PROSPEK PEMERINTAHAN RI 2009-2014: Analisis terhadap pola Koalisi Partai Politik Pasca Pemilu Legislatif 2009
Disampaikan di depan KEDUTAAN BESAR RI DAN MASYARAKAT INDONESIA DI WELLINGTON
Oleh: Dodik Ariyanto ∗
Wellington, Agustus 2009
∗
Penulis adalah PhD Candidate Bidang Ilmu Politik di University of Canterbury
Yang Mulia Duta Besar, Yang terhormat Para Diplomat dan Staff KBRI, Yang terhormat Para Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri, Yang terhormat Para Hadirin sekalian,
Tahun 2009 dilihat sebagai momentum yang penting bagi Bangsa Indonesia karena di tahun ini Republik kita tercinta kembali menyelenggarakan hajatan nasional yaitu: Pemilihan anggota Legislatif pada April dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Juli 2009. Dari perspektif tradisi, event tersebut tentu bukan sesuatu yang luar biasa. Popular Vote, Election, Pemilu, Referendum, Public Participation, atau apapun namanya, an sich adalah bagian dari ritual demokrasi, sehingga paling tidak setiap lima tahun sekali rakyat Indonesia boleh berharap menjumpai event serupa. Pun demikian di dunia internasional. Di tahun 2009 ini saja tak kurang dari 50 negara juga menyelenggarakan hajatan yang kurang lebih sama. Dengan pengecualian segelintir negara seperti Iran, Somalia, dan Afghanistan misalnya, Pemilu-pemilu di Malta, El Savador, Bolivia, Swiss, Micronesia, Turkmenistan, Azerbaijan, Slovakia, Macedonia, Montenegro, Algeria, Bulgaria, Mexico, dan lain-lain pada dasarnya hanyalah prosesi rutin tanpa perlu mendapat perhatian yang berlebihan, baik dari masyarakat maupun media internasional. Oleh karenanya, tradisi Pemilu dalam sistem demokrasi, tak lain dan tak bukan, adalah fenomena “Kau Datang dan Pergi”. Page 2 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Namun demikian, Pemilu memiliki arti yang sangat mendasar apabila dilihat dari perspektif substansi. Pemilu bukan hanya mekanisme yang paling feasible sekaligus legitimate dalam merefleksikan aspirasi dan kehendak mayoritas selectorate masyarakat demokratis, melainkan juga menjadi milestone yang diharapkan membawa sebuah pemerintahan dan sederet pemimpin yang akan menjawab persoalan-persoalan yang belum sempat atau belum dapat diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya. Pemilu demokratis dengan indikator bebas, jujur, transparan, adil, dan accountable juga akan menjamin terjadinya transisi politik yang damai tanpa gejolak dan korban yang tidak perlu. Jika kita simak apa yang terjadi di Iran dan Somalia baru-baru ini misalnya, tentu tidak perlu kita jelaskan panjang lebar pentingnya Pemilu bagi entitas demokratis, dan sudah semestinya pula kita bersyukur karena Pemilu yang baru saja kita lalui tidak menyisakan gejolak politik yang cukup berarti. Pada kesempatan ini kita tidak akan membahas Pemilu sebagai fenomena demokrasi atau berpolemik seputar ideal-tidaknya Pemilu yang baru saja kita lalui, melainkan akan mencermati peta koalisi antara partai-partai pemenang Pemilu 2009, serta prospeknya terhadap masa depan hubungan Eksekutif-Legislatif periode 19992014. Di samping itu, kita juga akan mencoba memprediksi jawaban atas pertanyaan apakah kira-kira peta koalisi tersebut akan membawa Indonesia pada pemerintahan yang kuat dan efektif selama periode lima tahun kedepan ataukah sebaliknya. Sekedar catatan di awal, bahwasanya efektif tidaknya sebuah pemerintahan Page 3 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
ditentukan oleh banyak faktor yang sayangnya tidak mungkin dibahas sekaligus dalam satu sesi dan sekali lagi, diskusi kita kali ini hanya terfokus pada satu diantara sekian banyak faktor tersebut. Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian, Tabel di bawah menunjukkan partai-partai politik yang berkompetisi memperebutkan 560 kursi DPR pada Pemilu Legislatif 2009 yang jumlahnya mencapai angka 38. Jumlah kontestan tersebut memberi kesan “terlalu banyak” untuk sebuah sistem politik, namun hal itu bukanlah sebuah keanehan karena sejarah Indonesia mencatat jumlah kontestan Pemilu yang bahkan jauh lebih besar, seperti Pemilu 1955 yang mencatat angka 172 dan Pemilu 1999 dengan skor 48. Selebihnya relatif kecil jika dibanding Pemilu 2009, yaitu angka 10 pada Pemilu 1971, bilangan 3 untuk Pemilu-Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, dan angka 24 pada Pemilu 2004. Berapapun besaran bilangan tersebut kiranya tidaklah menjadi soal karena partisipasi politik di Indonesia berbasis pada sistem multipartai di mana kebebasan mendirikan partai politik dan berkompetisi dalam Pemilu dijamin seluas-luasnya sejauh memenuhi kriteria yang berlaku. Banyaknya kontestan Pemilu bahkan dianggap merefleksikan dinamika dan antusiasme publik terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan.
Page 4 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
PARTICIPANTS OF 2009 ELECTION
Sistem multi-partai memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihannya barangkali lebih terkait dengan aspek kualitas, di mana banyaknya kontestan diharapkan lebih dapat mewakili aspirasi rakyat yang sangat bervariasi. Namun nilai plus ini ternyata membawa konsekuensi yang pada gilirannya justru menjadi kelemahan, yaitu bahwa suara pemilih akan terdistribusi ke banyak partai sehingga sulit diharapkan tampilnya satu partai yang menguasai mayoritas tunggal dengan dukungan minimal setengah dari keseluruhan Selectorate. Partai Demokrat misalnya, partai yang berada di urutan pertama Pemilu Legislatif 2009, kenyataanya hanya mewakili seperlima Selectorate dan kira-kira hanya seperempat dari keseluruhan kursi DPR, begitu pula partai-partai utama seperti Golkar
Page 5 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
dan PDIP. Padahal munculnya mayoritas tunggal diperlukan guna melegitimasi sebuah pemerintahan demokratis.
