Makalah Gadai.docx

  • Uploaded by: Dina Dianii
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Gadai.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,744
  • Pages: 25
MAKALAH GADAI Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum jaminan Dosen Pembimbing: Supianto,SH.,MH

DisusunOleh: Fika andriani (1503403007) Kelas A/Semester 4 UNIVERSITAS ISLAM JEMBER FAKULTAS ILMU HUKUM 2017

KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “(GADAI)” ini dapat diselesaikan. Semoga makalah yang telah di buat ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan informasi pada masa yang akan datang. Terima kasih

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ KATA PENGANTAR....................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................

`

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………………….. B. Rumusan Masalah …………………………………………………………. C. Tujuan ……………………………………………………………………... BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Gadai……………………………………………......................

B. Syarat Gadai ……………………………… ............................................... C. Subjek perjanjian gadai................................................................................ D. Sebab-sebab hapusnya gadai …………………………………………....... BAB III PENUTUP A.Kesimpulan ………………………………………………………………. B.Saran …………………………………………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat perlu dana maupun modal. Misalnya untuk membuka suatu lapangan usaha tidak hanya dibutuhkan bakat dan kemauan keras untuk berusaha, tetapi juga diperlukan adanya modal dalam bentuk uang tunai. Hal itulah yang menjadi potensi perlu adanya lembaga perkreditan yang menyediakan dana pi njaman. Untuk mendapatkan modal usaha melalui kridit masyarakat membutuhkan adanya sarana dan prasarana. Maka pemerintah memberikan sarana berupa lembaga perbankkan dan lembaga non perbankkan. Salah satu lembaga non perbankan yang menyediakan kredit adalah Pegadaian. Pegadaian merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Lembaga pegadaian menawarkan peminjaman dengan system gadai.

Jadi masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barangnya. Lembaga pegadaian memiliki kemu dahan antara lain prosedur dan syaratsyarat administrasi yang mudah dan sederhana, dimana nasabah cukup memberikan keterangan-keterangan singkat tentang identitasnya dan tujuan penggunaan kredit, waktu yang relatif singkat dana pinjaman sudah cair dan bunga relatif rendah. Hal ini sesuai dengan motto dari pegadaian itu sendiri, yaitu : ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Masalah jaminan utang berkaitan dengan gadai yang timbul dari sebuah perjanjian utang-piutang, yang mana barang jaminan tersebut merupakan perjanjian tambahan guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati sebelumnya diantara kreditur dan debitur. Adanya perjanjian gadai tersebut, maka diperlukan juga adanya barang sebagai jaminan. B.Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang dari pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan makalah ini. Adapun perumusan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud gadai ? 2. Apa yang menjadi syarat gadai ? 3. apa subjek perjanjian gadai itu ? 4. Apa saja yang menjadi sebab-sebab hapusnya gadai ? C. Tujuan 1. untuk mengetahui tentang gadai 2. untuk mengetahui tentang syarat gadai 3. untuk mengetahui tentang subjek perjanjian gadai 4. untuk mengetahui tentang sebab-sebab hapusnya gadai

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Gadai Gadai ialah suatu yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang yang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian hanya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan. Hak gadai diadakan untuk amencegah debitur untuk mengubah barang yang digadaikan, yang mana akan merugikan bagi pihak pemegang gadai. Sedangkan dalam KUHper tentang gadai dalam pasal 1150, menjelaskan bahwa Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan. Hak gadai yang definisinya diberikan, adalah sebuah hak atas benda bergerak milik orang lain, yang maksudnya bukanlah untuk memberikan kepada orang yang berhak gadai itu (disebut : penerima gadai atau pemegang gadai) manfaat dari benda tersebut, tetapi hanyalah untuk memberikan kepadanya suatu jaminan tertentu bagi pelunasan suatu piutang (yang bersifat apapun juga) dan itu ialah jaminan yang lebih kuat dari pada jaminan yang memilikinya. B. Syarat gadai 1) Syarat yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kreditur dan debitur tidak saling merugikan. 2) Syarat yang berkaitan dengan yang menggadaikan dan penerima gadai, yaitu kedua belah pihak yang berjanji masing-masing dari mereka sudah dewasa dan berakal. 3) Syarat yang berkaitan dengan benda yang digadaikan, yaitu: a) Penggadai punya hak kuasa atas benda yang digadaikan. b) Benda gadai bukan benda yang mudah rusak. c) Benda gadai dapat diambil manfaatnya. 4) Syarat yang berkaitan dengan perjanjian yaitu tidak di syaratkan apaapa, oleh karenanya bentuk perjanjian gadai itu dapat bebas tidak terikat

oleh suatu bentuk yang tertentu artinya perjanjian bisa diadakan secara tertulis ataupun secara lisan saja, dan yang secara tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris, bisa juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja. 5) Syarat yang berkaitan dengan hutang-piutang, yaitu hutangnya keadaan tetap, keadaan pasti dan keadaan jelas.10

Sedangkan dalam KUHper pasal 1320, syarat-syarat dalam melakukan perjanjian antara lain : A. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Maksudnya bahwa kedua belah pihak yang mengadaikan perjanjian mempunyai kemauan bebas tanpa ada paksaan dari pihak lain untuk mengikatkan dirinya, dan kemauan tersebut harus dinyatakan. B. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap hukum dalam melakukan perjanjian, jadi telah mencapai umur 21 tahun lebih atau telah kawin terlebih dahulu sebeum mencapai umur 21 tahun. C. Mengenai suatu hal tertentu. Menurut pasal 1131 BW, yang menjelaskan bahwa segala kebendaan milik yang berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan baru ada dikemudian hari, menjadi jaminan hutangnya.14 Tetapi jaminan secara umum ini kurang bisa memuaskan, sehingga diperlukan barang tertentu sebagai jaminan. D. Mengenai suatu sebab yang sah (halal). Bahwa dalam suatu perjanjian harus ada tujuan yaitu apa yang dimaksudkan kedua belah pihak mengadakan perjanjian.Dalam hal barang jaminan, barang yang digadaikan itu harus dilepaskan atau berada diluar kekuasaan pemberi gadai.

