REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DAN BONUS DEMOGRAFI: KESEMPATAN ATAU ANCAMAN?
PENYUSUN: SALSABILA IZZATURROHMAH PENGURUS KOMISARIAT KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA KOTA SEMARANG 2019
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini terminologi “bonus demografi” menjadi salah satu terminologi yang berdiaspora ke-seantero negara Indonesia. Istilah ini membawa harapan kepada penduduk Indonesia, bahwa beberapa tahun kedepan negara kita akan “kebanjiran” kelompok usia produktif dan menjadi potensi perekembangan ekonomi Indonesia. Dalam bahasa ekonomi kependudukan, bonus demografi dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh semakin besarnya jumlah tabungan dari penduduk produktif. Hal ini dapat memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut juga lazim dikenal sebagai jendela kesempatan (windows of opportunity) bagi suatu negara untuk melakukan akselerasi ekonomi dengan menggenjot industri manufaktur, infrastruktur, maupun UKM karena berlimpahnya angkatan kerja (Jati, 2015). Optimisme diatas sayangnya dibersamai dengan berbagai realita yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Antara lain penyebaran informasi yang semakin massif membuat maraknya informasi hoax. Persatuan Indonesia yang awalnya dijadikan sebuah jargon persatuan sedang ditantang oleh keadaan, apakah tetap bisa mempertahankan idealismenya sebagai negara kesatuan? Terutama di tahun politik 2019 dimana diversifikasi karakter, pilihan politik, etnis ras, dan agama menjadi sebuah hal yang sensitif yang dapat menyulut sebuah konflik. Dengan masalah-masalah yang berada didepan mata seolah Indonesia dan masyarakatnya telah dihadapi oleh “pembalut mata” yang menutup kesempatan optimisme yang ada. Kondisi pun memburuk ketika optimisme ini mulai dipandang dalam perspektif yang skeptis bahwa “bonus demografi” selain membawa keuntungan di sisi lain dapat menjadi “national burden” yang berat. Belum selesai masalah di dalam negeri, Indonesia juga dihadapi sebuah tantangan baru dengan mulai bangkitnya revolusi industri 4.0. Meskipun umumnya dipandang sebagai sebuah kesempatan namun lima tahun dari sekarang, setidaknya satu per tiga pekerjaan dan kemampuan yang dianggap penting di zaman sekarang menjadi tidak relevan lagi dan sebaliknya pekerjaan yang tidak lumrah ditemukan
menjadi hal yang umum ditemukan akibat revolusi industri ini. Setidaknya pada tahun 2020 memprediksi ada 10 kemampuan yang akan menjadi kemampuan penting di tahun 2020. (Gray, 2016) -
Pemecahan masalah kompleks
-
Berpikir kritis
-
Kreativitas
-
Manajemen manusia
-
Berkoordinasi dengan orang lain
-
Kecerdasan emosional
-
Penilaian dan pengambilan keputusan
-
Orientasi servis
-
Negosiasi
-
Dan fleksibilitas kognitif Sedangkan daftar ini akan berubah terus setiap 5 tahunnya sehingga timbul
pertanyaan, apakah diversifikasi karakter yang ada di Indonesia benar-benar dapat dimanfaatkan dalam kondisi bonus demografi? Dan menguatkan pesimisme yang telah ada. Premis yang umum diangkat untuk membantah optimisme dari bonus demografi adalah “percuma kalau angkatan usia produktifnya melimpah tapi kualitas sumber dayanya rendah.” Melihat pesimisme dari premis ini, makalah ini disusun untuk menjabarkan apa sebenarnya yang menjadi masalah dari munculnya pesimisme ini, kacamata apa yang dapat digunakan untuk dapat melihat pesimisme ini dari perspektif lain, menjelaskan peran para pemuda dan penggerak dalam membangun masyarakat yang siap dan juga mengembalikan optimisme bonus demografi kembali. Kami juga akan memaparkan realita yang sedang dihadapi di Indonesia, mengkontraskannya dengan kondisi ideal dari pergerakan dunia di revolusi industri 4.0, kesempatan yang dimiliki Indonesia menghadapi kondisi sekarang B. Rumusan Masalah 1. Apa itu bonus demografi? 2. Apa itu generation gap?
