Lp-b24 Sely.docx

  • Uploaded by: novi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp-b24 Sely.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,348
  • Pages: 20
LAPORAN PENDAHULUAN B24 I. KONSEP MEDIS A. DEFINISI HIV Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam

family lintavirus, retrovirus

memiliki kemampuan

menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007). Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ). HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan

sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007). AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006). AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz, 2005). AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut (AVERT, 2011). B. ETIOLOGI Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk

replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005). C. PATOFISIOLOGI Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.

Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS. D. TANDA DAN GEJALA Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi): 1. Gejala mayor: a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis e. Demensia/ HIV ensefalopati 2. Gejala minor: a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalisata c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d. Kandidias orofaringeal e. Herpes simpleks kronis progresif f. Limfadenopati generalisata g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita h. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase. 1.

Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

2.

Fase lanjut Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

3.

Fase akhir Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor. Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat

dibagikan mengikut fasenya. 1.

Fase akut Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat

respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri. 2.

Fase asimptomatik Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.

3.

Fase simptomatik Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

E. CARA PENULARAN Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu: kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) (Zein, 2006). 1. Seksual Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan lakilaki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. 2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV. 3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.

4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan. 5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV 6. Penularan dari ibu ke anak 7. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI. 8. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium. Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci, 2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci, 2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain: 1. Kontak fisik a. Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular. b. Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui hal-hal sehari-hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan seseorang tertular. 2. Memakai milik penderita 3. Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular. 4. mengigigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya. 5. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

F.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat

tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski, 2010). Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzymelinked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western blot (MacCann, 2008). Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi

dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010). G. KOMPLIKASI 1. Oral Lesi : Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat. 2. Neurologik a. kompleks

dimensia

AIDS

karena

serangan

langsung

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social. b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial. c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis. d. Neuropati

karena

imflamasi

demielinasi

oleh

serangan

Human

Immunodeficienci Virus (HIV) 3. Gastrointestinal a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis. c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare. 4. Respirasi : Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan,gagal nafas.

5. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi skunder dan sepsis. 6. Sensorik a. Pandangan: Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan b. Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri H. PENATALAKSANAAN MEDIS Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan : 1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi. 2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi. 3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya. 4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya. 5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir. Apabila

terinfeksi

Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV),

maka

pengendaliannya yaitu: 1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis. 2. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap

AIDS,

obat

ini

menghambat

replikasi

antiviral

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3 3. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : a. Didanosine b. Ribavirin c. Diedoxycytidine d. Recombinant CD 4 dapat larut 4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS. a. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makanmakanan sehat, hindari stress,gizi yang kurang, alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun. b. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV). II. ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Riwayat Penyakit Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia

aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes : a. Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T ) Terapiradiasi, defisiens inutrisi, penuaan, aplasia timik, limpoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital. b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi) Limfositik

leukemia

kronis,mieloma,

hipogamaglobulemia

congenital, protein – liosing enteropati (peradangan usus) 2. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif) a. Aktivitas / Istirahat Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur. Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ). b.

Sirkulasi Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera. Tanda : Perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.

c. Integritas dan Ego Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa, dan sebagainya. Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah. d.

Eliminasi Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah, warna,dan karakteristik urine.

e. Makanan / Cairan Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema. f. Hygiene Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri. g. Neurosensori Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental, kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan. Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis, kejang. h. Nyeri / Kenyamanan Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis. Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak, pincang. i. Pernafasan Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada. Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum. j. Keamanan Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan,luka, transfuse darah, penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat malam. Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum. k. Seksualitas Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan. Tanda : Kehamilan, herpes genetalia

l. Interaksi Sosial Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS Tanda : Perubahan interaksi m. Penyuluhan / Pembelajaran Gejala : Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi, penyalahgunaan obat-obatan IV, merokok, alkoholik. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Risiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis/awitan infeksi opurtunistik) b/d pertahanan primer takefektif; kulit rusak, jaringan traumatic, statis cairan tubuh, depresi system imun; penggunaan agen antimikroba, teknik invasive, penyakit kronis;malnutrisi. 2. Pola nafas tak efektif/ kerusakan pertukaran gas b/d ketiidakseimbangan muskuler

