BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
LAPORAN KASUS FERBUARI 2019
ODS PTERYGIUM
Disusun oleh:
Farra Y. Pattipawae (2018-84-057) Pembimbing:
dr. Carmila Tamtelahitu, Sp.M
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “ODS Pterygium”. Maksud dari penyusunan laporan ini adalah untuk memenuhi persyaratan dalam stase MATA, sekaligus sebagai
i
bahan bacaan yang memberikan kontribusi positif bagi koass dalam menambah pengetahuan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya. Akhirnya, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan khususnya dalam dunia kedokteran dan bermanfaat bagi pembaca.
Ambon, Februari 2019 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.......................................................................................ii DAFTAR ISI.....................................................................................................iii BAB I LAPORAN KASUS..............................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................5 2.1 Anatomi Konjungtiva ..........................................................................5 2.2 Definisi.................................................................................................8 2.3 Epidemiologi.........................................................................................8 2.4 Etiologi.................................................................................................9 2.5 Klasifikasi ............................................................................................12
ii
2.6 Patofisiologi .........................................................................................12 2.7 Manifestasi Klinis ................................................................................13 2.8 Diagnosis..............................................................................................14 2.9 Penatalaksanaan ...................................................................................14 BAB III DISKUSI............................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19
iii
BAB I LAPORAN KASUS A.
B.
IDENTITAS Nama TTL Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Pekerjaan No.RM Waktu Pemeriksaan Ruang Pemeriksaan
: Nn. MA : 27-10-1969 : 49 tahun : Perempuan : Desa air buaya : Islam : Pegawai Negeri Sipil : 00-19-41 : Senin, 11 Februari 2019 : Klinik Mata Utama Maluku
ANAMNESIS 1. Keluhan utama: Kedua Mata kabur 2. Anamnesis terpimpin: Pasien merasakan penglihatnnya mulai menurun, mata terasa kabur, mata merah (+), nyeri (+), pusing (+), Mata gatal dan berair sejak ± 2 tahun yang lalu. 3. Riwayat penyakit dahulu: 4. Riwayat penyakit sistemik: Hipertensi 5. Riwayat pengobatan: 6. Riwayat keluarga:-
C.
PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis / GCS E4V5M6 Tekanan Darah : 160/90 mmHg BB : 49,66kg Nadi : 80x/menit Respirasi : 20x/menit 1
Suhu : 36,5oC 2. Status Oftalmologi a. Visus: VOD: 6/6 f VOS: 6/60 ph tetap b. Segmen anterior ODS: dengan pen light
OD
Segmen Anterior
OS
Bola Mata
Edema (-), blefarospasme (-),
Palpebra
Edema (-), blefarospasme (-), eritema
eritema (-), ektropion (-), entropion
(-), ektropion (-), entropion (-),
(-), sekret (-), hematom (-)
sekret (-), hematom (-)
Kemosis (-), subconjunctival bleeding (-), hiperemis (-), jaringan
Konjungtiva
fibromuskular (-)
bleeding (-), hiperemis (-), jaringan fibromuskular (+)
Jernih (-),edema (-), ulkus (-), korpus alienum (-), defek epitel
Kemosis (-), subconjunctival
Jernih (-),edema (-), ulkus Kornea
(-)
(-), korpus alienum (-), defek epitel (-)
hipopion (-), hifema(-)
Bilik Mata Depan
hipopion (-), hifema(-)
Warna coklat tua, radier, sinekia (-)
Iris
Warna coklat tua, radier, sinekia (-)
Bulat, 3 mm
Pupil
Bulat, 3 mm
Jernih,
Lensa
Jernih,
2
Gambar Skematik
c. Tekanan Intra Okuli:
TOD: 22 mmHg TOS: 30 mmHg d. Pergerakan Bola Mata: ODS Normal, bisa ke segala arah e. Funduskopi ODS: Tidak dilakukan
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan.
E.
DIAGNOSIS KERJA ODS Hipertensi Oculi + ODS Pterigium
F.
DIAGNOSIS BANDING Pseudopterigium
G.
