ERA BARU PERANG BINTANG ? Oleh: Dodik Ariyanto
Thesis yang mengatakan bahwa Manusia adalah mahluk berakal dan berderajad tinggi tampaknya perlu direvisi ulang atau paling tidak ditambah pengecualian, karena
sebagian
manusia
justru
« tidak
berakal »
dengan
mempercepat
kepunahannya sendiri. Salah satu contoh adalah ujicoba nuklir yang lagi-lagi diumumkan Korea Utara (Korut) belum lama ini. Tanpa mengindahkan seruan internasional, Kim Jong Il menunjukkan arogansi dan ambisi pribadinya, yang kemudian mengukuhkan Korut sebagai kekuatan nuklir baru di Asia, di saat dunia sedang berjuang keras mengurangi kuantitas dan kualitas senjata pemusnah peradaban tersebut. Motivasinya cukup jelas, yaitu bahwa Korut ingin meningkatkan « posisi tawar »nya terhadap dunia internasional, khususnya Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan AS menyangkut distribusi ekonomi di Asia Utara yang meninggalkannya sebagai negara terbelakang. Setiap konsesi yang ditawarkan guna menunda eksperimen nuklir, oleh karenanya, selalu dikaitkan dengan tuntutan akan bantuan internasional yang lebih signifikan. Artikel ini tidak akan mengulas mengenai apa dan bagaimana motivasi di balik peristiwa tersebut, melainkan mencoba menganalisa dan memprediksi dampak lanjutan pasca ujicoba nuklir Korut. Dilemma Keamanan dalam sistem internasional Dalam konteks keamanan internasional, logika yang mengendalikan perilaku negaranegara pada saat ini adalah apa yang kita kenal sebagai dilemma keamanan. Premis dasarnya adalah bahwa tidak ada satu negarapun yang tahu persis apa yang sedang dipikirkan, dan apa yang akan dilakukan oleh negara lainnya. Setiap negara dipaksa untuk berpikir bahwa perilaku tetangganya dapat setiap saat menjadi ancaman baginya, sehingga tersedia pilihan sikap yang sama persis menyangkut keamanan nasionalnya, yaitu : 1). aktif bekerjasama dan tidak bersenjata ; 2) bersenjata sementara negara lain tak bersenjata ; 3) semua bersenjata dengan kemungkinan terjadinya perang, dan ; 4) tidak bersenjata sementara negara lain bersenjata.
Situasi tersebut dipadu dengan sistem internasional yang anarkis, di mana tidak ada satupun otoritas yang benar-benar mampu memaksa dan mengontrol perilaku negara-negara berdaulat agar mentaati hukum dan aturan internasional. Satusatunya yang efektif mengendalikan perilaku aktor negara dalam sistem internasional adalah kerjasama dan hubungan antar mereka yang selalu diliputi persepsi dan ketidak-pastian. Akibatnya, setiap negara menjadi saling curiga terhadap gerak-gerik negara lain yang dianggap potensial mengancam keamanan nasionalnya, meskipun konsep ancaman tersebut saat ini sangat relatif dengan terciptanya rudal-rudal antar benua. Tak heran jika besaran Anggaran Belanja tahunan untuk pertahanan bukan hanya ditentukan oleh prioritas kebutuhan dan kemampuan negara yang bersangkutan, melainkan juga oleh perkembangan keamanan di kawasan dan juga besaran anggaran yang dialokasikan negara sekitarnya.
