LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. A DENGAN APPENDISITIS AKUT DI RUANG ANGGREK RSUD SALATIGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Asuhan Keperawatan Anak
Clinical Instructure : Natalia Yustiningsih, S.Kep
Dosen Pembimbing: Dr. Anggorowati, M.Kep, Sp. Mat
Disusun oleh: Yana Aprilina Pratiwi 22020114130128
DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 321 juta kasus tiap tahun (handwashing 2006). Statistic di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 20 – 35 juta kasus apendisitis (Departemen Republik Indonesia, 2008). Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi dari pada di Negara berkembang. Namun, dalAm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian (Santacroce, 2009). Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dengan insiden 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di Negara-negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola diitnya yang mengikuti orang barat. Insiden appendicitis di Negara maju lebih tinggi dari pada di Negara berkembang. Namun, pada akhir-akhir ini kejadiannya menurun secara 1 2 bermakna. Hal ini diduga di sebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian (Stacroce, 2009). Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008). Statistic menunjukan bahwa setiap tahun apendisitis menyerang 10 juta penduduk Indonesia. Menurut Lubis. A (2008), saat ini morbiditas angka apendisitis di Indonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan tertinggi di antara Negara-negara di Assosiation south East Asia Nation (ASEAN). Survey di 12 provinsi di Indonesia tahun 2008 menunjukan jumlah apendisitis yang dirawat di rumah sakit sebanyak 3.251 kasus. Jumlah ini meningkat drastic dibandingkan dengan tahun sebelumnya,yaitu sebanyak 1.236 orang. Diawal tahun 2009, tercatat 2.159 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendiitis (Ummualya,
2008).
Departemen
Kesehatan
menganggap
apendisitis
merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).
Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 102 penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Salatiga. Hal ini 3 membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Salatiga. Melihat komplikasi tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang perawatan pada klien pre dan post operasi apendiktomi dan dapat mengaplikasikannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien post operasi apendiktomi.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu melakukan pengelolaan anak dengan masalah apendisitis menggunakan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standart evidence base practice secara komprehensif dan holistik. 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan laporan ini yaitu penulis memperoleh informasi pasien di ruang perinatal RSUD Salatiga serta dapat menjabarkan tentang: a.
Hasil pengkajian data yang menunjang masalah keperawatan pada anak dengan apendisitis
b.
Diagnosa keperawatan pada anak dengan apendisitis
c.
Rencana keperawatan untuk masing- masing diagnosa keperawatan pada anak dengan apendisitis
d.
Pelaksanaan tindakan dan evaluasi keperawatan pada anak dengan apendisitis
BAB II TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief, dkk, 2007). Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 2008) Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009). Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010) Apendisitis adalah proses peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing atau disebut apendiks. Infeksi ini bisa mengakibatkan komplikasi apabila tidak segera mendapatkan tindakan bedah segera untuk penanganannya (Hariyanto, 2015).
B. ETIOLOGI Sedangkan penyebab appendicitis menurut Hariyanto (2015) belum diketahui
secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, di antaranya sebagai berikut : 1)
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya appendicitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena: a.
Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b.
Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c.
Adanya benda asing seperti biji-bijian
d.
Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2)
Faktor adanya bakteri beberapa bakteri yang bisa menyebabkan appendicitis antara lain Bacterodes fragililis, E. coli, Splanhicus, Lacto-basilus, Pseudomonas, dan Bacteriodes splanicus.
3)
Keturunan, pada radang apendik diduga juga merupakan faktor herediter. Hal ini juga di hubungkan dengan kebiasaan makanan dalan keluarga terutama yang
kurang
serat
dapat
memudahkan
terjadinya
fekhalith
dan
mengakibatkan obstruksi lumen. 4)
Faktor ras dan diet, Negara maju yang mengonsumsi makanan tinggi serat berisiko lebih rendah terkena appendicitis daripada Negara berkembang yang tidak mengonsumsi tinggi serat.
C. KLASIFIKASI Klasifikasi apendisitis menurut Hariyanto (2015) yaitu : 1) Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendik atau umbai cacing dengan tanda radang pada daerah sekitar yang bersifat terlokalisasi, baik disertai rangsangan peritoneum lokan maupun tanpa penyerta. 2) Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendik secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut, dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik) dan keluhan hilang setelah apendiktomi.
