BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut penelitian dari World Health Organization (WHO), ditemukan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Sekitar 80% dari total penderita epilepsi di seluruh dunia ditemukan di negara berkembang. Prevalensi penderita epilepsi yang terdapat di Amerika Latin dan Afrika berkisar 3-9/1.000 anak sekolah.3,4 Prevalensi penderita epilepsi di beberapa negara Asia yang sedang berkembang terbilang tinggi. Prevalensi penderita epilepsi di Pakistan rata-rata sebesar 8,5/1.000 anak sekolah. Hal yang serupa terdapat di Sri Lanka didapat angka yang tinggi yaitu rata-rata sebesar 9 per 1.000 anak sekolah. Untuk penderita epilepsi di negara Asia Tenggara, prevalensi yang didapatkan di Thailand sebesar 7,2 per 1.000 anak sekolah, sedangkan di Singapura didapatkan prevalensi sebesar 3,5 per 1.000 anak sekolah.Sedangkan di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5 – 4 % dengan ratarata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Bila jumlah penduduk di Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya adalah 250.000 Angka tersebut terbilang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan Singapura sebagai sesama negara Asia Tenggara. Angka kejadian epilepsi di RS Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2011 sebanyak 16 kejadian pada anak. Ditahun 2012 terjadi penurunan angka kejadian menjadi 8 anak. Sedangkan selama tahun 2013 dari bual Januari sampai April terjadi peningkatan kembali sebanyak 11 kejadian. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik membuat karya tulis dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An.E dengan Gangguan Sistem Persyarafan: Epilepsi di Bangsal Melati II RSUD dr.Moewardi Surakarta ”.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah pengertian epilepsi 2. Apa saja etiologi dari epilepsi 3. Apa saja klasifikasi dari epilepsi 4. Bagaimana patofisiologi dari epilepsi 5. Apa saja manifestasi klinis dari epilepsi 6. Apa saja bentuk komplikasi dari epilepsi 7. Apa saja penatalaksanaan dari epilepsi 8. Apa saja pemeriksaan penunjang epilepsi
C. TUJUAN 1. Mengetahui pengertian dari Epilepsi 2. Mengetahui etiologi dari Epilepsi 3. Mengetahui klasifikasi Epilepsi 4. Mengetahui patofisiologi dari Epilepsi 5. Mengetahui manifestasi klinis dari Epilepsi 6. Mengetahui bentuk komplikasi dari Epilepsi 7. Mengetahui penatalaksanaan dari Epilepsi 8. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari Epilepsi
BAB II TINJUAN TEORITIS A. DEFENISI
Epilepsi adalah gangguan kejang kronik dengan kejang berulang yang terjadi dengan sendirinya. Yang memerlukan pengobatan jangka panjang. (Hockenberry, 2008) Epilepsi merupakan gangguan proksimal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik (Ginsberg, 2008)
B. ETIOLOGI Menurut Wong (2009) Penyebab pasti epilepsi masih belum diketahui (idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi. Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi: a. Pasca trauma kelahiran b.Riwayat bayi dan ibu menggunakan obat antikolvusan yang digunakan sepanjang hamil c. Asfiksia neonatorum d. Riwayat ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi) e. Pasca cidera kepala
C. KLASIFIKASI Epilepsy dikelompokan menjadi 2, yaitu Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsy dan Klasifikasi Epilepsi dan sindrom epilepsy. Penjabaran lengkapnya adalah sebagai berikut : Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsy a. Kejang Parsial Kejang parsial merupakan tipe epilepsi paling umum. Perubahan klinis dan elektroensefalogram pertama menunjukan aktivasi awal dari sel-sel saraf pada satu bagian hemisfer serebral. Ada 4 tipe kejang :
Kejang dengan gejala motorik
gejala somatosensoris atau “indra khusus”
gejala otonom
dan gejala psikis.
Gejala Motorik
Berasal dari fokus pada korteks motoric
Kejang terjadi pada bagian tubuh yang di inervasi oleh neuron motoric
Tangan dan jari jari memiliki representasi korteks yang paling besar.
Dapat menyebar ke arah tengah tubuh dan melibatkan keseluruhan tungkai,
termasuk
sisi
wajah
dan
tungkai
bawah.