Guna menjembatani kesenjangan ke arah mayoritas tunggal tersebut, Demokrasi menawarkan bentuk solusi yaitu Koalisi. Ketika tidak ada satupun partai yang mengklaim mayoritas dukungan, maka partai-partai didorong untuk melakukan koalisi dengan asumsi bahwa gabungan partai-partai yang mewakili konstituen, secara prinsip adalah kolaborasi di antara konstituen itu sendiri, sehingga ketika koalisi telah mencapai posisi mayoritas, maka secara prinsip mereka memiliki legitimasi dalam memerintah.
Kelemahan lain sistem multi-partai adalah “Ke-tidak-ter-wakil-an”. Demokrasi dibangun antara lain dengan tujuan mengakomodir setiap aspirasi, namun mekanisme Perwakilan yang juga merupakan elemen Demokrasi tidak memungkinkan tercapainya secara maksimal tujuan tersebut sehingga muncul istilah Ambang Batas Parlemen (Electoral treshold) yang pada pemilu 2009 ini ditentukan 2.5% dari keseluruhan Selectorate. Artinya, meskipun kebebasan mendirikan agregator politik di jamin seluas-luasnya, namun tidak ada jaminan bahwa representasi semua partai politik akan duduk di kursi parlemen mewakili konstituennya masing-masing. Hanya partai yang memperoleh minimal 2.5% dukungan-lah yang boleh menempatkan wakil-wakilnya di Parlemen. Akibatnya, partai-partai yang tidak mampu memenuhi syarat minimal dukungan tersebut terpaksa harus “Gigit jari”, seperti yang terjadi pada Pemilu Legislatif kali ini di mana sekitar 20% suara terpaksa harus ‘dialihkan’ karena Page 6 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
perolehan suara partai politik mereka tidak memenuhi syarat Ambang Batas Parlemen. Aspirasi konstituen partai-partai ini terpaksa “dititipkan” kepada partai-partai yang lolos Electoral Treshold yang pembagiannya di atur secara lebih teknis oleh sistem proporsional.
THE CHAMPIONS 20.85%
14.45%
14.03%
7.88%
6.01%
5.32%
4.94%
4.46%
3.77%
Itulah sebabnya mengapa terdapat perbedaan antara prosentase suara yang diperoleh dalam Pemilu dengan prosentase kursi di DPR. Partai Demokrat misalnya, yang pada saat Pemilu memperoleh 20.85% suara, di DPR mengambil 148 kursi atau 26.43% (ada selisih sekitar 6%). PDIP yang memperoleh 14.03% suara di DPR memperoleh 93 kursi atau 16.61% (selisihnya sekitar 2%), sehingga pada akhirnya DPR tetap mencerminkan 100% suara meskipun tidak sepenuhnya mewakili aspirasi konstituen. Page 7 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Perolehan suara dan Distribusi Kursi DPR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Party Votes % Demokrat 21,703,137 20.85% Golkar 15,037,757 14.45% PDIP 14,600,091 14.03% PKS 8.206.955 7.88% PAN 6,254,580 6.01% PPP 5,533,214 5.32% PKB 5,146,122 4.94% GERINDRA 4,646,406 4.46% HANURA 3,922,870 3.77%
Seats 150 107 95 57 43 37 27 26 18
Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian, Dalam tataran teori, perilaku koalisi sering dikaitkan dengan pertanyaan « Siapa dapat Apa, Kapan, dan Bagaimana?” dimana strategi partai politik akan dipengaruhi oleh banyak variabel seperti: variabel situasional (kekuatan partai, posisi partai, undang-undang Pemilu, aturan-aturan tak tertulis, opini publik, faktor ancaman dsb) ; variabel kesesuaian (ideologi, basis sosial, faktor pemimpin, sumber daya, tradisi partai, faktor sejarah, dsb) ; variabel motivasional (faktor nilai, jaminan, kendala, survival, identitas, dsb) ; variabel interaksi (aspirasi, perkiraan, kriteria, pengaruh, propaganda, tawar menawar, resiko, dsb) dan penjabarannya tentu akan sedikit rumit. Namun dalam tataran praktis pemahaman atas perilaku koalisi akan lebih Page 8 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
sederhana, yaitu terkait dengan dua macam tujuan yang biasa disebut sebagai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk kasus Indonesia, tujuan pertama adalah mendudukkan kader-kader partai pada jabatan-jabatan kunci di Eksekutif dan yang lebih utama lagi adalah mengusung figur tertentu sebagai calon presiden dan wakil presiden yang sejak Pemilu 2004 dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada Pemilu 2009 ini, persayaratan bagi partai politik yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden ditentukan sebesar minimal 20% suara atau 25% kursi DPR sehingga hanya Partai Demokrat yang dapat mengajukan calonnya sebagai kandidat presiden dan wakil presiden tanpa melakukan koalisi, sementara partai-partai lainnya harus berkoalisi jika ingin turut mengajukan calon. PDIP yang sejak awal mencalonkan Megawati Sukarnoputri sebagai calon Presiden, misalnya, hanya mempunyai dukungan sebesar sekitar 14% suara sehingga harus berkoalisi dengan Gerindra agar mencukupi persyaratan minimal 20%, begitu pula dengan Golkar yang berkoalisi dengan Hanura demi mencalonkan Yusuf Kalla.