Barang tersebut harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Penyerahan kekuasaan ini menurut undang-undang dianggap sebagai syarat mutlak untuk lahirnya perjanjian gadai. Perlu kiranya dijelaskan bahwa undang-undang mengizinkan barang tanggungan itu ditaruh dibawah kekuasaan pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang berkepentingan (pasal 1152 ayat 1). Jadi sebetulnya yang dikehendaki undang-undang adalah berpindahnya barang tersebut dari kekuasaan pemberi gadai. Bahwa ada ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 bahwa gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai.

C.Subjek Perjanjian Gadai Perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya hubungan hukum kesepakatan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurangkurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur,dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian, kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari: A. Individu sebagai persoon yang bersangkutan 1) Natuurlijke Persoon atau manusia tertentu. 2) Rechts Persoon atau badan hukum B. Pemanfaatan Barang Yang Dijadikan jaminan

Menyangkut pemanfaatan barang gadai menurut ketentuan hukum perdata tetap merupakan hak-hak keepakatan dalam terjadinya penggadaian, hak gadai terjadi karena : A. Karena adanya persetujuan gadai ialah suatu kehendak bersama untuk mengadakan hubungan hukum gadai satu sama lainnya. B. Penyerahan benda bergerak yang dijadikan jaminan.

Gadai dalam kitap KUHper, pada dasarnya adalah merupakan sebuah jaminan hutang dari sejumlah uang yang dipinjam (pasal 1150) dengan kedudukannya sebagai jaminan, maka barang tersebut harus berada pada kekuasaan penerima gadai, bentuk penyerahan bukan suatu keharusan pada zat barang tersebut, melainkan penyerahan dapat berupa penyerahan hak milik secara kepercayaan, yang lazim dinamakan Fiduciaire eigendom. Penyerahan hak milik atas barang-barang yang dipertanggungkan dengan perjanjiaan bahwa penyerahan hak milik itu hanya untuk jaminan atas pembayaran kembali pinjaman dalam kitabUndang Undang Hukum Perdata, setiap transaksi gadai, pemberi gadai selalu dibebani oleh adanya bunga (tambahan pembayaran dari uang pokok yang dipinjamkan), pembebasan bunga dalam transaksi gadai dilegalitaskan sebagaimana dijelaskan pada pasal 1156 BW. Dalam pemanfaatan barang jaminan, pemegang gadai mempunyai hakhak dan kewajiban-kewajiban terhadap barang jaminan tersebut: A. Hak-hak seorang pemegang gadai 1) Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggungkan selama hutang-hutang, bunga dan biaya-biaya yang belum dilunasi. 2) Bila tidak ada ketentuan lain, pemegang gadai setelah waktu yang ditentukan telah lampau atau tidak ditetapkan waktunya, setelah mengadakan somasi, dapat melelang barang yang digadaikan dimuka umum. 3) Ia berhak untuk minta digantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan barang yang dipertanggungkannya itu.

4) Ia berhak untuk menggadaikan lagi barang tanggungannya itu apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan (seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi).

5) Bila hutang-hutang tidak dibayar sepenuhnya maka pemegang gadai tidak berkewajiban mengembalikan barang yang dipertanggungkan itu (gadai disini tidak dapat dibagi-bagi, hutangnya sendiri dapat dibagi-bagi) B. kewajiban-kewajiban seorang pemegang gadai 1) Ia bertanggung jawab terhadap kerugian, apabila karena kesalahannya barang yang dipertanggungkan menjadi hilang atau kemunduran harga barang tanggungannya. 2) Ia harus memberitahukan kepada orang yang berhutang apabila ia hendak menjual atau melelang barang tanggungannya. 3) Ia harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu, dan kelebihan dari pada pelunasan hutang, bunga dan biaya- biaya lelang harus diserahkan kembali ke si berhutang. 4) Ia harus mengembalikan barang yang dipertanggungkan apabila hutang pokok, bunga, biaya untuk menyelamatkan atau merawat barang tanggungan telah dibayar lunas.

C. Barang Yang Dijadikan Jaminan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam suatu perjanjian, obyek yang diperjanjikan tersebut harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : A. Barang tersebut dapat diperjual-belikan (bernilai), sebagaimana dijelaskan pada pasal 1332 yang berbunyi : “bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek dari suatu perjanjian”. B. Barang tersebut harus tertentu, dalam pasal 1333 menjelaskan :

“bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Adapun barang yang dapat dijadikan jaminan yaitu semua benda yang berwujud atau tidak berwujud yang ada dibawah kekuasaan peminjam (debitur) yaitu : A. benda berharga yang berwujud antara lain yakni, seperti mobil, sepeda motor, rumah, tanah, perhiasan, dll. B. Benda berharga yang tak berwujud antara lain yakni, seperti surat utang (obigasi), surat efek (saham-saham), surat akte dan surat berharga lainnya.

D.Sebab-Sebab Hapusnya Gadai Yang menjadi sebab hapusnya gadai : 1. Karena hapusnya perjanjian peminjaman uang. 2. Karena perintah pengembalian benda yang digadaikan lantaran penyalahgunaan dari pemegang gadai. 3. Karena benda yang digadaikan dike mbalikan dengan kemauan sendiri oleh pemegang gadai ke pada pemberi gadai 4. Karena pemegang gadai lantaran sesuatu sebab menjadi pemilik benda yang digadaikan. 5. Karena dieksekusi oleh pemegang gadai. 6. Karena lenyapnya benda yang digadaikan. 7. Karena hilangnya benda yang digadaikan.

BAB III

PENUTUP A. Kesimpulan Dari makalah tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa gadai terjadi karena adanya unsur-unsur timbulnya hak debitur yang disebabkan perikatan utang-piutang, dan adanya penyerahan benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud sebagai jaminan yang diberikan oleh kriditur. Obyek dari gadai adalah benda bergerak berwujud dan tidak berwujud dan yang menjadi subyek dari hak gadai adalah penerima hak gadai (debitur) dan pemberi hak gadai (kreditur), dan secara hukum orang yang tidak cakap dalam perbuatan hukum tentu saja tidak bisa melakukan hubungan hukum gadai. Untuk menjaminnya agar gadai bisa dilaksanakan secara benar, sehingga tidak terjadi sengketa di kemudian hari tentu saja si peneri ma gadai harus memahami dan melaksanakan kewajibannya, dan sipemberi gadai harus juga mengerti apa yang manjadi hak si penerima gadai.

