LAPORAN KASUS PENYAKIT GINJAL KRONIS
Pembimbing : 1. dr. Esthi Wijayanti Letkol Ckm (K) NRP. 1920010141263 2. dr. Slamet Suprihadi
PNS NIP. 197106042007121001
Disusun Oleh : dr. Mochamad Rifqie Nugraha Kamal
RST DKT TK. III WIJAYA KUSUMA JAWA TENGAH PERIODE 2018 – 2019
BORANG PORTOFOLIO KASUS PENYAKIT GINJAL KRONIS Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh surat tanda selesai internship
Pendamping I
Pendamping II
dr. Esthi Wijayanti
dr. Slamet Suprihadi
Letkol Ckm (K)
PNS
NRP. 1920010141263
NIP. 197106042007121001
Penyusun
dr. Marlina Jaya Diputri Dokter Internsip
2
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................2 DAFTAR ISI....................................................................................................3 BAB I LAPORAN KASUS I.1 IDENTITAS PASIEN........................................................................4 I.2 ANAMNESIS.....................................................................................4 I.3 PEMERIKSAAN FISIK....................................................................6 I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG.......................................................8 I.5 RESUME...........................................................................................8 I.6 DIAGNOSIS SEMENTARA.............................................................8 I.7 ASSESMENT.....................................................................................8 I.8 PLANNING.......................................................................................9 BAB II LANDASAN TEORI............................................................................10 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................21
3
BAB I LAPORAN PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. E
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 44 tahun
Alamat
: Kedungbanteng 4/2
Pendidikan
: S1
Pekerjaan
: Karyawan
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Masuk Rumah Sakit : 8 Maret 2019 No.RM
: 350217
II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan pada tanggal : 28 Maret 2018 pukul 9.00 di Bangsal Arimbi RSWK Purwokerto KELUHAN UTAMA Sesak 2 hari yang lalu RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien datang ke IGD RSWK Purwokerto dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas sudah terjadi mulai 2 hari yang lalu. Sesak terus-menerus, dan meningkat malam mini hingga pasien tidak kuat dan datang ke IGD. sesak berkurang jika pasien istirahaat. Sesak meningkat jika pasien aktifitas. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU a. Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit gagal ginjlal kronis, selama 1 tahun terakhir rutin menjalani hemodialysis setiap hari senin-kamis. Pasien post hemodialysis kemarin hari senin. Selain itu, pasien mempunyai riwayat
4
hipertensi sejak 10 tahun lebih, dan tidak terkontrol. Mulai rutin kontrol setelah terkena gagl ginjal kronis. b. Riwayat penyakit diabetes mellitus dan alergi obat disangkal. ANAMNESIS SISTEM Kepala
: lemas (-), nyeri kepala (-), demam (-)
Mata
: gangguan penglihatan (-), mata berair (-)
Telinga
: gangguan pendengaran(-),telinga berdenging(-)
Hidung
: pilek (-), mimisan (-), bersin (-)
Mulut
: sakit gigi (-), sariawan (-)
Tenggorok
: nyeri telan (-), sulit menelan (-)
Leher
: pembesaran gondok (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung
: nyeri dada (-), berdebar (-)
Paru
: batuk (+), sesak nafas (+), hidung tersumbat(-), batuk darah (-)
Gastrointestinal
: nyeri perut (-), mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), BAB t.a.k
Saluran kemih
: BAK nyeri (-), sulit BAK (-)
Neurologik
: kejang (-)
Psikologik
: cemas (-), depresi (-)
Kulit
: gatal (-), ruam (-), kelainan kuku (-)
Muskuloskletal
: pegal (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-),nyeri tulang (-), riwayat gout (-)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA a. Keluhan serupa dalam keluarga tidak ada. b. Riwayat darah tinggi ada di keluarga. c. Riwayat kencing manis dan alergi obat maupun makanan pada keluarga disangkal. RIWAYAT PRIBADI Pasien merupakan seorang ibu dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah. Pasien tinggal dirumah dengan suami dan kedua anaknya. Rumah pasien terletak di daerah padat penduduk. 5
RESUME ANAMNESIS Pada pasien ditemukan: a. Sesak 2 hari b. Mual + muntah -
c. Lemas, tidak bisa tidur d. Riwayat CKD, HD rutin Senin kamis e. Riwayat HT III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN) Dilakukan pada tanggal
: 26 Maret 2018 pukul 20.30 WIB
a. Tekanan darah
: 157/94 mmHg
b. Suhu tubuh
: 37,3˚C
c. Frekuensi denyut nadi : 84 kali/menit d. Frekuensi nafas
: 28 kali/menit
IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK : 1. KEADAAN UMUM a. Keadaan umum
: tampak sesak, posisi duduk menahan sesak
b. Kesadaran
: compos mentis, E4V5M6
c. Tinggi badan
: 154 cm
d. Berat badan
: 51 kg
e. Status gizi
: kesan gizi baik (IMT 20.1)
2. PEMERIKSAAN KEPALA : Normochepal, KA (-/-), SI (-/-) 3. PEMERIKSAAN LEHER a. Inspeksi
: leher tampak simetris, masa (-), pembesaran limfonodi(-), jaringan parut(-)
b. Palpasi
: pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan limfonodi (-), limfadenopati (-)
c. Pemeriksaan trakea
: deviasi trakea (-)
d. Pemeriksaan kel. Tiroid
: pembesaran kelenjar tiroid (-)
e. Pemeriksaan tekanan
: JVP 5+2.
vena sentral
6
4. PEMERIKSAAN THORAKS a. Jantung
- Inspeksi : dada simetris, dinding thoraks lebih tinggi daripada dinding abdomen, tidak ada deformitas dinding thoraks, ictus cordis tidak terlihat - Palpasi : ictus cordis teraba di SIC 5 midclavicula sinistra, thrill (-) - Perkusi : kesan batas jantung normal - Auskultasi : bunyi jantung 1-2 reguler, bising (-)
b. Paru-paru
- Inspeksi : gerak nafas simetris, retraksi dinding dada (+) - Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), pengembangan paru simetris, fokal fremitus kanan dan kiri sama - Perkusi : sonor di seluruh lapang paru - Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, ronki basah basal +/+, wheezing -/-
5. PEMERIKSAAN ABDOMEN : a. Inspeksi
: supel, sikatriks(-), striae(-), dinding abdomen datar,dinding abdomen simetris,pembesaran organ(-)
b. Auskultasi
: bising usus (+) 8 kali/menit
c. Perkusi
: suara timpani di empat regio abdomen, pembesaran hepar dan lien (-)
d. Palpasi
: NT (-) epigastrium
e. Pemeriksaan ren
: ginjal tidak teraba saat pemeriksaan, nyeri ketok ginjal (-)
f. Pemeriksaan hepar
: hepar tidak teraba saat pemeriksaan, kesan hepatomegali (-)
g. Pemeriksaan lien
: perkusi pada linea axilaris anterior timpani 7
ketika pasien menarik nafas dalam : tes undulasi (-) h. Pemeriksaan asites
Tes redup berpindah (-)
6. PEMERIKSAAN EKSTREMITAS Ekstremitas atas
: edema (-), kekuatan motorik 5
Ekstremitas bawah
: edema (-), kekuatan motorik 5
V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK : a. Hipertensi, febris, nadi normal regular kuat angkat, nafas sesak. b. Leher, jantung dan ekstremitas kesan normal c. Kepala : cuping hidung (+) d. Paru : Ronkhi baasah basal (+/+) e. Abdomen : Bising usus normal, nyeri tekan epigastrium. VI.
DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK) A. Masalah aktif : Sesak 2 hari Lemas Nafsu makan berkurang Sulit tidur Mual, Batuk B. Masalah pasif : Riwayat keluarga hipertensi
VII.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING a. Observasi dyspnea susp penyakit ginjal kronis b. Hipertensi
VIII.
RENCANA 8
A. TINDAKAN TERAPI : Farmakologi : IGD O2 nasal kanul 2Liter permenit IVFD RL 8 tpm Inj. Ranitidin 2x1 amp Inj. Furosemid 3x1 amp Bangsal IVFD RL 8 tpm Inj. Furosemid 3x1 amp PO ambroxol 3x1 PO codein 2x1 PO parasetamol 3x1 PO cetirizine 1x1 PO callos 2x1 PO hemafort 2x1 PO ranitidin 2x1 Non farmakologi : Mondok di bangsal B. TINDAKAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah C. HASIL TINDAKAN DIAGNOSTIK /PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Darah rutin pada tanggal 26 Maret 2018 Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit
Hasil 10.4 g/dl L 13.79 x 103/µl H 43.1 % 4,8 x 106/µl 252 x103/µl L
Nilai rujukan 13,2-17,3 3,8-10,6 40-52 4,40-5,90 150-400
D. TINDAKAN LANJUT Follow up pasien secara berkala
9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) atau dalam bahasa Indonesia disebut Penyakit Ginjal Kronis. CKD didefinisikan sebagai suatu kelainan struktural ataupun fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal tiga bulan dapat berupa (Tanto et al, 2014): 1) Kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan lab (albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit), pemeriksaan histologis, pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal; atau 2) Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit. Pada keadaan dimana tidak didapatkan kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG > 60 ml/menit/1,73m2 tidak termasuk kriteria penyakit gagal ginjal kronis (Suwitra, 2009). CKD diklasifikasi dalam beberapa macam yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 1. Klasifikasi CKD (Tanto et al, 2014) Derajat
Deskripsi
LFG (ml/mnt/1,73m2)
1
Normal atau tinggi
≥90
2
Penurunan ringan
60-89
3
Penurunan sedang
30-59
4
Penurunan berat
15-29
5
ESRD*
<15
* ESRD : (End Stage Renal Disease / Gagal ginjal)
2.2.
ETIOLOGI
Penyebab CKD sangat beragam. Berikut ini merupakan etiologi CKD : (Arora, 2015; Tanto, 2014) : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Diabetes melitus yang berakibat nefropati diabetikum Hipertensi Gangguan vaskuler (Alport syndrome, Nefropati IgA) Penyakit kistik renal Konsumsi obat (OAINS, siklosporin) Penyakit tubulointerstitial (glomerulonefritis, sarkoidosis) 10
7) Obstruksi saluran urin (batu saluran kemih, tumor) 8) Defek kongenital
2.3.
EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih. Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes Mellitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), dan penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007). 2.4.
PATOGENESIS
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005). Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al, 2005). Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak 11
terjadi. Penderita sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005). Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005). Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005). Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat, menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa. Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005). Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al, 2005). Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu (McCance dan Sue, 2006): 1. Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
12
2. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini. 3. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem organ lain. 4. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.
13
Jumlah Nefron ↓ Hiperfiltrasi Adaptative Glomerolus ↑ Permeabilitas Glomerolus
↑ RAAS
HT
↑ Filtrasi Makromolekul dan Protein Protenuria
↑ SNGFR
Inflamasi nefrotoksik atau remodelling
Fibrosis tubulointerstisial dan focal glomerulosclerosis
↓ GFR
↓ EPO
Anemia
Uremia
Disfungsi Platelet ↑ Tendensi Perdarahan
2.5.
↓ Urine Output
Gangguan ekskresi Na, Air dan K Edema perifer dan pulmo
Komplikasi Sistemik
Gangguan kadar serum PO4, vit D, PTH Hiperparathyroidism sekunder
DIAGNOSIS
Diagnosis CKD dilihat dari aspek klinis, laboratorium, radiologi, dan biopsi ginjal sebagai berikut (Suwitra, 2009) : 1) Gambaran Klinis Secara klinis, gambaran klinis CKD sesuai dengan penyakit yang mendasarinya terlebih dahulu seperti diabetes melitus, hipertensi, infeksi 14
traktus urinarius, SLE dan sebagainya. Pada pasien CKD dapat pula ditemukan sindrom uremia, seperti lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, kejang, sampai koma. Tanda gejala komplikasi dapat pula ditemukan seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit. 2) Gambaran Laboratoris Temuan laboratorium yang dapat ditemukan tentu bersesuaian dengan penyakit yang mendasarinya. Selain itu, dapat ditemukan pula peningkatan kadar ureum, kreatinin, dan penurunan LFG dengan penghitungan rumus Kockroft-Gault. Secara biokimiawi, dapat ditemukan kelainan berupa rendahnya kadar Hb, peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik. Pada urinalisis dapat ditemukan kelainan berupa proteinuria, hematuria, dan leukosuria. 3) Gambaran Radiologis Batu radioopaque dapat ditemukan melalui foto polos abdomen pada pasien CKD. Ultrasonografi abdomen dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, penipisan korteks, hidronefrosis, batu pada ginjal, kista, massa, maupun kalsifikasi. 4) Biopsi dan Histopatologi Renal Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui etiologi, terapi, prognosis, dan evaluasi terapi. Namun, bila ginjal mengecil, polikistik ginjal, hipertensi tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan
darah,
gagal
napas,
dan
obesitas,
pemeriksaan
ini
dikontraindikasikan. 2.6. TANDA DAN GEJALA Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007). a. Kelainan hemopoeisis
15
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2007). Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum),
mencari
sumber
perdarahan,
morfologi
eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007; Suwitra, 2007). Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007). b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan 16
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007). e. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. 2.7. FARMAKOTERAPI Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002): 1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2006). 2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain 17
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). 3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006): a. Pembatasan asupan protein Pembatasan mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006). b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait 18
dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE
inhibitor
melalui
berbagai
studi
terbukti
dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006). 4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006). 5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006): a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89 ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia 6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002). 2.8.
KOMPLIKASI
a. Hiperkalemia 19
Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih. b. Perikarditis Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. c. Hipertensi Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron. d. Anemia Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah. e. Penyakit lainnya Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium. 2.9.
PROGNOSIS
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Medscape, 2011).
DAFTAR PUSTAKA Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease. US Nephrology: 13-7. 20
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. New York: National Kidney Foundation. Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC. Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney International: 67; 2089-2100. Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81. McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. hlm 16870. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC. Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 – 33 ; 766 – 71. Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.
21