Berbeda dengan tujuan pertama, tujuan kedua lebih bersifat jangka panjang, yaitu menyusun kekuatan efektif di parlemen guna mempengaruhi pemerintahan ke depan. Semakin besar kekuatan partai atau gabungan partai di DPR, maka semakin besar pula kemampuan mereka dalam mempengaruhi kebijakan publik yang dijalankan oleh Presiden dan kabinetnya. Di sini terlihat bahwa tujuan akhirnya cukup sederhana namun formulasi ke arah koalisi biasanya cukup rumit, di mana perilaku partai akan cenderung dipengaruhi Page 9 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
oleh variabel-variabel teoritis sebagaimana disebut di atas. Pergulatan politik menyangkut « Siapa akan mendapat Apa dan Bagaimana ? » tercermin dari alotnya komunikasi politik dan tawar menawar di antara partai politik sembari melibatkan unsur-unsur ideologi, platform, fakta historis, dan sebagainya, hal mana biasanya hanya dapat diatasi oleh ‘pragmatisme politik’. Oleh karenanya, ketika misalnya partai-partai yang berseberangan secara ideologi atau sebelumnya bermusuhan namun kemudian berkoalisi, maka sesungguhnya perilaku partai-partai tersebut lebih didasarkan pada tujuan jangka pendek dan, jikapun memiliki tujuan jangka panjang, maka tujuan tersebut lebih bersifat « pragmatis » sehingga relatif kurang langgeng. Polanya-pun selalu berubah dari waktu ke waktu tergantung kondisi politik yang melatar-belakangi. Pun demikian, arahnya cukup dapat diprediksi melalui antara lain kecenderungan perilaku Selectorate serta trend politik yang berkembang. Jika kita amati perolehan suara ke-sembilan partai pemenang Pemilu 2009, beberapa indikator kiranya cukup relevan dalam membantu analisis kita menyangkut pragmatisme koalisi, yaitu: perolehan suara Partai Demokrat yang melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan Pemilu sebelumnya, dan; menguatnya konstitusionalisme dalam praktek politik.
Page 10 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
The Winning Parties of 2004 Election 30 25 20 15 10
Others
PKS
PAN
PKB
Demokra
PPP
0
PDIP
5 Golkar
Golkar: 21.58 PDIP: 18.53 PPP: 10.57 Demokrat: 8.15 PKB:7.45 PAN: 7.34 PKS: 6.44 Others: 26.38
Pada Pemilu 2004 Partai Demokrat hanya memperoleh 8.15% suara yang membawa partai ini sebagai salah satu partai menengah namun masih kalah dibandingkan dengan Golkar dan PDIP atau bahkan PPP. Pada Pemilu 2009, perolehan suara Partai Demokrat melonjak secara fantastis sebesar hampir 200% yaitu 20.85% dari total suara. Penjelasan atas fenomena ini biasanya mengarah pada faktor SBY dan keberhasilan relatif Eksekutif 2004-2009 di bawah kepemimpinan SBY-Kalla. Artinya, ketika rakyat merasa cukup puas dengan kinerja Eksekutif periode 2004-2009, Partai Demokrat yang mengusung SBY dianggap menuai berkahnya. Logika ini bisa saja benar namun ada aspek yang terlupakan yaitu bahwa keberadaan SBY di Eksekutif semestinya sepaket dengan Yusuf Kalla yang diusung oleh Golkar. Kecuali kita ingin mengatakan bahwa perilaku memilih rakyat Indonesia kurang rasional, semestinya perolehan suara Golkar juga
Page 11 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
ikut terangkat, atau paling tidak bertahan. Kenyataannya justru suara Golkar anjlok dari 21.58% menjadi hanya 14.45%.
Hal yang lebih substantif di balik fenomena ini kiranya adalah indikator semakin memudarnya politik aliran yang dipercaya mewarnai Pemilu 1955, sempat memudar pada Pemilu 1971 dan sirna hingga Pemilu 1997, namun menguat kembali sejak Pemilu 1999 dan masih cukup dominan pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 1999 PDIP (yang menurut perspektif politik aliran merepresentasikan Kelompok Nasionalis) memperoleh lebih dari sepertiga suara, sedangkan sisanya terbagi secara proporsional di antara Golkar (dilihat sebagai representasi kelompok priyayi dan birokrat) serta PPP, PKB, PAN, PBB dan PK (kelompok Santri). Dari perspektif ini Partai Demokrat cukup sulit diklasifikasikan ke dalam salah satu diantara aliran-aliran tersebut, baik dari sisi warna, platform, maupun figur-figur utama partai. Demokrat bisa disebut sebagai partai « Gado-gado » atau istilah ilmiahnya-nya « Pluralis », sehingga ketika partai ini mendulang suara, sinyal yang disampaikan kepada partai-partai lain adalah bahwa aspirasi Selectorate pada Pemilu 2009 cenderung tidak berdasar aliran. Konsekuensinya, di dalam berkoalisi pasca Pemilu Legislatif 2009, partai-partai politik cenderung tidak menempatkan aspek ideologi sebagai prioritas utama, termasuk ketika mengajukan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jika pada Pemilu 1999 dan 2004 pasanganpasangan: Wiranto-Solahudin Wahid (Priyayi-Santri); Megawati Sukarnoputri-Hasyim Muzadi (Nasionalis-Santri); Abdurrahman Wahid-Marwah Daud Ibrahim (Santri-Santri/non Jawa); Hamzah HazPage 12 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Agum Gumelar (Santri/Non Jawa-Priyayi); Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla (Priyayi-Santri/Non Jawa); Amien RaisSiswono Yudhohusodo (Santri-Priyayi); masing-masing kurang lebih merefleksikan kombinasi politik aliran, pasangan-pasangan pada Pilpres 2009 yaitu: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Priyayi/Jawa-nonpartai/Jawa); Yusuf Kalla-Wiranto (Santri/NonJawa-Priyayi/Jawa) dan; Megawati-Prabowo (Nasionalis/JawaPriyayi/Jawa) lebih menunjukkan dominasi pragmatisme politik daripada warna aliran. Fakta-fakta tersebut menegaskan keyakinan bahwa perilaku Selectorate mempengaruhi strategi partai dalam berkoalisi.