DAFTAR PUSTAKA 1. H.Riduan Syahrani, S.H., Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Cet. 1-Bandung : Alumni, 2006 2. Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerd), - Cet. 38-Jakarta : Pradnya Paramita, 2007

Gadjaonline Kamis, 23 Januari 2014

Jaminan Perorangan/Penanggungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian jaminan berasal dari kata jamin yang berrarti tanggung, sehinggajaminan dapat di artikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang di maksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang di tentukan dalam pasal 1131 KUHPerdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu seperti yang diatur dalam pasal 1139 – 1149 (Piutang yang Diistemewakan), pasal 1150 – 1160 (Gadai), pasal 1162 – 1178 (Hipotek), pasal 1820 – 1850 (Penanggungan Utang), dan akhirnya seperti yang di tetapkan oleh yurisprudensi ialah Fidusia. Tanggumgan atas segala perikatan seseorang di sebut jaminan secara umum sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang di sebut jaminan secara khusus. Jaminan khusus seperti yang di maksud di atas lazimnya di namakan jaminan kebendaan. Selain jaminan kebendaan, KUHPedata mengenal jaminan orang atau penanggungan utang (borgtocht). Penanggungan utang ini selalu di adakan antara Kreditur dan pihak ke tiga dalam perjanjian dengan nama pihak ketiga guna kepentingan Kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya bila mana Debitur sendiri tidak memenuhinya, demikian dikatakan oleh pasal 1820 KUHPerdata. Oleh karena, penanggungan utang ini di adakan untuk kepentingan Kreditur, maka penanggungan utang dapat di adakan baik dengan sepengetahuan Debitur maupun tidak, demikian dikatakan oleh pasal 1823 KUHPerdata. Dengan mengadakan perjanjian penanggungan utang ini, bila mana Debitur lalai memenuhi perikatannya maka Kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi pihak penanggung untuk menuntut agar barangbarang Debitur di sita terlebih dahulu dan di jual untuk melunasi utangnya. Penanggungan utang ini tidak mengubah atatus Kreditur sebagai Kreditur Kongkuren, sehingga dalam hal terdapat banyak Kreditur terhadap Debitur ataupun penangggungan dan harta kekayaannya tidak mencukupi untuk melunasi utang, maka berlaku cara pembayaran seperti yang di atur dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Dilihat dari akibat yang demikian itu tentu saja penanggungan utang ini tidak begitu di sukai oleh Kreditur yang menghendaki jaminan pembayaran kembali bagi piutangnnya. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas rumusan masalah yang diambil oleh penulis adalah sebgai berikut: 1. Bagaimanakah sifat dan bentuk perjanjian jaminan perorangan/penanggungan? 2. Apa Hak penanggung terhadap kreditur serta hak penanggung terhadap debitur? 3. Berapakah jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungan? C. 1. 2. 3.

Tujuan Untuk mengetahui sifat dan bentuk perjanjian jaminan perorangan/penanggungan. Untuk mengetahui hak penanggung terhadap kreditur serta hak penaggung terhadap debitur. Untuk mengetahui jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungann?

D. Manfaat

Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktisi, sebagai berikut: 1. Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kajian lebih lanjut tentang jaminan perorangan/penanggungan serta dapat memberi manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum secara umum dan hukum jaminan secara khusus. 2. Secara praktisi, makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat yang akan membuat perjanjian jaminan perorangan/penanggungan.

BAB II PEMBAHASAN A. Sifat Perjanjian Penanggungan dan Bentuk Perjanjian Penanggungan Sifat Perjanjian Penanggungan ada beberapa, yaitu: 1. Merupakan jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya pihak ketiga (badan hukum) yang menjamin pemenuhan prestasi manakala Debiturnya wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demikian pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu Debitur atau penanggungnya. 2. Bersifat accesoir, yakni perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Perjanjian penanggungan akan batal demi hukum atau hapus jika perjanjian pokok juga batal demi hukum atau hapus. 3. Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak ikut batal meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan. - misalnya Perjanjian Pokok dibuat oleh orang yang tidak cakap, sehingga dapat dibatalkan dan bila hal ini terjadi maka perjanjian penanggungannya dianggap tetap sah.

4. Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus melaksanakan kewajiban, tetapi adakalanya Kreditur menawarkan suatu prestasi sehingga pihak ketiga mau menjadi penanggung dan dalam keadaan demikian perjanjian bersifat timbal balik. 5. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya prestasi/perutangan pokoknya tetapi boleh lebih kecil. Jika penanggung lebih besar maka yang dianggap sah hanya yang sebesar utang pokok (Pasal 1822 BW). 6. Bersifat subsidiair, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi. Hal ini berdasarkan Pasal 1820 BW bahwa penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan Debitur manakala Debitur sendiri tidak memenuhinya. Ini berarti penanggung hanya terikat secara subsidiair karena hanya akan melaksanakan prestasi jika Debitur tidak memenuhinya sedang Debitur yang harus tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan prestasi tersebut dan setelah penanggung melaksanakan prestasi maka ia mempunyai hak regres terhadap Debitur. 7. Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas tertentu juga mengikat si penanggung. 8. Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang. Bentuk perjanjian penanggungan menurut ketentuan undang-undang, adalah bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau tertulis yang dituangkan dalam suatu akta. Namun untuk kepentingan pembuktian maka pada prakteknya umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, seperti dengan akta notaris atau formulir baku dari bank. Perjanjian penanggungan harus dinyatakan secara tegas tidak boleh secara tersirat oleh penanggung atas hal-hal apa saja yang akan ditanggungnya. Hal ini gunanya agar penanggung terlindung atas tanggung jawab terhadap hal-hal lain yang tidak ditanggungnya. Fungsi dari Akta Penanggungan ini adalah : - Sebagai alat pembuktian tentang adanya penanggungan tersebut oleh penanggung; - Memuat ketentuan-ketentuan ataupun janji yang mengatur perjanjian penanggung tersebut. B. Yang Dapat Menjadi Obyek Penanggungan Yang dapat menjadi obyek penanggungan adalah sebagai berikut : 1. Pelaksanaan Perjanjian Pokoknya, yang berupa : - Pelunasan hutang yang berupa uang, maksimum sebesar utang pokoknya. Bisa lebih kecil dari utang pokok tapi tidak bisa lebih besar. Jika diperjanjikan lebih besar dari utang pokok maka menurut Pasal 1822 BW, yang sah hanya sebesar uang pokoknya saja sedangkan sisanya bisa saja penanggung tidak usah membayarnya - Prestasi yang tidak berwujud uang maka dapat diberikan dengan menilai prestasi tersebut dengan uang. - Prestasi berupa melaksanakan pekerjaan, mis. dalam penanggungan pembangunan, menanggung menyelesaikan pekerjaan atau perbaikan-perbaikan pada rumah sewa. 2. Pelaksanaan dari akibat Perjanjian Pokoknya (Penanggungan tak terbatas), mis. biaya-biaya gugatan pada Kreditur, segala biaya untuk memperingatkan penanggung agar melaksanakan kewajibannya (pasal 1825 BW).

