98178598-lapsus-apendisitis-mulia.docx

  • Uploaded by: aryo aryo
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 98178598-lapsus-apendisitis-mulia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,333
  • Pages: 50
Bagian Ilmu Bedah

LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

APPENDISITIS AKUT DENGAN MIKRO-PERFORASI

Disusun oleh: Mulia Noviarti, S.Ked

NIM. 04.45408.00198.09

Ririn Megawati, S.Ked

NIM. 04.4540.0020.09

Pembimbing: dr. Anthony Simangunsong, SpB.

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2010

0

DAFTAR ISI

Halaman Daftar Isi..................................................................................................

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1.2 Tujuan .....................................................................................................

2 3

BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................

4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9

Definisi .................................................................................................. Anatomi dan Embriologi Appendiks Vermiformis ................................ Etiologi dan Faktor Resiko .................................................................... Patofisiologi ........................................................................................... Klasifikasi ............................................................................................. Diagnosis ............................................................................................... Diagnosis Banding ................................................................................. Penatalaksanaan ..................................................................................... Komplikasi dan Penyulit ........................................................................

12 12 16 17 22 24 36 36 39

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis ............................................................................................. 4.2 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 4.3 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 4.4 Penatalaksanaan .....................................................................................

41 42 44 45

BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 47 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 48

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Appendisitis akut memiliki manifestasi klinis yang beragam, terkadang menyerupai sindroma klinis lainnya, dan berkaitan dengan morbiditas signifikan yang meningkat dengan penundaan diagnosis. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi. Appendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Insidensinya meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 20 tahun. Insiden terbanyak appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan > 65 tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %. Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1975 - 1991. Terdapat 15 - 30 % gambaran histopatologi yang normal pada hasil appendektomi dan 30 - 45% di antaranya terjadi pada wanita. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas. Berdasarkan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004, di benua Asia negara Cina dan India masih menempati urutan pertama dan kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut, sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di Indonesia masih sangat tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari 283.452.952 populasi masyarakat Indonesia.

2

Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan), merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah sel leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah. Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi. Semua upaya ini dilakukan untuk meminimalisir angka kejadian appendektomi negatif tanpa meningkatkan insiden perforasi.

1.2 Tujuan Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tentang appendisitis termasuk definisi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis. 2. Mendapatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan menggunakan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakan diagnosis appendisitis. 3. Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan teori berdasarkan literatur.

3

BAB II LAPORAN KASUS

ANAMNESIS (Autoanamnesa pada tanggal 12 November 2010) Identitas : Nama

: Tn. Barry

Umur

: 24 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Desa Sindang Sari RT. 2

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SMA

Status Kawin

: Belum Kawin

Masuk Rumah Sakit : 12 November 2010

Keluhan Utama Nyeri perut kanan bawah Riwayat Penyakit Sekarang Nyeri perut kanan bawah dialami pasien sejak 3 hari sebelum MRS, awalnya nyeri dirasakan di ulu hati pada pagi hari pertama, seperti melilit dan dirasakan terus-menerus, kadang-kadang terasa kram pada perut, oleh pasien diberi obat maag tetapi nyeri tidak berkurang. Pada malam hari nyeri berpindah ke perut kanan bawah, nyeri dirasakan terus-menerus, seperti ditusuk-tusuk. Demam (+) sumer-sumer. Nafsu makan menurun tetapi tidak ada mual maupun muntah. Buang air besar (+) 1 kali selama 3 hari terakhir, agak keras. Buang air kecil lancar, nyeri (-), warna agak kemerahan seperti teh, berpasir (-).

Riwayat Penyakit Dahulu 

Riwayat Konstipasi (+). BAB tidak rutin setiap hari dan kadang-kadang agak keras.

4

Riwayat Kebiasaan 

Pasien memiliki kebiasaan makan makanan rendah serat (jarang makan sayur dan buah-buahan).

PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 12 November 2010) 1. Keadaan Umum Kesadaran

: Compos mentis, GCS E4V5M6

Keadaan sakit

: Sakit sedang

Tanda Vital : Frekuensi Nadi

: 88 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Pernafasan

: 20 x/menit,.

Suhu

: 37,10C, aksiler

2. Kepala dan Leher a. Umum Ekspresi

: Tampak kesakitan

b. Mata Konjunktiva

: anemis (-/-)

Sklera

: ikterik (-/-)

Pupil

: bulat, isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)

c. Mulut Bibir

: pucat (-), sianosis (-)

d. Leher Umum

: simetris

Kelenjar limfe

: membesar (-)

3. Thorax a. Paru I

Bentuk

: simetris

Pergerakan

: simetris, retraksi ICS (-/-)

5

Pa

ICS melebar : (-/-) Fremitus raba : Simetris (D=S)

Pe

Suara ketok

: sonor (+/+)

Batas paru-hepar: ICS V dekstra A

Suara nafas

: vesikuler

Suara tambahan: ronki (-/-), wheezing (-/-) b. Jantung I

Ictus cordis tidak tampak

Pa

Ictus cordis teraba pada ICS V MCL Sinistra

Pe

Batas kanan

: parasternal line ICS III Dextra

Batas kiri

: ICS V MCL Sinistra

A

S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-).

