JUDUL Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hubungan Internasional Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed. Dr. Susan Fitriasari, M.Pd. Dwi Iman Muthaqin. SH. MH.
oleh: Hesty Khoirusnaini
1600676
Nugroho Wisnu Mukti
1603542
Prida Handayani
1606274
DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kita panjatkan kehadirat-Nya karena dengan Rahmat dan inayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul AA ini dengan harapan bisa bermanfaat bagi para pembaca. Tugas ini kami buat dengan maksimal, beserta dengan bantuan pihak-pihak untuk melancarakan pengerjaan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu. Terlepas dari itu, kami menyadari bahwa kekurangan tak luput dari makalah ini karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT, untuk itu kami menerima kritik dan saran yang membangun dengan tujuan memperbaiki. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat menjadi manfaat bagi pembaca dan bagi kami sebagai penyusun.
Bandung, 03 Juli 2018
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 3 B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 4 C. Maksud dan Tujuan ...................................................................................... 4 BAB II
THE GUIDE OF EXTRADITION .............................................................. 5
A. Hubungan Internasional ............................................................................... 5 B. Ekstradisi ...................................................................................................... 6 C. Ekstradisi menurut Hukum Internasional................................................... 10 BAB III AUSTRALIA EKSTRADISIKAN KORUPTOR INDONESIA ........... 12 A. Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi ........................................................ 12 B. Proses Ekstradisi Adrian Kiki dari Australia ke Indonesia ........................ 14 BAB IV IMPLEMENTASI PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN AUSTRALIA ................................................................................................ 17 A. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia ................................. 17 B. Dampak Perjanjian Ekstradisi Bagi Indonesia ........................................... 19 BAB V
SIMPULAN .................................................................................................. 28
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan serangkaian sistem absolute yang mengikat segala peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan fungsi untuk melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga tercapainya satu tujuan kehidupan berbangsa yaitu ketertiban, keamanan dan keadilan perkembangan berbagai aspek kehidupan bernegara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan merupakan pemerintahan yang berdasarkan sistem konstitusi dan bukan absolutisme. Sebagaimana yang dituang dalam Pasal 1 ayat (3) Bab I Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Apa yang dituangkan dalam Pasal tersebut tentunya merupakan tujuan dari sebuah pemerintahan yang harus didasarkan atas prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan yaitu supremasi hukum dan penegakan hukum yang sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang diakui, sehingga apa yang harus dilakukan dalam bentuk tindakan, sikap dan pola pikir pada tiap warga negara, pemerintah dan negara itu sendiri harus berlandaskan atas hukum. Sejauh ini peranan hukum di Indonesia dalam pencapaian tujuannya dapat dicapai dengan sepenuhnya, dengan melihat keadaan situasi saat ini yang bersifat global dan terbuka. Indonesia juga turut aktif dalam penegakan hukum bersifat Internasional. Peranan Indonesia dalam mengatur dan mempengaruhi keadaan hukum terkait dengan hubungan bilateral dengan negara lain disebut dengan ekstradisi. Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Ekstradisi merupakan salah satu kebijakan Hukum internasional Indonesia. Hukum internasional merupakan bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Hukum Internasional diartikan sebagai perilaku dan
3
hubungan antarnegara. Dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks, hukum internasional juga berkaitan dengan struktur dan perilaku
organisasi
internasional
dan
pada
batas
tertentu,
perusahaan
multinasional dan individu. Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi. Indonesia telah memiliki UU yang mengatur terkait perjanjian ekstradisi Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki hubungan bilateral maupun multilateral yang baik dengan Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Salah satunya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Australia. Hubungan yang baik antara Indonesia-Australia sebagai negara yang bersahabat memungkinkan adanya kerjasama dalam perjanjian ekstradisi diantara keduanya. Landasan hukum ekstradisi Indonesia-Australia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia. Penulis akan mengulas lebih lanjut terkait sejauh mana pengimplementasian UU perjanjian ekstradisi Indonesia-Australia dalam mengatur hubungan hukum bilateral Indonesia-Australia. B. Identifikasi Masalah a. Bagaimana Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia ? b. Bagaimana Dampak Perjanjian Ekstradisi Bagi Indonesia? C. Maksud dan Tujuan