C. Macam-Macam Penanggung Untuk menjamin pemenuhan suatu perjanjian pokok maka adalah kalanya dalam perjanjian penanggungan ada beberapa penanggung, yaitu : 1. Penanggung Utama (hoofdborg) dan Penanggung Belakang (achterborg). Penanggung Utama (hoofdborg) berfungsi untuk menanggung Debitur memenuhi kewajibannya sedangkan Penanggung Belakang (achterborg), berfungsi untuk menanggung Penanggung Utama memenuhi kewajibannya. Jika Penanggung Belakang telah memenuhi seluruh kewajiban debitur maka ia mempunyai hak menuntut kembali pembayaran (hak regres) tersebut pada si Penanggung Utama tidak bisa langsung ke Debitur karena Penanggung Belakang tidak mempunyai hak regres terhadap Debitur. Penanggung Utama yang telah memenuhi seluruh kewajiban Debitur maka ia mempunyai hak regres pada Debitur tetapi tidak terhadap Penanggung Belakang. 2. Penanggung Pertama dan Penanggung Kedua Penanggung Pertama dan Kedua bersama-sama mengikatkan diri selaku penang-gung dari suatu hutang, dimana untuk pemenuhan prestasinya maka pihak Kreditur harus menuntut pada Penanggung Pertama terlebih dahulu. Jika Penanggung Pertama tidak mampu memenuhi prestasi tersebut maka Kreditur baru boleh menuntut pada penanggung kedua. Jika Penanggung Pertama telah memenuhi prestasi tersebut maka ia hanya mempunyai hak regres pada Debitur tidak pada Penanggung Kedua. Demikian pula jika Penanggung Kedua telah memenuhi prestasi tersebut maka ia mempunyai hak regres baik pada Debitur maupun pada Penanggung Pertama. 3. Penanggung Solider Penanggung solider adalah penanggung yang mengikatkan dirinya bersama-sama dengan Debitur untuk pemenuhan suatu prestasi secara tanggung menanggung. Kreditur dapat langsung menuntut pemenuhan prestasi pada debitur maupun pada penanggung terlebih dulu dari Debitur untuk memenuhi prestasi tersebut. Jadi kedudukan penanggung dengan debitur setara. 4. Penanggung atas Pemecahan Pemenuhan Prestasi Beberapa penanggung yang mengikatkan diri untuk bersama-sama melakukan pemenuhan prestasi dari satu Debitur yang sama. Meskipun diatur dalam Pasal 1836 BW bahwa jika beberapa orang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang Debitur dan untuk utang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang tersebut tetapi masing-masing penanggung berhak untuk menuntut agar Kreditur membagi-bagi terlebih dahulu piutangnya sehingga masing masing penanggung hanya menanggung sebagian hutang Debitur tersebut. Tuntutan pemecahan hutang ini harus diajukan pada saat mereka digugat untuk pertama kalinya dimuka Hakim dan sebelum melakukan pembayaran, masing-masing penanggung berhak menuntut Kreditur untuk melakukan pemecahan piutangnya tersebut. Jika tidak dilakukan hal ini maka ketentuan Pasal 1836 BW yang berlaku yakni jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang Debitur dan untuk hutang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang itu. Jika ada satu penanggung yang telah membayar utang tersebut maka ia dapat menuntut Debitur untuk mengembalikan pembayarannya (Hak

Regres) sedangkan ia baru mempunyai hak regres terhadap penanggung-penanggung lainnya jika ia dinyatakan pailit atau digugat didepan pengadilan. D. Hak Penanggung Terhadap Kreditur Serta Hak Penanggung Terhadap Debitur Hak penanggung terhadap kreditur sebagai berikut: 1. Hak untuk menuntut lebih dahulu Berdasarkan Pasal 1831 BW, Penanggung berhak untuk menuntut agar harta benda si Debitur disita dan dijual/dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Kemudian jika tidak mencukupi barulah penanggung wajib membayar utang Debitur tersebut. Jadi disini penanggung baru akan bertindak sebagai Borg kalau barang-barang Debitur yang disita dan dijual belum mencukupi utangnya pada kreditur. Penyimpangan terhadap pasal ini dapat dilakukan jika : a. Telah diperjanjikan sebelumnya antara penanggung dengan kreditur bahwa penanggung akan melepaskan hak istimewanya untuk menuntut agar harta benda disita dan dijual terlebih dahulu baru ia melaksanakan kewajibannya sebagai penanggung. Umumnya perjanjian ini atas inisiatif kreditur supaya ia dapat langsung menuntut penanggung jika debiturnya wanprestasi. b. Hubungan Penanggung dengan Debitur adalah perutangan secara tanggung menanggung, sehingga hubungan ini tunduk pada perjanjian perutangan tanggung menanggung c. Jika si Debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang mengenai dirinya secara pribadi. d. Jika si Debitur dalam keadaan pailit. e. Jika penanggungan itu diperintah oleh hakim. Umumnya dalam praktek senantiasa dibuat perjanjian untuk menyimpang dari Pasal 1831 BW ini, saking seringnya kebiasaan ini dilakukan dalam perjanjian maka kebiasaan ini (yaitu janji untuk melapaskan hak untuk menuntut terlebih dahulu) harus dianggap diam-diam telah tercantum dalam perjanjian penanggungan. Sedangkan apabila Pasal 1831 BW ini akan diterapkan maka harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjiannya. Penanggung yang akan menuntut hak penjualan lebih dahulu harus menentukan barang-barang yang mana dari Debitur yang akan dijual terlebih dahulu untuk membayar utangnya setelah membayar ongkos-ongkos untuk penyitaan dan penjualan. Penanggung tidak boleh menunjuk barang debitur yang dalam keadaan sengketa, barang-barang yang dibebankan Hak tanggungan atau barang yang tidak berada dalam kekuasaannya dan barang yang berada di luar wilayah Indonesia. 2. Hak untuk membagi utang Menurut Pasal 1836 BW, jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa orang penanggung untuk suatu hutang dan untuk seorang Debitur maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang dan dalam Pasal 1837 BW dikatakan bahwa Kreditur mempunyai hak untuk membagi piutangnya atas bagian-bagian ke masing-masing penanggung pada saat penanggung-penanggung ini digugat. Sebenarnya kedua ketentuan ini saling bertentangan karena disatu pihak menentukan bahwa masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang namun dipihak lain memberi hak kepada Kreditur untuk membagi-bagi piutangnya kepada masingmasing penanggung atas bagian-bagian tertentu untuk dipertanggung jawabkan oleh masingmasing penanggung. Dalam kenyataannya dilapangan, hak ini selalu diperjanjikan untuk dikesampingkan atau penanggung harus melepaskan hak ini sehingga yang terjadi adalah

perutangan tanggung menanggung antara para penanggungnya. Oleh karena itulah maka terhadap perjanjian penanggungan ini berlaku juga ketentuan mengenai perutangan tanggung menanggung, yaitu : - Pasal 1280 BW, bahwa masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh utang dan pemenuhan utang oleh salah seorang debitur akan membebaskan debitur-debitur lainnya terhadap piutang kreditur. - Pasal 1283 BW, bahwa jika salah satu debitur yang ditagih oleh kreditur maka tidak ada kemungkinan bagi debitur ini untuk meminta agar hutangnya dipecah. - Pasal 1284 BW, bahwa tuntutan yang telah dilakukan ke salah seorang debitur tidak menutup kemungkinan kreditur untuk menuntut pembayaran lagi ke debitur lainnya, sepanjang belum ada pelunasan utang tersebut. Tetapi jika Kreditur yang sendiri ingin memecahkan piutangnya atas bagian-bagian untuk penanggung maka ia tidak dapat menarik kembali pemecahan itu meskipun ternyata bahwa diantara beberapa penanggung tersebut telah berada dalam keadaan tidak mampu pada saat ia memecah piutangnya tersebut. Hal ini juga berlaku pada perutangan tangung menanggung pasif (debiturnya lebih dari satu orang). 3. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat Si penanggung untuk menolak melaksanakan kewajibannya dapat menggunakan alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh debitur kepada kreditur, kecuali alasan yang menyangkut pribadi debitur sendiri. Jadi tangkisan-tangkisan yang dikemukakan atau yang digunakan oleh Debitur kepada Kreditur karena tidak melaksanakan prestasi (menyangkut perjanjian pokoknya) dapat pula digunakan oleh penanggung terhadap kreditur. Misalnya pada perjanjian pokoknya, Debitur tidak mengembalikan pinjamannya ke kreditur karena kreditur sendiri juga ada pinjaman pada debitur. Maka alasan ini dapat digunakan pula oleh penanggung untuk tidak melaksanakan kewajibannya terhadap kreditur. Sedangkan jika alasan yang diajukan oleh debitur menyangkut pribadinya maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan juga oleh penanggung. 4. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan kesalahan Kreditur Dalam Pasal 1848 BW, dikatakan bahwa penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena perbuatan Kreditur sipenanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-haknya, hak tanggungannya dan hak-hak utama dari kreditur. Penanggung yang telah membayar utang Debitur ke Kreditur secara hukum akan menggantikan kedudukan Kreditur tersebut terhadap Debitur. Jika hal ini tidak terlaksana karena kesalahan dari Kreditur sendiri maka akibatnya penanggungan akan diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian penanggungan akan batal. Dalam praktek hal ini bisa terjadi karena jika Debitur melakukan wanprestasi maka Kreditur akan lebih mengutamakan menjual barang jaminannya diluar jaminan perorangan terlebih dahulu. Kalau hasil penjualan ini belum cukup barulah Kreditur akan menuntut penanggung, jadi tidak langsung menuntut ke penanggung. Tindakan Kreditur inilah yang dianggap dapat merugikan penanggung karena dengan dijualnya bendabenda yg dijadikan jaminan hutang, si penanggung menjadi tidak terjamin dengan benda-benda jaminan itu, yang akan beralih karena kepadanya karena subrogasi, jika ia membayar utang Debitur nantinya. Oleh karena itulah ia dianggap berhak dihentikan sebagai penanggung,