PERENCANAAN a. Terapi Operatif (Eksisi Pterigium + autograft subkonjungtiva) Natrium Kalium Chlorid 4dd gtt 1 ODS Dexametahasone Neomycin 4dd gtt 1 OS b. Monitoring Keluhan dan Segmen anterior c. Edukasi Penjelasan mengenai kondisi mata pasien saat ini Tindakan pengobatan yang harus dilakukan terhadap pasien Prognosis
3
H.
PROGNOSIS a. Quo ad Vitam : Bonam b. Quo ad Functionam : Bonam c. Quo ad Sanasionam : Dubia ed Bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
ANATOMI MATA Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
4
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.1 Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissure palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.2 Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:2 1. Konjungtiva Palpebra Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui. 2. Konjungtiva Bulbi Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler
5
rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera. 3. Konjungtiva Forniks Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.2
Gambar 2.1. Konjungtiva Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.2 Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval 6
yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.2 Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.2
2.2 DEFINISI PTERIGIUM Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.3,4,5 Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.
7
Gambar 2.2 Pterigium 2.3 EPIDEMIOLOGI Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.7 Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relative angka kejadian di lintang bawah.7 Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.7,8 2.4 ETIOLOGI Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
8
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.4,7,9 Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.9 Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8 Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah
9
penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 9 Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif. 10
2.5 KLASIFIKASI Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu: 1.
Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. - Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapilerkapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
10
- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini dengan yang lain.Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan 2.
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
- Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea - Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. - Stadium III : jika pterygium sudah melebihi tepi limbus >2 mm tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). - Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan
Gambar 2.3 Stadium pterigium 3.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:
- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium) - Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang. 4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu: 11
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat - T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat - T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
2.6 PATOFISIOLOGI Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenic bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8 Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,8 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
12
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8 2.7 MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.1,6,8
2.8 DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2,6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
13
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.6 2.9 PENATALAKSANAAN Terapi Konsevatif Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8 Operatif Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8 Menurut Ziegler : 1. 2. 3. 4. 5.
Mengganggu visus Mengganggu pergerakan bola mata Berkembang progresif Mendahului suatu operasi intraokuler Kosmetik
Menurut Guilermo Pico: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Progresif, resiko rekurensi > luas Mengganggu visus Mengganggu pergerakan bola mata Masalah kosmetik Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8 1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
14
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil. 3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisiuntuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. 4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. 5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis)
2.1 DIAGNOSIS BANDING Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sclera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11 Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11 2.2 KOMPLIKASI Pra-operatif: 1. Astigmat Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada 15
meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat. 2. Kemerahan 3. Iritasi 4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea 5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan diplopia. Intra-operatif: Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12 Pasca-operatif: Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut: 1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graftkonjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina. 2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea 3. Pterygium rekuren. 2.3 PROGNOSIS Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.6
16
BAB III DISKUSI
Pasien perempuan, usia 40 tahun datang ke poli klinik mata RSUD Dr. M. Haulussy dengan Keluhan mata kabur sejak 2 minggu yang lalu pada mata kiri, Pasien mengeluh seperti ada luka pada matanya dan sering merasa mata berair dan perih. Mata kanan pasien pernah di operasi pengangkatan pterigium sebelumnya. Pasien dulunya bekerja di Rumah makan dan bertugas untuk membakar ikan dan seafood. Gambaran klinik pada pasien sesuai dengan kepustakaan gambaran dari pterigium yaitu pertumbuhan selaput berbentuk segitiga dengan puncak di limbus dan tepi kornea yang makin hari makin menjalar, yang dapat asimptomatik, rasa tidak nyaman, sensasi benda asing. Didukung juga oleh factor risiko riwayat terpapar asap dan panas langsung yang sering. Pada pemeriksaan fisik segmen anterior dengan pen light pasien ditemukan adanya pterigium grade III-IV pada mata kiri. Penatalaksanaan pada pasien yaitu diberikan terapi medikamentosa berupa pemberian air mata buatan, pemberian prednisone acetat untuk mencegah inflamasi berlebihan.
17
REFERENSI 1. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum:edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119. 2. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi 3. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010. 4. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium 5. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum:edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119. 6. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117. 7. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009. 8. Jerome P Fisher, Pterygium [online]. 2011 [cited 2011 Oktober 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview 9. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :http: www.dokter-online.org/index.php.html 10. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach toDepositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366 11. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366 12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from
:
18
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/963/followup/complic ations.html
19