The Winning Parties of 1999 Election PDIP: 33.73 Golkar: 22.43 PPP: 12.60 PKB: 10.7 PAN: 7.11 PBB: 1.94 PK: 1.36 Others:10.13
10% 1% 2% 34%
7% 11%
13% 22%
PDIP Golkar PPP PKB PAN PBB PK Others
Faktor kedua yang turut menentukan strategi koalisi partai adalah trend, yaitu semakin menguatnya konstitusionalisme dalam praktek politik. Berbeda dengan pola politik aliran yang semakin memudar, Page 13 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
pada Pemilu kali ini konstitusionalisme justru menujukkan trend sebaliknya. Trend ini terutama terlihat sejak Pemilu 2004 yang ditandai dengan Pemilihan Presiden Langsung menyusul Amandemen ketiga Konstitusi bulan November 2001. Pemilu 1999 dilihat sebagai Pemilu ‘Demokratis’ kedua dalam sejarah RI setelah Pemilu 1955 namun trend politiknya belum bisa disebut konstitusional, di mana kriteria Demokratis terlihat dari perspektif campur tangan pemerintah yang minimal, peraturan dan perundangan yang tidak memihak, partai-partai yang politik bebas berkampanye, pendidikan politik yang meluas, distribusi dan manajemen logistik yang transparan, yang secara keseluruhan kurang lebih mirip dengan situasi Pemilu 1955 kecuali komposisi anggota DPR yang tidak sepenuhnya dipilih. Sebaliknya, PemiluPemilu 1971 hingga 1997 “rigged” karena campur tangan Eksekutif dan Militer sangat terasa, sehingga menurut kategori ini tidak demokratis. Hanya Pemilu 2004 yang mewakili keseluruhan ilustrasi situasi Pemilu 1955 dan 1999 namun ditambah dengan ketentuan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sekaligus implementasi Konstitusi sebagai rujukan utama khususnya dalam mengatasi benturan-benturan menyangkut pelaksanaan Pemilu.
Salah satu dampak positif konstitusionalisme adalah bahwa kontestan Pemilu cenderung berorientasi pada stabilitas sistem daripada vested interest masing-masing partai sehingga berbagai friksi dan ketidak-puasan yang muncul diantara kontestan, baik menyangkut aturan main maupun pelaksanaan Pemilu, disalurkan Page 14 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
melalui jalur konstitusi, yang pada gilirannya membuat Pemilu 2009 tetap berjalan smooth meski terdapat serangkaian ketidak-puasan diantara kontestan. Yang menang dan yang kalah menerima hasil Pemilu, yang tidak puas menyerahkan solusi atas komplain mereka kepada mekanisme konstitusi, dan yang menang kemudian berkonsentrasi pada perjuangan berikutnya yakni menyusun kekuatan melalui koalisi ‘pragmatis’ di Parlemen.
PETA KOALISI PADA SAAT INI
18.49% 121 seats/ 21.6 %
18.22% 125 seats/
45%votes 314 seats/56.07%
22.32%
Pada bagan di atas terlihat tiga kelompok warna yang menggambarkan bagaimana kira-kira koalisi di DPR pasca Pemilu Legislatif 2009. Kelompok pertama tersusun oleh warna-warna Hitam-Hijau-Biru muda dan didominasi oleh warna Biru dengan total Page 15 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
kekuatan 314 kursi atau 56% dari jumlah 560 kursi DPR. Warna Biru Muda merujuk pada Demokrat (pluralis), sedang hitam, hijau, dan biru tua mewakili empat partai beraliran santri. Kelompok kedua tersusun oleh dua warna yaitu merah (PDIP) dan merah-putih (Gerindra) didominasi oleh warna merah (PDIP) dengan total kekuatan di parlemen 21.6%. Kelompok ketiga adalah Koalisi GolkarHanura dengan kekuatan di Parlemen 22.32% menggabungkan warna Kuning-Putih dan didominasi oleh warna kuning (Golkar). Artinya, kekuatan Parlemen pasca Pemilu Legislatif 2009 terbagi ke dalam tiga polar yang masing-masing didominasi oleh tiga besar pemenang Pemilu 2009 yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP.
Oleh karena Pemilu Eksekutif telah berlalu dan dimenangkan oleh Koalisi Biru, maka peta koalisi sebagaimana digambarkan di atas kemungkinan besar juga akan berubah di mana beberapa scenario bisa pula berlaku. Boleh jadi PDIP akan bergabung dengan Demokrat sebagai incumbent, atau Golkar yang akan berlaku demikian, atau salah satu menjadi oposisi, atau bahkan semuanya bisa saja bergabung dalam satu koalisi di bawah incumbent sehingga “Merah Kuning Hijau di langit yang Biru” akan melengkapi syair “PelangiPelangi Alangkah Indahmu”. Namun menurut kalkukasi yang cukup realistis, barangkali skenario di bawah inilah yang cukup feasible dan rasional, dimana apabila Koalisi Golkar-Hanura bergabung dengan Koalisi PDIP-Gerindra, maka komposisi kekuatan di DPR akan terlihat cukup ideal. Pertama, Koalisi pendukung pemerintah masih menguasai mayoritas Legislatif sehingga Eksekutif akan relatif kuat karena kebijakan-kebijakannya akan memperoleh back-up yang Page 16 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
cukup dari DPR. Kedua, porsi kekuatan yang relatif setara membuat oposisi cukup bisa diharapkan sebagai pengimbang yang efektif, sehingga fungsi Check and Balance kemungkinan akan berjalan ideal. Tentu akan berbeda situasinya apabila katakanlah koalisi Demokrat menguasai 75% atau lebih kekuatan DPR. Jika demikian, dapat dibayangkan oposisi akan cenderung lemah dan Eksekutif cenderung mendikte kebijakan dan arah pemerintahan sehingga beresiko mengembalikan citra negatif “Tukang Stempel” yang pernah disandang Legislatif pada masa Orde Baru.
