Karakteristik Bioflokulan MBFA9 dan Penggunaannya dalam Pengolahan Limbah Tepung Kanji I. Pendahuluan Bioflokulan (flokulan mikroba) merupakan polimer yang dihasilkan oleh mikroorganisme selama pertumbuhannya. Dalam beberapa tahun terakhir, studi bioflokulan telah mendapatkan perhatian yang luas. Beberapa mikroorganisme, seperti Rhodococcus erythropolis (Takeda, dkk. 1991; Kurane, dkk. 1994), Paecilomyces (Hiroaki dan Kiyoshi 1985), Klebsiella pneumoniae (Nakata dan Kurane 1999), Citrobacter (Ike, dkk. 2000), telah diteliti dapat menghasilkan bioflokulan. Akan tetapi, kemampuan flokulasi yang rendah dan dosis pemakaian yang tinggi menjadi masalah utama dalam pengembangan bioflokulan-bioflokulan tersebut pada pengolahan limbah. Dalam pengolahan limbah, koagulasi dan flokulasi adalah metode yang efektif dan mudah untuk menghilangkan zat padat tersuspensi. Banyak koagulan/flokulan, meliputi aluminium sulfat, feri klorida, dan poliakrilamida (PAM), telah digunakan secara luas, meskipun untuk menghilangkan zat-zat organik, zat-zat tersebut bersifat toksik khususnya dalam industri fermentasi dan makanan. Bioflokulan berpotensi besar untuk digunakan dalam industri-industri tersebut karena bersifat nontoksik, tidak berbahaya, dan tidak menimbulkan polusi sekunder. Limbah tepung kanji adalah salah satu limbah cair yang lazim dalam industri makanan. Selama produksi tepung kanji, limbah tepung kanji dihasilkan dalam proses pemisahan kanji dari kulit jagung dengan cara mengayak, yang mengandung banyak suspensi hasil ayakan dan hampir semua protein jagung tertahan di dalam limbah. Pemerolehan kembali zat padat tersuspensi tidak hanya mengurangi jumlah polutan ketika pembuangan, tetapi juga meningkatkan pendapatan bagi pabrik karena zat padat yang diperoleh kembali dapat digunakan sebagai makanan tambahan bagi hewan. Pada kebanyakan pabrik tepung kanji, pemisahan dengan cara pengendapan biasanya bertujuan untuk memperoleh kembali zat padat tersuspensi, tetapi waktu pengendapan biasanya sangat lama dan efisiensi pemisahan rendah. Oleh karena itu, flokulan biasanya digunakan untuk meningkatkan atau mempercepat proses pengendapan zat padat tersuspensi dalam limbah tepung kanji. Penggunaan flokulan konvensional menimbulkan beberapa efek merugikan pada hewan dan lingkungan, sehingga aplikasinya dalam masalah ini tidak
1
dianjurkan. Dalam makalah ini, dijelaskan mengenai pengembangan bioflokulan MBFA9 dan aplikasinya dalam pengolahan limbah tepung kanji. II. Kajian Teoritis Koagulasi dan Flokulasi Koagulasi dan flokulasi merupakan dua cara yang digunakan untuk menghilangkan partikel-partikel yang dapat menimbulkan warna pada sumber air, menyebabkan kekeruhan, dan menyebabkan adanya bakteri dan virus, juga ada yang bersifat patogen bagi organisme. Proses koagulasi dan flokulasi digunakan untuk mengolah partikel-partikel kecil (koloid) dalam rentang ukuran 0,001-1,0 µm. Partikel-partikel koloid ini secara khusus mempunyai luas permukaan yang besar dan biasanya bermuatan negatif. Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel-partikel koloid berukuran kecil melalui reaksi (gaya) kimia sehingga partikel-partikel terkumpul dalam ukuran yang lebih besar dan dapat terendapkan. Sedangkan flokulasi adalah proses pengumpulan partikelpartikel menjadi ukuran yang lebih besar lagi sehingga partikel terendapkan lebih cepat. Zat-zat yang digunakan untuk keperluan proses koagulasi/flokulasi tersebut dinamakan koagulan/flokulan. Koagulan/Flokulan Fungsi utama koagulan adalah untuk mendestabilkan partikel-partikel koloid dan memperkuat flok-flok untuk menghindari pecahnya flok. Berbagai zat kimia yang dapat digunakan sebagai koagulan/flokulan digolongkan ke dalam koagulan anorganik dan koagulan organik. Koagulan anorganik yang paling banyak digunakan adalah aluminium sulfat (alum, Al2(SO4)3), polialuminium klorida, feri sulfat, fero sulfat, feri klorida, natrium aluminat, kapur (Ca(OH)2). Sementara koagulan organik digolongkan menjadi koagulan organik sintetik dan koagulan organik alam. Koagulan organik sintetik meliputi koagulan polimer nonionik seperti poliakrilamida, koagulan polimer kationik seperti polivinilamina, dan koagulan polimer anionik. Sedangkan koagulan organik alam diantaranya adalah koagulan protein, karbohidrat, dan tannin yang sering disebut sebagai bioflokulan.