(melemahnya

otot-otot

pernafasan,

penurunan

energy/

kepenatan, penurunan ekspansi paru), menahan sekresi (obstruksi trakeobronkial), proses infeksi/inflamasi; rasa sakit, ketidakseimbangan perfusi ventilasi (PCP/pneumonia interstisial, anemia). 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan/ perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah dan atau nutrisi metabolisme ; mual/muntah, gangguan intestinal. C. PERENCANAAN Dx 1: Resiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis/awitan infeksi opurtunistik) b/d pertahanan primer takefektif; kulit rusak, jaringan traumatic, statis cairan tubuh, depresi system imun; penggunaan agen antimikroba, teknik invasive, penyakit kronis;malnutrisi Tujuan : Pasien tidak mengalami infeksi.

Tindakan : 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan. Instruksikan pasien/orang terdekat untuk mencuci tangan sesuai indikasi. Rasional : mengurangi risiko kontaminasi silang. 2. Ciptakan lingkungan yang bersih dan ventilasi yang baik. Periksa pengunjunga tau staf terhadao tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi. -Rasional : mengurangi petogen pada sistim imun dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nasokomial. 3. Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan dan mempertahankan kesehatan pribadi. Rasional :Penurunan daya tahan tubuh memudahkan berkembangbiaknya kuman pathogen. Tindakan isolasi sebagai upaya menjauhkan dari kontak langsung dgn kuman pathogen. Diskusi dilakukan untuk meningkatkan kerjasama dengan cara hidup dan berusaha mengurangi rasa terisolasi. 4. Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu klien. Rasional : memberikan data dasar, peningkatan suhu badan menunjukkan adanya infeksi sekunder. 5. Kaji frekuensi /kedalaman pernafsan , perhatikan batuk spasmodik kering pada inspirasi dalam, perubahan karakteristik sputum, dan adanya mengi/ronchi. Rasional : kongesti/distress pernafsan dapat mengindikasikan perkembangan PCP, penyakit yang paling umu terjadi. 6. Selidiki adanya keluhan sakit kepala, kaku leher, perubahan penglihatan. Catat perubahan mental dan tingkah laku, pantau kekakuan nukal/aktivitas kejang. Rasional : ketidaknormalan neurologis umum dan mungkin dapat dihubungkan dengan HIV atau infeksi sekunder. 7. Observasi kulit/membrane mukosa oral terhadap kemungkinan adanya bercak putih atau lesi. Rasional : Candidiasis oral, herpes, adalah penyakit yang umum terjadi dan member efek pada membaran kulit. 8. Bersihkan kuku setiap hari. Dikikir lebih baik dari pada dipotong, dan hindari memotong kutikula. Rasional : mengurangi risiko tramsmisi bakteri pathogen malalui kulit.

9. Pantau keluhan nyeri ulu hati, disfagia, sakit retrosternal pada waktu menelan, peningkatan kejang abdominal, diare hebat. Rasional : esofagitis mungkin terjadi akibat candidiasis oral ataupun herpes. 10. Periksa

adanya

luka

/lokasi

alat

invasive,

perhatikan

tanda-tanda

inflamasi/infeksi local. Rasional : identifikasi perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis. 11. Gunakan sarung tangan dan skort selama kontak langsung dengan sekresi/ekskresi atau kapanpun terdapat kerusakan pada kulit tangan perawat. Gunakan masker ataupun kaca mata pelindung untuk melindungi hidung, mulut, mata dari sekresi selama prosedur. Rasional : penggunaan masker , skort dan sarung tangan dilakukan oleh OSHA untuk kontak langsung dengan cairan tubuh , misalnya sputum, darah, serum, sekresi vaginal. 12. Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri. Rasional : mencegah inokulasi tak disengaja dari pemberi perawatan. 13. Kolaborasi : pantau hasil laboratorium seperti periksa kultur, darah, urine dan sputum. Rasional : dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab demam, diagnose infeksi organisme, atau untuk menentukan metode perawatan yang sesuai. 14. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik antijamur/antimikroba. Rasional : menghambat proses infeksi. Dx 2. Pola nafas tak efektif/ kerusakan pertukaran gas b/d ketiidakseimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan, penurunan energy/keppenatan, penurunan ekspansi

paru),

menahan

sekresi

(obstruksi

trakeobronkial),

proses

infeksi/inflamasi; rasa sakit, ketidakseimbangan perfusi ventilasi (PCP/pneumonia interstisial, anemia). Tujuan : Pola nafas efektif

