AS dan dari profil individu Chavez sendiri. Hubungan
Chavez
dengan
Washington
memanas
sejak
Chavez
menolak
mendukung langkah AS di Afghanistan pasca Tragedi 11 September yang disebut Chavez sebagai tindakan “memerangi teror dengan teror”, yang implikasi tidak langsungnya adalah menyatakan bahwa AS sama juga dengan teroris. Beberapa bulan setelah pernyataan itu, terjadi upaya kudeta dan usaha menggulingkan Chavez melalui mekanisme konstitusional yang diindikasikan melibatkan AS tetapi berbuntut kegagalan. Chavez sendiri secara terbuka menunjuk AS sebagai dalang di balik kedua upaya penggulingan dirinya tersebut. Meskipun kemudian hubungan keduanya tidak harmonis, namun baik Chavez maupun Washington sama-sama berusaha menahan diri karena faktor saling ketergantungan menyangkut kekayaan minyak Venezuela yang mayoritas exploitasinya dilakukan oleh perusahaanperusahaan AS. Chavez sendiri dikenal sebagai figur provokatif. Sejak menduduki kursi kepresidenan tahun 1998, Chavez banyak menerapkan kebijakan kontroversial seperti penerapan land reform yang mengakuisisi tanah kelompok masyarakat tertentu tanpa kompensasi, serta kebijakan lain yang merugikan kelas menengah. Chavez berargumen
bahwa
kebijakan
tersebut
ditempuh
karena
alasan
tingginya
kesenjangan sosial di Venezuela yang kaya minyak, meskipun ia tahu bahwa pemilikan properti sipil dijamin oleh konstitusi. Perilakunya juga dipandang bias oleh masyarakat internasional saat Chavez melakukan kunjungan ke Kuba dan Irak pada saat kedua negara tersebut sedang “dikarantina”. Manuvernya yang paling kontroversial adalah klaim atas sebagian besar wilayah Guyana yang memprovokasi konfrontasi bilateral. Namun Chavez terkesan tidak mau peduli dengan stigma negatif yang melekat pada dirinya dan tetap tak tergoyahkan di dalam negeri berkat dukungan masyarakat kelas bawah yang merupakan kelompok mayoritas di Venezuela. Akumulasi kejengkelan terhadap AS dipadu dengan karakter individu Chavez mencapai klimaksnya saat otoritas AS melarang Kepala Keamanan Venezuela mendampingi Chavez mengikuti Sidang PBB, hal mana mendorong Chavez menjadi lepas kendali dan melampiaskan kekesalannya terhadap AS melalui Bush. Chavez mungkin memiliki alasan kuat untuk membenci AS, dan dalam konteks demokrasi apa yang dilakukan Chavez tentunya sah-sah saja. Meskipun tata tertib PBB tidak mengatur mengenai larangan mencaci maki di mimbar resmi dan bahkan menjamin kebebasannya, namun persoalannya adalah apakah hal tersebut dapat diterima menurut ukuran etika diplomasi? Lima abad lalu Machiavelli pernah menawarkan dua macam predikat kepada para setiap pangeran, yaitu “menyenangkan” ataukah “menakutkan”. Menurut Machiavelli predikat “menakutkan” lebih tepat disandang karena membuat seorang pangeran disegani dan ditakuti. Dalam stereotype Machiavelli, pangeran, raja atau presiden, haruslah merupakan perpaduan antara singa dan musang yang merupakan simbol kekuatan dan kecerdikan, kombinasi yang menginspirasi Hitler pada eranya, sehingga kata-kata kotor dan nama-nama binatang jamak dipakai sebagai sebutan pemimpin musuh dalam konteks “agar disegani dan ditakuti”. Namun dalam konteks sekarang, di mana negara-negara berdaulat sangat tergantung satu sama lain dan batas-batas kedaulatanpun sudah demikian sumir, konsep Machiavelli tersebut menjadi kurang relevan. Yang diperlukan di jaman ini adalah pangeran yang berwawasan multidimensi, cerdik membaca situasi, mampu mengendalikan diri, dan yang paling penting adalah santun, karena sikap provokatif cenderung mengundang