4. Abdomen I

Bentuk

: flat, distensi (-)

Kulit

: normal

Pa Soepel, defans muskuler lokal di titik Mc Burney (+) Turgor

: normal

Nyeri tekan

: Mc. Burney (+), Psoas Sign (+), Rovsing sign (+)

Pembesaran

: hepar (-), ginjal (-), spleen (-)

Massa

: (-)

Pe Timpani, Shifting dullness (-) A

Peristaltik usus : Bising usus (+) normal

5. Inguinal Pembesaran kel. Limfe

: (-/-)

Massa atau benjolan

: (-/-)

6. Ekstremitas Atas

:

Akral hangat, edema (-/-)

Bawah

:

Akral hangat, edema (-/-)

6

7.

Rectal Toucher : Tonus spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, sulkus mediana teraba, massa (-), Nyeri tekan arah jam 11 dan 12 Handscoen : feces (+), warna kuning, lendir (-), darah (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal

12-11-2010

Darah lengkap Hb

16,0 gr/dl

Hct

49,3 %

Leukosit

11.300

Trombosit

270.000

Kimia darah GDS

63 mg/dl

Ureum

29,4 mg/dl

Kreatinin

0,8 mg/dl

Urine Warna

Kuning

Kekeruhan

Jernih

Berat Jenis

1,020

pH

6,0

Ketone

+2

Protein

+1

Urobilinogen

+2

Epitel

+

Leukosit

4-6

Eritrosit

1-2

7

DIAGNOSIS KERJA SEMENTARA Appendisitis Akut

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Batu Saluran Kemih Infeksi Saluran Kemih Divertikulitis

PENATALAKSANAAN : Farmakologi IVFD RL 20 tpm Cefotaxime injeksi 3 x 1 gram IV Surgical Appendektomi terbuka

DIAGNOSIS POST-OPERASI Appendisitis Perforasi

LAPORAN OPERASI 

Operasi dilakukan tanggal 13 November 2010.



Desinfeksi medan operasi dengan alkohol 70% kemudian povidone iodine l0%. Pasang doek steril kecuali daerah tindakan, pasang doek klem, kemudian pasang doek lubang



Dilakukan Insisi Mc.Burney pada kulit dengan mess kira-kira 6 cm, kontrol perdarahan. Insisi diperdalam lapis demi lapis dengan cauter sampai tampak aponeurosis MOE. Aponeurosis MOE dibuka dengan mess searah seratnya, diperlebar ke kraniolateral dan kaudomedial dengan pertolongan pinset anatomis.



Wondhaak tumpul dipasang dibawah MOE, sampai tampak MOI yang seratnya transversal. MOI dan m.Transversus abdominis dibuka secara tumpul dengan bantuan pinset anatomis searah seratnya, kemudian diperlebar dengan 8

langenback sampai tampak peritoneum warna putih mengkilat, haak dipasang dibawah m. Transversus abdominis. 

Dengan pinset chirurgis 2 buah peritoneum diangkat dan digunting diantara kedua pinset, peritoneum dijepit dengan kocher sonde 2 buah, pinset dilepas.



Insisi peritoneum diperluas kearah kranial dan kaudal dengan gunting dan tuntunan pinset untuk melindungi usus atau organ lain, kemudian pasang langenback 2 buah.



Dicari caecum dengan tanda-tanda berwarna putih, memiliki taenia coli, berdinding tebal, dan didapatkan appendices epiploica. Disusuri tempat pertemuan ketiga taenia coli pada caecum yang merupakan base dari appendiks. Didapatkan letak appendiks retrosekal dengan ukuran panjang ± 2 cm, terdapat adhesi dan mikroperforasi pada appendiks.



Mesoappendiks di basis appendiks dibuka kemudian pangkal Appendiks diklem dan diligasi dengan zide 2.0. Dipotong antara klem dan ikatan. Mesoappendiks diklem atau dipotong secara retrograde dan diligasi dengan zide 2.0.



Dilakukan pembersihan dengan povidone iodine dan NaCl, kemudian insisi abdomen dijahit lapis demi lapis.