4
BAB II THE GUIDE OF EXTRADITION A. Hubungan Internasional Hubungan internasional adalah hubungan antarnegara atau antarindividu dari negara yang berbeda dalam bidang tertentu untuk kepentingan kedua belah pihak. Setiap negara tentunya tidak dapat terlepas dari hubungan internasional. Hal ini karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekeurangan masing-masing sehingga hubungan internasinal melengkapi itu. Definisi
hubungan
internasional
menurut
Merriam
Webster
adalah
“International Relations ia a branch of political science concerned with relations between nations and primarily foreign policies”1 artinya adalah hubungan internasional adalah cabang dari ilmu politik yang berhubungan dengan negara dan hukum negara lainnya. Maka dari itu dapat dilihat bahwa adanya konsep politik yaitu sosialisasi politik pada pengertian tersebut seperti yang terdapat dalam buku Pengantar Sosiologi Politik oleh Michael Rush dan Philip Althoff bahwa sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mmana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsipersepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkingan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang bersangkutan2. Beberapa pengertian Hubungan Internasional menurut para ahli: 1. J.C. Johari Hubungan internasional merupakan sebuah studi tentang interaksi yang berlansung diantara negaranegara berdaulat disamping itu juga studi tentang pelaku-pelaku non pelosok (non states actors) yang prilakunya memiliki dampak bersama tugas-tugas Negara.
1 2
Merriam Webster Dictionary.. Rush Michael. Pengantar Sosiologi Politik.hlm 22
5
2. Couloumbis dan Wolfe Hubungan internasional adalah studi yang sistematis mengenai fenomenafenomena yang dapat diamati dan mencoba mendapatkan variabel-variabel dasar untuk menerangkan prilaku serta mengungkapkan karakteristikKarakteristik atau tipe-tipe hubungan antara unit-unit social. 3. Drs. R Soeprapto Hubungan internasional studi yang orientasinya bersifat efektif (orientasi pasca perilaku ) yang hampir sering mengkombinasikan unsur-unsur pendekatan ilmiah dengan tujuan yang jelasnilainya seperti mensubtitusikan perang dengan metode-metode perdamaian untuk menyelesaikan pertikaian, pengendalian penduduk, perlindungan terhadap lingkungan, pemberantasan penyakit, kemelaratan manusia. 4. Trygive Mathisen Hubungan internasional adalah semua aspek internasional dri kehidupan sosial umat orang, dalam arti semua lagu Iaku manusia yang berlangsung atau berasal dari sebuah negara dapat mempengaruhi lagu Iaku manusia di pelosok lain. 5. Kenneth Watts. Thompson Hubungan internasional merupakan studi tentang rivalitas amtar bangsa beserta kondisi-kondisi lalu institusi-institusi yang memperbaiki ataupun memperburuk rivalitas tersebut. B. Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
6
L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan. J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished
(ekstradisi
Extradition”
terselubung). Handing
Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan. Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni: 1. Unsur Subjek Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada dua negara yang terkait yakni:
7
a. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan. b. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state). Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State). 2. Unsur objek Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. 3. Unsur Tata cara dan Prosedur. Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati.
8
Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional. 4. Unsur Tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini. Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan negara-perintah harus memberitahukannya kepada negara-peminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permintaan dari negara-peminta, pejabat tinggi dari negaradiminta seperti misalnya Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertirnbangan, untuk pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta.
9
Secara umum, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan
pada
perundang-undangan
nasional,
perjanjian
ekstradisi,
perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. C. Ekstradisi menurut Hukum Internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum Internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bias dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain. Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin “ekstradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan. Para sarjana Hukum Internasional yang memberikan defenisi ekstradisi antara lain adalah: a. L. Oppenheim mengatakan:3 “Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been
3
L. Oppenheim, Intenational Law, A Treatise, 8th Edition, 1960, vol. One-Peace, hal.
696
10
convicted of a crime by the state whose territory the alleged criminal happens for the time to be.” b. J. G. Starke menyatakan sebagai berikut:4 “The term extradition denotes the process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws of the requesting state competent to try the alleged offender” c. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi: “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya”5 Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.
