II PEMBAHASAN
1.
Per ek onomian Ind on esia di Za man Ko lonial 1. 1 Ke ba ngkitan St udi Sejara h pere konomian In don esia Berbeda dengan sejarah politik dan sosial Indonesia, maka sejarah perekonomian Indonesia sampai beberapa waktu yang lalu belum banyak dipelajari oleh para sejarawan dan ekonom Indonesia ataupun asing. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan dimana banyak penelitian tentang dampak kekuasaan kolonial atas perekononmian. Hasil-hasil studi sejarah perekonomian India selama zaman kolonial malahan telah banyak mempengaruhi pula kebijaksanaan ekonomi India selama tahun-tahun pertama sesudah kemerdekaan India tercapai. Meskipun studi
sejarah
perekonomian
perekonomian
Indonesia
masih
kurang
berkembang dibanding dengan studi sejarah perekonomian India atau beberapa negara Asia lainnya. Berbagai kajian mutakhir tentang sejarah perekonomian Indonesia selama zaman kolonial disajikan dalam konperensi pertama yang secara khusus membahas sejarah perekonomian Indonesia. Kebangkitan studi sejarah
Perekonomian
Indonesia
selama
dasawarsa
terakhir
ini
dimungkinkan oleh beberapa perkembangan yang menguntungkan. Pertama sejak pertengahan dasawarsa 1960-an banayk bahan arsip di negeri Belanda dan Indonesia tentang administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia selama abad ke-19 dan ke-20 telah dibuka untuk umum. Pengkajian yang lebih mendalam ini telah menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat menumbangkan berbagai pendangan mapan tentang masa lampau, seperti misalnya kayakinan yang umumnya terdapat pada para sejarawan bahwa akibat Sistem Tanam Paksa, para petani di Jawa telah menjadi lebih miskin. Perkembangan kedua yang juga amat mendorong kebangkitan studi sejarah perekonomian Indonesia adalah usaha kompilasi dan seleksi sejumlah data statistik yang amat besar tentang sejarah perekonomian Indonesia selama kurun waktu 1816-1940 yang sejak awal dasawarsa 1970-an dilakukan oleh sekelompok kecil ekonom Belanda dibawah
pimpinan almarhum P. Creutsberg, seorang pensiunan dari biro pusat Statistik, Jakarta. Maka beberapa ekonom di Australia dan di negeri Belanda yang semula menaruh perhatian dan perkembangan Indonesia masa kini, mulai mengalihkan perhatian mereka pada sejarah ekonomi Indonesia selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam rangka usaha mereka untuk mnemahami dengan lebih baik perkembangan ekonomi indonesia masa kini. Namun munculnya ekonom sekelompok kecil ekonom-ekonom di Australia dan negeri Belanda yang menaruh perhatian pada sejarah perekonomian Indonesia akan mendapat ”warna” dan dimensi baru, oleh karena itu kajian historis oleh para ekonom ini akan lebih banyak dilakukan menurut pola yang dirintis oleh para ”sejarawan ekonomi baru” 1.2
Sejara h pe rek onomian Baru Kajian sejarah oleh para ekonom menurut pola ”sejarah perekonomian
baru” berarti bahwa teori ekonomi, khususnya teori harga (teori ekonomi mikro), akan digunakan secara lebih luas dan lebih sistematis dalam analisa sejarah.
Meskipun
masukan
para
ekonom
ke
bidang
studi
sejarah
perekonomian telah memberikan dorongan baru kepada cabang ilmu ini, namun hal ini sama sekali tidak berarti berkurangnya arti dan peranan para sejarawan dalam pengembangan studi sejarah perekonomian Indonesia. Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali”
khususnya
dari
pakar-pakar
ekonomi
arus
utama
yang
menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi
dan
kebijakan
ekonomi
Orde
Baru
mampu
mengangkat
perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan
menengah
melalui
pertuumbuhan
ekonomi
tinggi
(7%
pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
2.