2
Bioflokulan Bioflokulan adalah flokulan yang berasal dari organisme hidup yakni dari tumbuhan dan bakteri. Berdasarkan komposisinya terdapat beberapa bioflokulan diantaranya bioflokulan polisakarida, bioflokulan protein, dan bioflokulan glikoprotein. Metode Analisis Komposisi Bioflokulan Adapun komposisi kimia dalam bioflokulan dapat ditentukan dengan metodemetode tertentu. Berikut ini adalah metode-metode yang dapat digunakan dalam penentuan karbohidrat dan protein secara umum. a. Penentuan Karbohidrat Total 1.
Metode Kromatografi dan Elektroforesis Metode kromatografi adalah metode analitis dalam penentuan jenis dan konsentrasi karbohidrat. Kromatografi Lapis Tipis (TLC), kromatografi gas (GC), dan Kromatografi Cair Tekanan Tinggi (HPLC) biasa digunakan untuk memisahkan dan mengidentifikasi karbohidrat (monosakarida dan oligosakarida). HPLC dan GC biasanya digunakan bersama-sama dengan NMR atau Spektrometri Massa sehingga struktur kimia molekul dapat ditentukan. Karbohidrat juga dapat dipisahkan melalui metode elektroforesis setelah sebelumnya diderivatisasi untuk membuatnya bermuatan, contohnya melalui reaksi dengan borat. 2.
Metode Titrasi
Metode Lane-Eynon adalah salah satu contoh metode titrasi yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi gula pereduksi. Metode ini menggunakan pereaksi larutan CuSO4 mendidih yang diketahui konsentrasinya dan metil biru sebagai indikator. Gula pereduksi dalam karbohidrat bereaksi dengan CuSO4 yang ditandai dengan perubahan warna indikator metil biru dari biru menjadi putih. 3.
Metode Gravimetri Metode Munson dan Walker adalah contoh metode gravimetri yang digunakan untuk menentukan konsentrasi gula pereduksi. Karbohidrat dioksidasi oleh CuSO4 berlebih dalam keadaan panas dan pada kondisi basa tartrat yang dikontrol sedemikian rupa sehingga membentuk endapan oksida tembaga (CuO2). Gula pereduksi + Cu2+ + basa
gula teroksidasi + CuO2
3
Jumlah endapan oksida tembaga yang terbentuk identik dengan konsentrasi gula pereduksi yang dianalisis. Konsentrasi endapan ditentukan secara gravimetri (melalui filtrasi, pengeringan, dan penimbangan), atau secara titrasi (melalui pelarutan kembali endapan dan dititrasi dengan indikator yang cocok). 4.
Metode Kolorimetri
Metode Anthrone adalah contoh metode kolorimetri yang digunakan untuk menentukan konsentrasi gula total. Gula bereaksi dengan reagen anthrone pada kondisi asam membentuk warna hijau-biru. Sampel dicampur dengan asam sulfat dan reagen anthrone kemudian dididihkan hingga reaksi sempurna. Larutan kemudian didinginkan dan absorbansinya diukur pada 620 nm. Metode asam sulfat-fenol juga sering digunakan dalam penentuan konsentrasi karbohidrat total. Larutan karbohidrat yang akan dianalisis direaksikan dengan fenol dan asam sulfat yang memberikan warna kuning-oren kemudian absorbansinya diukur pada 420 nm. Konsentrasi karbohidrat diperoleh melalui perhitungan berdasarkan kurva absorbansi larutan standar yang diketahui konsentrasinya. 5.