3. Apa tantangan dari adanya bonus demografi? 4. Bagaimana cara memandang generation gap sebagai opportunity dalam konteks pembangunan? 5. Solusi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi tantangan dari bonus demografi?
BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Revolusi Industri Ketika Facebook, Google, dan beberapa startup di bidang teknologi awal mula berdiaspora dan diperkenalkan di dunia, mulai dari titik itulah manusia mulai sadar bahwa mereka telah memasuki dunia yang bergerak jauh lebih cepat dari yang pernah mereka hadapi. Di saat itulah terminology seperti World Wide Web, social media, internet, dan berbagai terminologi digital lainnya bermunculan. Besarnya perubahan yang perusahaan ini bawa ke banyak sektor industri di dunia membuat orang sadar bahwa kemungkinan besar, ini merupakan pertanda sebuah revolusi industri berikutnya. Sedikit mengulas tentang sejarah dari beberapa revolusi industri sebelumnya, revolusi industri pertama ditandai dengan pemanfaatan ilmu termodinamika dan juga pemanfaatan uap air yang dijadikan sumber energi untuk menghidupi mesin-mesin seperti kereta dan sebagainya. Lalu munculah revolusi industri kedua yang diperkenalkan oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Thomas Alfa Edisson dan Nikola Tesla yang membuka jalur manusia untuk mengenal listrik dan memanfaatkannya untuk kebutuhan industrial (Marr, 2018) . Dua revolusi industri yang pertama sudah dapat membuat manusia menciptakan sistem perindustrian yang begitu masif. Sistem hidup manusia yang terus berubah ditransformasikan kembali dengan ditemukannya teknologi-teknologi diatas. Manusia yang awalnya hidup dengan bercocok tanam kala itu terdisrupsi oleh penemuan diatas sehingga untuk mengumpulkan makanan sudah tidak diperlukan strata sosial dan skill set tertentu dan fokus kehidupan manusia sudah bisa dipindah menuju pencarian teknologi-teknologi baru. (Harari, 2014)1 Dengan semakin sedikitnya waktu manusia yang dibutuhkan dan difokuskan untuk penelitian dan pengembangan taraf hidupnya, manusia berhasil
1
Ide ini dikemukakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens. Bahwa agrikultur bukan merupakan sebuah keuntungan bagi Homo sapiens namun karena agrikultur lah manusia dapat memiliki banyak waktu dan dapat mendomestikasi hewan dan mulai memikirkan teknologiteknologi baru. Kemudian ia menggambarkan mengenai milestones yang dapat dicapai manusia dari perkembangan teknologi tersebut.
menemukan teknologi baru yang akan mengubah kehidupan manusia lagi dan lagi. Teknologi tersebut bernama komputer, internet, world wide web, dan sebagainya yang kita ketahui sekarang. Penemuan teknologi ini menandai awal mula revolusi industri ketiga. Mesin-mesin yang sebelumnya harus dioperasikan oleh manusia kini bisa diautomasikan melalui kode-kode komputer tertentu sehingga tenaga kerja keras manusia sudah bisa digantikan dan diefisienkan melalui kerja sistem komputer (Marr, 2018). Awal kemunculan revolusi industri ketiga, manusia mulai khawatir bahwa perannya perlahan akan digerus oleh teknologi-teknologi tersebut. Kemudian muncul berbagai ide-ide yang lebih ekstrim lagi yang menyatakan bahwa umur manusia suatu saat dapat diperpanjang. Kesehatan bisa dimanipulasi dan diantisipasi melalui rekayasa genetika dan kemungkinan spesies Homo sapiens dapat bertransformasi atau “menyatu” dengan mesin ciptaannya sendiri dan berubah menjadi Homo deus. Ini merupakan pemikiran-pemikiran futuristik yang mulai berkembang di bagian barat dunia (Harari, 2014). Bersarang di Silicon Valley, sebagai titik awal startup teknologi berdiaspora, di negara dengan stabilitas ekonomi yang cukup stabil dan menjadi salah satu negara adikuasa di dunia yaitu Amerika Serikat. Mari kita sekarang tarik kembali diri kita kepada realita yang sedang kita hadapi di Indonesia. Kita dapat menemukan startup teknologi yang telah memanfaatkan teknologi revolusi industri 4.0 seperti GO-JEK, BukaLapak, Traveloka, dan giant startup lainnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mari kita sekarang tarik diri kita menuju pedalaman Lubuk Linggau, Sumatera Selatan atau di Asmat, Papua. Masih dalam satu negara, namun ironisnya terdapat perbedaan yang sangat kontras dari segi teknologi yang dimanfaatkan oleh beberapa daerah tersebut.