Keh idupan Ekonomi Indo
nesia Pa da ma sa Tana m Pa ksa.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar. 2.1 Sis tem T anam Paksa d
i J awa
Sistem tanam paksa diterapkan oleh pemerintah jajahan Belanda merupakan contoh klasik tentang penindasan kaum penjajah. Tujuan pokoknya ialah meningkatkan secara pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawa demi keuntungan perbendaharaan Kerajaan Belanda. Jika dipandang dari segi ini ,sistem tersebut memang berhasil baik, dengan dihasilkannya sejumlah besar komoditi ekspor, yang penjualannya di Eropa semakin banyak menghasilkan dana untuk menopang posisi keuangan Belanda yang sedang sulit sekali. Melonjaknya produki dan laba ini hampir seluruhnya bersumber pada kerja paksa kaum tani Jawa. Pengandalan dari Tanam Paksa itu untuk memperoleh pendapatan lebih daripada hal lain mengakibatkan reputasi sistem Tanam paksa sangat buruk. Dalam sistem Tanam Paksa ini kaum tani diwajibkan untuk menggarap sawahnya dan para petani wajib menyerahkan hasil panen tersebut pada pemerintah Belanda. Sistem tanam paksa menuntut agar kaum tani melakukan kerja rodi. Kaum tani diharuskan bekerja 4 atau 5 kali lebih lama daripada jam kerja yang dituntut dalam masa sebelum 1830. Pada umumnya, imbalan yang diterima oleh kaum tani itu dalam bentuk hasil budidaya atau upah yang sama sekali tidak seimbang denga tambahan waktu dan jerih payah yang dituntut dari mereka.
Pada
pokoknya,
Sistem
Tanam
Paksa
adalah
penghisapan
dan
pemerasan secara brutal dan dikelola oleh orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilanya dibentuk oleh latar belakang kebudayaan masing-masing. 2. 2 Sis tem T anam Paksa d
i Suma tra Ba rat
Sitem tanam paksa itu bukan merupakan satub suatu sistem yang tunggal, melainkan berupa berbagai cara untuk mencari dana. Dan semua itu tergantung pada interverensi politik, serta pengawasan terhadap sektorsektor
utama
produksi pertanian.
Sistem
tanam
Paksa tidak
hanya
diterapkan dipulau Jawa saja melainkan juga didaerah-daerah luar Jawa. Di
Pantai
Barat
pulau
Sumatra,
tanah
Minang,
penanamandan
penyerahan kopi secara paksa berhasil dilembagakan pada tahun 1847, dan berlanjut pada sistem politik dan ekonomi yang penting selama lebih dari enam dasawarsa. Selama 20 tahun pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di Sumatra Barat, ia mengalami sukses yangcukup besar. Produksi kopi mencapai kopi mencapai tingkat yang cukup tinggi, dan mempertahankannya selama beberapa lama. Kekerasan pernah dijalankan untuk meningkatkan produksi kopi sebelumtahun 1949 oleh Belanda, tetapi ternyata tidak efektif, karena kekerasan tidak dapat menahan turunnya produksi kopisesudah tahun 1870. sebaliknya, sukses Tanam paksa pada dasawarsa-dasawarsa awalnya disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu : 1.
harga kopi yang ditetapkan. Pemerintah memperkirakan bahwa pada waktu masih bebas menanam kopi, para penanam kopi menerima sejumlah uang yang kecil dan tidak menentu.
2.
suskses produksi kopi tanam paksa di Sumatra Barat adalah karena untuk seterusnyakebutuhan akan pekerja sedikit
3.
Alam
dagang
telah
lama
mendarah
daging
dalam
kehidupan
Minangkabau, dimana jual beli barter barang merupaka hal yang penting sekali, dan pendapan uang kontan petani dibawah sistem tanam kopi bebas tentu telah merangsang selera mereka untuk memperoleh barang dagangan.
3.