melepaskan diri dari penanggungan. Ini kalau ditinjau dari segi kepentingan si Kreditur tentu sangat memberatkan sebab itu dalam prakteknya diperbankan hak ini selalu diperjanjikan secara tegas tercantum dalam akta penanggunga agar si penanggung melepaskan hak demikiannya. Hak penanggung terhadap debitur sebagai berikut: Penanggung yang telah melakukan pembayaran utang Debitur baik secara suka rela atau karena putusan hakim yang mengharuskan atau menghukum penanggung untuk membayar, dengan sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan mempunyai hak-hak sebagai berikut : 1. Hak Regres atau hak menuntut kembali, yaitu hak untuk menuntut Debitur mengganti pembayaran yang telah dilakukan (Pasal 1839 BW). Hak Regres yang dituntut dapat berupa : - Hutang pokok, bunga maupun biaya-biaya yang timbul. - Penggantian kerugian (yang berupa biaya, kerugian dan bunga) jika ada alasan untuk itu. Hak regres ini merupakan hak Penanggung sendiri, sehingga Penanggung juga bisa menuntut pengembalian lain disamping utang pokok dan bunga dari debitur. Hak Regres ini meliputi juga: - Pembayaran ongkos perkara, yaitu ongkos perkara yang telah dibayar oleh penggugat karena dia digugat oleh Kreditur untuk memenuhi hutang Debitur. Penanggung hanya dpt menuntut pembayaran ongkos perkara kepada debitur jika ia memberitahukan tentang adanya gugat dari Kreditur terhadapnya tidak terlambat. - Pembayaran bunga, yaitu bunga terhadap hutang pokok yg telah dibayar oleh Penanggung. - Pembayaran kerugian. Penanggung berhak untuk menuntut pengganti kerugian yang lain yang dideritanya sebagai akibat pemenuhan perutangan dalam penanggungan. Misalnya kerugiankerugian yang timbul karena adanya penyitaan, penjualan terhadap benda penanggung oleh si Kreditur. 2. Menggantikan semua kedudukan Kreditur jika Penanggung telah melakukan pembayaran utang Debitur pada Kreditur. (Pasal 1840 BW). Sebagai pengganti kedudukan Kreditur karena subrogasi, Penanggung tidak mempunyai hak menuntut penggantian kerugian seperti pada Hak Regres. Penanggung hanya memperoleh hak-hak kreditur terhadap si Debitur, termasuk jaminanjaminan accesoir yang melekat pada hak kreditur yang diganti. Hak-hak yang ikut beralih dari Kreditur ke Penanggung yang telah melunasi utang Debitur pada Kreditur karena subrogasi adalah hak-hak jaminan yang diadakan untuk menjamin dipenuhinya perutangan pokok yang berupa : - Hak Tanggungan yang diberikan kepada Kreditur sebagai jaminan, yaitu mempunyai hak untuk menjual benda jaminan atas kekuasaan sendiri (karena telah diperjanjian untuk menjual atas kekuasaan sendiri), berwewenang untuk mendapat pemenuhan hutang didahulukan dari kreditur yg lain (Hak Voorrang) dari hasil penjualan tersebut. Kreditur harus menyerahkan akta Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan ke Penanggung. Pengalihan dalam Hak Tanggungan dari Kreditur ke Penanggung (subrogasi) harus dituangkan dalam bentuk akta otentik/akta notaris dan harus didaftarkan dalam sertifikat tesebut ke Badan Pertanahan. - Hak Gadai sebagai jaminan hutang yakni penanggung mempunyai kewenangan untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, wewenang untuk mendapat pemenuhan yang didahulukan (Hak Voorrang).

- Hak Privilege, yaitu piutang yang didahulukan pemenuhannya sesuai dengan sifat piutangnya. Juga ikut beralih ke penanggung, misalnya penanggung menanggung dipenuhinya uang sewa maka jika ia telah membayar uang sewa ia mempunyai hak voorang atas benda perabot rumah tersebut. - Jaminan Fidusia juga ikut beralih jika kreditur yang diganti tersebut mempunyai jaminan fidusia dengan ketentuan bahwa hak milik atas objek jaminan itu otomatis akan kembali ke Debitur setelah Debitur melunasi hutangnya ke Penanggung. Peralihan status Penanggung menjadi pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Gadai atau Pemegang Hak Privilege itu mulai sejak dilakukannya pembayaran hutang oleh Penanggung, tanpa disyaratkan adanya tindakan-tindakan penyerahan khusus untuk itu. Kedudukan Penanggung yang telah melunasi utang Debitur, sebagai pengganti Kreditur lebih tinggi atau lebih baik jika dibandingkan kedudukannya sebagai hak regres sendiri, karena kedudukan menggantikan Kreditur adalah merupakan Kreditur Preferen sedangkan kalau sebagai hak regres sendiri kedudukannya hanya sebagai Kreditur Konkuren. Jika penanggung melakukan pembayaran utang tanpa sepengetahuan Debitur dan Debitur tersebut juga melakukan pelunasan atas utangnya maka penanggung tidak mempunyai hak regres terhadap debitur, tetapi penanggung dapat menuntut pengembalian pada Kreditur (Pasal 1842:1 BW). E. Janji-Janji Dalam Perjanjian Penanggungan Dalam prakteknya, perjanjian penanggungan selalu dibuat dalam bentuk tertulis, dituangkan dalam akta dibawah tangan, akta notaris atau tercantum dalam model-model tertentu dari Bank. Yang bertanda tangan dalam akta ini adalah Debitur dan penanggung sendiri yang kemudian diserahkan ke Kreditur. Sering pula perjanjian penanggungan ini dituangkan dalam bentuk perjanjian pengakuan hutang, yakni pengakuan hutang dari siberhutang utama (Debitur) maupun hutang dari si penanggung fungsi dari akta penanggungan adalah: - Sebagai alat pembuktian tentang adanya penanggungan tesebut oleh penanggung. - Memuat ketentuan-ketentuan atau janji-janji yang mengatur perjanjian penanggungan tersebut. Janji-janji yang biasa dicantumkan atau diadakan dalam akta penanggungan adalah : 1. Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk menuntut penjualan harta benda Debitur terlebih dahulu. 2. Janji penanggung melepaskan haknya untuk membagi-bagi hutang. 3. Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk diberhentikan dari penanggungan (Pasal 1848 BW). 4. Janji untuk tidak dibagi. Bahwa penanggungan terhadap para ahli waris Debitur tidak dapat dibagi-bagi. Jadi kreditur dapat menuntut kepada setiap pewaris untuk memenuhi utangnya. (masih sistem tanggung jawab renteng). 5. Janji agar penanggungan tetap sah meskipun ada penanggung bersama ikut terikat. Jika dalam akta penanggungan ada beberapa orang penanggungnya yang harus bertanda tangan dan kemudian ada salah seorang yang cacad tanda tangannya ini tidak menyebakban perjanjian penanggungan batal tetapi hanya terhadap penanggung yang cacad sedang yang lain tidak. 6. Jadi Kreditur diberi kuasa oleh penanggung untuk melaksanakan hak regres terhadap Debitur.