lebih banyak musuh daripada kawan dan yang hasilnya seringkali sangat tidak sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa sikap dan perkataan seorang pemimpin akan berdampak luas, dan bahkan dianggap mewakili negara sebagai sebuah kesatuan. Tamparan Chavez terhadap Bush, oleh karenanya, tidak hanya berdampak pada kedua pribadi tersebut. Cacian Chavez bisa dimaknai sebagai penghinaan Venezuela terhadap rakyat Amerika, karena rakyat Amerikalah yang memilih Bush sebagai presiden. Konsekuensinya, cepat atau lambat AS pasti menyiapkan jurus-jurus balasan kepada warga negara dan properti Venezuela yang sebenarnya tidak terlibat di dalam high politics yang dilakukan pemimpinnya. Di sinilah sebenenarnya fungsi diplomasi, di mana salah tujuan utamanya adalah melokalisir persoalan pada level yang seharusnya. Salah satu bentuk reaksi tidak proporsional sehingga pantas disesalkan adalah keputusan otoritas Amerika melarang Chavez, yang notabene adalah seorang kepala negara berdaulat yang juga merupakan anggota PBB, untuk tidak lagi menginjakkan kaki di tanah Amerika, tempat di mana kantor PBB berdiri. Akibatnya, persoalan
bergeser
menjadi
permusuhan
pribadi
dengan
Chavez
namun
kepentingan Venezuela sebagai sebuah negara tidak dipedulikan dan pertimbangan rasional serta legal menjadi terkesampingkan, sebagaimana pernah pula terjadi antara Dinasti Bush dengan Saddam Hussein. Siapakah yang akan diuntungkan dari kejadian ini? Langkah Chavez bisa jadi akan membuat AS melakukan instropeksi atas politik luar negerinya yang seringkali intervensif, karena kebetulan kredibilitas AS juga sedang tercoreng oleh publikasi Pervez Musharraf yang membeberkan intervensi kasar AS atas sebuah negara berdaulat. Namun penghinaan tersebut bisa pula justru meningkatkan popularitas Bush di mata rakyat Amerika yang merosot drastis sejak invasinya ke Irak dan keterlibatannya di Afghanistan. Ibarat mendapatkan musuh bersama, Bush yang ditusuk, rakyat Amerika-lah yang bersatu merasakan sakitnya. Pada level domestik, caci maki Chavez terhadap Bush mungkin akan meningkatkan popularitasnya menjelang Pemilu Desember 2006. Namun apabila Chavez lantas
mengusir simbol eksistensi AS dan mengakuisisi seluruh properti AS di Venezuela sebagaimana ia kemukakan dalam orasinya, dampaknya akan menjadi panjang, bukan hanya kemungkinan boikot oleh perusahaan-perusahaan multinasional sebagai bentuk solidaritas, namun juga kemungkinan sanksi PBB dan masyarakat internasional sebagaimana pernah terjadi terhadap Kuba. Selain itu, tutupnya perusahaan AS akan memunculkan reaksi dari kelompok kelas menengah dan oposisi yang, apabila tidak berhasil diatasi dengan baik oleh Chavez, dapat menjadi pukulan balik terhadapnya. Akhir kata, drama Chavez mengingatkan kita akan pentingya menjaga etika dan sopan santun dalam berpolitik. Apabila Amerika, yang konon dianggap “Kampiun Demokrasi”
dan
menjamin
seluas-luasnya
kebebasan
berpendapat,
dapat
tersinggung sehingga mengesampingkan aturan main yang berlaku, bagaimana jadinya apabila hal yang sama terjadi di Indonesia. Pernyataan bahwa “DPR bagaikan Taman Kanak-Kanak” tentunya tidak bisa disejajarkan dengan istilah “Iblis” dalam kamus Chavez, namun akibatnya kurang lebih serupa meskipun dalam konteks yang berbeda.