SCENARIO Incumbent
Opposition
246 seats 314 seats
43.93%
56.07%
Page 17 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian, Sekarang kita akan menjawab pertanyaan utama diskusi kita, yaitu apakah pola koalisi pasca Pemilu 2009 cenderung membawa pemerintahan yang stabil dan efektif selama periode 2009-2014 ataukah justru sebaliknya?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu kita lihat kembali sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Pertamatama perlu diingat bahwa kekuasaan pemerintahan negara diatur menurut teori “Separation of Power” atau “Pemisahan Kekuasaan”. Secara “pure”, doktrin ini kurang lebih berbunyi bahwa “guna menjamin terciptanya dan terpeliharanya kebebasan politik, kekuasaan pemerintahan perlu dibagi kedalam tiga cabang kekuasaan, yaitu: Pemerintah (Eksekutif), Parlemen (Legislatif) dan kekuasaan yudisial (Judikatif), di mana masing-masing menjalankan fungsinya secara terpisah tanpa campur tangan satu sama lain. Presiden (dan pembantu-pembantunya di Kabinet), Anggota Parlemen serta Mahkamah Agung tidak boleh merangkap atau menduduki lebih dari satu cabang kekuasaan dengan tujuan agar masing-masing lembaga dapat saling mengontrol, dan agar kekuasaan pemerintahan tidak terpusat pada satu tangan”, dan oleh karena doktrin tersebut diterapkan secara bervariasi sementara kita ingin melihat sejauh mana aplikasinya di Indonesia, kita sebut saja versi asli Teori Pemisahan Kekuasaan ini sebagai “Bench-mark” atau “Ideal type”. Page 18 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Versi asli doktrin ini sesungguhnya telah ditolak semenjak lebih dari tiga abad silam ketika aplikasinya pada sistem pemerintahan Inggris abad 17 bermuara pada persaingan sengit antara Monarkhi (King of England) dan dan the House of Lords (Parlemen). Hasil dari persaingan inilah yang kemudian diadopsi oleh mayoritas negara demokrasi saat ini dengan beragam modifikasi. Pertama, bahwa Presiden, meskipun masih memiliki kekuasaan prerogratif yang signifikan, harus menghormati supremasi hukum (limited government), dan pada gilirannya harus mengakui supremasi parlemen yang membuatnya; Kedua, meskipun benchmark pemisahan kekuasaan ditolak, namun semangat dan prinsipnya tetap tidak dilupakan sehingga formulasi asas pemisahan kekuasaan yang baru sesungguhnya merupakan amalgam yang menggabungkan prinsip “Mixed government”, “Supremasi Legislatif” dan “Pemisahan Kekuasaan” yang kemudian dimanifestasikan ke dalam teori “Balanced Constitution” yang menuai sukses di Inggris pada sistem pemerintahan Inggris abad 18.
Adopsi atas prinsip-prinsip amalgam tersebut oleh sistem politik Indonesia tercermin dari struktur kenegaraan yang menempatkan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam posisi setara, sementara Konstitusi ditempatkan di posisi tertinggi yang mengatasi semua lembaga negara yang ada. Artinya, ketiga lembaga negara tersebut harus tunduk pada, dan tidak dibolehkan bertentangan dengan UUD 1945, namun ketiganya dapat pula mempengaruhi Konstitusi sehingga muncul istilah “Negara Konstitusional”. Tujuannya Page 19 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
barangkali adalah agar semua lembaga negara menghargai supremasi UUD 45 tanpa mendudukkan lembaga yang berwenang membuat atau mengamandemen konstitusi (Parlemen) lebih superior terhadap lembaga lainnya, dan untuk memastikan aturan main ini, amandemen konstitusi hanya berlaku di bawah persyaratan yang sangat ketat. Pengaruh Eksekutif terhadap konstitusi juga dimungkinkan, bukan melalui hak veto melainkan secara tak langsung melalui koalisi pemerintah di DPR. Atas pertimbangan inilah barangkali: 1) bahwa asas pemisahan kekuasaan di Indonesia tidak didisain untuk memisahkan sama sekali lembaga Eksekutif dari Legislatif; 2) bahwa Eksekutif memiliki prerogratif yang besar namun tetap memerlukan dukungan signifikan di Parlemen; 3) bahwa kaderkader partai perlu dilibatkan dalam Kabinet, dan; 4) bahwa Presiden semestinya memiliki basis dukungan partai di DPR/bukan calon independen. Singkatnya, asas pemisahan kekuasaan diaplikasikan bukan melalui pembagian kekuasaan secara linear melainkan melalui penguatan masing-masing lembaga negara di bawah kerangka konstitusi. Manisfestasinya: Eksekutif dan DPR yang sama-sama kuat, di mana masing-masing diharapkan mampu mengontrol satu sama lain, punya keterkaitan satu sama lain, namun tetap memiliki independensi yang tinggi. Dengan demikian, melihat efektif tidak-nya pemerintahan dari perspektif koalisi di DPR adalah cukup relevan menurut argumen ini sehingga mari kita lihat kembali berbagai skenario di awal tadi.
