Upaya Pembangunan Infrastruktur dan Fasilitas Umum yang Rusak Akibat Lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo Tugas Ekonomi Perkotaan
Dosen Pengajar : Dr. Wasiaturrahma, SE., M.Si. Disusun Oleh : (Kelas A) 1. Windy Hikmah A.
041611133137
2. Nasiha Sajida
041611133147
3. Nabilah Zahrawati
041611133154
4. Fahmi Nashiruddin
041611133157
5. Libna Aqmarina Prianty
041611133165
6. Salsabella Shoffi Azizah
041611133166
7. Putri Ledy Widyawati
041611133174
8. Edo Adhynusa
041611133177
9. Angga Sebastian
041611133185
Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Definisi infrastruktur dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai sarana dan prasarana umum. Sarana secara umum diketahui sebagai fasilitas publik seperti rumah sakit, jalan, jembatan, sanitasi, telepon, dan sebagainya. Fasilitas publik harus dirancang dengan baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam penyediaan produk dan jasa berkualitas tinggi dengan biaya dan sumber daya yang minimal agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Todaro (2006) menyatakan bahwa tingkat ketersediaan infrastruktur di suatu negara adalah faktor penting dan menentukan bagi tingkat kecepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur akan memberikan akses mudah bagi masyarakat terhadap sumber daya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam melakukan kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan meningkatnya efisiensi otomatis secara tidak langsung meningkatkan perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah. Keberhasilan pembangunan suatu kota ditentukan dari konsistensi penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Perimbangan keterlibatan tiga stakeholders utama suatu kota yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Hal ini menyangkut sistem manajemen transportasi (darat-laut-udara), sistem manajemen wilayah permukiman konsep vertikal dan penyediaan fasilitas umum (sistem pengelolaan sampah padat berbasis komunitas, sistem drainase, sistem penanganan limbah cair rumah tangga, dan taman), sistem manajemen pembuangan limbah cair (rumah tangga dan industri) dan pembuangan sampah padat, sistem manajemen hutan kota dan optimalisasi lahan pekarangan sebagai salah satu alternatif tindakan konservasi kondisi lingkungan kota dan prasarana rekreasi, sistem manajemen pengelolaan daerah pantai, sistem manajemen koordinasi antar stakeholders kota, sistem manajemen tempat bersejarah, sistem manajemen pusat jasa, perdagangan dan promosi, sistem manajemen kawasan pendidikan, sistem dan manajemen kawasan PKL. Pada tahun 2006, salah satu wilayah di Indonesia yaitu, di Kabupaten Sidoarjo mengalami peristiwa Lumpur Lapindo atau terjadi semburan lumpur panas yang
menyebabkan tergenangnya kawasan perumahan, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan Kabupaten Sidoarjo yaitu, Kecamatan Porong, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Tanggulangin. Khususnya di Kecamatan Porong yang merupakan pusat dari semburan lumpur panas yang awalnya merupakan daerah dengan kondisi terburuk terkena semburan lumpur panas dan akhirnya menyebar ke kecamatan lainnya. Hilangnya infastruktur dan fasilitas umum disekitar wilayah semburan lumpur membuat keadaan perekonomian masyarakat korban lumpur lapindo menurun. Mereka kehilangan rumah, tanah, sekolah, lahan pertanian sebagai sumber penghasilan masyarakat setempat telah hilang. Makalah kami akan membahas tentang upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki segala infrastuktur dan fasilitas umum di Kabupaten Sidoarjo, khususnya di kecamatan yang terkena semburan lumpur panas.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran umum kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum akibat lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo? 2. Bagaimana upaya pembangunan infrastruktur yang rusak akibat lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo? 3. Bagaimana perkembangan sistem drainase di Kabupaten Sidoarjo?