Peta keamanan dan prospek disuasi nuklir kawasan Asia Utara adalah kawasan yang sarat dengan dilemma keamanan, di mana China, Taiwan, Jepang, Korut, dan Korsel merupakan negara-negara yang memiliki perbedaan mendasar dalam banyak hal, serta menyimpan sejarah konflik yang berkelanjutan. Diantaranya yang mengkhawatirkan adalah masalah hubungan China-Taiwan, Korut-Korsel, dan Jepang-Korut. Masalah kedaulatan China atas Taiwan merupakan isu fundamental yang merupakan harga mati bagi China. Dari perspektif Beijing, Taiwan adalah masalah internal tanpa sedikitpun kompromi. Usaha apapun yang dilakukan oleh Taiwan guna memperjuangkan eksistensinya akan dilihat oleh Beijing sebagai ancaman dan indikator yang dapat memicu penggelaran kekuatan militer. Sejauh ini Beijing tidak melakukan manuver apapun untuk mempercepat integrasi Taiwan ke China melainkan hanya memblokade Taiwan dari akses internasional. Sikap tersebut diambil karena China membutuhkan stabilitas kawasan guna menjamin bergulirnya « Boom » ekonominya. Berbeda dengan Beijing, Taiwan dalam posisi terancam karena Beijing dapat mencaploknya setiap saat tanpa bisa disalahkan oleh hukum internasional. Satu-satunya harapan hidup bagi Taiwan adalah jaminan proteksi AS,
sehingga pemilikan senjata nuklir merupakan solusi yang menjadi impian Taiwan untuk survive tanpa harus bergantung kepada negara lain. Hubungan Korut-Korsel mirip dengan kisah dalam serial Tom&Jerry, di mana Perang Dingin telah menyisakan permusuhan abadi sekaligus perbedaan warna
yang
mencolok antara keduanya. Konsisten dengan Marxisme, Korut hidup dalam segala bentuk keterbelakangan yang kontras sekali dengan keadaan saudaranya di Selatan, sehingga Korut seringkali bersikap provokatif guna mengundang kepedulian. Krisis energi yang parah pada awalnya merupakan motivasi Korut memiliki teknologi nuklir yang notabene adalah alternatif energi yang murah. Namun, berbagai krisis multidimesi yang melanda negaranya, bersamaan dengan terjadinya perubahan konstelasi
politik
global,
mendorong
Korut
menggunakan
uranium
untuk
memproduksi senjata. Di sinilah tampak ambiguitas China, di mana Korut sesungguhnya sama strategisnya dengan Taiwan. Ia tidak menginginkan Korut colaps karena wilayah perbatasannya akan dibanjiri pengungsi dengan berbagai persoalan
yang
menyertainya,
disamping alasan
aib
idiologis membiarkan
komunisme mati di depan pintunya. Sementara China tahu bahwa manuver Korut membahayakan stabilitas kawasan dan pada saat yang sama dirinyalah satusatunya yang dapat diandalkan untuk menekan Korut. Ia justru bersikap ganda mendukung sekaligus menjaga jarak dengan Pyongyang. Munculnya Jepang sebagai kekuatan nuklir hanyalah masalah waktu. Dalam situasinya, Jepang sudah pasti ingin memiliki teknologi nuklir apabila AS tidak berhasil mengantisipasi dengan baik persoalan Korut. Provokasi Kim, khususnya sejak uji-coba Taepodong II Juli 2006, telah menyulut kekhawatiran luas di Jepang bahwa payung keamanan AS yang dipadu dengan kemampuan peralatan yang ada saat ini, sangat tidak memadai guna melindungi Jepang seandainya Kim gelap mata. Kekhawatiran tersebut jelas sekali ketika belum lama ini Jepang mengeluarkan pernyataan resmi bahwa ia punya hak melakukan setiap antisipasi menghadapi perkembangan terakhir di Korut. Selain alokasi $1,9 milyar untuk teknologi rudal pada anggaran 2007. pertama kali sejak 1945 Jepang meminta kehadiran militer AS di wilayahnya berupa penempatan kapal perang Aegis yang dilengkapi dengan SM-3 interceptor missile, disamping mempercepat penggelaran rudal defensif PAC-3, termasuk penambahan Radar Mobile-X selain yang sudah ada di Honshu Utara saat
ini. Namun Jepang paham betul bahwa semua upaya tersebut masih jauh dari memadai apabila dihadapkan dengan ancaman nuklir Pyongyang. Alhasil, selalu ada pembenaran di balik usaha pemilikian senjata nuklir. Kim Jong Il boleh saja berkata bahwa ia tidak akan melakukan langkah ofensif. Ahmadinejad juga berhak mengatakan bahwa program pengayaan uraniumnya adalah untuk tujuan damai. Namun, situasi dan persepsi menyangkut keamanan internasional selalu berubah dari waktu ke waktu, demikian pula pemimpin negara. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa pengganti Ahmadinejad atau Kim Jong Il, atau siapapun akan konsisten dengan para pendahulunya. Tidak ada yang bisa melarang Jepang, Taiwan, Arab Saudi, Turki, Australia, Indonesia, dll mengikuti langkah serupa. Pada tahap inilah tampaknya tidak tersedia pilihan lebih baik selain berdoa agar seluruh negara di dunia memiliki senjata nuklir dengan harapan terciptanya equilibrium « perimbangan teror », di mana setiap negara akan akan takut dan menghargai satu sama lain hingga tercipta perdamaian abadi.