PROGNOSIS Bonam

9

FOLLOW UP

Pera

S

O

A

P

Watan Hari I

Nyeri perut kanan

CM, N = 82x/i, TD

Appendicitis Akut

IVFD RL 20 tpm

Tgl

bawah (+), mual (-),

= 120/80 mmHg,

Cefotaxim 3 x 1 gr (iv)

12/11/10

muntah (-), demam

RR = 22x/i, Nyeri

Rencana operasi besok pagi

(-)

tekan Mc Burney (+), Rovsing Sign (+), Psoas Sign (+), Defans muskuler lokal di titik Mc Burney (+)

Nyeri luka operasi

CM, N=80x/i, TD =

Post appendektomi

Operasi

Tgl

(+), kaki agak kram

120/80 mmHg, RR

a/i appendicitis

appendicitis perforasi

= 22x/i, Nyeri tekan

perforasi

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20 tpm

13/11/10

appendiktomi



Hari II

Mc Burney (+),

Stabactam inj 3 x 1 gr

Rovsing Sign (+),

Antrain 3 x 1 amp

Psoas Sign (+),

Metronidazole inf 3 x 500mg

Defans muskuler

Ranitidin inj 3 x 1 amp

lokal di titik Mc Burney (+) 18.30

Tidak bisa BAK,

CM, N = 102x/i,

Post appendektomi

Lapor dr.jaga

nyeri luka operasi

TD 120/80mmHg

a/i appendicitis

Advise  pasang kateter

(+)

RR = 22x/i,

perforasi

T=36,3C Hari IV

Nyeri luka operasi

CM, N = 80x/i, TD

Post appendektomi

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20 tpm

Tgl

(+) terutama jika

130/90 mmHg, RR

hari ke-1 a/i

Stabactam inj 3 x 1 gr

15/11/10

bersin. Flatus (+),

= 20x/i, nyeri tekan

appendicitis

Antrain 3 x 1 amp

BAB (-)

abdomen (+)

perforasi

Metronidazole inf 3 x 500mg

UT 1150 cc/20 jam

Ranitidin inj 3 x 1 amp

Hari V

Nyeri perut bekas

CM, N = 80x/i, TD

Post appendektomi

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20 tpm

Tgl

operasi (+) terutama

130/90 mmHg, RR

hari ke-2 a/i

Stabactam inj 3x1gr

16/11/10

jika bersin. Flatus

= 20x/i, nyeri tekan

appendicitis

Antrain 3x1amp

(+), BAB (-)

abdomen (+)

perforasi

Metronidazole inf 3x500mg Ranitidin inj x1amp

10

16.00

demam (+)

T : 40,00 C

Post appendektomi

PCT tablet 500mg ekstra.

hari ke-2 a/i appendicitis perforasi Hari VI

Demam (+), Mual

CM, N = 100x/i,

Post appendektomi

Xillodela 1:1

Tgl

(-), muntah (-),

TD = 110/70

hari ke-3 a/i

PCT tab 3x500mg

17/11/10

BAB (+) lancar,

mmHg

appendicitis

Terapi lain lanjut

Nyeri sekitar luka

RR = 20 x/i, T =

perforasi

Aff kateter

(+)

40C,

Hari VII

Demam (-), mual (-

CM, N=82x/i,

Post appendektomi

Aff infus

Tgl

), muntah (-), BAB

TD=100/70 mmHg,

hari ke-4 a/i

Boleh pulang

18/11/10

normal, BAK

RR=22x/i, T=37,0C

appendicitis

Cefadroxil 3x500mg

perforasi

As. Mefenamat 3x500mg

lancer

Ranitidin 2x1tab Metronidazole tab 3x500mg

11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Appendisitis akut adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.

2.2 Anatomi dan Embriologi Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan appendiks vermiformis (caecal diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi kecepatan perturnbuhan appendiks, sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup ileosekal. Appendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum, akibatnya appendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal appendiks di sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan yang tetap didalam rongga abdomen. Hubungan pangkal appendiks ke sekum relatif konstan, sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal, subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus. Secara histologi, struktur appendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan

12

pembuluh darah dan kelenjar limfe. Pada tunika Muskularis terdapat stratum sirkularis (dalam) dan stratum longitudinale (luar), stratum longitunale merupakan gabungan ke-3 taenia coli. Bagian paling luar appendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak appendiks retrosekal maka tidak tertutup oleh peritoneum visceral. Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan (0,4%).

Gambar 1. Lokasi appendiks

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan appendiks memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi lateral kolon asenden. Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal, terkadang appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekster, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi. 13

Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus, appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan. Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi berkisar antara 2-22 cm. Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah yang disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita mempunyai appendiks yang melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi retroperitoneal di belakang kolon asenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi normal, mungkin appendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum abdomen. Pada anak-anak appendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum karena appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut. Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini kemungkinan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut. Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm. Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari

14

lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu: 

Taenia libra



Taenia omentalis



Taenia mesokolika

Pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocaecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-l4 cm, diameter 0,7 cm. Lumen bagian proksimalnya menyempit, sedangkan bagian distal melebar. Hal ini berlawanan pada bayi, sehingga menyebabkan rendahnya insidens appendisitis pada usia tersebut. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 pada usia pubertas (12 - 20 tahun), dan menetap dalam waktu l0 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan usia. Setelah usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan berangsur menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal yang bergabung dengan mesenterium intestinal. Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika, yang merupakan cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral, sehingga apabila terjadi trombus pada apendisitis akut akan berakibat terbentuknya gangren, dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet, arteri ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Vena apendiks bermuara di vena ileokolika yang melanjutkan diri ke vena mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke limfonodi

15

ileosekal. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli limfatik yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah noduli lirnfatik mesenterika untuk mencapai noduli limfatik mesenterika superior. Persarafan apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus)

dari

pleksus

mesenterika

superior.