4 5
J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London: Butterwordhs, 7th Edition), hal. 348 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, tanggal 18 Januari
11
BAB III AUSTRALIA EKSTRADISIKAN KORUPTOR INDONESIA A. Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan menghukumnya. Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu ‘perjanjian´ (treaty) antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan denganUndang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atasdasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 dan 2). Sedangkan Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44 A. Mutual Legal Assistance (MLA) pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas
12
dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS.Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggarayang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Kehadiran orang di suatu negara sebenarnya dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, mereka benar-benar tidak memiliki latar belakang buruk di negara asalnya. Kedua, mereka memiliki latar belakang tidak baik, misalnya telah melakukan kejahatan dan kemudian melarikan diri. Terhadap kelompok pertama, bila yang bersangkutan melakukan tindakan yang melanggar hukum, atau perbuatan yang dapat meresahkan negara setempat, maka
terhadap
yang
bersangkutan
dapat
dikenai
hukuman
misalnya
menyidangkannya di Pengadilan, atau mengusirnya. Dengan tindakan-tindakan negara tersebut, dapat dikatakan selesailah persoalannya. Akan tetapi terhadap kelompok kedua, msalahnya berlainan. Kehadirannya di dalam suatu negara adalah untuk menghindari upaya penangkapan atas dirinya sehubungan dengan telah dilakukannya kejahatan di negara semula. Dengan larinya orang tersebut ke Negara lain, berarti ada dua Negara yang kepentingannya dirugikan karena tidak dapat menangkap orang yang bersangkutan, padahal orang tersebut telah melakukan pelanggaran hukum. Dalam hal ini aparat Negara yang dirugikan tidak dapat begitu saja memasuki wilayah territorial Negara lain untuk menangkap pelaku kejahatan tersebut. Hal ini karena di dalam hukum internasional berlaku prinsip penghormatan kedaulatan masing-masing Negara, sehingga untuk memasuki Negara lainpun harus ada persetujuan terlebih dulu dari Negara yang akan dimasuki. Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap Negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan terbatas dalam wilayahnya sendiri. Kekuasaan suatu Negara berakhir dimana kekuasaan Negara lain dimulai. Oleh karena itu suatu Negara tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan di dalam wilayah Negara lain (tindakan penangkapan pelaku kejahatan oleh aparat penegak hukum adalah tindakan kedaulatan).
13
Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat yuridis itu, maka didalam praktek antara Negara muncullah kebutuhan untuk menyerahkan pelaku kejahatan oleh negara satu kepada negara dimana kejahatan yang bersangkutan dilakukan. Praktek inilah yang disebut “ekstradisi”, yang secara singkat diartikan sebagai penyerahan penjahat oleh satu negara kepada negara yang lain. Dengan adanya lembaga ekstradisi ini, maka pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain tidak akan lepas dari jangkauan hukum. Hal ini merupakan implementasi adagium yang pertama kali diajukan Grotius, aut punere ant dedere (pelaku kejahatan diadili oleh negara dimana kejahatan dilakukan). B. Proses Ekstradisi Adrian Kiki dari Australia ke Indonesia High Court of Australia yang mengabulkan ekstradisi buron terpidana korupsi Adrian Kiki Ariawan. Direktur Bank Surya ini segera dieksekusi setelah pemerintah Australia menyerahkan Adrian Kiki ke Indonesia melalui central authority, Kementerian Hukum dan HAM. Konselor Bidang Politik Kedutaan Besar Australia Lauren Bain telah menyampaikan secara resmi pemberitahuan mengenai rencana ekstradisi Adrian Kiki. Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menyampaikan nota diplomatik ke pemerintah Australia yang direspon dengan nota diplomatik No.P187/2013. High Court of Australia telah menguatkan penetapan yang dibuat oleh Menteri Kehakiman Australia bulan Desember 2010 untuk menyerahkan terpidana Adrian Kiki Ariawan ke Indonesia. Adrian Kiki akan menjalani hukuman di Indonesia terkait putusan in absentia dalam kasus tindak pidana korupsi. Dengan adanya putusan itu, Adrian Kiki sudah dapat diekstradisi ke Indonesia. Menurut Basrief, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU No.8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara RI dan Australia, penyerahan terpidana Adrian Kiki akan dilaksanakan di Perth International Airport. Terkait pengembalian aset-aset Adrian Kiki, Basrief optimistis Australia akan tetap bekerja sama dengan pemerintah Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin melalui rilisnya juga menyambut baik putusan High Court of Australia yang menguatkan penetapan