Page 20 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
The Incumbent 47.8% 52.2%
56.07% Jika kita jabarkan satu-persatu skenario koalisi di DPR pasca Pemilu 2009, koalisi pemerintah kurang lebih seperti terlihat ada gambar di atas. Di situ terlihat bahwa hampir setengah kekuatan Koalisi Pemerintah di DPR dikuasai oleh Partai Demokrat yang notabene adalah partai politik “Milik” Presiden SBY (Kepala Eksekutif). Artinya, Eksekutif cenderung memiliki back-up yang cukup dari koalisi pemerintah sehingga fenomena “Matahari Kembar” yang diasosiasikan dengan peta kekuatan Golkar-Demokrat pada koalisi pemerintah di parlemen periode 2004-2009 kemungkinan tidak perlu lagi terjadi karena kali ini Presiden didukung oleh partai dominan. Komposisi tersebut cukup ideal namun terdapat beberapa potensi persoalan, yaitu: Pertama, struktur hubungan empat partai mitra koalisi Demokrat yang relatif rapuh. Meskipun sama-sama dari Page 21 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
golongan Santri, partai-partai PPP, PKB, PAN dan PKS selama ini dikenal lebih tidak sejalan daripada sebaliknya. Akibatnya, potensi ketidak-sepahaman antara partai-partai mitra pemerintah cukup besar sehingga akan merongrong koalisi pemerintah di DPR dan bahkan dapat merembet hingga ke Kabinet apabila ternyata menterimenteri yang berasal dari partai politik lebih bersaing daripada saling mendukung. Eksekutif memang mengklaim jumlah yang cukup di koalisi pemerintah, namun vis-à-vis oposisi, sustainability-nya relatif tergantung pada dukungan partai-partai santri secara keseluruhan karena jika satu partai saja abstain atau keluar dari koalisi, maka posisi mayoritas koalisi pemerintah di Parlemen akan terancam; Kedua, kompleksitas menyangkut formasi Kabinet. Oleh karena koalisi pemerintah dibangun oleh banyak partai, maka penyusunan kabinet harus mempertimbangkan kohesivitas koalisi (biasa disebut dengan power sharing) dan terutama biaya politiknya (public goods versus private goods).
Sekilas, solusi persoalan koalisi pemerintah di DPR terkesan berkutat di sekitar “Bagi-bagi kue kekuasaan” sehingga asumsi yang berkembang adalah jika sebagian pos menteri dan sejumlah materi dialokasikan kepada partai mitra koalisi maka persoalan akan selesai, padahal pada tataran praktek tidaklah sesederhana itu. Pertama, oleh karena tidak terdapat ukuran pasti menyangkut seberapa banyak private goods (materi atau jabatan) yang harus dialokasikan kepada partai politik, maka Presiden perlu melakukan kalkulasi secara hati-hati sembari mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan rakyat (public goods) dengan alokasi minimal yang Page 22 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
diperlukan guna mempertahankan kekuasaan atau sekedar untuk membuat program pemerintah berjalan efektif. Oleh karena mekanisme impeachment tidak dikenal dalam praktek dan sistem politik di Indonesia (dengan pengecualian kasus Abdurrahman Wahid) dan bahwa Presiden hanya boleh menjabat maksimal selama dua periode pemerintahan, maka besaran alokasi private goods bagi partai anggota koalisi pemerintah 2009-2014 cukup difokuskan pada persoalan balancing kekuasaan agar program-program Eksekutif berjalan efektif melalui manajemen resistensi di DPR.
Kedua, oleh karena Eksekutif memiliki keterkaitan dengan Parlemen dan partai politik, maka tarik-menarik antara kebutuhan akan Menteri yang cakap dengan dukungan politik di Parlemen menjadi takterhindarkan. Idealnya, seorang menteri harus memiliki kecakapan profesional namun argumen bahwa Presiden adalah “User” sekaligus pemilik hak konstitusional menyangkut penunjukan anggota kabinet ternyata tidaklah cukup. Dalam sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini, Kabinet bukan sekedar institusi yang berisi pembantu-pembantu presiden melainkan juga sebagai wahana perekat koalisi pemerintah di Parlemen, sehingga ketika Presiden menunjuk seseorang menjadi menteri, ia harus mempertimbangkan bukan hanya kecakapan, integritas, dan kesesuaian yang bersangkutan dengan pos yang akan diduduki, namun juga harus melihat pengaruhnya terhadap dukungan partai-partai anggota koalisi pemerintah. Tak jarang seorang menteri ditunjuk lebih karena alasan politis dan mengesampingkan pertimbangan profesionalisme. Hal inilah yang perlu dikhawatirkan karena akan membahayakan kinerja Page 23 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Kabinet dan mempengaruhi efektifitas pemerintahan secara keseluruhan.
Persoalan-persoalan inilah yang seringkali menjadi dilemma bagi Eksekutif. Persoalan power-sharing lebih bersifat politis dan biasanya teratasi dengan mengalokasikan pos menteri atau posisi kunci tertentu di jajaran eksekutif kepada kader partai mitra koalisi. Sebaliknya, pengaturan menyangkut biaya politik jauh lebih rumit karena disamping nominalnya tidak pasti, alokasinya juga berpotensi membawa masalah terhadap nasib rakyat banyak. Secara teori, “Private goods” dan “Public goods” adalah konsep materiil yang berkharakter “Zero-Sum”. Artinya, ketika Eksekutif memberi porsi lebih banyak guna mempertahankan The Winning Coalition-nya (private goods), maka porsi untuk pembangunan jalan-jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan sebagainya (public goods) secara otomatis akan berkurang. Padahal, semakin besar ukuran koalisi pemerintah, semakin besar pula biaya politik yan diperlukan, dan tentunya masih akan semakin besar lagi apabila koalisi pemerintah di DPR tidak cukup solid.
Page 24 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
DISAGREEING PATTERN OF RELATIONS AMONG SANTRIS
Rentannya koalisi pemerintah sejauh ini dibuktikan oleh paling tidak dua contoh, yaitu ketika Golkar menjalin komunikasi politik dengan Demokrat dan ketika Boediono dipilih sebagai calon Wakil Presiden, di mana kedua stimulus tersebut ditanggapi secara reaktif oleh partaipartai mitra koalisi pemerintah. Fakta-fakta tersebut ditambah dengan pengalaman koalisi 2004-2009 menunjukkan bahwa: ketika perbedaan-perbedaan internal tidak ter-manage dengan baik; ketika isu-isu yang berkembang di DPR cukup sensitif dan menyangkut popularitas partai, dan; ketika komitment partai terhadap koalisi cukup rendah, maka: 1) koalisi pemerintah akan pecah di tengah jalan; 2) dinamika dan tensi politik di DPR akan selalu tinggi; 3) program-program Eksekutif cenderung tidak berjalan; sehingga pemerintahan secara keseluruhan cenderung kurang efektif.