B. Bonus Demografi Jika ditilik dari sejarahnya, mengapa Amerika Serikat dapat mendorong dunia memasuki era revolusi industri 4.0, kita dapat melihat sejarahnya dengan melihat pertumbuhan ekonomi dan demografi kependudukannya di tahun 1980
hingga awal 2000an, waktu dimana dasar-dasar teknologi di revolusi industri 3.0 diletakkan. Salah satu faktor yang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) di 1960-1980 merupakan jumlah usia produktifnya (umur 15-64 tahun), berikut ini merupakan grafik rerata perkembangan usia produktif AS per tahun dari tahun 1960-2024 (Dolan, 2017).
Source: PEW Research. [URL: www.pewresearch.org]
Peningkatan jumlah angkatan kerja di AS pada tahun 1960-1980 menyebabkan AS pertama kali mengalami peningkatan GDP mereka sebesar 3%. Hal ini menjadi cerminan bahwa yang mereka sebut sebagai “demographic dividend” atau lebih umum disebut “bonus demografi” di Indonesia, benar memiliki dampak kepada pertumbuhan ekonomi. Merujuk pada data BPS tahun 2012, struktur penduduk Indonesia didominasi penduduk dewasa dan produktif dari segmen umur 25-64 tahun yang mencapai 52,63 persen, usia anak sekolah dari segmen 10- 24 tahun mencapai 29,39 persen, balita umur 0-5 tahun di kisaran 10,09 persen, dan lansia 65-75 + mencapai 7,16 persen. Dalam hal ini, bonus demografi pada gelombang pertama tahun 2010 hingga 2020 terjadi pada segmen penduduk
produktif 52,63 persen yang menanggung 1 lansia per 100 penduduk maupun 5 balita per 100 penduduk (Jati, 2015).2 Tren dari demografi ini di Indonesia menyulutkan optimisme bahwa tren pertumbuhan ekonomi yang terjadi di AS akibat bonus demografi dapat terjadi di Indonesia. Jati pun menyatakan bahwa tren ini kemungkinan masih akan berlanjut dalam rentang waktu 2020-2030 yang menyatakan bahwa pada rentang waktu tersebut beban ketergantungan usia balita dan usia tua berada pada posisi paling optimal.
C. Generation Gap Sebelumnya kita telah memahami mengenai usia produktif dan kaitannya dengan bonus demografi di Indonesia serta peluangnya dalam menyukseskan ekonomi di era revolusi industri dan perkembangannya. Ada hal yang perlu di kritisi dari tren bonus demografi yakni rentang usia yang berada dalam kelompok usia produktif pada tren ini adalah usia 25-64 tahun. Hal ini menandakan bahwa akan ada beberapa generasi yang tergolong dalam satu kelompok usia produktif antara lain Generasi X, Baby Boomers, Millennials, dan Post Millennials. Perbedaan karakteristik dari beberapa generasi ini berpotensi menimbulkan konflik-konflik yang terjadi di lingkungan pekerjaan secara mikro dan berdampak makro kepada efektivitas dan produktivitas angkatan usia produktif ini (Fry, 2018).
