MAKALAH HADIST EKONOMI JUAL BELI GHARAR Dosen Pengampu : Bpk Muhammad Ramadhan Habibi
Disusun Oleh : KHOIRUL ANWAR(1704040199) MUHAMMAD IMAM KHOIRI( 1704040207 )
EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Akad Gharar ini dengan baik meskipun mungkin masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita semua. Oleh Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kebaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua amin.
Metro, 29 Oktober 2018 Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang ..................................................................
1
B.
Rumusan Masalah .............................................................
2
C.
Tujuan ..............................................................................
2
PEMBAHASAN A.
Definisi Jual Beli Gharar ..................................................
3
B.
Substansi Jual Beli Gharar ...............................................
3
C.
Kriteria Jual Beli Gharar ..................................................
4
D.
Hadist tentang Jual Beli Gharar .......................................
7
E.
Jual Beli Gharar dalam akad dan objek ............................
8
PENUTUP A.
Kesimpulan .......................................................................
10
B.
Saran ..................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kegiatan jual beli dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Namun pada kenyataanya tidak semua transaksi jual beli mendatangkan keuntungan. Jual beli gharar justru menyebabkan kerugian karena mengandung unsur penipuan. Melihat realitas yang ada, Nabi Muhammad SAW melarang jual beli tersebut. Jual beli gharar (uncertainty) merupakan salah satu faktor yang merusak visi jual beli. Islam sebagai agama dengan visi keadilan menolak secara tegas praktik jual beli gharar. Selain merugikan pihak yang terlibat secara langsung, kehadirannya juga akan membuat masyarakat gelisah. Secara tidak langsung jual beli gharar akan mengakibatkan perekonomian suatu negara sulit berkembang. Nabi Muhammad SAW dalam upaya memberantas praktek jual beli gharar, memberi peringatan kepada umatnya supaya menghindarinya. Salah satu bentuk peringatan Nabi tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam kitab musnadnya Bab Musnad Abdullah bin Mas’ud, hadis nomor: 3494.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin As Sammak dari Yazid bin Abu Ziyad dari Al Musayyab bin Rafi’ dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian membeli ikan dalam air sebab Larangan itu termasuk penipuan.”
1
B.
C.
Rumusan Masalah 1.
Definisi Jual Beli Gharar?
2.
Substansi Jual Beli Gharar?
3.
Kriteria Jual Beli Gharar?
4.
Jual Beli Gharar dalam akad dan objek?
Tujuan 1.
Untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen
2.
Untuk menambah wawasan pengetahuan
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Jual Beli Gharar Islam sebagai agama dengan visi keadilan menolak secara tegas praktik jual beli gharar. Selain merugikan pihak yang terlibat secara langsung, kehadirannya juga akan membuat masyarakat gelisah. Secara tidak langsung jual beli gharar akan mengakibatkan perekonomian suatu negara sulit.1 Gharar secara etimologis diartikan sebagai hal yang tidak diketahui, atau bahaya tertentu. Secara terminologis gharar diartikan oleh ulama ahli fiqh sebagai ketidak ketahuan akan akibat satu perkara (transaksi), atau ketidakjelasan antara baik atau buruknya.2 Menurut madzhab syafi’i, gharar adalah segala sesuatu yang akibatnya tersembunyi dari pandangan dan sesuatu yang dapat memberikan akibat yang tidak diharapkan/ akibat yang menakutkan. Sedang Ibnu Qoyyim berkata bahwa gharar adalah sesuatu yang tidak dapat diukur penerimaannya baik barang tersebut ada ataupun tidak ada, seperti menjual kuda liar yang belum tentu bisa di tangkap meskipun kuda tersebut wujudnya ada dan kelihatan. 3
B.
Kategori Jual Beli Gharar Menurut mohamad Bakir Haji Mansor, dalam bukunya Konsep-konsep syariah dalam perbamgkan dan keuangan Islam menjelaskan ada 2 kategori jual beli gharar. Kategori-kategori jual beli gharar yang perlu diketahui Yaitu : 1.