14
ekstradisi Adrian Kiki. Selaku central authority kerja sama internasional di bidang hukum dan ekstradisi, Amir menghargai upaya maksimal yang telah dilakukan pemerintah Australia. High Court of Australia merupakan pengadilan tertinggi di Australia, sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Adrian Kiki. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan dianggap sangat penting bagi penegakan hukum di Indonesia. Dikabulkannya ekstradisi yang didasarkan pada proses hukum in absentia ini dapat menjadi preseden dalam upaya kerja sama di bidang hukum antara negara. Ia berharap negara-negara lain akan terdorong untuk tidak ragu-ragu membantu Indonesia dan negara yang meminta bantuan ekstradisi. Amir mengungkapkan, pemerintah Indonesia tengah berkoordinasi dengan pemerintah Australia untuk menetapkan mekanisme dan waktu penyerahan Adrian Kiki. Ekstradisi Adrian Kiki merupakan wujud nyata keberhasilan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia dalam pemberantasan korupsi. Ekstradisi ini mengakhiri pelarian panjang Adrian Kiki selama 10 tahun sejak divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Setelah diputus Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Adrian Kiki mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, dalam proses pemeriksaan, Adrian Kiki melarikan diri. Pada tahun 2010, Adrian Kiki diketahui berada di Perth, Western Australia. PT DKI Jakarta, akhirnya memutus Adrian Kiki bersalah dengan hukuman seumur hidup tanggal 2 Juni 2003. Selanjutnya Pemerintah Indonesia menyampaikan permintaan ekstradisi Adrian Kiki kepada pemerintah Australia melalui jalur diplomatik. Permintaan Ekstradisi ini ditujukan agar terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Adrian Kiki dapat dieksekusi dan menjalani hukuman pidana di Indonesia. Pada Desember 2010, pemerintah Australia melalui Menteri
15
Kehakiman Australia memutuskan untuk mengabulkan permintaan ekstradisi dari pemerintah Indonesia. Akan tetapi, terdapat perbedaan mekanisme ekstradisi di Australia. Adrian Kiki dapat mengajukan keberatan ekstradisi ke peradilan umum. Dengan membayar pengacara di Australia, Adrian Kiki mengajukan keberatan ke District Court of Perth di Western Australia dengan alasan putusan pengadilan di Indonesia dilakukan secara in absentia. Selain itu, Adrian Kiki juga beralasan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia akan melanggar Hak Asasi. Pengadilan Negeri Perth mengabulkan keberatan Adrian Kiki dan menganulir Keputusan Menteri Kehakiman Australia. Atas putusan Pengadilan Negeri Perth tersebut, pemerintah Australia mengajukan banding. Pemerintah Australia mengajukan banding ke Supreme Court of Western Australia (Pengadilan Tinggi Western Australia). Namun, Pengadilan Tinggi Western Australia menolak banding pemerintah Australia dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Perth. Terhadap putusan itu, pemerintah Australia kembali mengajukan kasasi ke High Court of Australia. Sebagai upaya terakhir, High Court of Australia kemudian memutuskan bahwa keberatan dari drian Kiki ditolak. High Court of Australia menguatkan Keputusan Pemerintah Australia untuk mengekstradisi terpidana Adrian Kiki ke Indonesia dalam rangka menjalani pidana sesuai dengan putusan PT No.71/PID/2003/PT.DKI tanggal 2 Juni 2003.
16
BAB IV IMPLEMENTASI PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN AUSTRALIA A. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan hubungan timbal balik, atas seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, tertuduh atau terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan yang mengikat dan pasti atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara yang memiliki yuridiksi kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada, mengadilinya ataupun melaksanakan hukuman atau sisa hukumanya. Dierektur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia, Jakarta, 1997. Latar belakang pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia pada tanggal 3 September 1994 adalah bahwa pada era globalisasi yang ditandai adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi dan informatika mengakibatkan wilayah negara dari suatu negara ke negara lain untuk keperluan tertentu sangat tinggi karena penyedian fasilitas dengan mudah oleh pemerintah suatu negara. Indonesia dan Australia berusaha bersama untuk mencegah pelaku tindak pidana yang melarikan diri atas tuntutan hukum. Lolosnya tersangka, terdakwa atau terpidana dalam menghindari penyidikan, penuntutan dan pemidanaan dapat menusuk dan melukai perasaan keadilan korban pelaku tindak pidana, masyarakat di negara tempat tindak pidana dilakukan dan dapat merugikan negara secara materi apabila tersangkut masalah ekonomi atau keuangan.