2
Dalam penelitiannya Jati banyak menjelaskan mengenai sejarah dapat terjadinya bonus demografi di Indonesia adalah akibat kesuksesan program KB (Keluarga Berencana). Hal ini menyebabkan jumlah kelompok usia 0-14 tahun relative stagnan namun usia produktif meningkat 2x lipat.
Source: PEW Research. [URL: www.pewresearch.org]
Salah satu potensi konflik yang cukup penting adalah potensi konflik antara 2 generasi yang saling memiliki perbedaan pola asuh yaitu antara Generasi X dan Millennials. Generasi X menurut PEW Research Center merupakan angkatan usia produktif yang lahir di rentang tahun 1965-1980 (per 2017 berumur 37-52 tahun). Kelompok Generasi X merupakan kelompok yang dididik oleh kelompok Baby Boomers (rentang tahun 1946-1964, per 2017 berumur 53-71 tahun). Generasi X dibesarkan di masa-masa gemilangnya revolusi industri 2.0 dan awal bangkitnya revolusi industri 3.0. Hal ini membuat karakteristik mereka unik, mereka dalam satu sisi dididik oleh kelompok generasi yang memiliki otoritarianisme yang tinggi namun hidup di zaman kegemilangan sistem managemen yang baik, membuat mereka memiliki karakteristik keras namun pragmatis (Peopleshift, 2019).3
3
Merupakan presentasi dari Peopleshift mengenai komunikasi antar generasi. Disajikan dalam bentuk powerpoint.
Berbeda dengan generasi Millennials yang dibesarkan oleh Generasi X dan hidup di batasan kemunculan revolusi industri 4.0. Generasi Millennials memiliki karakteristik yang “tech savvy” membuat mereka menjadi generasi yang sering di stereotipkan sebagai “instant gratification generation”. Mereka juga hidup di tengah kemunculan gerakan apresiasi sehingga mereka cenderung haus akan apresiasi (Peopleshift, 2019). Permasalahannya hadir karena berdasarkan PEW Research Center per 2017 setidaknya proporsi angkatan usia kerja antara Generasi X dan Millennials akan sama besarnya. Dari diversifikasi karakter terdapat kemungkinan potensi konflik. Permasalahan ini tentunya tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang. Permasalahan dapat diliat dari karakteristik Generasi X, yang bersikap keras dan cukup menurunkan sifat otoritarianisme mereka dari pendahulu Baby Boomers mereka. Sikap ini kemudian sangat bertolak belakang dengan karakteristik Millennials yang bersifat open minded dan memiliki semangat desentralisasi dan tidak menerima otoritarianisme. Sedangkan permasalahan dapat dilihat dari karakteristik Millennials. Millennials sering di stereotipkan sebagai generasi yang memiliki “attention span” yang rendah. Karena mereka hidup di zaman yang serba instan sehingga mereka juga menghendaki hasil yang instan dari usaha yang panjang. Hal ini membuat mereka tidak sabar dan menyebabkan mereka kehilangan fokus dan ketabahan dalam menjalankan suatu tugas. Buku Spiral Dynamics yang merupakan buah pemikiran dari ahli biopsikososial Clare W. Graves membuat sebuah statement yang relevan dengan permasalahan diatas. “Different times force us to think differently….. It is in our nature to solve problems, but then to create new ones. Human beings love to engage in quests one kind or another” 4 (Beck & Cowan, 1996) sehingga kita dapat melihat dari kacamata baru sekarang bahwa dari sejarahnya manusia selalu menemukan cara berpikir yang lebih kompleks dan solusi yang lebih relevan dari hasil sebuah kekacauan. Kekacauan yang ditimbulkan dari perbedaan generasi umur ini dapat
4
Buku Spiral Dynamics menjelaskan bagaimana sebenarnya perbedaan karakteristik manusia merupakan hal yang wajar dan dapat dipandang sebagai kesempatan baru untuk mencapai proses berpikir dan provlem solving yang lebih kompleks dan relevan.
menjadi titik tolak dimana solusi-solusi untuk masalah yang relevan akan ditemukan. Peran kita sebagai pemuda adalah untuk mencari dan menjalankan solusi tersebut.