Gharar fahish (ketidakjelasan yang keterlaluan);
1
Purbayu Budi Santosa dan Aris Anwaril Muttaqin, “LARANGAN JUAL BELI GHARAR: TELA’AH TERHADAP HADIS DARI MUSNAD AHMAD BIN HANBAL” dalam jurnal Ekonomi Syariah,( Semarang: universitas Diponegoro Semarang), Vol. 3, No. 1, Juni 2015, h. 158. 2 Abdullah al-muslih dan shalah ash- shawi, Fiqh keuangan Ekonomi Islam,(Jakarta: Darul Haq, April 2008 ), Hal 379. 3 Nadratuzzaman Hosen, “ ANALISIS BENTUK GHARAR DALAM TRANSAKSI EKONOMI” dalam jurnal Al-Iqtishad,( Jakarta: Ciputat),Vol. I, No. 1, Januari 2009, h. 55-56
3
Adalah jual beli gharar yang berat dan dengannya dapat membatalkan akad. Jual beli gharar ini timbul dua sebab:pertam,barang sebagai objek jual beli tidak ada dan kedua,barang boleh diserahkan tetapi tidak sama spesifikasinya seperti yang dijanjikan. 2.
Gharar yasir (ketidakjelasan yang minimum)
Adalah gharar yang ringan,keberadaannya tidak membatalkan akad. Sekiranya terdapat bentuk gharar semacam ini dalam akad jual beli, maka jual beli tersebut tetap sah menurut syara’.4 C.
Kriteria Jual Beli Gharar Ditinjau dari isi kandungannya, bentuk-bentuk transaksi gharar menurut Abdullah Muslih terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Jual beli barang yang belum ada (ma’dum) Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada (bai’ al-ma’dum). Misalnya menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa bermaksud menjual induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir dari induknya (habal al-habalah), kecuali dengan cara ditimbang sekaligus atau setelah anak binatang itu lahir (HR. Abu Dawud). 5
2.
Jual beli barang yang tidak jelas (Majhul) a.
Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu barang belum diserahterimakan di saat jual beli, maka barang tersebut tidak dapat dijual kepada yang lain. Sesuatu/ barang jika belum diterima oleh si pembeli tidak boleh melakukan kesepakatan kepada yang lain untuk bertransaksi atau jual beli, karena wujud dari barang tersebut belum jelas, baik kriteria, bentuk dan sifatnya. Ketentuan ini didasarkan pada hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw melarang menjual barang yang sudah dibeli
4 5
http:// wardahcheche.blogspot.com/2014/08/gharar.html di unduh tanggal 29 Nadratuzzaman Hosen, hal: 57
4
sebelum barang tersebut berada dibawah penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud). Karena dimungkinkan rusak atau hilang obyek dari akad tersebut, sehingga jual beli yang pertama dan yang kedua menjadi batal.6 b.
Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Rasulullah Saw bersabda: ”Janganlah kamu melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan tersebut terlihat baik (layak konsumsi)” (HR. Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Demikian juga larangan untuk menjual benang wol yang masih berupa bulu yang melekat pada tubuh binatang dan keju yang masih berupa susu (HR. ad-Daruqutni).
c.
Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli yang dilakukan dengan tidak menyerahkan langsung barang sebagai obyek akad. Misalnya, jual beli dengan menyerahkan barang setelah kematian seseorang. Tampak bahwa jual beli seperti ini tidak diketahui secara pasti kapan barang tersebut akan diserahterimakan, karena waktu yang ditetapkan tidak jelas. Namun, jika waktunya ditentukan secara pasti dan disepakati antara keduanya maka jual beli tersebut adalah sah.
d.
Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, dalam suatu transaksi terdapat dua barang yang berbeda kriteria dan kualitasnya, kemudian ditawarkan tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan di jual sebagai obyek akad. Jual beli ini merupakan suatu bentuk penafsiran atas larangan Rasulullah Saw untuk melakukan bai’atain fi bai’ah. Termasuk di dalam jual beli gharar adalah jual beli dengan cara melakukan undian dalam berbagai bentuknya (HR. al-Bukhari).
e.
Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya, transaksi/ jual beli motor dalam kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah satu bentuk dari gharar karena
6
Ibid, h 58
5
di dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan pembeli, sehingga sama halnya dengan melakukan jual beli undian.7 3.
Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. a.
Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa ketidakpastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
b.
Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya, penjual berkata: ”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam jual beli ini merupakan illat dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak dikonsumsi. Dasar hukumnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah di atas.
c.
Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadi akad. Bentuk jual beli seperti ini merupakan larangan seperti halnya Rasulullah Saw melarang terhadap terjadinya dua jual beli/ transaksi dengan satu akad (bai’ataini fi bai’ah) (HR. Ahmad bin Hambal, anNasa’i, dan Tirmidzi). Misalnya, melakukan jual beli motor dengan harga Rp. 13 juta jika kontan/ tunai dan Rp. 20 juta jika pembeli melakukan pembayaran dengan cara kredit, namun ketika akad berlangsung dan terjadi kesepakatan tidak ditegaskan transaksi mana yang dipilih.
d.
Adanya keterpaksaan. Antara lain berbentuk: 1).
Jual beli lempar batu (bai al hasa), yaitu seseorang melempar batu pada sejumlah barang dan barang yang terkena batu tersebut wajib untuk dibelinya. Larangan terhadap jual beli tersebut berdasarkan hadist Rasulullah Saw, yang diriwayatkan
7
Ibid, h 58
6
oleh Abu Hurairah r.a: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.”(HR. alJama’ah kecuali Bukhari). 2).
Jual beli dengan saling melempar (bai’ al-munabazah) yaitu seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilemparkan tersebut melemparkan bajunya kepada yang melemparnya maka diantara keduanya wajib untuk melakukan jual beli, meskipun pembeli tidak tahu akan kualitas dari barang yang dibelinya.
3).
Jual beli dengan cara menyentuh (bai’ al-mulamasah), yaitu jika seseorang menyentuh suatu barang maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang akan dibelinya.8
D.
Hadist tentang Jual Beli Gharar 1.
Sunan Abu Dawud. Tentang Jual Beli Gharar
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr dan Utsman dua anak Abu Syaibah, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dari ‘Ubaidullah dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual secara gharar (transaksi jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan, penipuan, pertaruhan, dan hal-hal yang merugikan), sedang Utsman menambahkan dan hashah (transaksi jual beli yang dilakukan oleh dua orang tetapi barangnya belum jelas, kemudian untuk menentukannya salah satu dari 8
Ibid, h. 59
7
mereka melempar hashat (kerikil), maka barang yang terkena kerikil itulah yang dijual). 2.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin hanbal, bab Bidayah Musnad Abdullah bin Abas. Nomor hadis: 2616.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Aswad telah menceritakan kepada kami Ayyub bin ‘Utbah dari Yahya bin Abu Katsir dari ‘Atho` dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli gharar.” Ayyub berkata; bahwasanya Yahya menafsirkan jual beli gharar, dia berkata; “Di antara bentuk (jual beli) gharar adalah (menjual sesuatu) yang diperoleh dengan menyelam terlebih dahulu, menjual budak yang kabur, menjual unta yang tersesat, (jual beli) gharar adalah janin yang masih dalam perut binatang, (jual beli) gharar adalah jual beli hasil tambang yang masih terpendam, (jual beli) gharar adalah susu yang masih di dalam ambing binatang, kecuali dengan ditakar.”9
E.
Jual Beli Gharar dalam akad dan objek Mengamati berbagai larangan bagi terjadinya gharar dalam transaksi menurut syariat Islam, maka sebagaimana disampaikan oleh Dharir, maka gharar dapat diklasifikasikan menjadi dua: 1.
Jual beli gharar terkait dengan kontrak Jual beli ini muncul dikarenakan adanya kontrak yang memang berimplikasi pada adanya ketidakjelasan atau ketidaktahuan.