Page 25 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Jika pesimisme mewarnai koalisi pemerintah di DPR, prospek sebaliknya justru tampak pada pihak oposisi. Masih dengan catatan bahwa skenario di atas yang kita pakai, disamping indikator pragmatisme politik partai-partai pasca Pemilu 2009 sebagaimana diuraikan di atas, terdapat paling tidak dua argumen lain yang mendasari keyakinan bahwa oposisi 2009-2014 akan cukup solid, yaitu: 1) Teori musuh bersama yang biasanya cukup efektif dalam mengatasi perbedaan-perbedaan internal. PDIP dan Golkar, dua partai utama penopang oposisi, memang memiliki sejarah friksi di masa lalu, terlebih jika dikaitkan dengan tokoh-tokoh sentral seperti Sukarno dan Suharto. Namun oleh karena secara natural oposisi akan cenderung kritis terhadap pemerintah, maka persoalanpersoalan ideologi, historis serta kendala-kendala yang bersifat sektarian lainnya cenderung akan dikesampingkan demi menjadi penyeimbang yang efektif, dan; 2) Pola hubungan antara partai-partai pendukung koalisi oposisi yang cenderung kohesif. Jauh-jauh hari bahkan sebelum Pemilu Legislatif, Golkar dan PDIP telah menunjukkan hubungan yang cukup mesra. Digandengnya Prabowo (Gerindra) sebagai pendamping Megawati (PDIP) dalam Pilpres, serta Paket Wiranto (Hanura)-Jusuf Kalla (Golkar) adalah jalinan kisikisi yang juga berperan membentuk mata rantai yang memperkuat koalisi oposisi di DPR sehingga tidak terlalu banyak hal yang perlu kita bahas mengenai hal ini.
Page 26 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
OPOSISI 26.87%
4.33%
31.2%
8.67%
346 seats
43.93% Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian, Sebagai penutup, mari kita rangkum apa yang baru saja kita diskusikan bersama, dan dengan dasar itu kita akan sedikit memberikan alternatif langkah yang kira-kira dapat diantisipasi agar formasi koalisi pasca Pemilu Legislatif 2009 dapat membawa pemerintahan 2009-2014 menjadi efektif.
Pertama, formasi koalisi politik di DPR pada Pemilu Legislatif 2009 cukup menjanjikan prospek positif bagi terciptanya pemerintahan dan proses politik yang sehat, dimana koalisi pemerintah masih mayoritas namun bukan mayoritas mutlak. Jika skenario di atas benar-benar terjadi, koalisi oposisi juga cukup dapat diharapkan menjadi kontrol yang efektif atas kebijakan publik. Page 27 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Kedua, potensi konflik cenderung berada pada pihak koalisi pemerintah di mana faktor pemicu utamanya lebih terkait dengan variabel warna dan ideologi partai-partai mitra koalisi.
Solusi dan antisipasi:
1. Apabila tidak mungkin dihindari, Eksekutif harus ekstra hati-hati ketika memainkan isu-isu sensitif bernuansa religious misalnya masalah Palestina, isu Ahmadiyah, masalah Fundamentalisme agama, dan lain-lain. Pun isu-isu semacam ini tetap memecah koalisi pemerintah di DPR, friksi dapat dialihkan melalui pemberdayaan mekanisme extra-parlementer yang beranggotakan elemen-elemen partai anggota koalisi pemerintah. Institusi semacam ini kurang lebih sama fungsinya dengan mekanisme pengalihan air ke kanal-kanal ketika debit air pada bendungan cukup tinggi. 2. Menyusun Kabinet yang lebih sensitif terhadap situasi politik dan opini publik sembari melibatkan peran aktif DPR tanpa mengurangi makna sistem presidensial. Di negara-negara yang menganut sistem Parlementer, anggota parlemen berinteraksi rutin dengan Menteri dan biasanya disiarkan secara lengkap sehingga publik bisa menilai langsung kinerja maupun kapasitas menteri yang bersangkutan. Jika mekanisme ini bisa diadopsi, dan tentunya dengan penyesuaian ke dalam sistem presidensial, kabinet dan menteri akan dapat dipastikan kualitasnya secara terbuka sehingga partai-partai anggota Page 28 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
koalisi pemerintah tentunya juga tidak berkeberatan jika menterinya diganti karena alasan tidak memenuhi kriteria yang diharapkan. Mekanisme ini misalnya dapat diterapkan melalui Raker DPR-Menteri yang disiarkan melalui siaran televisi. Efek sampingnya, reshuffle Kabinet akan sering terjadi dan salahsalah justru dapat menghambat kinerja kabinet. 3. Komitmen terhadap koalisi harus terus-menerus ditekankan di antara partai mitra pemerintah di DPR, meski sepahit apapun pil yang harus ditelan. Isu-isu tidak populer seperti kebijakan menaikkan harga BBM dan impor beras biasanya menjadi disinsentif bagi partai mitra koalisi pemerintah sehingga mereka cenderung mengambil peran yang seharusnya dimainkan oleh oposisi, atau paling tidak abstain. Dalam situasi tertentu, sikap semacam ini bukan hanya berpotensi merongrong koalisi pemerintah di DPR namun juga mengambil kesempatan oposisi untuk menunjukkan kepiawaian politiknya kepada publik, plus mengganggu keseimbangan proses politik di DPR. Hal ini penting dan harus digaris-bawahi karena sesungguhnya proporsionalitas peran partai dan tarik-menarik antara koalisi pemerintah dan oposisi di DPR akan menjadi vitamin yang menyehatkan bagi praktek politik demokratis di tanah air. 4. Solusi instant atas persoalan di atas dapat dilakukan dengan cara mengalihkan Hak Budget kepada Eksekutif melalui amandemen konstitusi. Pilihan ini sudah pasti kontroversial karena tidak hanya akan mencabut Hak Budget yang selama ini dimiliki oleh Legislatif, melainkan juga akan mempengaruhi sistem politik secara keseluruhan sehingga perlu dikaji secara Page 29 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