Evo lu si
Kebijakan
Per ek onomian Kolonia
Fiskal l
dan
Perana n
Pem erinta h
dala m
Dalam menelurusuri evolusi peranan pemerintah dalam perekonomian Indonesia sejak berdirinya Sistem tanam paksa hingga tahun 1940, kita dapat mengenal lima masa yang berbeda. Pertama hingga
pertengahan
dasawarsa
1860-an
dasawarsa 1830-an
merupakan
masa
ketika
pengeluaran dan penghasilan pmerintah yang nyata mantap sekali. Masa kedua dari akhir 1860 hingga pertengahan dasawarsa 1880-an ditandai oleh kenaikan pengeluaran-pengeluaran nyata dan suatu perubahan yang menonjol dalam komposisi pengeluaran-pengeluaran ini, menjauhi administrasi dan menuju ke sektor pekerjaan umum Masa ketiga mulai dari pertengahan dasawarsa 1880-an hingga akhir abad ke-19, merupakan masa resesi yang amat berat dalam perekonomian dunia dan perekonomian Indonesia. Sesudah tahun 1921, pengeluaran-pengeluaran pemerintah menurun baik dalam bentuk uang maupun menurut kenyataannya, naik lagi sesudah tahun 1925, hanya untuk turun lagi pada permulaan tahun-tahun 1930-an. Penurunan sesudah tahun sesudah tahun 1930 relatif sedikit, mengingat parahnya resesi ekonomi ekonomi.
4.
Kolonia li sme Beland a di Ind on esia Pada
tahun
1930-an,
gaya
pemerintah
Kolinialisme
Belanda di
Indonesia dapat dilukiskan sebagai ”imperialisme perdagangan bebas”, sedikit
banyak
model
Inggris.
Pada
tahun
1870
bangsa
belanda
meninggalkan sistem tanam paksa yang sangat kejam. Kebijakan baru itu lebih dapat diterima menurut pendapat umum negeri belanda, lebih pantas untuk dihormati secara internasional, menyebabkan alokasi sumber yang lebih efisien , dan juga lebih menguntungkan. Namun bagi rakyat Indonesia hal itu masih begitu terasa begitu berat bagi bangsa Indonesia. Suatu hal yang menarik perhatian dari kolonialisme di indonesia adalah bahwa kehadiran belanda mengundang serta mendorong pertumbuhan masyarakat Cina
dan bangsa Asia lainnya (orang-orang Indi dan Arab),
walaupun kelompok–kelompok Asia asing ini hadir
dalam proporsi yang
agak kecil sebelum datangnya orang-orang belanda, dan sampai sekarang masih tetap tinggal di Indonesia. Di India kedatangan orang-orang Inggris secara relatif lebih kecil. Mereka banyak memusatkan perhatian kepada tugas-tugas pemerintahan , dengan suatu tingkat jumlah anggota keluarga
yang menetap di negeri jajahan yang lebih kecil. Sedangkan orang-orang Belanda
menunjukkan
proporsi
lebih
rendah
dari
penduduk
tetap
berkebangsaan Belanda di Indonesia. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan (monopsoni)
Pedagang dalam
Belanda membeli
(VOC)
menerapkan
komoditi-komoditi
sistem
perdagangan
monopoli seperti
rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya
Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kum p eni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara
tepat
untuk
mengekploitasi Indonesia, bahkan
pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
5.
Kea daan pe rek onomian pada
m asa pend ud uk an J epang
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu
rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu
Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul
khususnya
secara
ekonomis
dibanding
tanaman
perkebunan
besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak,
maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya
tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
6.
Koperasi Wad
ah Eko nom i Ra kya t
Ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota. Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingankepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi
mikro maupun makro dipelajari secara dedu kti f tanpa upaya
menggali
data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung. Sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah
tetapi pengusaha
swasta,
sedangkan pemerintah
sekedar
sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undangundangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai
dikembangkan,
di
beberapa
daerah
rakyat
sudah
lebih
dulu
menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaanperusahaan
swasta
memperoleh
untung
besar
sehingga
pemerintah
mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction
Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaanperusahaan perkebunan swasta besar. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang
karena
merupakan
usaha-usaha
subsisten.
Sebaliknya
pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau),
tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan
besar,
bahkan
khawatir
rakyat
“menyaingi”
hasil-hasil
perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat
sendiri.
Inilah
yang
kemudian
dijadikan
pedoman
umum
penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.