1.3 Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan gambaran umum kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum akibat lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo. 2. Menjelaskan upaya pembangunan infrastruktur yang rusak akibat lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo. 3. Menjelaskan perkembangan sistem drainase di Kabupaten Sidoarjo.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infrastuktur Menurut Fajar Suryanto (2009), infrastruktur ialah suatu rangkaian yang terdiri atas adanya berbagai bangunan fisik yang masing-masing saling mengkait dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Misalnya jaringan jalan, dimana jalan merupakan sarana yang salah satu fungsinya dapat dipengaruhi dan mempengaruhi beberapa sektor lainnya seperti: Pemukiman, perdagangan, kawasan industri, wilayah pusat pemerintahan dan lain sebagainya, sehingga setiap kali terjadi pembangunan. Infrastruktur memang diperlukan secara mendalam dan aktif antar institusi terkait agar kemanfaatannya dapat berfungsi secara maksimal dan berdayaguna tinggi serta nyaman bagi masyarakat. Pembangunan infrastruktur tentu berdasarkan atas sebuah gagasan, yang dimana memiliki maksud dan tujuan yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Keberhasilan sebuah pembangunan infrastruktur yaitu dapat diukur dari sejauh mana pemanfaatan dan dampaknya terhadap dinamika pembangunan ekonomi masyarakat meningkat. Hubungan fungsi antara infrastruktur yang ada sangat menentukan tingkat kemanfaatannya. Menurut Fadjar Suryanto (2009), infrastruktur dapat digolongkan kedalam beberapa kategori antara lain : a. Obyek rahasia : gedung pusat pemerintahan, pusat penelitian, instansi militer, dan instansi polisi. b. Obyek vital: pusat & jaringan listrik, pusat & jaringan komunikasi, pusat perdagangan, pusat eksplorasi, pusat konsentrasi masyarakat, bendungan, sarana & prasarana transportasi, sentra sembilan bahan pokok, kawasan industry. c. Obyek strategis: pabrik alat tempur militer, pabrik obat-obatan, radar pengamat, garis perbatasan. d. Obyek umum: bangunan fasos & fasum (pendidikan, peribadatan, tempat hiburan, taman, jalur hijau dll).
2.2 Hubungan Antara Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan infrastruktur akan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur sendiri merupakan prasyarat bagi sektor-sektor lain untuk berkembang dan juga sebagai sarana penciptaan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Pemberdayaan sumber daya untuk membangun infrastruktur akan memicu proses ekonomi sehingga menimbulkan penggandaan dampak
ekonomi maupun sosial (Setiadi, 2006). Berdasarkan sejarah perjalanan pembangunan ekonomi di Indonesia, infrastruktur ditempatkan sebagai sektor vital dalam proses mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai proses itu dibutuhkan kerja keras agar pembangunan infrastruktur selalu meningkat tiap tahunnya. Pembangunan infrastruktur adalah upaya memperkuat landasan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi. Keduanya memiliki hubungan erat dan saling ketergantungan satu sama lain. Pembangunan Infrastruktur dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi sendiri juga menjadi tekanan bagi infrastruktur. Perbaikan dan peningkatan infrastruktur pada umumnya akan dapat meningkatkan mobilitas penduduk, terciptanya efisiensi biaya, waktu, dan tenaga. Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri, dan kegiatan sosial masyarakat lainnya.
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Kerusakan Infrastruktur dan Fasilitas Umum Akibat Lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo Pemerintah sebagai public service harus mewujudkan tugas pelayanan dalam kinerja pemerintah daerah. Masyarakat yang dilayani harus merasakan pelayanan yang optimal dalam wujud pelayanan prima dengan prinsip mengutamakan pelanggan, sistem yang efektif, melayani dengan hati nurani, perbaikan berkelanjutan dan memberdayakan pelanggan. Di sektor jasa, dimana Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten peran apabila
yang
sangat
pesat
sektor perdagangan kota
Contohnya
tersebut
seperti
jasa
perkembangannya.