9
Purbayu Budi Santosa dan Aris Anwaril Muttaqin, h. 166
8
Ada beberapa kontrak yang mengandung jual beli gharar, meliputi: a.
Dua jual beli dalam satu kontrak;
b.
Down payment atau arbun;
c.
Jual beli yang hanya sekedar menyentuh dan tidak boleh mengecek barang;
d.
Perdagangan yang disandarkan pada peristiwa tertentu di masa mendatang sebagai syaratnya (mu’allaq);
e.
perdagangan yang di ditunda untuk masa tertentu di waktu yang akan datang (mudhaf).
2.
Jual beli gharar yang terkait dengan objek Jual beli gharar yang terkait dengan objek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan jenis dari suatu barang, klasifikasi barang serta sifat-sifat termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu pembayarannya yang tidak pasti. Termasuk dalam gharar yang terkait dengan objek ini adalah jika objeknya tidak memungkinkan untuk diserahkan atau objeknya tidak eksis atau tidak ada dan terakhir adalah objek yang tidak dapat disaksikan atau dilihat. Secara detail, cakupan gharar jenis ini adalah; ketidaktahuan akan jenis objek, ketidaktahuan akan spesies objek, ketidaktahuan akan sifat (atribut) objek, ketidaktahuan akan kuantitas objek, ketidaktahuan akan essensi objek, ketidaktahuan akan kuantitas objek, ketidakmampuan untuk menyerahkan barang, memperjanjikan objek yang tidak ada, serta, memperjualbelikan barang yang tidak dapat dilihat.10
10
Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait Screening Criteria di Jakarta Islamic Index” dalam jurnal HUKUM,( Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia), NO. 4 VOL. 17 OKTOBER 2010, h. 621
9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Gharar diartikan oleh ulama ahli fiqh sebagai ketidak ketahuan akan akibat satu perkara (transaksi), atau ketidakjelasan antara baik atau buruknya. Menurut mohamad Bakir Haji Mansor, dalam bukunya Konsep-konsep syariah dalam perbamgkan dan keuangan Islam menjelaskan ada 2 kategori jual beli gharar, yaitu: Gharar fahish (ketidakjelasan yang keterlaluan), Gharar yasir (ketidakjelasan yang minimum). bentuk-bentuk transaksi gharar menurut Abdullah Muslih terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Jual beli barang yang belum ada (ma’dum)
2.
Jual beli barang yang tidak jelas (Majhul)
3.
Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Jual beli gharar terkait dengan kontrak ini muncul dikarenakan adanya
kontrak
yang
memang
berimplikasi
pada
adanya
ketidakjelasan
atau
ketidaktahuan. Jual beli gharar yang terkait dengan objek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan jenis dari suatu barang, klasifikasi barang serta sifat-sifat termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu pembayarannya yang tidak pasti.
B.
Saran Untuk saran kami terus gali ilmu itu sebanyaknya dan pahamilah sesuai kemampuan. Jika ada seseorang yang sudah ridho memberikan ilmunya kepadamu, beruntunglah kamu.
10
DAFTAR PUSTAKA Purbayu Budi Santosa dan Aris Anwaril Muttaqin, “LARANGAN JUAL BELI GHARAR: TELA’AH TERHADAP HADIS DARI MUSNAD AHMAD BIN HANBAL” dalam jurnal
Ekonomi Syariah, Semarang: universitas Diponegoro
Semarang, Vol. 3, No. 1, Juni 2015. Abdullah al-muslih dan shalah ash- shawi, Fiqh keuangan Ekonomi Islam,Jakarta: Darul Haq, April 2008. Http:// wardahcheche.blogspot.com/2014/08/gharar.html di unduh tanggal 29 Nadratuzzaman
Hosen,
“
ANALISIS
BENTUK
GHARAR
DALAM
TRANSAKSI EKONOMI” dalam jurnal Al-Iqtishad, Jakarta: Ciputat,Vol. I, No. 1, Januari 2009. Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait Screening Criteria di Jakarta Islamic Index” dalam jurnal HUKUM, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia , NO. 4 VOL. 17 OKTOBER 2010.
11