17
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Permerintah Republik Indonesia dan Australia sepakat mengadakan perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi tersebut melalui proses pembahasan yang cukup lama dan matang sehingga pada tanggal 22 April 1992, perjanjian tersebut ditandatangani oleh kedua negara, perjanjian tersebut dilakukan di Jakarta dan dibuat rangkap dua dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Perjanjian ekstradisi tersebut agar dapat mengikat, perlu disahkan melalui Undang- Undang Pengesahan yang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1994 melalui Amanat Presiden Nomor R.08/PU/VIII/1994 RUU tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Bahwa kesepakatan-kesepakatan yang telah diekstradisi ini tetap mengacu dan dilandasi asas-asas yang berkaitan dengan ekstradisi yang dikenal dalam hukum internasional, antara lain: 1. Asas double criminality yaitu bahwa jenis tindak pidana tersebut harus sama-sama dikenal sebagai tindak pidana/kejahatan yang dapat dihukum oleh kedua negara pihak. Rakyat kedua negara menganggap bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak pantas, tidak patut, bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan mereka dan karena itu pelakunya harus diadilidan jika terbukti bersalah haruslah dijatuhi hukuman yang setimpal. Asas kejahatan ganda ini merupakan asas yang pertama-tama harus dipenuhi jika dua negara yaitu negara peminta dan negara diminta menghadapi suatu kasus ekstradisi. 2. Asas kekhususan yaitu seseorang yang diserahkan tidak akan ditahan, dituntut atau dihukum untuk kejahatan apapun yang dilakukannya sebelum yang bersangkutan diekstradisikan, selain dari kejahatan yang diserahkan. Dengan kata lain negara peminta hanya boleh mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan hanya atas dasar kejahatan yang dijadikannya sebagai dasar oleh negara diminta untuk mengekstradisikan orang yang diminta kepada negara peminta. Negara peminta tidak boleh mengadilinya
18
atas kejahatan lain diluar kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk pengekstradisiannya. 3. Asas bahwa kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan yaitu orangorang yang terkait atau terlibat dalam suatu persoalan politik atau mengandung dimensi-dimensi politik. Jika negara peminta sudah yakin sepenuhnya bahwa kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan politik seharusnya permintaanya tidak diteruskan sebab negara diminta pasti akan menolak. Tapi dalam prakteknya, negara peminta cenderung menganggap kejahatan yang dijadikan dasar untuk mengekstradisi orang yang diminta bukan kejahatan politik tetapi kejahatan biasa dan atas dasar itu negara peminta tetap meneruskan permintaanya kepada negara diminta. 4. Asas bahwa negara yang diminta dapat menolak mengekstradisikan warga negaranya sendiri. Pentingnya arti kewarganegaraan bagi setiap orang yang diminta khususnya. Kewarganegaraan menunjukan jati diri, status, dan identitas personalnya dengan segala konsekuensi hukumnya. Agar tidak terjadi impunitas maka negara dimintaberkewajiban untuk mengadili atau menghukum sendiri warganegaranya tersebut. 5. Asas Nebis in Idem yaitu seseorang pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi hukuman atau dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat diekstradisikan. Adapun maksud dan tujuan dari asas ini adalah memberikan jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan baik putusan pembebasan atau putusan yang berupa penghukuman atas dirinya. Bahwa sekali kasusnya sudah diputuskan secara final oleh badan pengadilan yang berwenang, tidak boleh diungkit lagi oleh siapapun dengan mengadili orang bersangkutan yang kedua kalinya. 6. Asas bahwa pelaku tindak pidana yang diancam atau dituntut hukuman mati tidak dapat diekstradisikan. B. Dampak Perjanjian Ekstradisi Bagi Indonesia Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung
oleh
kemajuan
teknologi,
19
khususnya
teknologi
informasi,