Serabut

saraf

aferen

yang

menghantarkan rasa nyeri viseral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri visceral pada apendiks bermula disekitar umbilikus. Malrotasi atau maldesensus dari sekum akan mengakibatkan kelainan letak dari apendiks sehingga mungkin saja apendiks terletak disepanjang daerah fossa iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Jika terdapat transposisi dari visera maka apendiks dapat terletak di kuadran kiri bawah. Adanya benda-benda asing yang terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya yang mobile, adanya kinking, band, adhesi dan keadaan-keadaan yang menyebabkan angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin buruk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya juga akan mempermudah terjadinya infeksi pada apendiks. Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu alat pertahanan tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada umur dibawah 10 tahun pertumbuhan omentum ini pada umumnya belum sempurna, masih tipis dan pendek, sehingga belum dapat mencapai apendiks apabila terjadi apendisitis. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lebih mudahnya terjadi perforasi dan peritonitis umum pada apendisitis anak.

2.3 Etiologi & Faktor Resiko Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi : 2.3.1

Obstruksi  Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)  Fekalit (35%), masa feses yang membatu

16

 Corpus alienum (4%), biji - bijian  Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2.3.2

Infeksi Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,

tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan Streptococcus. Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya apendisitis, antara lain: 

Adanya isi lumen



Derajat sumbatan yang terus menerus



Sekresi mukus yang terus menerus



Sifat inelastis atau tak lentur dari mukosa apendiks

Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu. Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 - 25 cmH2O dan meningkat menjadi 30 - 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan pada lumen sekum antara3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal. Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues 17

(GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak begitu penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem imunologi. Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada: 

Limfe Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.



Vena Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan timbulnya pus hingga menjadi apendisitis supuratif.

18



Arteri Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan terjadinya

apendisitis

gangrenosa

ataupun

perforasi

yang

mengakibatkan terjadinya peritonitis umum. Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses. Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripta glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut. Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lebih lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri. Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach. Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 - 24 jam pertama.

19

Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks secara cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan oedem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simpel. Apendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi : 

Sembuh



Kronik



Perforasi



Infiltrat atau abses. Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminal, sekum dan omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.

Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan oedem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, tekanan intraluminer yang semakin tinggi dan oedem yang lebih hebat mengakibatkan gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antimesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang mengalami gangren 20

tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular. Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir, tetapi apabila keadaan umunnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general. Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan kadangkadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadangkadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronik. Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan

21

lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren. Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks. Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu fokus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen. Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis 2.5.1 Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja. Appendiks kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke dalam dinding

22

appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun dapat menjadi appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik . Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka akan mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi vaskularisasi sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin post apendisitis akut, kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula.

2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasi Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses periapendikular. Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks menjadi lingkaran tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perubahan setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila lumen appendiks kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan mukus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif dan atau gram negatif) dan anaerob. Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi ataupun ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensasi dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau proses pustulasi yang mengakibatkan abses periapendiks.

2.5.3 Klasifikasi Klinikopatologi Cloud Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud, klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

23



Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak adatya eksudat serosa.



Apendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah, mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.



Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.



Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.



Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III, IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten. Gejala utama

24

appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik dengan sifat nyeri ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam), nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan. Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila appendiks yang meradang terletak di anterior,

appendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri

flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada

25

suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru diikuti oleh vomitus. Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan telah terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu diperhatikan. Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan pada appendisitis akut.

2.6.2 Pemeriksaan fisik Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. 2.6.2.1 Inspeksi Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit. Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri. 2.6.2.2 Palpasi Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah, antara lain: 

Nyeri tekan Mc. Burney Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan

bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.

26



Rebound tenderness Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan atau iritasi peritoneum. 

Defans muskuler Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus abdominis. Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. 

Rovsing sign Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila

dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal). 

Psoas sign Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal. Ada 2 cara pemeriksaan : o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan positif jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah. o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah. 

Obturator Sign Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut

difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. 

Dunphy’s sign 27

Nyeri tajam pada kuadaran kanan bawah yang dicetuskan dengan batuk yang disengaja. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis klinis dari peritonitis yang terlokalisir. 

Markle sign Nyeri timbul pada area tertentu di abdomen ketika pasien yang berdiri

dengan jempol kaki tiba-tiba dijatuhkan dengan posisi berdiri pada tumit. Sensitivitas pada pemeriksaan ini yaitu 74%.