Metode Polarimetri
Metode ini adalah metode penentuan karbohidrat secara fisis. Konsentrasi karbohidrat di dalam sampel yang tidak diketahui ditentukan dengan mengukur sudut rotasi dan membandingkannya dengan kurva kalibrasi. 6.
Metode Indeks Bias
Cara fisis lainnya yang dapat digunakan untuk menentukan kandungan karbohidrat dalam sampel adalah metode indeks bias. Indeks bias zat cair dapat ditentukan dengan mudah melalui pengukuran sudut bias secara optis antara cairan dan padatan yang indeks biasnya diketahui. Indeks bias larutan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya konsentrasi sehingga dapat digunakan untuk mengukur jumlah karbohidrat yang ada. Indeks bias bergantung pada suhu dan panjang gelombang. Pengukuran biasanya dilakukan pada suhu 20oC dan panjang gelombang 589,3 nm. 7.
Metode Kerapatan
Metode ini juga tergolong ke dalam metode fisis. Konsentrasi karbohidrat dapat ditentukan dengan pengukuran kerapatan, misalnya menggunakan botol kerapatan
4
atau hidrometer. Kerapatan larutan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi karbohidrat. 8.
Metode Inframerah
Metode fisis lainnya adalah metode inframerah. Penentuan karbohidrat dilakukan dengan mengukur intensitas gelombang inframerah yang terefleksi dari permukaan sampel. Semakin besar absorbansi, semakin rendah daya refleksinya. b. Penentuan Asam Uronat 1.
Metode Asam Sulfat-Fenol
Asam uronat dapat ditentukan menggunakan metode asam-sulfat fenol seperti yang digunakan pada penentuan karbohidrat secara total. Hanya saja absorbansi larutan diukur pada 480 nm. 2.
Metode Asam Sulfat-Karbazol
Metode ini tidak memerlukan proses hidrolisis terlebih dahulu sebelum analisis dilakukan. Sampel direaksikan dengan reagen karbazol dan reagen tetraborat dalam asam sulfat pekat dengan cara dididihkan. Absorbansi larutan diukur pada 530 nm. c. Penentuan Gula Netral Metode asam sulfat-fenol juga dapat digunakan untuk menentukan kandungan
gula
netral tanpa menghidrolisis sampel terlebih dahulu. Sampel direaksikan dengan reagen fenol dan asam sulfat pekat menghasilkan larutan berwarna. Absorbansi larutan diukur pada 490 nm. Larutan manosa digunakan sebagai standar untuk menghitung konsentrasi sampel berdasarkan kurva standar pada berbagai konsentrasi. Disamping itu, metode asam sulfat-karbazol juga dapat digunakan untuk menentukan kandungan gula netral seperti pada penentuan asam uronat di atas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedua cara ini (asam sulfat-fenol dan asam sulfat-karbazol) dapat digunakan untuk menentukan kandungan asam uronat dan gula netral. d. Penentuan Gula Amino Adapun metode yang dapat digunakan dalam penentuan gula amino yang dapat disebutkan di sini adalah metode Elson-Morgan. Metode ini didasarkan pada reaksi senyawa gula amino (sebagai contoh 2-amino-2-deoksi-D-glukosa) dengan 2,4pentanadion atau etil asetoasetat menghasilkan produk yang dapat berkondensasi
5
dengan reagen Ehrlich (larutan p-dimetilamino-benzaldehida) memberikan warna merah jambu. e. Penentuan Protein 1. Metode Biuret Menurut metode ini, pada suasana basa, senyawa kompleks berwarna ungu terbentuk dari senyawa-senyawa yang mengandung dua atau lebih ikatan peptida dengan keberadaan garam tembaga. Untuk keperluan kuantitatif, larutan berwarna yang dihasilkan diukur absorbansinya pada 540-560 nm. Konsentrasi protein dihitung berdasarkan kurva kalibrasi larutan standar. 2. Metode Lowry-Folin Prinsip penentuan konsentrasi protein berdasarkan metode Lowry adalah reaktivitas nitrogen peptida dengan ion-ion tembaga (II) pada kondisi basa dan reduksi asam fosfomolibdikfosfotungstik
dari
reagen
Folin-Ciocalteay
menjadi
heteropolimolibdenum biru oleh tembaga pengkatalis reaksi oksidasi asam-asam aromatik. Sampel protein bereaksi dengan larutan tembaga (II), natrium karbonat, dan reagen Folin-Ciocalteay (terdiri dari campuran senyawa Na2WO4.2H2O, Na2MoO4.2H2O, H3PO4 85%, HCl pekat, LiSO4, dan air brom) membentuk larutan berwarna. Absorbansi diukur pada 750 nm (untuk konsentrasi protein yang diduga rendah) atau 500 nm (untuk konsentrasi protein tinggi). Konsentrasi protein dihitung berdasarkan kurva kalibrasi larutan standar. Metode Penentuan Berat Molekul Polimer Berat molekul suatu polimer termasuk karbohidrat dan protein dapat ditentukan dengan berbagai cara diantaranya yang dapat disebutkan di sini adalah : 1. Berdasarkan sifat koligatif larutan seperti penurunan titik beku, penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosis. 2. Viskositas kapiler intrinsik, melalui pengukuran waktu alir larutan di dalam viskositas kapiler. Berat molekul larutan dihitung melalui persamaan : [η] = K Ma dimana [η] adalah viskositas intrinsik yang diperoleh dari percobaan, K dan a adalah konstanta (dapat dilihat dari literatur), dan M adalah berat molekul larutan. 6
III.
Eksperimental Karakterisasi Bioflokulan MBFA9 Penentuan Aktivitas Flokulasi Bioflokulan MBFA9 Sejumlah 0,5 g tanah liat kaolin (diameter rata-rata 4 µm) dilarutkan dalam 100 mL air deionisasi dan 0,01 mL bioflokulan ditambahkan ke dalam suspensi kaolin. Campuran dikocok pada 60 rpm selama 30 detik dengan vortex mixer dan dibiarkan selama 5 menit. Absorbansi supernatan dan blanko tanpa bioflokulan diukur pada 550 nm (berturut-turut sebagai OD550 dan ODblank) dengan spektrofotometer. Laju flokulasi didefinisikan dan dihitung sebagai berikut : Laju flokulasi (%) = (ODblank – OD550) / ODblank x 100 %
(1)
Uji Toksisitas Bioflokulan MBFA9 Enam puluh ekor tikus putih (20±2 g) berumur satu bulan diambil dari Universitas Kesehatan China. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok secara acak tanpa melihat jenis kelamin, jantan atau betina. Tikus kelompok pertama diberi makanan yang mengandung bioflokulan, sedang tikus kelompok kedua diberi makanan tanpa bioflokulan. Tikus-tikus tersebut ditempatkan di dalam sebuah ruangan dimana suhu dipertahankan 22oC, dan kelembaban relatif 55%. 1 g bioflokulan per berat (kg) hewan per hari digunakan dengan cara melarutkannya ke dalam air dan dicampur dalam makanan. Tikus-tikus tersebut dibiarkan selama 15 hari kemudian posturnya, gigitan dan sup, pergerakan, dan beratnya diamati. Analisis Komposisi Bioflokulan Keberadaan dan kandungan gula (karbohidrat secara umum) dalam bioflokulan ditentukan melalui metode asam sulfat-fenol menggunakan glukosa sebagai larutan standar (Chaplin dan Kennedy 1994). Keberadaan protein ditentukan melalui metode Lowry-Folin. Kandungan gula netral, asam uronat, dan gula amino di dalam bioflokulan ditentukan setelah hidrolisis dengan asam sulfat. Metode asam sulfat-fenol dan asam sulfat-karbazol digunakan berturut-turut untuk menentukan kandungan asam uronat dan gula netral, sedangkan gula amino diukur melalui metode Elson-Morgan (Chaplin dan Kennedy 1994).
7
Berat molekul rata-rata bioflokulan ditentukan melalui viskositas kapiler (0,5 mm) pada suhu 30oC. Uji Flokulasi Limbah Tepung Kanji Limbah tepung kanji diambil dari aliran kolam pengendapan di Nanta Starch Company (Shenyang, China). Zat padat tersuspensi dan COD limbah tepung kanji tersebut berturut-turut sebesar 2145 mg/L dan 6222 mg/L. 475 mL sampel limbah tepung kanji dan 25 mL larutan CaCl2 1% dicampur di dalam beaker 1000 mL, kemudian pH diatur dengan larutan HCl atau NaOH seperlunya (hingga pH cenderung netral, 6-8). Flokulan kemudian ditambahkan ke dalam limbah, lalu campuran dikocok pada 200 rpm selama 1 menit, dan kemudian pada 60 rpm selama 5 menit. Limbah dibiarkan mengendap selama 5 menit dan supernatan diambil untuk dianalisis. IV. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Bioflokulan MBFA9 Aktivitas Flokulasi Bioflokulan MBFA9 Laju flokulasi bioflokulan MBFA9 untuk suspensi kaolin adalah 99,6% tanpa efek sinergistik dari Ca2+, Al3+, dan lain-lain. Bioflokulan ini dihasilkan selama proses pertumbuhan bakterinya. Kurva pertumbuhan bakteri, laju flokukasi, viskositas, dan variasi pH ditunjukkan pada Gambar 1.
8
pH
Laju Flokulasi (%)
Viskositas (mPa.s)
Waktu Pengembangan (jam) Gambar 1. Kurva Hubungan Waktu Pengembangan dengan Pertumbuhan Bakteri (OD660, persegi ), Laju Flokulasi (lingkaran), pH (segitiga atas), dan Viskositas (segitiga bawah) dalam rotary shaker pada 150 rpm, 30oC selama 84 jam.
Kurva laju flokulasi sejalan dengan kurva pertumbuhan. Laju flokulasi meningkat seiring meningkatnya waktu pengembangan, mengindikasikan bahwa bioflokulan dihasilkan oleh bakteri A-9 selama pertumbuhannya. Hal ini didukung oleh fakta bahwa laju flokulasi meningkat dengan cepat secara logaritma selama waktu pertumbuhan (dari 24 jam hingga 60 jam), mencapai 94,7% pada 60 jam. Viskositas kultur jaringan meningkat seiring meningkatnya waktu pengembangan, dari 0,68 mPa s pada awalnya hingga 316 mPa s pada 84 jam. Meningkatnya viskositas bioflokulan disebabkan oleh tingginya berat molekul polimer yang dihasilkan oleh bakteri A-9 selama waktu pertumbuhan. Dalam Gambar 1 juga ditunjukkan bahwa pH bioflokulan berkurang dari 8,0 hingga 6,73 seiring meningkatnya waktu pengembangan dari 0 hingga 84 jam, yang menunjukkan bahwa beberapa asam organik dihasilkan dan dibebaskan ke dalam medium oleh A-9 selama pertumbuhan.
Dosis Pemakaian Bioflokulan MBFA9
9
MBFA9 merupakan flokulan yang efektif dengan dosis pemakaian yang rendah. Untuk suspensi kaolin, hubungan antara laju flokulasi dan dosis bioflokulan ditunjukkan
Laju Flokulasi (%)
pada Gambar 2.
Dosis Bioflokulan (mL/L) Gambar 2. Kurva Hubungan Antara Dosis Bioflokulan MBFA9 dengan Laju Flokulasi untuk 5 g/L Suspensi Kaolin.
Ditunjukkan bahwa laju flokulasi dapat mencapai 99,6% dengan dosis bioflokulan hanya 0,1 mL/L. Sedangkan bioflokulan lain memerlukan dosis pemakaian yang besar untuk memflokulasi suspensi kaolin. Data dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis bioflokulan yang digunakan untuk memflokulasi suspensi kaolin biasanya berkisar pada rentang 1,0 hingga 150 mL/L, dan ion-ion Ca2+, Fe3+, atau Al3+ digunakan sebagai koagulan pembantu untuk mencapai laju flokulasi yang tinggi.
Bakteri Penghasil
Konsentrasi
Laju Flokulasi
Bioflokulan
Optimum
(%)
Ion Tambahan
Referensi
10
Alcaligenes sp. Rhodococcus erythropolis Alcaligenes latus Bacillus coagulants As101
(mL/L) 20 5 1 40
90
Ca2+
Wang, dkk. (1994)
5,6
Ca2+
Kurane, dkk. (1986)
8,8
2+
Kurane, dkk. (1991)
90
Bacillus licheniformis
150
8,5
Citrobacter sp.
100
98,4
Klebsiella sp. Streptomyces griseus Bacillus mucilaginosus
10 40 0,1
1,38
Ca
Ca2+, Fe3+, Al3+
Salehizadeh, dkk. (2000)
Ca2+, Fe3+, Al3+
Shih, dkk. (2001)
Tanpa penambahan ion
Fujita, dkk. (2000)
Ca2+
Dermlim (1999)
2+
78
Ca
99,6
Tanpa penambahan ion
Shimofururuya, dkk. (1996) Makalah ini
Table 1. Dosis Bioflokulan Berbeda untuk Memflokulasi Suspensi Kaolin
Toksisitas Bioflokulan MBFA9 Ketika tikus putih diberi makanan yang mengandung bioflokulan MBFA9 selama 15 hari, kenormalan terlihat pada postur, gigitan dan sup, dan aktivitas lainnya, dan tidak nyata perbedaan berat di antara tikus pada kedua kelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa bioflokulan MBFA9 tidak menunjukkan efek toksisitas akut, sekurang-kurangnya terhadap tikus putih tersebut. Karakteristik Lain Bioflokulan MBFA9 5 mL bioflokulan MBFA9 dipanaskan di dalam tabung reaksi pada 100oC di udara selama 30 menit dan laju flokulasinya telah diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa laju flokulasinya masih mencapai hampir 99%. Hal ini menunjukkan bahwa MBFA9 adalah bioflokulan yang stabil pada kondisi panas. Sebagai perbandingan, bioflokulan protein biasanya tidak stabil pada kondisi panas, karena protein dapat rusak jika dipanaskan; misalnya, kemampuan flokulasi bioflokulan protein NOC-1 yang dihasilkan oleh R. erythropolis berkurang 50% setelah 30 menit pemanasan pada 100oC (Takeda, dkk. 1991). Komposisi Bioflokulan MBFA9 Dari studi mengenai komponen-komponen bioflokulan MBFA9, kandungan gula total ditemukan sebanyak 93% (b/b) dan tidak ada protein yang terdeteksi, menunjukkan bahwa bioflokulan ini sebagian besar terdiri dari polisakarida.
Analisis terhadap
kandungan gula-gula yang berbeda dalam polisakarida ini menunjukkan bahwa kandungan gula netral, asam uronat, dan gula amino, berturut-turut adalah 47,4%, 19,1%, dan 2,7%. Berat molekul rata-rata bioflokulan diperhitungkan 2,6x106 melalui metode viskositas. 11
Bioflokulan murni dianalisis dengan spektrofotometri inframerah, dan hasilnya
Transmitansi (%)
ditunjukkan pada Gambar 3.
Panjang Gelombang (cm-1) Gambar 3. Spektrum Inframerah Bioflokulan MBFA9 Murni.
Spektrum menunjukkan puncak absorpsi yang jelas pada panjang gelombang 3420, 2926, 1733, 1615, 1415, dan 1250 cm-1. Pita absorpsi vibrasi stretching O-H yang melebar diidentifikasi pada 3420 cm-1 dan pita vibrasi stretching C-H lemah pada 2926 cm-1. Puncak pada 1733 cm-1 adalah puncak karakteristik dari vibrasi stretching C=O dalam COOH, dan pita-pita pada 1615 cm-1 dan 1415 cm-1, berturut-turut adalah C=O asimetri dan stretching karboksilat simetri (Dermlim et al. 1999), mengindikasikan keberadaan gugus karboksil di dalam Bioflokulan MBFA9. Puncak absorpsi pada 1250 cm-1 adalah indikasi dari stretching C-O dalam eter atau alkohol. Keberadaan gugus karboksil di dalam rantai molekul bioflokulan ini menyebabkan rantai molekul meregang karena gaya tolak elektrostatik dan rantai molekul yang meregang ini menyediakan banyak bagian efektif bagi masuknya partikel. Pada proses flokulasi, molekul-molekul flokulan mengadsorbsi partikel-partikel koloid. Ketika MBFA9 mendekati partikel-partikel dalam larutan, gaya tarik akan mengatasi gaya tolak elektrostatik. Awalnya, gaya van der Waals bertindak sebagai gaya tarik, kemudian gugus-gugus OH, COOH, COO- dari bioflokulan dan gugus-gugus H+, OHpada permukaan partikel akan membentuk ikatan hidrogen karena rantai bioflokulan
12
mendekati permukaan partikel. Ikatan kimia juga terbentuk antara gugus karboksil dari bioflokulan dengan ion-ion pembantu proses flokulasi seperti Ca2+ dan Al3+ jika digunakan. Pengolahan Limbah Tepung Kanji Menggunakan Bioflokulan MBFA9 Pengaruh CaCl2 dan bioflokulan MBFA9 pada sifat-sifat pengendapan limbah
Jumlah Endapan (mL)
tepung kanji ditunjukkan pada Gambar 4.
