LAPORAN PENDAHULUAN DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)
A. DEFINISI DHF adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengan cirri demam dan manifestasi perdarahan ( Pusdiknakes. Dep Kes RI, Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga, 1992) Dengue Haemoragic Fever adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus dan ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti (Ngastiyah, 1997) Dengue adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus (Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 2 FKUI, 1982) Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa DHF adalah suatu penyakit infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegypti) dan Arbovirus (Anthropoda virus) yang ditandai dengan adanya demam 5-7 hari dan tidak atau disertai perdarahan atau renjatan, sehingga dapat meimbulkan kematian jika tidak ditanggulangi sedini mungkin. B. ETIOLOGI Virus dengue Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel Aedes albopictus (Soedarto, 1990; 36) Vektor Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitan nyamuk. Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan air bersih yang terdapat bejana-bejana yang terdapat di dalam rumah maupun yang terdapat di luar rumah, di lubanglubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami
lainnya. Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari (Soedarto, 1990 ; 37). C. PATOFISIOLOGI Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah virernia yang menyebabkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekia), hipertermi dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran limfe (spleromegali), peningkatan permiabilitas dinding
kafiler
mengakibatkan
berkurangnya
volume
plasma,
terjadi
hipotensi,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta effuse plevro dan renjatan syok. Haemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit lebih dari 20 % menunjukkan atau mengakibatkan adanya kebocoran plasma (perembesan) plasma (plasma kakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma. Tingginya nilai hematokrit penderita DHF disebabkan karena : 1. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstraselular melalui kafiler yang rusak dengan mengakibatkan menurunnya plasma dan meningkatnya nilai hemotokrit bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotekal dinding pembuluh darah. 2. Adanya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu dalam rongga peritoneum pleura pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse
PATHWAY Virus Dengue
Viremia
Hepatomega li
Hiperthermi
Permebilitas kapiler meningkat
Depresi Sum – sum tulang Manifestasi
-
Anoreksia Muntah
Permebilitas kapiler meningkat
perdarahan
Kehilangan plasma Resti Gangguan Nutrisi kurang dari
Hipovolemia
kebutuhan
Resiko tjd perdarahan Resiko syok hipovolemia
Syok
Kematian
D. TANDA DAN GEJALA 1. Suhu tubuh meningkat tiba-tiba / demam tinggi selama 2-7 hari 2.
Terjadi perarahan di bawah kulit seperti peteki, ekimosis, hematoma
3.
Epiktasis, hematemesis, melena dan hematuria
4.
Muntah, mual tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi
5.
Nyeri otot, tulang sendi, abdomen dan ulu hati
6.
Sakit kepala
7.
Pembengkakan sekitar mata
Efusi pleura Ascites Hemokonsntrasi
8.
Pembesaran hati, limfe dan kelenjar getah bening
9.
Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, nadi cepat dan lemah)
E. KLASIFIKASI Berdasarkan patokan dari WHO (1975) DHF dibagi menjadi 4 derajat : 1.
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas, hanya terdapat manifestasi perdarahan. Uji toniket positif
2.
Derajat II Seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit disertai perdarahan lain.
3.
Derajat III Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (hypotensi), gelisah, cianosis sekitar mulut dan ujung-ujung jari (tanda renjatan) disertai kulit yang dingin dan lembab.
4.
Derajat IV Renjatan Berat (DDS) dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat
diukur. F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada pemeriksaan Laboratorium didapat : Haemokonsentrasi (Hematokrit meningkat 20 % atau lebih) 1.
Trombositoperia (100.000 / mm3 atau kurang)
2.
HB meningkat > 20 %
3.
Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukan hypoproteinemia dan hipokloremia
4.
Lekosit
5.
Diagnosis Serologis. Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu: 1) Uji hemaglutinasi inhibisi Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis. 2) Uji komplemen Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin. 4) IgM Elisa Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI. 5) IgG Elisa Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.
6.
Pada pemeriksaan USG didapat Hepatomegali dan splenomegali
7.
Rongent Thorax terdapat Effusi pleura
8.
Uji Torniquet (+)
G. PENATALAKSANAAN 1. Medik a. DHF tanpa Renjatan
Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.
Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat
b. DHF dengan Renjatan
Pasang infus RL
Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30 ml/ kg BB )
Tranfusi jika Hb dan Ht turun
2. Keperawatan
a. Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam
Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
Observasi intik output
Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter per hari, beri kompres
Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
b. Resiko Perdarahan
Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
Catat banyak, warna dari perdarahan
Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal
c. Peningkatan suhu tubuh
Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodic
Beri minum banyak
Berikan kompres
3. Penatalaksanaan DHF sebaiknya berdasarkan pada berat ringannya penyakit yang ditemukan, antar lain: 1) Kasus DHF yang diperkenankan berobat jalan Penderita diperkenankan berobat jalan jika hanya mengeluh panas, tetapi keinginan makan dan minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10-15 mg/kgBB setiap 3-4 jam diulang jika gejala panas masih nyata di atas 38,50C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DHF yang berobat jalan ini adalah kasus DHF yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya. Apabila penderita DHF ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya dianjurkan untuk dirawat inap. 2) Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3. Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam. Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti. Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 203 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut : (ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema. Kebutuhan Cairan Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang Berat waktu masuk (kg)
Jumlah cairan ml/kg BB per hari
<7
220
7 – 11
165
12 – 18
132
> 18
88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut. Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan Berat badan (kg)
Jumlah cairan (ml)
10
100 per kg BB
10 – 20
1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20
1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)
3) Kasus DBD derajat III & IV “Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat. Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi. Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tandatanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak. Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan. Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik. H. KOMPLIKASI Ensefalopati Dengue. Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID). Gagal Ginjal Akut. Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Edema Paru. Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan,
biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada. Komplikasi iatrogenik. Komplikasi ini terjadi akibat infeksi pada tubuh pasien yang diakibatkan karena keteledoran tenaga kesehatan dalam teknik steril, sehingga menimbulkan infeksi. Perawatan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah komplikasi iatrogenik dalm pengobatan DHF. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka dan dehidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat menyebabkan sepsis gram negatif yang disertai dengan demam, syok, dan perdarahan berat. Perdarahan Luas Pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit, terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat dan luas, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Syok dan penurunan kesadaran. Dimulai dengan penurunan suhu tubuh secara tiba-tiba, akral dingin, nadi lemah, tekanan darah sangat rendah, dan kebiruan pada bibir akan menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran kemudian akan menjadi syok atau renjatan. Efusi Pleura. Penumpukan cairan di daerah paru-paru dapat mengakibatkan terkumpulnya cairan di rongga pleura sehingga dapat menimbulkan efusi pleura.
I. KONSEP ASKEP Pengkajian Pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat berguna untuk menentukan masalah keperawatan yang muncul pada pasien. Konsep keperawatan anak pada klien DHF menurut Ngastiyah (2006) yaitu :
a. Pengkajian fokus 1)
Identitas pasien
2)
Keluhan utama
3)
Riwayat penyakit sekarang
4)
Riwayat penyakit dahulu Riwayat tumbuh kembang, penyakit yang pernah diderita, apakah pernah dirawat sebelumnya.
5)
Riwayat penyakit keluarga Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam, apakah ada riwayat penyakit keturunan, kardiovaskuler, metabolik, dan sebagainya.
6)
Riwayat psikososial Bagaimana riwayat imunisasi, bagaimana pengetahuan keluarga mengenai demam serta penanganannya.
b. Data subyektif Merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan antara lain : 1) Panas atau demam 2) Sakit kepala 3) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan. 4) Lemah
5) Nyeri ulu hati, otot dan sendi 6) Konstipasi c. Data obyektif Merupakan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat pada keadaan pasien. Data obyektif yang sering ditemukan pada penderita DHF antara lain : 1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan 2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor 3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena 4) Hiperemia pada tenggorokan 5) Nyeri tekan pada epigastrik 6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa 7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Diagnosa Keperawatan 1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (viremia) 2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan di vaskuler 3. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan (penurunan trombosit) 4. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor pembekuan darah
Rencana Dan Intervensi Keperawatan No Diagnosa Keperawatan 1 Hipertermia Dihubungkan dengan: - Anesthesia - Penurunan perspirasi - Dehidrasi - Terpapar lingkungan yang panas - Peningkatan metabolic rate - Penyakit - Pengobatan - Trauma Aktivitas yang berat
NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan ....x24 jam, suhu tubuh kembali dalam batas normal Kriteria hasil: No 1
Kriteria Temperature :
Score 5
(36,5 – 37,5 °c) 2
Tidak pusing
terdapat 5
3
Tidak perubahan kulit
terdapat 5 warna
4
Tidak menggigil
5
Nadi :(n : 60-100 5 x/mnt)
6
Tekanan darah :
5
5
(100-140/6090mmhg) 7
Respirasi : 24x/menit)
8
Hidrasi adekuat
Keterangan :
(18- 5 5
NIC Monitoring: 1. Monitor temperature pasien secara teratur 2. Monitor kehilangan cairan 3. Monitor hematokrit 4. Monitor intake and output 5. Monitor elektrolit yang tidak normal Mandiri: 1. Mengkaji saat timbulnya demam 2. Berikan kompres 3. Anjurkan klien memakai pakaian dari bahan yang tipis/menyerap keringat Pendidikan kesehatan: 1. Jelaskan tanda-tanda hipertermia, seperti kulit keerahan, kelemahan, sakit kepala/bingung, nafsu makan menurun 2. Ajari pentingnya mempertahankan masukan cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi 3. Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh. 4. Berikan penjelasan pada klien/keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam Kolaborasi: 1. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai dengan anjuran 2. Berikan terapi intravena sesuai anjuran
1. 2. 3. 4. 5.
No 2
Diagnosa Keperawatan Defisit volume cairan berhubungan dengan: - Kehilangan cairan tubuh dalam jumlah banyak - Kegagalan fungsi regulasi
Ekstrim Berat Sedang Ringan Tidak
NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x24 jam, kelebihan volume cairan dapat berkurang atau teratasi. Kriteria hasil: No Kriteria Score 1 Temperature : 5 (36,5 – 37,5 °c) 2 Perubahan status mental (-) 5 3 Nadi dalam batas normal : 5 60-100 mmHg 4 RR: 12-20 x/mnt 5 5 Tekanan darah : 5 (100-140/60-90mmhg) 6 Turgor kulit 5 7 Produksi urine 0,5-1 5 ml/Kg BB/jam 8 Konsistensi urine normal 5 (kuning jernih, tidak ada endapan) 9 CRT < 2s 5 10 Mukosa membrane dan 5 kulit kering (-) 11 Hematokrit 35%-50% 5
NIC Monitoring: 1. Observasi status mental 2. Monitor imput serta output urine dan catat adanya perubahan jumlah, warna dan konsentrasi urine 3. Monitor turgor kulit, membrane mukosa dan perasaan haus klien. 4. Monitor adanya tanda dehidrasi 5. Ukur tanda-tanda vital dan CVP 6. Ukur CRT, kondisi dan suhu kulit 7. Timbang berat badan sesuai indikasi 8. Kaji status mental Mandiri: 1. Memasang dan mempertahankan akses vena perifer (infus) 2. Berikan perawatan kulit pada bagian penonjolan tulang. Pendidikan kesehatan: 1. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan. 2. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake nutrisi untuk meningkatkan kadar albumin darah Kolaborasi:
12 13 14
No
3
Diagnosa Keperawatan 3 Resiko shock berhubungan dengan Faktor resiko: 1. Hipovolemi 2. Hipoksemia 3. Hipoksia 4. Infeksi 5. Sepsis Sistemic Inflamatory Response Syndrome
Penurunan berat badan secara signifikan (-) Rasa haus berlebihan (-) Kelemahan (-)
5 5 5
NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam ...x24 jam klien terhindar dari tanda dan gejala shock Kriteria hasil No Kriteria Score 1 Nadi dalam batas normal : 5 60-100 mmHg 2 RR: 12-20 x/mnt 5 3 Temperature : 5 (36,5 – 37,5 °c) 4 Tekanan darah : 5 (100-140/60-90mmhg) 5 SaO2 >95% 5 6 pH 7,35-7,45 5 7 PaO2 80-100 mmHg 5 8 PaCO2 34-45 mmHg 5 9 CRT < 2s 5 10 BUN (10-50) 5 11 Creatinin (0,7-1,5) 5 12 HCO3 21-28 mmol/l 5 Keterangan : 1. Tidak pernah menunjukkan
1. Berikan terapi cairan sesuai instruksi dokter 2. Berikan transfuse darah sesuai hasil kolaborasi dengan medis 3. Berikan terapi farmakologi untuk meningkatkan jumlah urine output 4. Kolaborasi pemeriksaan kadar elektrolit, BUN, creatinin dan kadar albumin. NIC Monitoring 1. Observasi TTV, tingkat kesadaran, dan urin output 2. Monitor oksimetri 3. Observasi parameter hemodinamik (CVP, MAP) 4. Observasi adanya gejala gagal nafas (peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2) 5. Monitor fungsi ginjal Mandiri 1. Memberikan posisi untuk mempertahankan perfusi yang maksimal 2. Mempertahankan kepatenan jalan nafas Pendidikan Kesehatan 1. Menganjurkan untuk pembatasan aktivitas Kolaborasi 1. Melakukan pemeriksaan BGA 2. Memberikan O2 3. Memberikan cairan IV
2. 3. 4. 5.
No 4
Diagosa Keperawatan Resiko perdarahan Faktor resiko: 1. DIC (disseminated intravaskular coagulopaty) 2. Gangguan koagulopati (trombositopenia)
Jarang menunjukkan Kadang-kadang menunjukkan Sering menunjukkan Selalu menunjukkan
NOC Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam perdarahan tidak terjadi Kriteria hasil: No Kriteria Score 1 Nadi dalam batas normal : 5 60-100 mmHg 2 RR: 12-20 x/mnt 5 3 Temperature : 5 (36,5 – 37,5 °c)
4. Memberikan obat vasopresor, antiaritmia, vasopresin, trombolitik, cairan kristaloid, antiinflamatory agent
NIC Monitoring Observasi adanya perdarahan Monitor dan catat hemoglobin, hematokrit Monitor nilai PPT dan APPT Observasi TTV Mandiri Memasang bedrail untuk mencegah cedera
4
Tekanan darah : (100-140/60-90mmhg) 5 Perdarahan (-) 6 Hb 11-16,5 gr/dl 7 Hematokrit 35-50% 8 PPT 11,2s 9 APPT 28 Keterangan : 1. Tidak pernah menunjukkan 2. Jarang menunjukkan 3. Kadang-kadang menunjukkan 4. Sering menunjukkan 5. Selalu menunjukkan
5 5 5 5 5 5
Melakukan oral higine dengan sikat gigi yang lembut Pendidikan kesehatan Menganjurkan untuk bedrest Menganjurkan untuk meningkatkan nutrisi yang banyak mengandung vitamin K Meminta keluarga untuk segera melaporkan adanya perdarahan Menganjurkan klien menggunakan alas kaki Menganjurkan klien untuk menghindari pengguanaan aspirin dan antikoagulan Kolaborasi Memasukkan obat antasida Kolaborasi dalam pemberian PRC, FFP
DAFTAR PUSTAKA 1. Staf Pengajar FKUI. 1985. Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Jakarta 2. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : CGC 3. Marsjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II Jilid I. Jakarta : Media Aesculopius 4.
Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Panduan Untuk Perencanaan dan Pendomentasian Perawatan Pasien Edisi III. DiIndonesiakan oleh made Kariasa dan Ni made Sumarwati. Jakarta : CGC
5. Pusdiknakes Dep Kes RI. Asuhan Kesehatan Anak Dalam konteks Keluarga. 1992
n
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PRAKTIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DI RUMAH SAKIT NGUDI WALUYO WLINGI TAHUN AKADEMIK 2018/2019
Ratih Rahmania Khoirun Nisa S.Tr Keperawatan IIB 1601470063
KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG JANUARI 2019