Dapat
disebut Jacksonian March
Klien juga dapat menunjukan perubahan pada postur tubuh dan tutur lisannya
Gejala Somatosensoris
Jika fokus epileptogenik berada pada daerah parietal, klien akan mengalami fenomena sensori seperti kebas atau kesemutan.
Jika fokus pda oksipital, klien dapat mengalami penglihatan cahaya terang dan berkedip kedip
Klien juga dapat mengalami perubahan pada cara bicara atau indra perasa dengan adanya perlibatan pada area temporal posterior dari hemisfer yang domin
Gejala Otonom
Kejang pada sistem otonom akan mengakibatkan sensasi epigastrik (sensasi “naik” atau “terisi penuh”)
Pucat
Berkeringat
Kemerahan di tubuh
Piloereksi (bulu kuduk berdiri)
Dilatasi pupil
Takikardia
Takipnea
Gejala Psikis
Berasal dari lobus temporalis anterior
Dimulai dengan suatu aura, aura dapat berupa bau yang aneh, suara, sensasi yang mendahului kejang, sensasi naik atau terisi penuh pada regio epigastrik
Déjà vu
b. Kejang Parsial Kompleks 1. Dengan Automatisme
Ciri paling khas pada parsial kompleks adala adanya automatisme.
Perilaku automatisme dapat berupa gerakan berulag tanpa tujuan seperti memukul bibir, mengunyah,menepuk bagian tubuh tertentu, memilih pakaian saat sedang tidur mimpi.
Dapat ditemukan perilaku menyimpang dan antisosial.
Berlangsung 2-3 mnt tetapi dapat berlangsung hinggan 15 mnt.
Klien tidak sadar akan aktivitas selama kejang dan dapat menjadi kebingungan atau mengantuk.
Yang berlanjut menjadi kejang umum
Berasal dari fokus tertentu dan kemudian pelepasan listrik akan menyebar diseluruh otak.
Klien pertama menunjukan gejala fokal, misalnya satu sisi wajah bergerak dan kemudian seluruh tubuh akan ikut terlibat.
Kesadaran akan hilang jika sinyal listrik menyebar keseluruh otak.
c. Kejang umum Menyebabkan hilangnya kesadaran. Kejang umum melibatkan kedua hemisfer. Sekitar sepertiga dari kejang adalah kejang umum. Tipe dari kejang umum : 1. Absens
Adalah suatu periode tak tertentu dari sadar dan tidak sadar
Berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit
Terjadi pada anak anak dan remaja awal
2. Mioklonik
Melibatkan gerakan menyentak yang tiba-tiba dan tidak dapat di kontrol
Dapat menyebabkan klien terjatuh
Kehilangan kesadaran beberapa saat dan kemudian merasa kebingungan setelah kejang
Sering terjadi pagi hari
Sering melaporkan bahwa mereka menumpahkan kopi saat terjadi kejang ini
3. Klonik
Gejala klnis meliputi kontraksi dan relaksasi otot ritmik
Berlangsung beberapa menit
4. Tonik
Meliputi peningkatan mendadak dari tonus dan kontraksi otot
Terdapat kehilangan kesadaran dan adanya gejala otonom
Berlangsung 30 detik hingga beberapa menit
5. Tonik-klonik
Kejang “grand mal”
Kejang yang paling berhubungan dengan epilepsi
Biasa terjadi sebagai berikut : 1. Terjadi kehilangan kesadaran secara tiba-tiba 2. Pada fase tonik, badan jadi kaku, klien akan jatuh dengan kaku ke lantai. 3. Dapat terdengar tangisan 4. Pernapasan terganggu sementara dan klien menjadi sianotik 5. Rahang kaku dan tangan mengepal 6. Mata terbuka lebar 7. Berlangsung 30-60 detik 8. Akhir fase ini klien akan bernapas dalam
D. MANIFESTASI KLINIS 1. Kejang Parsial Sederhana satu tangan yang bergetar Mulut terhentak-hentak secara tidak terkontrol Berbicara kacau Pening Mengalami penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tidak biasa tanpa kehilangan kesadaran 2. Kejang parsial Kompleks Tidak dapat bergerak/bergerak secara otomatis tetapi tidak sesuai waktu dan tempat Mengalami emosi ketakutan Kemarahan Elasi/kesenangan Iritabilitas yang berlebihan Tidak mengingat episode kapan kejang tersebut berakhir 3. Kejang Umum (Kejang Grand Mall) Mengenai kedua hemisfer otak Kekakuan yang intens di seluruh tubuh diikuti dengan perubahan relaksasi dan kontraksi otot (kontraksi tonik-klonik umum) Lidah terkunyah, pasien mengalami inkontinensia urine dan feses