Hal
ini
barang dan jasa. Sektor jasa
mempunyai
tingkat
telekomunikasi,
perdagangan
jasa
kurir
tidak akan
yang
antar
lepas
dari
berkembang, cukup
barang,
dan
ramai. lain
sebagainya sebagai wujud terciptanya perdagangan yang maju. Terutama dalam bidang telekomunikasi, Kabupaten Sidoarjo telah melakukan peningkatan dalam kualitas pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi. Peristiwa lumpur lapindo pada tahun 2006 terjadi di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi semburan lumpur tersebut berada sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Peristiwa lumpur lapindo tersebut telah menyebabkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan sekitar dan kerusakan infrastruktur. Berbagai usaha sudah dilakukan pemerintah dalam memperbaiki dan membangun kembali infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat korban semburan lumpur lapindo. Lumpur Lapindo yang menyebabkan rusaknya infrastruktur khususnya jalan di Sidoarjo, telah membuat perekonomian di Jawa Timur turun, bahkan apabila kondisi ini tidak cepat di antisipasi akan mengancam perekonomian tidak hanya di Jawa Timur, tetapi hingga taraf nasional. Akibat tertutupnya akses jalan raya Porong dan rel kereta oleh lumpur Lapindo Brantas, kerugian ekonomi di Jawa Timur sangat besar. Sebab, jalan raya Porong merupakan satu-satunya jalur penghubung Surabaya-Malang dan Banyuwangi. Nilai kerusakan aset dan infrastruktur akibat dampak langsung semburan lumpur Sidoarjo sebesar Rp 5.121.634.660.000.
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, pihak yang menanggung kerugian terbesar secara riil adalah masyarakat sebagai pemilik tanah dan bangunan, yakni sebesar 62,5% dari keseluruhan, selanjutnya adalah kontraktor pelaksana sebesar 29,02, usaha swasta sebesar 7,36%, BUMN sebesar 1,11% dan PDAM Kabupaten Sidoarjo sebesar 0,01%. Dampak lumpur lapindo pada kerusakan infrastruktur di daerah yang terkena semburan lumpur antara lain, tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon), meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam, ditutupnya ruas jalan tol SurabayaGempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong, serta tidak dapat difungsikannya sebuah SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa juga satu jembatan di Jalan Raya Porong. Pada tahun 2017, Kabupaten Sidoarjo telah melakukan beberapa peningkatan pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum di wilayahnya. Indikator sarana dan prasarana perhubungan di Kabupaten Sidoarjo menggambarkan upaya pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam menyediakan/mendukung sarana dan prasarana perhubungan yang layak sebagai bentuk upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
3.2 Upaya Pembangunan Infrastruktur yang Rusak Akibat Lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo Kerusakan
infrastruktur
menyebabakan
terhambatnya
beberapa
kegiatan
ekonomi, seperti kegiatan ekspor-impor. Terputusnya jalur transportasi darat berupa jalur tol Surabaya-Gempol yang merupakan jalur utama keluar masuknya barang (eksporimpor) mengharuskan institusi/lembaga yang terkait seperti Organda, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Provinsi Jawa Timur, dan Administratur Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya melakukan 12 serangkaian tindakan guna memperlancar arus barang ekspor-impor dari dan Surabaya (Pelabuhan Tanjung Perak). Oleh karena itu, diperlukan penanggulangan kerusakan infrastruktur yang disebabkan oleh lumpur lapindo. Untuk menyediakan fasilitas dan layanan infrastruktur yang berkualitas, pemerintah telah berupaya baik dalam bentuk pengaturan dengan kerangka kebijakan regulasi maupun kerangka kebijakan investasi melalui rehabilitasi kapasitas layanan infrastruktur yang rusak dan meningkatkan kapasitas layanan melalui pembangunan baru. Upaya penanggulangan semburan dan penangangan luapan lumpur diatur dalam Perpres No. 14 Tahun 2007 (Tanggal 8 April), dan Perpress No, 40 Tahun 2009 (Tanggal 23 September). Kedua Perpres ini menugaskan BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) untuk melakukan berbagai upaya penanggulangan semburan dan penanganan luapan lumpur, baik oleh pihak lain (PT Lapindo Brantas) maupun oleh BPLS sendiri. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. BPLS juga menyusun skenario upaya penanggulan semburan dan penanganan luapan lumpur. BPLS menangani luapan lumpur dengan cara pengaliran lumpur ke Kali Porong dengan metode mekanisasi. Tujuan dari skenario ini adalah menekan luas areal genangan lumpur dengan cara membangun tanggul penahan, guna penyelamatan warga dari ancaman luapan lumpur, penyelamatan existing infrastruktur, pembangunan relokasi jalan arteri Porong dan jalan tol, dan penanganan masalah sosial. Skenario ini disusun dalam rangka menghadapi kondisi terburuk, periode panjang, dan bersifat permanen. Implementasi dari skenario ini adalah membangun sistem penanganan terpadu antara pengaliran lumpur ke Kali Porong dengan metode mekanisasi, pemulihan dan pembangunan sistem infrastruktur, serta sistem penanganan masalah sosial. Untuk melaksanakan implementasi tersebut BPLS membangun data base geologi baik data yang
diperoleh oleh BPLS sendiri maupun bekerja sama dengan badan dan lembaga lain, diantaranya Badan Geologi dan Perguruan Tinggi. Implementasi ini kemudian didukung oleh perencanaan anggaran yang efektif dan efisien, perencanaan teknis yang akurat dan relevan, serta pengawasan pelaksanaan yang ketat, sehingga tujuan skenario tersebut di atas dapat tercapai. Kegiatan penanganan infrastruktur sekitar semburan juga dilakukan dengan penanganan drainasi. Pekerjaan fisik drainasi dimulai pada awal bulan November 2007 dengan prioritas penanganan drainasi untuk mengurangi tergenangnya jalan arteri Porong dan permukiman di sekitarnya. Penanganan pada tahun 2008 dan selanjutnya, dilaksanakan berdasarkan prioritas sesuai dengan rencana dan kondisi lapangan. Secara umum, BPLS pada tahun 2011 mendapat alokasi sebesar RP. 1,286 triliun dengan pembagian 2 program utama yaitu Program Dukungan Manajemen dengan alokasi sebesar Rp 22,7 miliar dan Program Teknis dengan alokasi sebesar Rp. 1,263 triliun. Program teknis sendiri dapat dibagi menjadi tiga bidang penanganan, yakni bidang operasi, bidang sosial, dan bidang infrastruktur. Total dari penyerapan BPLS adalah sebesar Rp. 572,17 miliar atau sebesar 44,49 % terhadap alokasi anggaran BPLS. Pelaksanaan penanganan terkait dampak semburan lumpur sudah dilakukan di beberapa titik semburan yang terdapat di beberapa desa, yaitu di Desa Mindi yaitu penutupan sumur di Desa Mindi, kegiatan ini dilakukan untuk menahan semburan pada saan aktivitas tinggi dan sekaligus sebagai antisispasi jika semburan aktif kembali. Selain itu terdapat juga luapan air dan pasir di belakang Polsek Porong, penanganan yang dilakukan yaitu pemasanagan pipa air yang dialirkan ke sungai dengan maksud agar air yang meluap tidak menyebar ketempat lain. Lumpur lapindo juga menyebabkan tercemarnya air di daerah semburan lumpur sehingga menyebabkan kurangnya persediaan air bersih di daerah tersebut. Oleh karena itu, BPLS juga menyediakan air bersih kepada penduduk di 12 desa, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, Ketapang, Kalitengah, Gempolsari, Glagaharum, Besuki, Kedungcangkring, Pejarakan dan Mindi. Air bersih ditujukan untuk diberikan kepada masyarakat dengan tingkat 20 liter per orang per hari.