Source: Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance, and The Science of Success. Harper Collins.
Nilai pertama dari 7 poin Flywheel Concept yang dikemukakan oleh Jim Collins dalam bukunya Good to Great menjelaskan bahwa untuk mencipatakan perusahan yang Great maka peran pemimpin sangat penting. Ia menyebutkan pemimpin yang dibutuhkan untuk menciptakan perusahaan yang Great adalah Level 5 Leadership. Salah satu karakteristik Level 5 Leadership adalah humility atau kerendah hatian5 (Collins, 2001). Kerendah hatian dapat menjadi solusi atas otoritarianisme yang dipegang erat oleh Generasi X. Latar belakang sejarah yang dialami oleh Generasi X mungkin membentuk mereka menjadi pribadi yang otoritarianis, namun Jim Collins dalam bukunya benar-benar menjelaskan dalam perspektif
penelitian
komprehensif
bahwa
pemimpin-pemimpin
dengan
kerendahan hati ini lah yang berhasil membawa perusahaan yang tadinya jatuh dapat bangkit dan menjadi perusahaan yang Great. Dengan dibangunnya kerendah 5
Buku Good to Great merupakan hasil peneliian analisis harga saham dan karakteristik dari perusahaan-perusahaan selama 30 tahun. Dari hasil penelitian itu dibuat flywheel concept untuk menjelaskan karakteristik yang pasti ditemukan pada perusahaan dengan kategori great.
hatian tersebut maka stereotip Generasi X sebagai generasi yang otoritarianisme menjadi perlahan sirna dan memiliki kemungkinan lebih baik dalam membina hubungan dengan generasi Millennials. Di sisi lain terdapat perspektif yang bisa diperbaiki dari generasi Millennials. Stereotip yang ditanamkan pada generasi Millennials adalah generasi yang memiliki “low attention span” atau fokus yang rendah. Dalam membicarakan visi dan misi millennials memiliki visi yang besar dan juga merupakan generasi yang relatif berani untuk bermimpi karena latar belakang kemunculan generasi ini berada di ambang zaman dimana hampir teknologi yang tak pernah terbayangkan manusia bisa hadir ditengah-tengah mereka. Tingginya ambisi dari Millennials seringkali tidak linear dengan semangat dan staminanya dalam berjuang untuk menggapai ambisi tersebut. Hal ini lah yang umumnya tidak disukai oleh generasi diatasnya. Dalam meraih kesuksesan terdapat 2 variabel yang berhubungan namun merupakan determinan yang berbeda yaitu kontrol diri dan ketabahan. Angela Duckworth dalam bukunya Grit menjelaskan salah satu determinan kesuksesan yang seringkali dilupakan oleh generasi Millennials yaitu ketabahan (Grit). Dalam menyusun sebuah tujuan, umumnya terdapat hierarki dari tujuan-tujuan yang membentuk jaring menu tujuan yang lebih besar. Berikut ilustrasi hierarki tujuan pada umumnya. (Duckworth & Gross, Self control and Grit: Related but Separable Determinants of Success, 2014)
Source: Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance, and The Science of Success. Harper Collins.