Yang dimaksud hak regres adalah hak menuntut pembayaran kembali oleh penanggung pada Debitur karena telah melakukan pembayaran utangnya. F. Jenis-Jenis Perjanjian Penanggungan 1. Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi) Yang dimaksud jaminan hutang atau jaminan Kredit adalah bentuk penanggungan dimana seorang Penanggung (perorangan) menanggung untuk melunasi hutang Debitur sebesar sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. Kredit garansi dalam praktek perbankan biasa dikenal dengan istilah Personal Guaranty (jaminan perseorangan/orang). Penanggung berjanji atau mengikatkan diri kepada Kreditur bahwa ia akan melunasi hutang Debitur, baik karena memang ditunjuk oleh Kreditur maupun karena ia diajukan oleh Debitur. 2. Jaminan Bank (Bank Garansi) Jaminan Bank adalah bank yang bertindak sebagai penanggung jika prestasi yang diperjanjikan tidak dilakukan dengan baik oleh Debitur. Bank berhak memberikan garansi ini karena diatur dalam Pasal 6 (b) Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Bank Garansi terjadi jika bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada Kreditur. Bank Garansi diberikan untuk menanggung: a. Uang muka. b. Ikut tender atau penawaran barang. c. Pelaksanaan pekerjaan. d. Pemeliharaan e. Pembayaran Uang Cukai Rokok f. Pembelian Barang Impor Di Indonesia, jaminan atas penerbitan Bank Garansi ini umumnya adalah jaminan yang bersifat kebendaan atau kadang-kadang saldonya direkening yang diblokir. Sedang jika di Belanda, umumnya rekening pemohon Bank Garansi yang diblokir sebesar bank garansi yang diterbitkan. Masalah yang timbul akibat penerbitan Bank Garansi yang dijamin dengan memblokir saldo adalah jika debitur meninggal dunia, maka otomatis rekening Debitur tersebut harus ditutup. Ini berarti bank tidak bisa langsung mendebet lagi rekening debitur. Demikian pula jika Debiturnya jatuh pailit. Oleh karena itu dalam prakteknya sering jaminan tersebut langsung dimasukkan ke rekening khusus oleh bank dan dibuat kontra garansi yang intinya menyatakan bahwa junlah uang itu akan diberikan ke bank sebagai jaminan untuk penuntutan kembali piutangnya (hak regres) kepada Debitur setelah bank memenuhi kewajibannya sebagai penanggung. 3. Jaminan Saldo (Saldo garansi) Saldo garansi adalah bentuk perjanjian penanggungan dimana bank menjamin saldo yg akan ditagih dari Debitur oleh Kreditur pada waktu penutupan rekening. Jadi saldo nasabah minimal jumlahnya harus sama besar dengan biaya administrasi untuk penutupan rekening. 4. Jaminan Pembangunan (Bouw garansi)

Perjanjian pembangunan yang dilakukan oleh suatu pemborong dijamian oleh pemborong lain. Maksudnya jika pemborong yang semula tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian maka pemborong yang jadi penanggungnya akan melanjutkan pekerjaannya hingga selesai, sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini jarang terjadi di Indonesia, kebanyakan hanya terjadi diluar negeri. 5. Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats garansi) Sama halnya dengan jaminan pembangunan maka jaminan oleh lembaga pemerintahan ini belum dikenal di Indonesia, yang ada hanya rekomendasi dari pemerintah atau lembaga pemerintah untuk melaksanakan suatu pekerjaan tetapi manakala pihak yang direkomendasi tesebut melakukan wanprestasi maka pihak pemerintah dalam hal ini yang merekomendir tidak bertanggung jawab. G. Perbedaan Antara Jaminan yang Bersifat Perorangan Dengan Jaminan yang Bersifat Kebendaan Jaminan yang bersifat perorangan adalah jamian yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu dan hanya dapat dipertahankan terhadap Debitur tertentu atas harta kekayaan Debitur semuanya. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang memiliki ciri-ciri : - Mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari Debitur; - Dapat dipertahankan terhadap siapa saja - Selalu mengikuti bendanya (droit de suite) - Dapat diperalihkan (mis. Hak Tanggungan, Gadai) Dalam jaminan perorangan dikenal azas kesamaan (diatur dalam Pasal 1131, 1132 BW), artinya tidak membedakan kapan atau saat terjadinya piutang, semua kedudukan piutang ada sama terhadap kekayaan Debitur, tanpa membedakan urutan terjadinya piutang tersebut. Demikian pula jika terjadi kepailitan Debitur, maka pembayaran atas piutang dari hasil penjualan harta Debitur dibagikan secara seimbang besarnya piutang masing-masing kecualikan dalam perjanjian mereka ditentukan lain. Misal : - Piutang A = Rp. 10 jt,- ; B = Rp. 25 juta dan C = 35 juta; maka dari hasil penjualan harta Debitur akan dibagi seimbang antara A : B : C = 2 : 5 : 7. Sedangkan pada jaminan kebendaan dikenal dengan azas prioritas, artinya kdudukan hak kebendaan yang lebih dulu terjadi kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan dari kedudukan hak kebendaan yang terjadi belakangan. Jadi jika terjadi tubrukan atau pertemuan dua hak kebendaan atas benda yang sama maka berlakulah azas prioriteit, yaitu hak yang lebih dahulu terjadi dimenangkan dari hak yang terjadi belakangan. Mis. Hak tanggungan I lebih didahulukan pembayarannya terhadap hak tanggungan ke II. Jika Debitur pailit, Kreditur yang mempunyai hak kebendaan atas benda Debitur berada diluar kepailitan. Maksudnya hak kepailitan tersebut tetap ada (droit de suite) meskipun curator kepailitan menjual benda tersebut kepada orang lain. Sedangkan untuk pemegang hak tanggungan dan gadai tergolong separatist atas suatu benda, jika benda tersebut dijual maka hasil penjualannya harus diutamakan terlebih dahulu dari yang lain, untuk pembayaran atau melunasi utang pemegang hak tanggungan atau pemegang gadai tersebut.