2.6.2.3 Perkusi Nyeri ketok positif

2.6.2.4 Auskultasi Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

2.6.2.5 Rectal Toucher Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitis Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai berikut: 

Perforasi Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks paling

sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium. Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejaladan tanda sebagai berikut:  Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.  Demam tinggi > 38,50C

28

 Leukositosis (leukosit > 14.000)  Dehidrasi dan asidosis  Distensi  Menghilangnya bising usus  Nyeri tekan kuadran kanan bawah  Rebound tenderness sign  Rovsing sign 

Peritonitis Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang

telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan kelanjutan dari peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat. 

Abses atau Infiltrat Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan

bawah, karena perforasi menyebabkan walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Massa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat, beberapa ahli menganjurkan antibiotika terlebih dahulu, setelah 6 minggu kemudiun dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi. Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang 2.6.3.1 Laboratorium Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis akut,

29

70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the left), walaupun hal ini tidak spesifik untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh ke bagian tubuh yang mengalami injuri dengan cara: 1. Mempersiapkan

berbagai

bentuk

fagosit

(leukosit

polimorfonuklear,

makrofag) pada tempat tersebut. 2. Pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi. 3. Menetralisir dan mencairkan iritan. 4. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi.

Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki jumlah leukosit dan granulosit normal. Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis appendisitis akut adalah CRP. Penanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4 - 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, yang dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 – 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah, tidak memerlukan waktu yang lama (5-10 menit), dan murah. Pemeriksaan

urinalisa

dapat

digunakan

sebagai

konfirmasi

dan

menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan

30

atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendisitis yang menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang.

2.6.3.2 Foto Polos Abdomen Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit yaitu kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat muara apendiks (appendikolit). Gambaran appendikolit ini hanya ditemukan <10% kasus, tetapi jika ada merupakan patognomonik appendisitis. Jika peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps dan dinding usus edematosa, sehingga akan tampak abdomen kanan bawah kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke bagian lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengaburan psoas shadow. Foto polos abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri atau left lateral decubitus (LLD), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai appendisitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar

31

appendik. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema, infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki appendik (filling defect). Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya merupakan tanda appendisitis akut, terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya, lumen appendiks yang paten menyingkirkan diagnosis appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendik merupakan tanda abses appendik. Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendiceal stump, intususepsi, neoplasma benigna atau maligna. Gambaran Appendicogram pada appendisitis dapat berupa filling defect, non filling defect, parsial, irreguler, dan tail mouse.

2.6.3.3 Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter > 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. Akurasi USG antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks saat USG tidak menyingkirkan adanya appendisitis. USG juga berguna pada wanita untuk menyingkirkan diagnosis banding lain yang melibatkan organ genitalia interna seperti ovarium, tuba falopi dan uterus.

32

Hasil

USG

dapat

dikategorikan

menjadi

normal,

non

spesifik,

kemungkinan penyakit lain, atau kemungkinan apendiks. Hasil USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil USG dikatakan kemungkinan appendiks jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, dan dikonfirmasikan dengan gejala klinik yang mengarah pada appendisitis.

2.6.3.4 Computed Tomography Scanning (CT-Scan) Pada keadaan normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat mendukung kecurigaan apendisitis. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 - 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 - 100%. CT-Scan sangat baik antuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon. Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses peri-appendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga abdomen dan pelvis yang menyerupai appendisitis.

2.6.3.5 Magnetic resonance imaging (MRI) Penggunaan MRI cukup terbatas karena biaya yang cukup mahal, waktu sken yang cukup panjang, dan tidak selalu tersedia. Meskipun demikian, rendahnya radiasi ionisasi membuat MRI menjadi modalitas utama pemeriksaan pada wanita hamil. MRI juga lebih superior dibandingkan USG transabdominal dalam evaluasi pasien hamil yang diduga mengalami apendisitis. Jadi jika tidak terdiagnosis dengan USG, seharusnya dilakukan pemeriksaan MRI abdomen dan pelvis.

2.6.3.6 Laparoskopi Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.

33

2.6.3.7 Sistem skor Alvarado Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6.

Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut: Gejala dan tanda

Skor

Nyeri berpindah

1

Anoreksia

1

Mual-muntah

1

Nyeri fossa iliaka kanan

2

Rebound tenderness

1

Peningkatan suhu tubuh

1

Leukositosis > 10.000 sel/mm3

2

Shift to the left (persentase neutrofil > 75%)

1

34

2.6.3.8 Histopatologi Pemeriksaan histopatologi adalah gold standard untuk diagnosis appendisitis akut. Tabel 2. Definisi histopatologi apendisitis akut 1

Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2

Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3

Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4

Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.

5

Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Gambar 3. Algoritma klinis untuk evaluasi nyeri pada kuadran kanan bawah. 2.7 Diagnosis Banding 

Pelvic inflammatory disease (PID) atau tubo-ovarian abscess (TOA)



Endometriosis



Torsi kista ovarium



Kehamilan Ektopik Terganggu

35



Leiomioma uteri



Ureterolithiasis dan kolik renal



Divertikulitis



Crohn disease



Karsinoma kolon



Hematoma rectus sheath



Kolesistitis



Enteritis bakterial



Adenitis mesenterium



Torsi omentum

2.8 Penatalaksanaan 2.8.1 Tindakan Umum Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan pasien sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan perawatan intensif sekurangkurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah dan pasien dipuasakan. Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan, serta pantau output urin. Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada pasien dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena dapat mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena pada

36

pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan laparotomi.

2.8.2 Appendektomi Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi

dan

merupakan

satu-satunya

pilihan

terbaik.

Penundaan

apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada kasus apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan pada apendisitis kronik. Indikasi dari apendektomi antara lain: 1.

Appendisitis akut (apendektomi Chaud)

2.

Appendisitis kronis (apendektomi Froid)

3.

Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)

4.

Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu

5.

Appendisitis perforasi

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi : 1. Kutis 2. Subkutis 3. Fascia Scarfa 4. Fascia Camfer 5. Aponeurosis M. Obliqus Eksternus 6. M. Obliqus Internus 7. M. Transversus 8. Fascia Transversalis 9. Pre-peritoneum 10. Peritoneum

37

Macam insisi pada appendektomi: 1.

Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc Burney. Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan kontaminasi kuman minimal.

2.

Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena dapat sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna, khususnya pada kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu caecum lebih sukar dipegang dan kontaminasi lebih besar. Padaappendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu kemudian

operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara lain: 

Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)



Diet rendah serat



Antibiotika spektrum luas



Metronidazol



Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.

2.8.3 Terapi medikamentosa Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan apendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan

38

menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin.

2.9 Komplikasi dan Penyulit Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off) sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler. Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya akan terjadi peritonitis umum. Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses hepatik. Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi, infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi. Komplikasi lain, di antaranya: 

Nekrosis dinding appendiks

39



Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii



General peritonitis



Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular abses



Sepsis



Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi : 1. Durante Operasi 

Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum



Robekan sekum atau usus lain

2. Pasca Operasi 

Perdarahan



Infeksi



Hematom



Paralitik ileus



Peritonitis



Fistel usus



Streng Ileus karena band



Hernia sikatrik

40

BAB IV TEORI DAN ANALISA KASUS

Diagnosis pre-operasi: Appendisitis akut Diagnosis post-operasi: Appendisitis perforasi Tabel 1 Anamnesis Fakta 



Teori

Gejala:

Gejala:

Nyeri perut kanan bawah 

Nyeri abdomen, pada mulanya terjadi

sejak 3 hari sebelum MRS,

nyeri visceral yaitu nyeri kolik ringan

dirasakan

sampai berat dirasakan mula-mula di

terus-menerus,

seperti ditusuk-tusuk.

daerah epigastrium dan periumbilikal,

Nyeri diawali dengan nyeri

kadang-kadang disertai dengan kram

ulu

intermiten  fase obstruksi

hati

pada

pagi

hari

kemudian berpindah ke perut 

Nyeri akan beralih dan menetap di

kanan bawah pada malam

kuadran kanan bawah setelah 6 jam,

harinya.

berupa nyeri somatik yang berarti sudah

Kadang-kadang

terasa kram pada perut.

terjadi rangsangan pada peritoneum



Demam (+) sumer-sumer.

parietal, dengan sifat nyeri yang lebih



Anoreksia (+)

tajam, terlokalisir, dan bertambah bila



Tidak

ada

mual

muntah. 



Anoreksia,

nausea

dan

vomitus

Buang air besar (+) 1 kali

merupakan rangsangan viseral akibat

selama 3 hari terakhir, agak

aktivasi n.vagus.

keras. 

batuk ataupun berjalan  fase inflamasi.

maupun



Obstipasi atau Diare

Buang air kecil lancar, nyeri 

Gejala yang timbul bervariasi tergantung

(-), warna agak kemerahan

variasi lokasi anatomi appendiks, usia

seperti teh, frekuensi normal

pasien, derajat inflamasi appendiks, dan

seperti biasa, tidak berpasir.

komplikasi yang menyertai. 

Demam tidak terlalu tinggi

41

Etiologi

Etiologi



Riwayat Konstipasi (+).

Obstruksi lumen appendiks oleh karena:



Pasien

memiliki

kebiasaan 

makan makanan rendah serat  (jarang

makan

sayur

dan  

buah-buahan) 

Mesoappendiks

pendek,

Fekalit (35%), masa feses yang membatu Corpus alienum (4%), biji - bijian Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

appendiks hanya berukuran 2  cm.

Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)

Parasit



obstruksi kolon distal dari apendiks



erosi mukosa



konstipasi dan diet rendah serat

Infeksi biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia, tonsillitis, dsb.