hati-hati. Argumen sementara atas solusi ini adalah: 1) bahwa untuk dapat dikatakan efektif, Eksekutif minimal harus mampu menjalankan dan menjamin berjalannya tiga macam fungsi, yaitu ‘National Security’, ‘Internal Order’, dan ‘Public Administration’ yang kesemuanya memerlukan ‘Biaya’ tanpa tedheng aling-aling. Artinya, fungsi minimal tersebut harus terus berjalan terlepas dari bentuk krisis politik apapun yang terjadi di Parlemen. Di sisi lain, DPR juga harus memiliki peran kontrol yang se-luas-luasnya terhadap kebijakan publik, namun kontrol tersebut dibatasi pada bidang-bidang sosial, ekonomi serta bidang-bidang non-budget lainnya, sehingga DPR akan kuat, Lembaga Eksekutif juga tetap bisa menjalankan fungsi minimalnya. Jika hal tersebut dapat berjalan baik, Eksekutif dan Legislatif masing-masing tetap terkait satu sama lain namun kesaling-tergantung-an dapat diminimalisir, dan; 2) bahwa sistem Presidensial yang benar-benar kuat secara natural sulit dibangun dalam demokrasi multi-partai, terlebih di masyarakat Indonesia yang berkultur Paternalistik. Katakanlah seorang Menteri kader partai kemudian melepaskan posisi formilnya di dalam Partai Politik dan committed memperkuat Kabinet sebagai bagian dari “The Single Executive”, pada prakteknya tidak ada aturan yang cukup efektif dan mampu membatasi komitmen antara menteri yang bersangkutan dengan partai politik darimana ia berasal, apalagi jika komitmen tersebut dilakukan secara informal. Singkatnya, “Natural setting” sosialpolitik Indonesia tidak menyediakan media yang kondusif bagi berlakunya teori Balanced Constitution secara apa adanya. Page 30 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Apabila pilihan ini diambil, serangkaian dampak negatif memang cukup dapat dibayangkan semenjak sekarang, namun hal itu kiranya tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena sesungguhnya sistem Demokrasi juga telah menyediakan ‘Tools’ sekaligus ‘Ultimate Control’, yaitu Pemilu yang akan menyeleksi individu-individu yang layak dan cakap dalam memimpin negeri.
TERIMA KASIH
Page 31 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
Untuk referensi akademis lebih jauh, direkomendasikan untuk melihat:
ANANTA, A., ARIFIN, E.N., & SURYADINATA, L (2004), Indonesian Election Behaviour: A Statistical Perspective, Indonesian Population Series No.2, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies ANTLOV, H., & CEDEROTH, S. (Ed.) (2004), Elections in Indonesia: The New Order and Beyond, London, RoudledgeCurzon DE MESQUITA, B.B., SMITH, A., SIVERSON, R.M., & MORROW, J.D., (2003), The Logic of Political Survival, Cambridge, The MIT Press DUVERGER, M. (1959), Political Parties, London, Methuen EMMERSON, D.K. (1976), Indonesia’a Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca, Cornell University Press FEITH, H. (1957), The Indonesian Election of 1955, Interim Report Series, Ithaca, Cornell Modern Indonesia Project GAFFAR, A. (1992), Javanese Voters: A Case Study of Election under A Hegemonic Party System, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press GROENNINGS, E.W., KELLEY, E.W.& LEISERSON, M. (1970), The Study of Coalition Behavior: Teoretical Perspective and Cases from four Continents, New York, Holt, Rinehart and Winston Inc. HARIS, S.(Ed.) (1997), Pemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi, Jakarta, PPW-LIPI HARIS, S. & RATNAWATI, T. (2008), Political Parties in Indonesia from the 1950s to 2004, Crise Working Paper No.61, Oxford, Centre for Research on Inequality, Human Security, and Ethnicity KING, D.Y. (1994), White Book on the 1992 GeneralElection in Indonesia, Translated from Badan Perlindungan Hak-Hak Politik Rakyat dalam Menghadapi Pemilihan Umum 1992, Ithaca, Cornell Modern Indonesia Project KARTOMI, M. & DREYFUS, K., The year of voting frequently: Politics and Artists in Indonesian’s 2004 Elections, Clayton, Monash Asia Institute LIDDLE, W. (Ed.)(1973), Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series No.19, New Haven, Yale University Southeast Asia Studies LIDDLE, W. (1992), Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta, LP3ES MITCHELS, R. (1915), Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy SACHSENRODER, W. & FRINGS, U.E. (Ed.), (1998), Political Party Systems and Democratic Development in East and Southeast Asia, Vol. 1 Southeast Asia, Brookfield, Ashgate SURYADINATA, L. (2002), Elections and Politics in Indonesia, Singapore, Institute od Southeast Asian Studies SURYADINATA, L. (1982), Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies
Page 32 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]
TOMSA, D. (2008), Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era, Roudledge Contemporary Southeast Asia Series, London, Roudledge UHLIN, A. (1997), Indonesia and the "Third Wave of Democratization": The Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World, New York, St Martin’s Press WAGNER, S., (1999), Survey of The Indonesian Electorate Following the June 1999 Elections, Washington, International Foundation for Election System
Page 33 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto)
[email protected]