Jika terjadi pertemuan atau tabrakan antara hak kebendaan dengan hak perorangan atas suatu benda yang sama maka yang didahulukan adalah hak kebendaan, tanpa melihat bahwa piutang mana yang terjadi lebih dahulu kecuali jika orang yang mempunyai hak kebendaan tersebut sendiri yang terikat oleh hak perorangan yang diadakannya. Mis.: A memiliki rumah, yang kemudian disewakan ke B untuk jangka waktu satu tahun. Kemudian A akan menjual rumah tersebut pada waktu masa sewa baru berlangsung lima bulan kepada C. Meskipun rumah tersebut telah beralih kepemilikannya tetapi perjanjian sewa menyewa atas rumah tersebut tidak berakhir sebelum jangka waktu sewanya berakhir. Hal ini disebabkan karena hak perorangan dan hak kebendaan atas benda yang sama dilakukan oleh orang yang sama. Pada jaminan perorangan, Kreditur merasa terjamin karenan mempunyai lebih dari seorang Debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi piutangnya maka pada jaminan kebendaan, Kreditur merasa terjamin karena mempunyai hak didahulukan (preferensi) dalam pemenuhan piutangnya atas hadil eksekusi terhadap benda-benda Debitur. Pada jaminan perorangan, Kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutang nya selain kepada debitur utama juga kepada penanggung atau Debitur lainnya. Hal ini dapat terjadi jika Kreditur mempunyai seorang penjamin (Borg) atau pihak ketiga yang mengikatkan diri secara tanggung menanggung dalam Debitur. Hal ini dapat terjadi karena 2 hal, yaitu: - Sengaja diperjanjikan, yakni jika ada perjanjian penanggungan (borgtocht) atau perjanjian tanggung menanggung secara pasif. - Berdasarkan undang-undang, yakni undang-undang telah menentukan atau menetapkan bahwa pihak ketiga juga terikat secara perorangan terhadap Kreditur untuk memenuhi perutangan. Mis. Pasal 18 KUHD, bahwa para pesero fima terikat atas prestasi yang dibuat atas nama firma tersebut. Pasal 108 (1) KUHD, Penerbit menanggung atas akseptasi dan pembayaran (umpama: Sertifikat Deposito). Pada Jaminan kebendaan, Kreditur mempunyai hak untuk didahulukan pemenuhan prestasinya terhadap pembagian hasil eksekusi benda-benda tertentu dari Debitur. Apabila hasil eksekusi benda tertentu tersebut belum mencukupi piutang Kreditur maka Kreditur itu dapat bersama dengan Kreditur-kreditur lainnya (Kreditur Konkuren) untuk meminta pemenuhan sisa prestasi yang belum lunas. Dalam hal ini kedudukan Kreditur pemegang hak kebendaan tersebut disamakan dengan kedudukan Kreditur Konkuren.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sifat dan bentuk jaminan perorangan/penanggungan a. Sifat jaminan perorangan/penanggungan: - Merupakan jaminan yang bersifat perorangan.

- Bersifat accesoir. - Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak ikut batal meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan. - Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus melaksanakan kewajiban, tetapi adakalanya Kreditur menawarkan suatu prestasi sehingga pihak ketiga mau menjadi penanggung dan dalam keadaan demikian perjanjian bersifat timbal balik. - Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya prestasi/perutangan pokoknya tetapi boleh lebih kecil. - Bersifat subsidiair, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi. - Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas tertentu juga mengikat si penanggung. - Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang. b. Bentuk jaminan perorangan/penanggungan Bentuk perjanjian penanggungan menurut ketentuan undang-undang, adalah bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau tertulis yang dituangkan dalam suatu akta, namun untuk kepentingan pembuktian maka pada prakteknya umumnya dibuat dalam bentuk tertulis. 2. Hak penanggung terhadap kreditur dan hak penaggung terhadap debitur a. Hak penanggung terhadap kreditur - Hak untuk menuntut lebih dahulu - Hak untuk membagi utang - Hak untuk mengajukan tangkisan gugat - Hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan kesalahan Kreditur b. Hak penanggung terhadap debitur - Hak Regres atau hak menuntut kembali, yaitu hak untuk menuntut Debitur mengganti pembayaran yang telah dilakukan (Pasal 1839 BW). - Menggantikan semua kedudukan Kreditur jika Penanggung telah melakukan pembayaran utang Debitur pada Kreditur. (Pasal 1840 BW). 3. Jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungan - Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi) - Jaminan Bank (Bank Garansi) - Jaminan Saldo (Saldo garansi) - Jaminan Pembangunan (Bouw garansi) - Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats garansi) B. Saran

Sebagai mahasiswa hendaknya menjadikan makalah ini untuk menambah wawasan dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum jaminan pada khususnya. DAFTAR PUSTAKA 

Kashadi. 2000. Hukum Jaminan. Semarang: UNDIP



Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.1980. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty



Salim. 2007. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada



Oey hoey tiong. 1984.Fidusia sebagai jaminan unsur-unsur perikatan. Jakarta: Ghalia Indonesia



Ilmuhukum.blogspot.com (diakses tanggal 30 Desembar 2013)



Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Diposting oleh Vebrianto Idrus di 09.26 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar: Posting Komentar Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda Langganan: Posting Komentar (Atom) Mengenai Saya

Vebrianto Idrus Lihat profil lengkapku Arsip Blog

 o o      

▼ 2014 (7) ► Juni (1) ▼ Januari (6) HAKI MEREK Jaminan Perorangan/Penanggungan PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM... Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Islam di Sau... Hukum Kepegawaian Laporan Kegiatan Penyuluhan Sosiologi Hukum Tema Sederhana. Diberdayakan oleh Blogger.

. Perbandingan Antara Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional Secara prinsip gadai konvensional berbeda dengan gadai syariah, berikut adalah perbedaannya[9] : Indikator

Gadai syariah

Konsep Dasar

Tolong Menolong (Jasa Pemeliharaan Barang Jaminan)

Beban

Biaya pemeliharaan

Lembaga

Bisa dilakukan perorangan

Perlakuan

Dijual (kelebihan dikembalikan kepada pemilik barang)

Gadai konvensional Profit Oriented (Bunga dari Pinjaman Pokok / Biaya Sewa Modal) Bunga (dari pokok pinjaman) Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum Pegadaian) Dilelang

Dari tabel di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan kepada pihak pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat dari nilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga ditarik dari besar kecilnya dana yang dipinjam. Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHPerdata pasal 1150.

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""