telekomunikasi, dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral. Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional maka yang diperlukan adalah suatu kerjasa internasional berupa diplomasi bilateral maupun multilateral Kerjasama penegakan hukum dalam hubungan internasional telah terbukti sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum nasional terhadap kejahatan transnasional. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tsb pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan,penuntutan dan peradilan Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Australia. Keuntungan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi tersebut adalah turut membantu pengembalian orang yang melakukan tindakan kejahatan transnasional yang merugikan Negara sehingga dapat dikembalikan ke dalam negeri dan diproses hukumnya. Perjanjian ekstradisi Australia dan Indonesia membahas beberapa poin penting yang tertulis, yaitu : a. Kejahatan yang dapat diekstradisikan. Di dalam Perjanjian ini ditegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia ataupun hukum Australia dengan hukuman penjara minimal satu tahun atau dengan hukuman yang lebih berat. Dianutnya sistem bahwa tindak pidana yang dapat diekstradisikan haruslah merupakan tindakan yang diklasifikasikan tindak pidana di kedua negara merupakan pelaksanaan asas kriminalitas ganda (double criminality). Jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan berjumlah 33 jenis kejahatan. 1. Pembunuhan berencana, pembunuhan;
20
2. Kejahatan yang menyebabkan kematian orang; 3. Kejahatan terhadap hukum mengenai pengguguran kandungan; 4. Membantu atau membujuk atau menasehati atau memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan tindakan bunuh diri; 5. Dengan maksud jahat dan berencana melukai atau mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan luka; 6. Penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau pejabat umum; 7. Penyerangan di kapal atau di pesawat udara denganmaksud membunuh atau menyebabkan luka berat; 8. Perkosaan atau penyerangan seks; 9. Perbuatan cabul dengan kekerasan; 10. Memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran; setiap kejahatan lain terhadap hukum mengenai pelacuran; 11. Bigami; 12. Penculikan, melarikan wanita, memenjarakan secara tidak sah, perdagangan budak; 13. Mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak secara melawan hukum; 14. Kejahatan terhadap hukum mengenai penyuapan; 15. Memberikan sumpah palsu, membujuk untuk memberikan sumpah palsu, menghalangi atau menggagalkan jalannya peradilan; 16. Perbuatan menimbulkan kebakaran; 17. Kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan surat-surat berharga; 18. Kejahatan terhadap hukum mengenai pemalsuan atau terhadap hukum mengenai penggunaan apa yang dipalsukan; 19. Kejahatan terhadap hukum mengenai pajak, bea cukai, pengawasan devisa, atau mengenai pendapatan negara lainnya. 20. Pencurian, penggelapan, penukaran secara curang, pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang, uang, surat berharga atau kredit melalui
21
upaya palsu atau cara penipuan lainnya, penadahan, setiap kejahatan lainnya yang berhubungan dengan penipuan; 21. Pencurian dengan pemberatan; pencurian dengan mengrusakan rumah; setiap kejahatan yang sejenis; 22. Perampokan; 23. Pemerasan
atau
pemaksaan
dengan
ancaman
atau
dengan
penyalahgunaan wewenang; 24. Kejahatan terhadap hukum mengenai kepailitan dan keadaan pailit; 25. Kejahatan terhadap hukum mengenai perusahaan-perusahaan; 26. Pengrusakan barang dengan maksud jahat dan berencana; 27. Perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan orang-orang yang bepergian dengan kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara; 28. Pembajakan; 29. Perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara; 30. Merampas secara melawan hukum, atau menguasai pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara, dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau dengan setiap bentuk intimidasi lainnya; 31. Perbuatan yang melawan hukum dari salah satu perbuatan yang ditentukan dalam ayat 1 Pasal 1 Konvensi mengenai Pemberantasan tindakan-tindakan Melawan Hukum Yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil; 32. Kejahatan terhadap hukum mengenai obat-obat berbahaya atau narkotika; 33. Membantu, ikut serta, menasehati atau memberikan sarana, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebutkan diatas.
22
b. Kejahatan yang berlatar belakang politik Apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan kejahatan yang berlatar belakang politik atau bersifat politik, maka pelaku tindak pidana tidak akan diekstradisikan. Menghilangkan atau mencoba menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dan keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik karena itu pelakunya dapat diekstradisikan. c. Negara berhak menolak menyerahkan warganegaranya Masing-masing Negara Pihak dalam Perjanjian berhak menolak untuk mengekstradisikan warganegaranya. Dalam Perjanjian Ekstradisi ini Negara yang Diminta untuk melakukan ekstradisi berhak untuk mempertimbangkan apakah akan menyerahkan atau tidak. Jika Negara yang Diminta tidak mengekstradisikan warga negaranya, Negara itu atas permintaan Negara Peminta wajib menyerahkan perkaranya kepada pejabat yang berwenang di Negara yang Diminta. d. Pelaku tindak pidana yang telah diadili dan diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan Apabila seseorang telah diadili dan diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan oleh pengadilan yang berwenang atau telah menjalani hukuman di Negara yang Diminta atau di Negara ketiga sehubungan dengan kejahatan yang dimintakan ekstradisinya, maka ekstradisi atas orang itu tidak akan dikenakan. e. Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati Perjanjian ini juga mengatur bahwa ekstradisi tidak akan diberikan terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kecuali jika Negara Peminta itu menjamin bahwa hukuman mati tersebut tidak akan dijatuhkan, atau dalam hal hukuman mati telah dijatuhkan, hukuman mati tersebut tidak akan dilaksanakan. f. Tata cara ekstradisi Ekstradisi akan ditempuh dengan cara Negara Peminta mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara yang Diminta. Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan. Apabila permintaan atas orang yang sama datang dari dua negara atau lebih maka Negara yang Diminta harus menentukan kepada negara mana ekstradisi itu akan dilakukan.
23
g. Berlakunya Perjanjian Perjanjian akan mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal Negaranegara Pihak saling memberitahukan secara tertulis bahwa masing-masing persyaratan untuk mulai berlakunya Perjanjian ini telah dipenuhi. Masingmasing Negara Pihak dapat mengakhiri berlakunya Perjanjian dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya yang akan berlaku efektif 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak surat pemberitahuan tersebut diberikan. Lemahnya sistem hukum yang mengatur keluar dan masuknya para pelaku kejahatan transnasional menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat memerlukan suatu kerjasama bilateral maupun multilateral dalam melakukan pengembalian para terdakwa. Perjanjian ekstradisi sangat diperlukan agar pelaku dapat dikembalikan di Indonesia dan di proses hokum sehingga tidak bertambah para pelaku kejahatan yang lari keluar negeri. Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”(umbrella act) untuk ekstrradisi dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan). Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan. Hal ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan. Dalam perjanjian ekstradisi tidak dinyatakan secara tegas karena hanya bertujuan dalam penyerahan orang. Seperti termuat dalam pasal 1 : “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatunegara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidanakarena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.” Dari kesepakatan itu, bagi Indonesia, para penjahat transnasional yang lari dan bersembunyi serta menanamkan uang dan asset-asetnya di sana bisa ditangkap dan diproses hukum. Namun masih perlu adanya gabungan dari berbagai perjanjian yaitu perjanjian Ekstradisi, perjanjian pengembalian asset atau
24
perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. agar para penjahat transnasional tidaak berlindung pada Negara lain. Berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda” (Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional (Pasal 27) maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam praktik hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-prinsip umum tsb di atas
dapat disimpangi sepanjang penyimpangan
tersebut disepakati kedua belah pihak yang terikat ke dalam perjanjian esktradisi Penyimpangan tsb dapat diketahui dari ketentuan mengenai “penolakan”(refusal) atau “exception” (kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi. Semakin banyak syarat penolakan suatu permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif. Bila di tinjau dari segi penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, dapat dikatakan bahwa ekstradisi adalah merupakan sebuah pranata hukum yang sangat ideal dengan pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dikatakan sangat ideal, oleh karna ekstradisi ini menentukan pembatasan yang sangat ketat dan berat dalam proses permintaan dan penyerahan pelaku kejahatan atau yang didalam ekstradisi yang lebih populer dengan istilah orang yang diminta. Hak-hak asasi manusia dari orang Yang diminta benar-benar di hormati dan dilindungi. Beberapa bukti dapat di kemukakan untuk mendukung pernyataan tersebubt di atas. Faktor penghambat dari pelaksanaan undang-undang ekstradisi adalah a. Konsepsi dari kejahatan Transnasional tiap Negara berbeda contohnya beberapa Negara menyebutkan bahwa korupsi adalah hanya tindakan suap, namun bukan tindakan lain yang merugikan Negara. b. Ekstradisi tidak dapat langsung segera dilaksanakan karena masih harus menunggu parlemen masing-masing negara membuat undang-undang. Dalam konteks ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki suatu Perundangundangan nasional yang mengatur permasalahan ekstradisi dengan cukup jelas, yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.
25
Namun, masih terdapat beberapa kekurangan yang berkaitan mengenai proses pelaksanaan kegiatan ekstradisi, khususnya mengenai perjanjian kerjasama dalam bidang ekstradisi dengan negara-negara lain. Ini karena sampai saat ini pemerintah Indonesia baru memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi dengan 6 negara saja. Jumlah itu sangat sedikit jika di perbandingkan dengan jumlah negara di dunia ini. Kekurangan tersebut berhubungan dengan masih adanya negara-negara di dunia yang hanya mau mengabulkan permintaan ekstradisi dari suatu negara hanya apabila negara tersebut telah memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi dengan negara-peminta. c. Ekstradisi hanya menjerat pelaku pidana yang berstatus sebagai tersangka dan terpidana. Berdasar pasal 1 UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi disebutkan bahwa yang dapat diekstradisi ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.Artinya, perjanjian ektradisi tidak akan menjangkau mereka yang masih masih diselidiki (dengan status calon tersangka). Padahal dalam kasus korupsi BLBI misalnya, ICW mencatat dari total 60 pelaku korupsi, sebanyak 36 orang masih dalam proses penyelidikan dan patut diduga umumnya sudah melarikan diri ke luar negeri. d. Ekstradisi hanya menjerat orang dan bukan aset hasil korupsi. Jika yang diekstradisi adalah orang atau pelaku korupsi namun tidak dengan aset hasil korupsi, maka hasil akhirnya menjadi tidak menguntungkan dan justru akan menjadi beban negara apabila akhirnya koruptor dipenjara. e. Ketatnya syarat-syarat yang harus di penuhi untuk dapat meminta, menyerahkan, dan mengadili orang yang diminta atau pelaku kejahatan yang pada hakikatnya semuanya itu demi menghormati dan melindungi hak-hak asasi orang yang bersangkutan. Syarat-sysarat tersebut antara lalin: kejahatan yang dituduhkan terhadapnya dan yang dijkadikan alasan untuk meminta/menyerahkan, haruslah merupakan kejahatan dan tindak pidana menurut hukum pidana kedua Negara (Negara peminta dan Negara yang diminta ) atau yang disebut dengan asas kejahatan ganda (double
26
crimminality princyple); Negara peminta berjanji bahwa orang yang diminta hanya akan diadili dan atau di hukum hanya terbatas pada kejahatan yang di jadikan alasan untuk memintanya atau menyerahkannya (asas kekhususan/principle of speciality); si pelaku atau orang yang diminta tidak akan diserahkan jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan tegolong kejahatan kejahatan politik (asas tidak menyerahkan pelaku politik/non ekstradision of political criminal); si pelaku tidak akan diserahkan jika ternyata akan dijatuhi hukuman mati, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta/menyerahkannya tidak diancam dengan hukuman mati oleh hukum pidana dari Negara diminta. f. Prosedur yang panjang dan birokratis. Dimaksudkan untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dari sipelaku atau orang yang diminta.Proses tersebut yaitu : 1) Negara peminta mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan orang yang diminta maupun kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya. 2) Evaluasi kelengkapan dokumen dalam pengajuan permintaaan atas orang yang bersangkutan kepada Negara diminta 3) Pengajuan
permintaan ekstradisi kepada Negara diminta, m elalui
saluran diplomatik. dari pemerintah ke pemerintah melalui menteri luar negri atau duta besar masing-masing Negara. 4) Negara diminta akan mempertimbangkan permintaan dari Negara peminta tersebut melalui suatu proses atau prosedur yang berlaku dalam hukum nasionalnya, misalnya melalui pemeriksaan oleh badan peradilan dari tingkatan yang paling rendah hingga tertinggi. 5) Pihak
pemerintah
(eksekutif)
mengambil
persetujuan ekstradisi antara kedua Negara.
27
keputusan
mengenai
BAB V SIMPULAN
28