3.3 Perkembangan Sistem Drainase di Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo terkena banjir dan genangan mulai tahun 1993 sampai saat ini, dan banjir yang terparah terjadi pada tahun 2014. Dimana pada tahun tersebut daerah yang terkena dampak banjir dan genangan dengan ketinggian lebih dari 30 cm dan lama genangan lebih dari 2 jam adalah Kecamatan Waru, Gedangan, Taman, Krian, Buduran, Sukodono, dan Sedati (Jawa Pos, 19 Juni 2014). Kawasan yang masuk kategori banjir terparah didominasi wilayah yang letak geografisnya rendah seperti, Waru. Ketinggian Kecamatan Waru hanya 5 meter dpl (dari permukaan laut). Sedati dan gedangan dengan ketinggian 4 meter dpl. Kecamatan Taman terbilang cukup tinggi yakni 9 meter dpl. Namun kontur beberapa desa di tempat itu lebih rendah daripada sejumlah afvour. Sistem Drainase Kabupaten Sidoarjo memiliki luas ± 9581,03 ha yang terbagi menjadi 4 (empat) sistem drainase utama, yaitu Sistem Drainase Kemambang, dengan luas 1400,22 ha; Sistem Drainase Pucang, dengan luas 4682,10 ha; Sistem Drainase Sidokare, dengan luas 2950,29 ha; dan Sistem Drainase Sekardangan, dengan luas 548,42 ha. Drainase Kabupaten Sidoarjo memanfaatkan sungai-sungai yang ada sebanyak 54 sungai termasuk Kali Surabaya dan Kali Porong, dan sebagian saluran campuran yaitu saluran irigasi yang berfungsi ganda sebagai saluran pembuang. Sungai yang ada di susun sesuai orde sungai sebanyak 4 (empat) orde. Orde 1 (satu) 8 sungai, orde 2 (dua) 14 sungai, orde 3 (tiga) 15 dan orde 4 (empat) 15 sungai. Khusus daerah Kota dan perumahan-perumahan yang baru sistem pematusan yang ada menggunakan saluran kota/drainase jalan yang selanjutnya dimasukkan pada saluran pembuang kota atau langsung menuju sungai terdekat yang dianggap masih dapat sebagai buangan. Untuk daerah pedesaan dan pertanian sistem pematusan diatur sesuai sistem drainase yang ada di irigasi (Sumber : Dokumen Identifikasi Sistem dan Jaringan Drainase Perkotaan Kabupaten Sidoarjo, 2013). Penyebab utama banjir di Kabupaten Sidoarjo adalah sistem drainase yang masih mempertahankan konsep konvensional (Kementerian Pekerjaan Umum, 2014). Apalagi bila ada sampah yang dibuang ke saluran akibat penanganan sampah secara potensial oleh pengelola sampah dan masyarakat yang menyebabkan terganggunya fungsi saluran sistem drainase. Sistem drainase yang menjadi penyebab banjir tersebut membuat afvour utama (afvour Sidokare) menjadi muara 22 afvour penunjang. Apabila di afvour penunjang terjadi luapan air hujan, maka dapat dipastikan afvour utama sulit menampung debit banjir.
Selain itu, hilangnya lahan resapan karena lumpur dan perluasan rumah serta industri dengan sistem penataan drainase yang tidak terintegrasi dengan baik dan kualitas drainase di Sidoarjo yang makin tak layak dapat memicu terjadinya banjir yang akan menghambat pembangunan dan mengganggu aktivitas perekonomian. Agar kinerja dari infrastruktur yang mendukung sistem drainase dapat berjalan baik maka harus ada perawatan berkala. Seperti halnya normalisasi saluran primer hingga saluran desa dan perbaikan saluran drainase. Tetapi hal ini di lokasi – lokasi tertentu tidak dapat dilakukan, karena adanya faktor penghambat. Salah satunya adalah adanya bangunan liar di tepi / sempadan air dari saluran yang ada. Kondisi ini mempersulit kegiatan normalisai saluran terutama yang membutuhkan alat berat (Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Sidoarjo, 2011). Untuk menanggulangi genangan akibat air tidak dapat mengalir secara gravitasi mengingat wilayah Kabupaten Sidoarjo sebagian besar merupakan dataran rendah, maka di Kabupaten Sidoarjo telah dioperasikan beberapa buzem dan pompa banjir. Namun karena jumlah dan kapasitas boesem dan pompa masih jauh dari luasnya genangan. Oleh sebab itu, beberapa boesem dan pompa banjir juga telah direncanakan. Selain itu, dari sisi transportasi, aksesibilitas menjadi berkurang atau bahkan bisa dikatakan terputus untuk jalur tersebut. Untuk jalur jalan raya, ada solusi jalan arteri. Sementara untuk jalur kerta api lebih berdampak karena tidak ada jalur alternatif untuk kereta api, sehingga harus menunggu air surut untuk bisa lewat. Bila sistem drainase tidak segera dibenahi maka akan merusak sampai lapis pondasi dan tanah dasar. Bila kerusakan sudah sampai pondasi bahkan daya dukung tanah dasarnya, maka jalan harus dibangun ulang sebelum bagian atasnya diberi lapisan beraspal atau Asphalt Concrete (AC) kembali. Dalam mengatasi hal ini, sebaiknya di sepanjang jalan arteri segera dibangun gorong-gorong. Namun dalam pembangunannya digunakan box culvert (yang tergolong drainase primer) dengan ukuran maksimal. Adanya saluran drainase porus (yang tergolong drainase tersier) atau parit resapan merupakan saluran drainase yang berada di kiri dan kanan jalan yang dimodifikasi menjadi parit resapan air hujan dengan cara membuat dasar saluran tetap yang tidak dilapisi kedap air. Selain untuk mengalirkan air buangan, saluran porus juga berfungsi sebagai resapan air ke dalam tanah. Penerapan saluran porus, harus merehabilitasi saluran yang secara kapasitas tidak mampu untuk menampung debit banjir rencana serta dapat menimbulkan limpasan dan genangan.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga membuat kebijakan dan strategi pencegahan perluasan dampak bencana tahun 2009-2029. Didalamnya terdapat mitigasi bencana banjir, meliputi : a. Melakukan pemetaan wilayah rawan banjir, mengarahkan pembangunan menghindari daerah rawan banjir (kecuali untuk taman dan fasilitas olahraga) dan dilanjutkan dengankontrol penggunaan lahan. b. Merekomendasikan upaya perbaikan prasarana dan sarana pengendalian banjir. c. Mengoptimalkan DAS sebagai zona kawasan lindung. d. Memonitoring dan mengevaluasi data curah hujan, banjir, daerah genangan dan informasi lain yang diperlukan untuk meramalkan kejadian banjir, daerah yang diidentifikasi terkena banjir serta daerah yang rawan banjir e. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka maupun tertutup atau terowongan yang dapat membantu mengurangi terjadinya banjir.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berbagai dampak negatif telah timbul akibat adanya peristiwa lumpur lapindo bagi lingkungan sekitar dan infrastruktur, serta menyebabkan perekonomian menurun di Kabupaten Sidoarjo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah melakukan peningkatan fasilitas dan layanan infrastruktur yang berkualitas, baik dalam bentuk pengaturan dengan kerangka kebijakan regulasi maupun kerangka kebijakan investasi melalui rehabilitasi kapasitas layanan infrastruktur yang rusak dan meningkatkan kapasitas layanan melalui pembangunan baru. Sejumlah upaya juga telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. BPLS menyusun skenario upaya penanggulangan semburan dan penanganan luapan lumpur yaitu dengan cara pengaliran lumpur ke Kali Porong dengan metode mekanisasi. Peristiwa lumpur lapindo juga telah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di Sidoarjo. Selain itu, faktor pemicu terjadinya banjir adalah sistem drainase yang tidak terintegrasi dengan baik dan kualitas drainase di Sidoarjo yang makin tak layak, serta hilangnya lahan resapan perluasan rumah serta industri. Hal ini dapat menghambat pembangunan dan mengganggu aktivitas perekonomian. Dengan kondisi ini, dari sisi transportasi, aksesibilitas menjadi berkurang atau bahkan bisa dikatakan terputus untuk jalur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agustawijaya, D. (2010). Penanggulangan Semburan dan Penanganan Luapan Lumpur Sidoarjo: Peranan Ilmu dan Rekayasa Kebumian dalam Pengelolaan Bencana. Prosiding Seminar Nasional “Peranan Pendidikan Geografi Dalam Pembangunan Wilayah dan Mitigasi Bencana” PIT IGI Unesa 2010, (pp. 16-38). Anita R., Alia D., & Eddy S. (2015). Evaluasi Sistem Drainase Terhadap Penanggulangan Genangan di Kota Sidoarjo. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW). Berlin, Y., Noor, I., & Siswidiyanto. (n.d.). Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur pada Lokasi Dampak Semburan Lumpur Lapindo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo . Jurnal Administrasi Publik (JAP) , 67-72. Keusuma, C. N., & Suriani. (2015). Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Pembangunan , 1-18. Sutikno. (2010). Analisis Perubahan Kinerja dan Struktur Ekonomi Kabupaten Sidoarjo Sebelum dan Saat Terjadinya Semburan Lumpur Lapindo. Humanity , 150-160.