Tabel 2 Pemeriksaan Fisik Fakta

Teori  Tanda Vital

Tanda Vital Frekuensi nadi: 88 x/menit

Tanda

TD

: 130/80 mmHg

Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC,

Pernafasan

: 20 x/menit

yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi

Suhu

: 37,10C, aksiler

normal atau sedikit meninggi.

vital

tidak

berubah

banyak.

 Inspeksi: Abdomen:

Perut

Inspeksi:

penonjolan perut kanan bawah terlihat pada

Bentuk flat, simetris, distensi (-)

appendikuler abses. Pasien tidur miring ke

Palpasi :

sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada

Soepel, defans muskuler lokal

sendi

dititik Mc Burney (+),Massa (-)

meningkatkan nyeri.

42

kembung

paha,

bila

karena

terjadi

setiap

perforasi,

ekstensi

 Palpasi:

Nyeri tekan Mc. Burney (+),

 Nyeri tekan Mc. Burney atau nyeri tekan

Psoas Sign (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), obturator sign

kuadran kanan bawah

(-), Dunphy’s sign (+)

 Nyeri tekan kuadran kiri bawah  pada

Perkusi: Nyeri ketok (+)

pasien dengan situs inversus atau pasien

Auskultasi: Bising usus (+)

dengan appendiks panjang yang meluas

normal

hingga ke kuadran kiri bawah.  Rebound tenderness atau Blumberg sign

Rectal spinchter

Toucher ani

:

menjepit

 Defans muskuler

Tonus

 Rovsing sign

kuat,

mukosa licin, sulkus mediana

 Psoas sign

teraba, massa (-), Nyeri tekan

 Obturator Sign

arah jam 11 dan 12

 Dunphy’s sign

Handscoen : feces (+), warna

 Markle sign

kuning, lendir (-), darah (-)

 Guarding sign Tanda-tanda tersebut tidak selalu ditemukan pada

pasien

dengan

appendicitis

akut,

sehingga jika tidak ditemukan belum bisa menyingkirkan appendiks.

kecurigaan

Tanda-tanda

inflamasi

tersebut

juga

dipengaruhi oleh lokasi anatomi appendiks. 

Perkusi  Nyeri ketok (+)



Auskultasi Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.



Rectal Toucher Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

43

Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang Fakta

Teori

Laboratorium

Laboratorium

Leukosit 11.300

Leukositosis

Granulosit 75%

Shift to the left

CRP  tidak diperiksa

Peningkatan CRP

Pemeriksaan urinalisis dalam batas

Urinalisis  untuk menyingkirkan

normal

adanya etiologi dari saluran kemih

Modalitas pemeriksaan yang lain Foto polos abdomen tidak dilakukan.

Appendikogram Ultrasonografi CT scan MRI Laparoskopi Histopatologi

Sistem skor Alvarado

Pada pasien didapatkan gejala migrasi dari nyeri yang awalnya timbul di epigastrium dan berpindah ke kuadran kanan bawah disertai dengan anoreksia.

44

Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kuadaran kanan bawah dengan titik nyeri maksimal pada titik Mc Burney, nyeri tekan lepas, tetapi suhu tubuh dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dengan dominasi sel polimorfonuklear (shift to the left). Sehingga didapatkan skor Alvarado pasien ini yaitu 8, dan dipertimbangkan untuk melakukan tindakan pembedahan. Setelah dilakukan tindakan pembedahan didapatkan mikro-perforasi pada appendiks. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala dan tanda sebagai berikut:  Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.  Demam tinggi > 38,50C  Leukositosis (leukosit > 14.000)  Dehidrasi dan asidosis  Distensi  Menghilangnya bising usus  Nyeri tekan kuadran kanan bawah  Rebound tenderness sign  Rovsing sign Pada pasien ini, gambaran gejala dan tanda tersebut tidak begitu jelas. Hal ini kemungkinan diakibatkan perforasi yang terjadi berdiameter kecil dan letak appendiks yang retrosekal sehingga terlindungi oleh sekum, sehingga proses inflamasi terlokalisir dan tidak meluas.

Tabel 4 Penatalaksanaan Fakta

Teori

Tatalaksana Kuratif:

Tatalaksana Kuratif:

Appendektomi terbuka

Appendektomi secara terbuka atau dengan laparoskopi

Tatalaksana Suportif:

Tatalaksana Suportif:

Pre-operasi:

Pre-operasi:

45

 Pasien dipuasakan

Pasang NGT  bila abdomen distensi

 IVFD RL 20 tpm (kebutuhan dan

membutuhkan

dekompresi

lambung.

maintenance)

Pasien dipuasakan. Pemberian cairan intravena

Post operasi:

Post operasi:  IVFD RL : D5% = 2 : 2, 20 tpm

o

Resusitasi / Maintenance cairan yang adekuat  cairan , elektrolit

(maintenance)  Diet lunak setelah flatus (+) dan

o

Dukungan nutrisi awal  oral feeding jika:

peristaltik usus membaik.