Generasi Milennials memiliki kesulitan dalam mengelola sifat ketabahan ini. Dalam suatu waktu ia dapat memasang tujuan yang tinggi dan melupakan bahwa ada tujuan-tujuan kecilnya terlebih dahulu yang harus ia lalui, ia berhasil melalui tujuan kecilnya namun tidak memiliki ketabahan yang cukup untuk terus menanjak dan menggapai tujuan besarnya. Atau di sisi lain tujuannya sederhana dan terletak di hierarki dasar namun ia tidak dapat melihat konteks tujuan besarnya. Inti dari penelitian yang dilakukan oleh Angela Duckworth adalah banyak dari perilaku manusia yang sebenarnya adalah berorientasi pada tujuan. Dalam hal ini konteksnya dapat saja menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan atau menyejahterakan rakyat dengan inovasi. Variabel kontrol diri menjadi cukup sulit dikendalikan apabila terdapat tujuan-tujuan baru ditengah perjalanannya menuju tujuan besarnya, bentuknya dapat menjadi tujuan-tujuan pragmatis dan sebagainya (Duckworth & Gross, Self control and Grit: Related but Separable Determinants of Success, 2014). Disini lah peran ketabahan (Grit) untuk mempertahankan manusia tetap meyatukan perilakunya dengan orientasi tujuan besarnya. (Duckworth, Grit: Passion, Perseverance, and The Science of Success, 2016) 6 Apabila sifat ketabahan ini dapat dipupuk dalam diri generasi Millennials maka sebenarnya perpaduan antara kerendahan hati dan semi otoritarianisme dicampur dengan kebijakan Generasi X yang dipadu dengan semangat akselerasi dan tech savvy dari Generasi Millennials merupakan perpaduan yang tepat untuk memanfaatkan dan mengolah kesempatan bonus demografi untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
D. Pemuda dan Literasi Melihat celah optimisme dan menjaga optimisme tersebut dalam balutan lingkungan pesimisme menjadi sangat penting untuk para pemuda. Selain dengan menumbuhkan kerendahan hati dan jiwa Level 5 Leadership pada Generasi X dan juga memupuk ketabahan dalam Generasi Millennials tentunya terdapat satu hal
6
Kumpulan ide penelitan dari Angela Ducworth mengenai Grit disusun menjadi sebuah buku bernama Grit: The Power of Passion + Perseverance
lagi yang amat penting dilakukan oleh pemuda untuk memaksimalkan potensi bonus demografi yakni literasi. Optimisme yang ingin dibangun tentunya tidak akan tampak apabila literasi dari para pemuda kurang memadai. Tidak diketahuinya wawasan mengenai kelemahan dari masing-masing generasi, kurang tajamnya analisis permasalahan yang didepan mata perbedaan generasi antara angkatan usia produktif, serta kurang tajamnya pemahaman mengani kemungkinan dan tantangan yang akan dihadapi akan menyebabkan pesimisme terus berkembang dan optimisme pudar. Hal ini dapat disiasati dengan meningkatkan literasi dan wawasan masyarakat Indonesia. Kenapa kita berada di tengah lingkungan yang seolah amat pesimis dengan keadaan sekarang? Hal ini dikarenakan lemahnya literasi dan tingkat wawasan masyarakat Indonesia. Banyak sekali data yang dapat menunjukan rendahnya literasi di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah hasil uji International Results in Reading pada tahun 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat 45 dari 48 negara dengan kemampuan membaca. Di tahun 2012 dalam Program for International Student Assesment menempatkan Indonesia dalam peringkat 64 dari 65 negara dengan skor 396 (dari rata-rata 496) (Damayantie, 2018). Tentunya hal ini cukup membuktikan bahwa literasi di Indonesia masih belum cukup. Maka dari itu salah satu upaya selain meningkatkan sifat tabah dalam diri para pemuda Generasi Millennials, meningkatkan kemampuan membaca dan budaya literasinya juga menjadi sangat penting. Hal ini tentunya untuk menjaga stabilitas optimisme yang telah penyusun jabarkan dalam makalah ini. Harapannya dengan meningkatnya literasi maka penelitian dan kemajuan berpikir masyarakat Indonesia semakin membaik dan dapat menyintesis optimismenya secara mandiri.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dengan disusunnya makalah ini harapannya kita tidak lagi melihat revolusi industri 4.0 hanya sebagai potensi dan menjadi latah untuk menggunakan terminologi ini. Setelah pembahasan mendalam mengenai sejarah-sejarah revolusi industri harapannya pembaca dapat memahami bahwa dalam setiap revolusi industri selalu dibersamai ancaman-ancaman baru bagi umat manusia. Sehingga kita dapat memahami konteks cara berpikir menghadapi revolusi industri dengan lebih tepat. Bonus demografi adalah struktur penduduk dalam suatu negara yang didominasi penduduk dewasa dan produktif dari segmen umur 25-64 tahun.. Demografi yang perlahan menumpuk pada usia produktif dapat dipandang sebagai kesempatan ataupun ancaman. Generation gap atau jarak antar generasi dengan segala perbedaan karakteristiknya merupakan sebuah potensi apabila diolah dengan tepat. Salah satu langkah untuk mengoptimalkan potensi bonus demografi adalah dengan elengkapi variabel determinan kesuksesan generasi produktif dalam mencapai tujuan adalah dengan menyeimbangkan kontrol diri dan ketabahan. Sifat sifat tersebut harus juga ditunjang dengan kerendah hatian untuk dimiliki oleh utamanya generasi usia produktif.