Tindakan : 1. Aukultasi bunyi nafas , tandai daerah paru yang mengalami penurunan /kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius seperti krekels, mengi, ronchi. Rasional : memperkirakan adanya perkembangan komplikasi /infeksi pernafasan, misalnya ateletaksis/pneumonia. 2. Catat kecepatan atau kedalaman pernafasan, sianosis, penggunaan otot aksesori, peningkatan kerja pernafasan dan munculnya dispneu, ansietas. Rasional : takipneu, sianosis, tak dapat beristirahat, dan peningkatan nafas menunjukan kesulitan pernafasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan/intervensi medis. 3. Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik nafas sesuai kebutuhan. Rasional : meningkatkan fungsi pernafasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena ateletaksis. 4. Kaji perubahan tingkat kesadaran. Rasional : Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacuan mentalsampai kondisi tidak responsif. 5. Selidiki keluhan tentang nyeri dada. Rasional : nyeri pada pleuritis dapat menggambarkan adanya pneumonia nonspesifik atau efusi pleura berkenaan dengan keganasan. 6. Berikan periode istirahat diantara waktu aktivitas perawatan. Perthankan lingkungan yang tenang. Rasional : menurunkan konsumsi O2 7. Kolaborasi dalam hasil pemeriksaan GDA/nadi oksimetri Rasional : menunjukan status pernafasan, kebutuhan perawatan dan kefektifan pengobatan. 8. Kolaborasi :

berikan tambahan O2 yang dilembabkan melalui cara yang

sesuai misalnya kanula, masker, intubasi/ventilasi mekanis. Rasional : mempertahankan ventilasi /oksigenasi efektif untuk mencegah /memperbaiki krisis pernafasan.

9. Kolaborasi : berikan obat-obatan sesuai indikasi seperti antimikroba seperti bactrim. Rasional : bactrim merupakan obat pencegah pneumonia PCP. Dx 3: Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan/ perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah dan atau nutrisi metabolisme; mual/muntah, gangguan intestinal. Tujuan: Nutrisi klien adekuat. Tindakan: 1. Kaji kemampuan mengunyah, merasakan dan menelan. Rasional: Lesi pada mulut, esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan. 2. Auskultasi bising usus Rasional: Hipermetabolisme saluran gastrointestinal akan menurunkan tingkat penyerapan usus. 3. Timbang BB sesuai kebutuhan. Rasional: BB sebagai indikator kebutuhan nutrisi yang adekuat 4. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol. Rasional:

mengurangi

ketidaknyamanan

yang

berhubungan

dengan

mual/muntah, lesi oral, pengeringan mukosa. Mulut yang bersih akan meningkatkan nafsu makan. 5. Rencanakan makan bersama keluarga/orang terdekat. Barikan makan sesuai keinginannya (bila tdk ada kontraindidkasi), sajikan makanan yang hangat dan berikan dalam volume sedikit, dorong klien untuk duduk saat makan. Rasional: meningkatkan keinginan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat. 6. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin. Rasional: meningkatkan nafsu makan dan perasaan sehat.

7. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat mendekati waktu makan. Rasional: mengurangi rasa lelah, meningkatkan ketersediaan energy untuk makan. 8. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan. Rasional: mempermudah proses menelan dan mengurangi risiko terjadinya aspirasi. 9. Kolaborasi: catat pemeriksaan Lab seperti ; BUN, glukosa, elektrolit, protein dan albumin. Rasional:

mengindikasikan

status

nutrisi

dan

fungsi

organ,

mengidentifikasikan kebutuhan pengganti. 10. Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/Gizi Rasional : menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat. 11. Berikan obat-obatan sesuai petunjuk misalnya antiemetik, suplemen vitamin. Rasional : mengurangi insiden muntah.

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. 2004. Diagnosa Kperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Jakarta : EGC. Doengos, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Nanda. 2005. Nursing Diagnosis Definition and Classification 2005-2006. Philadephia : Nanda Internasional. Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 3. Jakarta : EGC.

More Documents from "novi"