Waktu Pengendapan (menit) Gambar 4. Kurva Pengendapan Limbah Tepung Kanji. Lingkaran 0,5 g/L CaCl2, segitiga atas 0,5 g/L CaCl2 dan 0,2 ml/L MBFA9, segitiga bawah 0,2 ml/L MBFA9, persegi tanpa zat kimia.
Tanpa penambahan zat kimia tertentu, laju penghilangan partikel dalam limbah tepung kanji terjadi sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh ukuran dan berat partikel yang kecil. Setelah 30 menit pengendapan, volume zat padat berkurang menjadi 86 mL dari total 100 mL limbah. Ketika CaCl2 ditambahkan ke dalam limbah, banyak flok kecil dihasilkan dan kecepatan pengendapan partikel meningkat. Setelah 10 menit pengendapan, volume endapan tinggal 41 mL. Volume berkurang selanjutnya menjadi 21 mL dalam 20 menit berikutnya. Ketika CaCl2 dan MBFA9 keduanya ditambahkan ke dalam limbah, flok-flok menjadi lebih besar dan lebih padat serta kecepatan pengendapan meningkat. Volume endapan mencapai 22 mL setelah pengendapan selama 0,5 menit, dan menjadi 11 mL setelah 30 menit pengendapan. Namun, kecepatan pengendapan partikel rendah jika MBFA9 ditambahkan sendiri, volume endapan menjadi 57 mL setelah 30 menit
13
pengendapan. Jadi, bioflokulan MBFA9 secara signifikan meningkatkan daya pisah zat padat terlarut dari limbah tepung kanji dengan keberadaan CaCl2. Tabel 2 memberikan perbandingan hasil eksperimen yang diperoleh menggunakan bioflokulan
MBFA9
dan
flokulan
konvensional
yang
lain,
seperti
PAC
(polyaluminiumchloride), HPAM (anionic polyacrylamide, M=3,2x106), dan PAM (nonionic polyacrylamide, M=5,8x106) untuk pengolahan limbah tepung kanji dengan keberadaan 0,5 g/L CaCl2. Flokulan Blanko PAC PAM HPAM MBFA9
Dosis Pemakaian (mg/L) 100 10 10 0,2
pH 4,3 7,0 9,0 9,0 9,0
SS (mg/L) 2145 2090 2100 520 310
COD (mg/L) 6222 6196 6270 2330 1962
Table 2. Hasil Eksperimen Pengolahan Limbah Tepung Kanji Menggunakan Flokulan yang Berbeda Setelah 5 Menit Pengendapan.
Hasilnya menunjukkan bahwa PAC dan PAM mempunyai efek pemisahan yang kecil, HPAM lebih baik daripada PAC dan PAM, tetapi yang paling baik adalah MBFA9. Setelah pengendapan, nilai SS dan COD limbah yang diolah dengan MBFA9 berturut-turut adalah 310 mg/L (laju penghilangan 85,5%) dan 1962 mg/L (berkurang sebesar 68,5%). Sekitar 2 kg endapan kering diperoleh kembali dari 1 ton limbah jika bioflokulan MBFA9 digunakan. Limbah tepung kanji banyak mengandung partikel bermuatan listrik negatif. Oleh karena itu keberadaan ion-ion Ca2+ diperlukan pada proses flokulasi partikel-partikel zat organik dalam limbah menggunakan bioflokulan MBFA9 ini.
V.
Kesimpulan
14
Bioflokulan MBFA9 dihasilkan dari bakteri Bacillus mucilaginosus selama pertumbuhannya. Bioflokulan ini merupakan bioflokulan polisakarida yang mempunyai berat molekul yang sangat besar yang tentu saja hal ini menguntungkan dalam flokulasi. Selama flokulasi suspensi kaolin, laju flokulasi tinggi tanpa penambahan Ca2+, tetapi Ca2+ diperlukan ketika MBFA9 digunakan untuk memflokulasi partikel-partikel zat organik dalam limbah tepung kanji. MBFA9 tidak bersifat toksik sehingga dapat digunakan di dalam industri makanan guna pemerolehan kembali zat padat tersupensi.
15