B. Saran Penyusun di akhir juga memberikan saran sebagai solusi bagi pemuda dalam menjawab tantangan bonus demografi tersebut, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk dapat bermanfaat untuk masyarakat, diantaranya adalah: 1. Memahami konteks zaman yang sedang kita tinggal didalamnya. 2. Kritis dalam menganalisis solusi dari permasalahannya. 3. Meningkatkan kapasitas wawasan dan literasi kita dan masyarakat agar pemikiran-pemikiran tajam lahir ditengah masyarakat dan masyarakat dapat lebih siap menghadapi tantangan zaman yang akan datang.
Dengan disajikannya data dan pemikiran dalam makalah ini harapannya kita dapat menjadi lebih kritis dalam menilai apa tantangan yang sedang dihadapi di depan mata. Tentu tiada gading yang tak retak. Maka makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Segala masukan dan perbaikan dalam hal meluruskan pemikiran atau klarifikasi konteks data sangat diperlukan untuk menambah kekayaan ide yang terdapat pada makalah ini. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA Beck, D. E., & Cowan, C. C. (1996). Spiral Dynamics, mastering values, leadership, and change. Cornwall : Blackwell Publishing . Collins, J. (2001). Good to Great. Harper Business. Damayantie, A. R. (2018). Literasi dari Era ke Era. Journal UPGRIS, 1-10. Dolan, E. (2017, January 23). Demographic Dividends Of The Past And Headwinds That Will Shape US Growth In The Trump Era. Retrieved from Seeking Alpha: https://seekingalpha.com/article/4038714-demographic-dividendspast-headwinds-will-shape-us-growth-trump-era Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance, and The Science of Success. Harper Collins. Duckworth, A., & Gross, J. J. (2014). Self control and Grit: Related but Separable Determinants of Success. Association for Psychological Science, 1-7. Fry, R. (2018, April 11). Millennials are the largest generation in the U.S. labor force.
Retrieved
from
Pew
Research
Center:
http://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/04/11/millennials-largestgeneration-us-labor-force/ Gray, A. (2016, January 16). The 10 skills you need to thrive in the Fourth Industrial Revolution.
Retrieved
from
World
Economic
Forum:
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-10-skills-you-need-tothrive-in-the-fourth-industrial-revolution/ Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of mankind. London: Harvill Secker. Jati, W. R. (2015). BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI: JENDELA PELUANG ATAU JENDELA BENCANA DI INDONESIA? Populasi, 1-19.
Marr, B. (2018, September 2). What is Industry 4.0? Here's A Super Easy Explanation
For
Anyone.
Retrieved
from
Forbes:
https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/09/02/what-is-industry-40-heres-a-super-easy-explanation-for-anyone/#2bd83d4c9788 Peopleshift. (2019, February). Intergenerational Communication. -. Jakarta, Indonesia.