LEGAL STANDING WNA DALAM PENGUJIAN UU
PRO
KONTRA
Bagi Pihak-pihak yang mersa dirugikan dengan sebuah undang-undang, maka ia dapat mengajukan permohonan pengujian undangundang ke Mahkamah Konstitusi. Namun tidak semua orang dapat mengajukan permohonan ke MK, hanya pihak-pihak yg dinyatakan memiliki kedudukan hukum atau legal standing sebagaimana yg tercantum dlm pasal 51 ayat (1) UU nmor 24 tahun 2003 tentang MK, dimana subjek hukum perorangan yg dapat mengajukan judicial review adalah WNI. Yg kemudian menjadi perbincangan menarik kita kali ini adalah posisi WNA dalam Legal Standing Judicial Review, seperti Permohonan pengujian terhadap UU Narkotika diajukan juga oleh Scott Anthony Rush, warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman terkait perkara Narkotika di Lembaga Permasyarakatan Kerobokan, Jalan Tangkuban Perahu, Denpasar. Jika dihubungkan dengan ketentuan mengenai legal standing yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1), warga negara asing tidak mempunyai legal standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena 2 orang Pemohon perkara nomor 2/PUUIV/2006 dan Pemohon perkara nomor 3/PUUIV/2006 adalah warga negara Australia.
Pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan salah satu mekanisme kontrol terhadap produk legislatif yang tidak bisa datang atas inisiatif Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi harus ada pihak yang mengajukan permohonan. UU No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 (UU MK) dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyatakan pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yang kemudian terdapat limitasi pada Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang menyebut perorangan WNI. Ketentuan pasal tersebut mengindikasikan bahwa WNA dalam hal ini tidak bisa menjadi pemohon dalam PUU.
Tetapi Dilain sisi, Dengan diratifikasinya Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik {International Covenant on Civil and Political Right (lCCPR) telah memberikan kewajiban bagi Negara Indonesia untuk melindungi siapapun yang berada di wilayahnya. Khususnya untuk bidang persamaan kedudukan dihadapan hukum, diatur dalam Pasal 16 dan 26 ICCPR. ini berarti bahwa Indonesia diwajibkan oleh UUD 1945 untuk memberikan perlindungan atas persamaan kedudukan di dalam hukum pada
Pembatasan ini bertentangan dengan pasal tentang HAM, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Padahal, equality before the law merupakan HAM yang berkategori non- derogable right. Oleh karena itu, timbul rumusan permasalahan: 1. Bagaimanakah pertimbangan MK dalam membuat keputusan legal standing pemohon yang berstatus WNA dalam pengajuan pengujian suatu undang-undang? 2. Bagaimanakah perbandingan praktik judicial review di Indonesia dan di beberapa Negara lain terkait dengan pemohon bukan warga negaranya? 3. Apakah Pasal 51 ayat (1) UU MK telah sesuai dengan konsep perlindungan HAM dalam Negara Hukum yang juga dijamin di dalam UUD 1945?
setiap orang tanpa membedakan bahwa pengujian suatu undang-undang kewarganegaraan orang tersebut. diajukan oleh seorang atau lebih WNA secara yuridis formal mereka tidak diperkenankan Seorang asing berhak atas perlindungan yang mengajukan pengujian tersebut. Hal ini sama berdasarkan undang-undang negara dilandaskan karena pemohon judicial review tempat ia berada dan berhak pula atas hak-hak hanya diperkenankan untuk perorangan WNI, tertentu untuk memberikan kemungkinan walaupun WNA tersebut memiliki alasan hak kepadanya hidup secara layak, seperti diatur konstitusionalnya dilanggar dan undangpada pasal 9 Konvensi Montevideo Tahun undang yang ada dianggap bertentangan atau 1933, yang menyatakan : “Nationals and tidak sesuai dengan UUD 1945, namun mereka foreigners are under the same protection of dalam pemeriksaan formil tidak dapat law and the national authorities and the dijadikan pemohon. Sehingga, pemeriksaan foreigners may not claim right other or more materiil pun tidak bisa di periksa oleh than those of nationals” (Warga negara dan Mahakamah Konstitusi. Perlu diketahui orang asing berada di bawah perlindungan bersama bahwa hak konstitusional yang hukum yang sama dan otoritas nasional dan bersumber dari UUD 1945 tidak hanya orang asing tidak boleh mengklaim hak selain dimiliki oleh WNI tetapi juga WNA. Oleh atau lebih dari warga negara) karena itu, constitusional loss juga dapat dialami oleh WNA. Selain itu, menunjuk pada Hak konstitusional yang bersumber dari UUD 1945 praktik Internasional bahwa konstitusi dan tidak hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia praktik peradilan negara-negara lain tidak tetapi juga Warga Negara Asing. Dan dengan menutup akses pengujian konstitusionalitas sendirinya constitusional loss juga dapat dialami oleh undang-undang yang menyangkut HAM yang warga Negara asing. Dengan demikian, pembatasan secara universal diakui dan dilindungi, terhadap warga Negara asing dalam mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap undangmeskipun terbatas pada hak-hak yang menurut undang yang dilakukan oleh pasal 51 ayat (1) huruf (a) sifatnya tidak menyangkut hubungan warga UU MK merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi negara dengan Negara. Manusia yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 BATASAN : Permohonan pengujian undang-undang menyangkut HAM sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945. Adapun soslusi yang kami berikan : Merevisi UU Mahkamah Konstitusi yang melimitasi permohon judicial review hanya bias diajukan oleh perorangan warga Negara Indonesia. Dengan demikian, perubahan terhadap pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo UU NO. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, secara sah mempunyai akibat terhadap penerapannya yang mengakibatakan diperluasnya legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang, sepanjang yang didalilkan menyangkut Hak Asasi Manusia sebagai tolak ukur pengujian. Sehingga dengan perubahan tersebut artinya telah diperluas mencakup orang asing yang bukan warga Negara.
Tidak dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu undang-undang Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due process of law, maka dari itu kami menawarkan suatu solusi yaitu bilamana seseorang dianggap telah dilanggar hak nya sebagai warga Negara (asing) maka dapat melakukan banding, hingga kasasi.