 Flatus (+), peristaltik usus pulih

 Perawatan luka operasi

 Produksi NGT minimal  Distensi abdomen (-) o

Perawatan luka operasi

Tatalaksana Simtomatis

Tatalaksana Simtomatis

Pre operasi: Tidak diberikan

Antipiretik

Post operasi:

Analgesik Antiemetik

 Analgesik  Antrain inj 3 x 1 amp

Medikamentosa

Medikamentosa

Pre-operasi:

Antibiotik intravena untuk pasien yang



menunjukkan tanda-tanda sepsis atau

Cefotaxime inj 3 x 1 gr IV

pasien yang akan menjalani prosedur

Post operasi:

pembedahan.



Stabactam inj 3 x 1 gr



Metronidazole infus 3 x 500

Pada kasus dengan perforasi diberikan kombinasi terapi antibiotik yang efektif

mg

untuk bakteri gram negatif dan bakteri anaerob sesuai dengan jenis bakteri komensal pada sekum dan appendiks.

46

BAB V KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pria berusia 24 tahun dengan keluhan nyeri perut yang tajam di perut kanan bawah. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan laboratorium ditegakkan diagnosis kerja appendisitis akut. Pasien dirawat sejak tanggal 12 – 18 November 2010. Penatalaksanaan pada pasien ini berupa terapi bedah dengan appendektomi terbuka. Diagnosis postoperatif adalah appendisitis perforasi. Prognosis pada pasien ini bonam karena diameter perforasi kecil (mikro-perforasi) dan inflamasi terlokalisir oleh karena letak appendiks yang retrosekal. Selain itu perbaikan klinis pasien cukup baik dan tidak ditemukan komplikasi pasca bedah. Anamnesis dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keraguan atau untuk menyingkirkan diagnosis banding. Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi klinis dari appendisitis menjadi bervariasi.

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Yeh B. Evidence-based emergency medicine/rational clinical examination abstract. Does this adult patient have appendicitis?. Ann Emerg Med. Sep 2008;52(3):301-3. 2. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in adults?. Am J Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60. 3. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med Arh. 2000;54(2):109-10. 4. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory tests in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. JanFeb 2006;76(1-2):71-4. 5. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa JL. Urological manifestations of acute appendicitis. Arch Esp Urol. Apr 2005;58(3):207-12. 6. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB. Clinical guidelines, computed tomography scan, and negative appendectomies: a case series. Am J Emerg Med. Jan 2006;24(1):68-72 7. Malone AJ Jr, Wolf CR, Malmed AS, Melliere BF. Diagnosis of acute appendicitis: value of unenhanced CT. AJR Am J Roentgenol. Apr 1993;160(4):763-6. 8. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de Klerk ES, et al. Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a diagnostic pathway with standard use of ultrasonography followed by selective use of CT. J Am Coll Surg. Mar 2009;208(3):434-41. 9. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to accurate diagnosis of acute appendicitis. World J Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157. 10. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg Med. May 1986;15(5):557-64. 11. Eriksson S, Granstrom L. Randomized controlled trial of appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J Surg. Feb 1995;82(2):166-9. 12. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in appendicitis. J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.

48

13. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7. 14. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive review of literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6. 15. Bresciani C, Perez RO, Habr-Gama A, et al. Laparoscopic versus standard appendectomy outcomes and cost comparisons in the private sector. J Gastrointest Surg. Nov 2005;9(8):1174-80; discussion 1180-1. 16. Liberman MA, Greason KL, Frame S, et al. Single-dose cefotetan or cefoxitin versus multiple-dose cefoxitin as prophylaxis in patients undergoing appendectomy for acute nonperforated appendicitis. J Am Coll Surg. Jan 1995;180(1):77-80. 17. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al. Laparoscopic versus open appendectomy for perforated appendicitis. J Gastrointest Surg. Jun 2006;10(6):906-10. 18. Orr RK, Porter D, Hartman D. Ultrasonography to evaluate adults for appendicitis: decision making based on meta-analysis and probabilistic reasoning. Acad Emerg Med. Jul 1995;2(7):644-50. 19. Rao PM, Rhea JT, Rao JA, et al. Plain abdominal radiography in clinically suspected appendicitis: diagnostic yield, resource use, and comparison with CT. Am J Emerg Med. Jul 1999;17(4):325-8. 20. Schwerk WB, Wichtrup B, Rothmund M, et al. Ultrasonography in the diagnosis of acute appendicitis: a prospective study. Gastroenterology. Sep 1989;97(3):630-9. 21. Thomas SH, Silen W. Effect on diagnostic efficiency of analgesia for undifferentiated abdominal pain. Br J Surg. Jan 2003;90(1):5-9. 22. Webster DP, Schneider CN, Cheche S, et al. Differentiating acute appendicitis from pelvic inflammatory disease in women of childbearing age. Am J Emerg Med. Nov 1993;11(6):569-72.

49

More Documents from "aryo aryo"