D. PATOFISIOLOGI Apendisitis akut pada dasarnya adalah suatu proses obstruksi (hyperplasia Lnn, fecolith, benda asing, tumor), kemudian disusul dengan proses infeksi sehingga gejalanya adalah mula-mula suatu obstruksi ileus ringan yaitu : kolik, mual, muntah, anoreksia, dan sebagainya yang kemudian mereda karena sudah menjadi paralitik
ileus. Kemudian disusul oleh gejala keradangan yakni nyeri tekan, defans muscular, subfebril dan sebagainya. Faktor obstruksi pada anak terutama hyperplasia dari kelenjar lymphe submucosal. Pada orang tua adalah fecolith, dan sedikit corpus alineum, stricture dan tumor. Fecolith diduga terbentuk bila ada serabut sayuran terperangkap masuk kedalam apendiks, sehingga keluar mukus berlebihan. Cairan mukus ini mengandung banyak kalsium sehingga bahan tersebut mengeras dan dapat menimbulkan obstruksi dan peregangan lumen apendiks, hambatan venous return dana aliran limpe yang berakibat oedema apendiks dimulai
dengan diapedesis dan gambaran ulcus mukosa. Hal tersebut merupakan tahap dari
akut fokal apendisitis, karena apendiks dan usus halus mempunyai tekanan intraluminal dengan akibat obstruksi vena dan thrombosis sehingga terjadi oedema dan ischemi apendiks. Invasi bakteri melalui dinding apendiks. Fase tersebut disebut akut supuratif apendisitis, lapisan serosa apendiks berhubungan dengan peritoneum parictalis. Nyeri somatis timbul dari peritoneum karena terjadi kontak dengan apendiks yang meradang dan ini tampak sebagai perubahan yang klasik bentuk nyeri yang terlokalisir di kuadran kanan bawah perut, proses patologis mungkin mengenal sistem arterial apendiks. Apendiks dengan vaskularisasi yang sangat kurang akan mengalami gangren dan terlihat. Sekresi yang terus-menerus dari mukosa apendiks yang masih baik serta peningkatan intraluminal berakibat perforasi melalui gangrenous infark. Timbul perforasi apendisitis, jika apendisitis tidak tejadi secara progresif, terbentuk perlekatan pada lubang usus, peritoneum dan omentum yang mengelilingi apendiks. Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tentunya tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale bahkan organ lain seperti buli-buli, uterus, tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses keradangan ini. Bila proses melokalisir sudah selesai tetapi belum cukup kuat menahan tarikan/tegangan dalam cavum abdominalis, karena itu pasien harus benar-benar bedrest. Kadang apendisitis akut terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks. Terjadi abses multiple kecil pada apendiks dan pembesaran lnn. Mesentrica regional, karena terjadi tanpa obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda dengan gejala obstruksi tersebut diatas. Radang usus buntu merupakan hasil dari tersumbatnya rongga atau lumen usus buntu terutama di daerah sekitar pangkal yang berdekatan dengan usus besar. Akibat penyumbatan itu, usus buntu kemudian menjadi penuh
lendir yang selalu dihasilkan oleh lapisan mukosa. Lama-kelamaan apendiks menjadi bengkak. Selain itu pertumbuhan bakteri dalam usus buntu pun meningkat. Pada kondisi yang demikian juag tekanan pada dinding usus buntu, sehingga terjadinlah penyumbatan. Akibat penyumbatan aliran darah, jaringan usus buntu menjadi iskemik (kurang oksigen). Iskemik yang berkepanjangan akan membuat jaringan menjadi nekrotik (mati) dan rusak. Tekanan lumen yang tinggi ditambah dengan kondisi dinding usus buntu yang rapuh, maka usus buntu akan mudah pecah (perforasi). Pecahnya usus buntu akan mengeluarkan isinya berupa koloni bakteri beserta nanah ke dalam
rongga perut dan dapat menyebabkan peritonitis (radang lapisan dalam rongga perut) yang dapat mengancam nyawa (Masriadi, 2016).