Pergerakan konvulsif berlangsung selama 1 atau 2 menit Pasien kemudian relaks dan terbaring dalam kondisi koma yang dalam, bernapas dengan berisik Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi menjadi: 1. Kejang Umum (generalized seizure) a. Tonic-clonic convulsion (grand mall) pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, sianosis, ngompol, menggigit lidah terjadi beberapa menit, lemah, kebingungan, sakit kepala b. Abscense attack/lena (petit mal) tiba-tiba melotot, matang berkedip-kedip, kepala terkulai beberapa detik, bahkan tidak disadari c. Myoclonic seizure terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba d. Atonic seizure jarang terjadi pada pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered 2. Kejang Parsial/focal a. Simple Partial Seizures pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh b. Compleks Partial Seizure pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali, gerakan mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran.
E. PATOFISIOLOGI Otak merupakan pusat penerima pesan (implus sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (implus motoric). Otak ialah rangkaian berjutajuta neuron. Pada hakikatnya tugas neuron ialah menyalurkan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmitter. Acetylcholin dan noreprinefrin
adalah neurotransmitter eksitaktif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-aminobutiric-acid) bersifat inhibitor terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsy dicetuskan dalam suatu sumber daya listrik saran di otak dinamakan focus epileptogenic. Dari focus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian selanjutnya samapai seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh atau anggota gerak tubuh yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada thalamus yang selanjutnya akan menyebarkan implus-implus ke bagian otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yangdisertai penurunan kesadaran. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah focus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadan patologis. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tangah, thalamus dan korteks sesbrum kemungkinan besar bersifat epileptogenic, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membrane sel, sel focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimkiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktivan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan kekuatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam GAMA aminobutirat (GABA)
Ketidak seimbangan ion yang merubah keseimbangan asam – basa atau erektolit yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi menurun. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan
berlebihan
neurotransmitter
aksitatorik
atau
depresi
neurotransmitter inhibitor. Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motoric dapat meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Atetilcolin muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami depresi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsy. Bukti histopatologi menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan structural. Belum ada faktor patologis yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilcolin dijumpai diantara kejang. Focus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilcolin, suatu neurotransmitter fasilitarorik, focus-fokus tersebut lambat meningkat dan menyingkirkan asetilcolin.
F. KOMPLIKASI 1. Kematian atau kematian mendadak Kematian, terjadi apabila epilepsi kambuh pada saat penderita melakukan aktivitas seperti menaiki/menuruni tangga atau mengendarai kendaraan sehingga barakibart kematian. Kematian mendadak, beberapa ahli mengemukakan kematian mendadak yang dialami para penderita epilepsi berkaitan dengan dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang 2. Keguguran atau kacacatan janin Epilepsi pada ibu hamil beresiko menggugurkan bayi yang sedang dikandung dan juga mengancam nyawa sang ibu. Beberapa jenis obat anti epilepsi pun ada yang beresiko membuat janin mengalami kecacatan 3. Defisit neurologis atau psikologis Penderita epilepsi dapat merasakan depresi dengan kondisinya tersebut, gangguan kognitif dan perubahan kepribdian.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah tepi rutin, kadar gula darah dan elektrolit sesuai indikasi,
pemeriksaan
cairan
serebrospinal.
Pemeriksaan
cairan
cerebrospinal pada anak dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi yang merupakan salah satu penyebab dari epilepsi. Hitung darah lengkap dilakukan pada klien dengan trauma kepala karena dapat terjadi peningkatan atau penurunan yang mencolok pada jumlah hematokrit dan trombosit. Elektrolit seperti Ca total, dan magnesium serum sering kali diperiksa pada saat pertama kali terjadi serangan kejang karena akan terdapat perubahan pada jumlah elektrolit tersebut., uji glukosa biasa dilakukan pada bayi dan anak kecil yang mengalami epilepsi untuk mendeteksi adanya hipoglikemia yang biasanya terjadi. 2. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) Elektroensefalografi
melengkapi
bukti
diagnostik
dalam
proporsi
substansial dari pasien epilepsy dan membantu dalam mengklasifikasikan tipe kejang. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. 3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologis, pada foto tengkorak diperhatikan kesimetrisan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian tekanan intracranial seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika, pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran system ventrikel, rongga subaraknoid, serta gambaran otak, arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah otak apakah ada peranjatan, sumbatan, peregangan, anomali pembuluh darah. 4. Pemeriksaan CT-Scan Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebro vascular abnormal, dan perubahan degeneratif cerebral. Pemindaian Ctscan digunakan mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan yang sering terjadi pada klien dengan epilepsi.
5. Dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi, hematologi dan pemeriksaan serologic 6. Pemeriksaan jasmani meliputi pemeriksaan pediatric dan neurologis dan bisa dikonsulkan ke bagian mata, THT, hematologi, endokrinologi, dan pemeriksaan jasmani lain spt; TTV, janbtung, paru, perut, hati, limpa dan anggota gerak lainya.
F. PENATALAKSANAAN a. Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tandatanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang 1. Hidantoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf
Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang, dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron
Efek samping: pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP,sehingga penglihatan
mengakibatkan (penglihatan
lemah,
berganda),
kelelahan, disfungsi
gangguan
korteks
dan
mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi = menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus
Dosis : Dewasa : 300-600mg/hari , Anak : max 300mg/hari
2. Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipetipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak.
Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA.
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari
Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Terjadi kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas
3. Deoksibarbitura
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonikklonik. Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten.
Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk,
kehilangan
keseimbangan,
perubahan
perilaku,
kemerahan dikulit, dan impotens 4. Iminostilben
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11). Karbamazepin menghambat
kanal
Na+ (7),
yang
mengakibatkan
influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terusmenerus pada neuron
Dosis : <6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. >12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin : gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk,
mual,
goyah
(tidak
dapat
berdiri
tegak)
dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia 5. Suksinimid
Etosuksinimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari .
Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek
samping
penggunaan
etosuksimid
yang
lain
adalah
ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan. 6. Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA.
Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik
yang
langsung
menstabilkan
membran
mempengaruhi kanal kalium
Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari .
serta
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan.
Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin
7. Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan
agonis
GABAA,
sehingga
aktivasi
reseptor
benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA.
Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari .
Efek
samping
yang
mungkin
terjadi
pada
penggunaan
benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual 8. Terapi Bedah a. Pembedahan diindikasikan ketika epilepsy disebabkan oleh tumor, abses, atau kista b. pengangkatan tons epileptolik secara bedah dilakukan untuk kejang yang berasal dari dalam area otak yang dapat dieksisi tanpa menimbulkan defek neurologis yang signifikan
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN Dari pengkajian pada An. E dilakukan pada tanggal 12 Maret 2019. Dari hasil pengkajian pada pasien yang dilakukan secara langsung ditemukan data-data: - keadaan umum pasien baik, - kesadaran composmentis, keluhan utamanya: orang tua mengatakan badan anaknya masih hangat dan masih kejang, suhu 38C, nadi 120 x/menit, respirasi rate 28 x/menit. Pengkajian menurut teori didapatkan data seperti: - pasien mendadak kejang, - mata melirik keatas, - kedua tangan kaku namun kedua kaki bergerak bebas (kelonjotan), - lama kejang ± 3 menit - demam. Pengkajian tersebut sesuai dengan teori menunjukkan tipe kejang petit mall (absens) dimana aktivitas motorik berhenti mendadak dengan ekspresi wajah dengan kedipan mata, berlangsung lebih dari 30 detik B. DIAGNOSA 1. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran 2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit 3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prognosis penyakit C. ANALISA DATA NO
DATA
PROBLEM
ETIOLOGI
1.
DS =
Hipertermi
Proses penyakit
- Orang tua mengatakan anaknya masih hangat DO= - Wajah anak tampak memerah N : 120 x/menit Rr : 28 x
menit S : 38C 2.
DS =
Resiko cidera
- Orang tua mengatakan
Penurunan Kesadaran
anaknya kadang masih kejang DO= - Anak tampak tenang - Orang tua dan pasien kooperatif 3.
DS=
Cemas
Kurangnya
- Orang tua mengatakan
pengetahuan
tidak tahu pasti tentang
tentang
penyakit yang diderita
prognosis
anaknya
penyakit
DO = - Orang tua tampak cemas dan bingung - Orang tua kurang mampu menjawab dengan tepat seputar penyakit yang diderita anaknya
D. INTERVENSI 1. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran - Kaji sifat dan karakteristik serta lama kejang - Anjurkan orang tua dan pasien untuk menjauhi benda-benda berbahaya - Anjurkan orang tua untuk menaikkan side rail tempat tidur jika anak ditinggal sendiri - Berikan edukasi yang benar berhubungan dengan strategi dan tindakan mencegah cidera 2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit - Pantau suhu anak
- Anjurkan asupan cairan oral sedikitsedikit tapi sering - Anjurkan orang tua untuk melonggarkan pakaian dan selimut anak - Kolaborasi pemberian antipiretik (paracetamol) 3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prognosis penyakit - Kaji tingkat kecemasan orang tua - Berikan informasi yang cukup tentang kondisi anak - Berikan informasi tentang penyakit anak - Tentukan koping yang sesuai untuk orang tua
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Epilepsi sering ditemukan pada anak dikarenakan bangkitan kejang yang berulang yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Epilepsi banyak ditemukan pada anak karena gangguan syaraf pusat yang bias terjadi saat masih bayi ataupun balita. Dari asuhan keperawatan pada An. E dengan Epilepsi di Ruang Melati 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta penulis, melakukan tindakan selama 3 hari dan penulis menemukan 3 diagnosa keperawatan yang muncul pada An. E yaitu : 1. Resiko cidera berhubungan dengan kejang berulang 2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit 3.Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prognosis penyakit B. SARAN 1. Bagi Perawat a. Diharapkan perawat setiap melakukan tindakan sesuai dengan teori yang ada agar tercapainya asuhan keperawatan yang bermutu dan juga diharapkan untuk memberikan dukungan dan perhatian yang lebih bagi mahasiswa dalam kegiatan praktik di Rumah Sakit. b. Epilepsi disebabkan gangguan system syaraf pusat yang disebabkan bangkitan kejang yang bersifat spontan dan berkala sehingga perlu di lakukan PENKES untuk mencegahnya. 2. Bagi Mahasiswa Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini agar dapat memahami konsep – konsep serta dasar – dasar teori sesuai dengan kasus yang diambil 3. Bagi Keluarga a. Demi kesembuhan pasien penulis mengharapkan keluarga perlu memperhatikan keadaan pasien dan membantu memenuhi kebutuhan pasien selama sakit untuk mempercepat proses penyembuhan pasien. Keluarga di harapkan selalu menjaga lingkungan agar bersih, sehingga pasien bisa istirahat dengan tenang dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA Gunardi, Hartono.2011.Buku Kumpulan Tips Pediatri. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Markam, Sumarmo.2009.Penuntun Neurologi.Tangerang Selatan: Binarupa Aksara Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: InfoMedika Widagdo.2012.Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Kejang.Jakarta: Sagung Seto Wilkinson, Judith
M.2011.Buku
saku
diagnosa
keperawatan:
diagnosis
NANDA,intervensi NIC,Kriteria hasil: NOC;alih bahasa, Esty Wahyuningsih; editor bahasa Indonesia, Dwi Widarti.Edisi 9.Jakarta:EGC Wong, Donna L.2009. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong; . Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.Jakarta: Salemba Medika Ariani, Tutu April.2012.Sistem Neurobihavior.Jakarta: Salemba Medika