E. Pathway Fekalit, benda asing, jaringan parut, tumor apendiks dan cacing askaris Obstruksi lumen apendiks
Migrasi bakteri dari colon ke apendiks
Ketidakseimbangan produksi & ekskresi mucus
Peningkatan intra lumen
Arteri terganggu
Terhambatnya aliran limfe
Edema dan ulserasi Terjadi infark pada usus
Obstruksi vena
Edema & peningkatan tekanan intral umen
Nyeri epigastrium Peradangan dinding apendiks
Nekrosis apendiks
Gangren
Nyeri akut
Hambatan mobilitas fisik
Apendiks gangrenosa
Peradangan meluas ke peritonium
Mual dan muntah
Rencana pembedahan
Absorbsi makanan tidak adekuat, pengeluaran cairan aktif
Pembedahan Ansietas Nyeri Akut
Deisit Self-Care
Resiko Infeksi
Peningkatan leukosit dan suhu tubuh
Hipertermi
Luka insisi
Jalan masuk kuman
Mekanisme kompensasi tubuh
Kekurangan volume cairan tubuh
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
F. MANIFESTASI KLINIK Menurut Corwin (2007) dalam Nuari (2015) apendisitis memiliki gejala yang khas, yang terdiri dari : 1) Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut bagian kanan bawah. 2) Nyeri bisa secara mendadak dimulai diperut sebelah atas atau sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. 3) Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah.
4) Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. 5) Demam bisa mencapai 37,8 – 38,8C. 6) Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, disemua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan didaerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. 7) Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. 8) Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. 9) Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita Nampak
sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
G. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi yaitu pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut, baik perupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus (Sjamsuhidajat, R. 2010). Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Haryono, 2012). Perforasi ini dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses (Haryono, 2012). Peritonitis adalah tromboflebitis pada sistem vena porta yang ditandai dengan panas tinggi 39C- 40C (Wijaya & Yessie, 2013).
H.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah) (Nurarif, 2015). Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyrang. (Nuari, 2015) b. C-rective protein (CRP). Pertanda respon inflamasi akut dengan nilai senditifitas dan spesifitas CRP cukup tinggi yaitu 80 – 90% dan lebih dari 90%. c. Hb (hemoglobin) nampak normal. d. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. e. Urinalisis: normal, tetapi eritrosit, leukosit mungkin ada. Urine rutin penting untuk melihat adanya infeksi pada ginjal (Suratun & Lusianah, 2010). 2.
Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi akan sangat berguna pada kasus atipikal. Pada 55% kasus apendisitis stadium awal akan ditemukan foto polos abdomen yang abnormal, gambaran yang lebih spesifik adanya masa jaringan lunak di perut kanan bawah dan mengandung gelembung-gelembung udara (Wijaya & Yessie, 2013). Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut : Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fekalit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma (Nuari, 2015).
3.
Pemeriksaan lain a. Test rektal b. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi (Nuari, 2015). c. Ultrasonografi (USG) dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks. d. CT scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya
kemungkinan perforasi (Muttaqin & Sari, 2011).
I.
PENATALAKSANAAN MEDIS 1. Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satusatunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotik
dapat
mengakibatkan
abses
atau
perforasi.
(Sjamsuhidajat, R. 2010). Keterlambatan dalam penatalaksanaan dapat
meningkatkan kejadian perforasi (Nurarif, 2015). Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi Mc. Burney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat, R. 2010). 2. Pemberian terapi antibiotik untuk mengurangi resiko peritonitis dengan sepsis misal metronidazol atau antibiotika spektrum luas. 3. Pemberian terapi analgesik untuk mengurangi rasa nyeri. 4. Terapi cairan dengan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang memenuhi kebutuhan cairan. 5. Bed rest total posisi fowler. 6. Diet rendah serat (Suratun & Lusianah, 2010). 7. Terapi bedah Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda. 8. Terapi pasca operasi Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai
15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
J. ASUHAN KEPERAWATAN a) Pengkajian 1. Biodata Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register. 2. Lingkungan Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor. 3. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus. b. Riwayat kesehatan dahulu Riwayat operasi sebelumnya pada kolon. c. Riwayat kesehatan sekarang Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan. 4. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen. b. Palpasi Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign). c. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika. d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi
panggul
pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. 5. Perubahan pola fungsi Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut : a. Aktivitas / istirahat Gejala : Malaise b. Sirkulasi Tanda : Takikardi c. Eliminasi Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang) Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan. Penurunan atau tidak ada bising usus d. Makanan / cairan Gejala : Anoreksia, mual/muntah e. Nyeri / kenyamanan Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter) Tanda : Perilaku berhati-hati; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal f. Pernapasan Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal
g. Keamanan Tanda : Demam (biasanya rendah). 6. Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. b. Radiologi Terdiri
dari pemeriksaan
ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum. 7. Pengkajian Luka (Apabila dilakukan pembedahan)
b) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul Pre Operatif 1.
Nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera biologis (NANDA
00132) 2.
Hipertermi berhubungan dengan (NANDA 00007)
3.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (NANDA 00085)
4.
Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (NANDA 00027)
5.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien (NANDA 0002)
6.
Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini (NANDA 00146)
Pasca Operatif 1.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi). (NANDA 00132)
2.
Resiko infeksi (NANDA 00004)
3.
Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
c) Rencana Intervensi Keperawatan 1. Nyeri akut Pain management (NIC 1400) Intervensi NIC : a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10 b. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien c. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing, terapi musik, terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau dingin sebelum, setelah, dan jika memungkinkan , selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri yang lain. d. Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi] e. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkutn aktivitas keperawatan f. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui TV, radion, dan interaksi dengan pengunjung g. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi
2. Hipertermi Temperature Regulation (NIC 3900) Intervensi NIC : a. Pantau TTV b. Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa) c. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan d. Regulasi suhu NIC: Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan Pantau warna kulit dan suhu e. Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari f. Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan panas, keletihan akibat panas) g. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja h. Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam
i. Kolaborasi pemberian obat antipiretik.
3. Hambatan mobilitas fisik Peningkatan latihan (NIC 0200) Intervensi NIC : a. Kaji tingkat kemampuan aktivitas pasien b. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama c. Ubah posisi pasien tiap 2 jam d. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah (misalnya dari tempat tidur ke kursi) e. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot f. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk program latihan g. Berikan penguatan positif selama aktivitas h. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktivitas
4. Kekurangan volume cairan tubuh Manajemen Cairan (NIC 4120) Intervensi NIC a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit, misalnya diare c. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas serum, dan berat jenis urine). d. Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik. e. Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu f. Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur keseimbangan cairan g. Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena h. Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam diet seimbang i. Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya
j. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan yang diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam k. Anjurkan melakukan higiene oral secara sering l. Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Intervensi NIC Manajemen nutrisi (NIC 1100) 1. Tentukan status gizi pasien 2. Identifikasi adanya alergi makanan 3. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan Monitoring nutrisi (1160) 1. Timbang BB 2. Monitor turgor kulit 3. Monitor adanya warna pucat, kemerahan dan konjungtiva 4. Lakukan evaluasi kemampuan menelan
6. Ansietas Konseling (NIC 5240) Intervensi NIC a. Kaji tingkat ansietas pasien b. Berikan informasi tentang gejala ansietas c. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan aperasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas d. Yakinakan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara verbal dan nonverbal secara bergantian e. Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta izinkan pasien untuk menangis f. Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak di rumah sakit dan libatkan anak dalam permainan
7. Resiko infeksi Kontrol infeksi (NIC 6540) a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi pada area insisi b. Monitor tanda-tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental
c. Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif. d. Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan luka insisi / terbuka, bersihkan dengan betadine. e. Awasi / batasi pengunjung dan siap kebutuhan. f. Kolaborasi tim medis dalam pemberian antibiotik
8. Defisit self care berhubungan dengan nyeri. Self Care Assistane : ADLs (NIC 1805) a. Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien. b. Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. c. Berikan Hynege Edukas ipada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri. d. Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya. e. Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien f. Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun. Infeksi ini bisa mengakibatkan komplikasi apabila tidak segera mendapatkan tindakan bedah segera untuk penanganannya
Saran Dalam upaya meningkatkan kualitas perawatan pada klien anak dengan apendisitis perlu ditingkatkan perawatan yang efektif sehingga asuhan keperawatan dapat lebih komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual pada klien meliputi pendekatan proses keperawatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilandasi oleh ilmu dan kiat keperawtan profesional yang sesuai dengan nilai dan moral etik keperawatan sehingga di masa mendatang dapat meningkatkan kesehatan individu, keluarga, masyarakat serta lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D. 2010. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan, 112-113, Jakarta, EGC Corwin, EJ. 2009. Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC, Jakarta. Hariyanto, Awan & Rini Sulistyowati. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah I Dengan Diagnosis NANDA Internasional. Jogjakarta : Ar – Ruzz Media Haryono, Rudi. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta : Gosyen Publishing Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : CV. Trans Info Media Muttaqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika Nuari, Nian Afrian. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta : Trans Info Media
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC Suratun & Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta : Trans Info Media Wijaya, Andra Saferi & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika