LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON (Ekstrak Rheum officinale L. ) TUGAS 5
Disusun Oleh : Nanda Trisna Olivia (201610410311015) Farmasi A / Kelompok 4
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Identifikasi senyawa golongan antrakinon (ekstrak Rheum officinale L). 1.2 Tujuan Mahasiwa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan antrakinon dalam tanaman. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TANAMAN Kelembak merupakan salah satu tanaman yang sering digunakanuntuk pengobatan di Indonesia. Bagian yang digunakan dalam tanaman ini adalahakar dan rhizomanya. Dengan indikasi untuk mengobati konstipasi, jaundice,amenorea (tidak haid). Zat aktif yang ada dalam tanaman ini antara lain turunanantrakinon (termasuk glikosida), rhein, emodin, chrysophanol, aloe- emodin,physcion (Depkes, 2010). Nama-nama daerah untuk kelembak yaitu di daerah Jawa Tengan danMadura bernama Kelembak, dan di Sunda bernama Kalembak (Depkes, 2010). Klasifikasi tanaman kelembak adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Polygonales Famili : Polygonaceae Genus : Rheum Spesies : Rheum officinale Baill. (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Kelembak termasuk tanaman perdu atau terna, yang tumbuh kadang-kadang memanjat, jarang yang berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks. Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar, umumnya ada seludang daun atau upih. Bunganya hermafrodit, jarang berumah 1 atau 2, muncul di ketiak daun atau di ujung ranting; aktinomorf, ada kelopak tetapi tidak ada mahkota. Tepala 4-6, benang sari 4-9. Bakal buahnya menumpang, pipih atau berbentuk segitiga, beruang 1, isi 1 bakal biji. Buahnya kering tidak terbelah dan bijinya tidak bersayap. Kelembak mempunyai akar berupa potongan padat, keras, berat, bentuknya hampir silindrik, serupa kerucut atau berbentuk kubus cekung, pipih atau tidak beraturan. Kadang berlubang dengan panjang 5 cm sampai 15 cm, lebarnya 3 cm sampai 10 cm, permukaannya yang terkupas agak tersudut-sudut, umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan terang, bagian dalamnya berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan. Pada pengamatan dengan kaca pembesar terhadap bidang melintang terlihat garis-garis
tersebut pada beberapa tempat merupakan bentuk bintang. Patahan melintang tidak rata, berbutir-butir putih kelabu, merah muda sampai coklat merah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). b. Kandungan Kimia Kelembak mempunyai kandungan antranoid, khusunya glikosida antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga mengandung asam oksalat, tanin yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin. Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall et al, 1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983). Secara umum tanaman ini mengandung kandungan : Asam Krisofat, krisofanin, rien-emodin, aloe-emodin, reokristin, alizarin, glukogalin, tetrazin, katekin, saponin, tannin 11,80%, amilum dan kuinon. Setiap bagian bagian tubuhnya mengandung zat-zat kimia yang berbeda; Akar dan daunnya mengandung flavonoida, di samping itu akarnya juga mengandung glikosida reumemodin, krisofanol, rafontisin dan saponin, sedangkan daunnya sendiri mengandung polifenol, antraglikosida dan frangula-emodin. Pada batangnya mengandung asam Krisofhanat, Emodian dan Rhein (Depkes, 2008). 2.2 GOLONGAN SENYAWA Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning sampai merah sindur (oranye), larut dalam air panas atau alkohol encer. untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger . antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. antron bewarna kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya, yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar (berfluoresensi) kuat. Antrakinon merupakan senyawa turunan antrasena yang diperoleh dari reaksi oksidasi antrasena. Golongan ini memiliki aglikon yang sekerabat dengan antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10), larut dalam air panas atau alkohol encer. Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron denantranol terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida (Stanisky, 2003). Glikosida antrakinon adalah stimulan katartika dengan meningkatkan tekanan otot polos pada dinding usus besar, aksinya akan terasa sekitar 6 jam kemudian atau Iebih lama. Adapun mekanisme belum jelas, namun diduga antrakinon dan antranol dan turunannya berpengaruh terhadap tranpor ion daam sel colon dengan menghambat kanal ion Cl. Untuk antron dan antranol mengeluarkan kegiatan lebih drastik (itulah sebabnya ada beberapa simplisia yang boleh digunakan setelah disimpan selama satu tahun, untuk mengubah senyawa tersebut menjadi antrakinon) Di alam golongan senyawa antrakinon dibentuk melalui paling sedikit 2 jalur, yaitu jalur asam asetat malonat (poliketida) atau jalur asam sikamat-asam korismat. Golongan
antrakinon yang dibentuk melalui jalur poliketida biasanya merupakan turunan 1,8dihidroksi antrasena.
A. Antrakuinon Antrakuinon merupakan golongan dari senyawa glikosida termasuk turunan. Antrakuinon merupakan senyawa kristal bertitik leleh tinggi, dan larut dalam pelarut organik dan basa. Antrakuinon mudah terhidrolisis. Senyawa antrakuinon dan turunannya seringkali berwarna kuning sampai merah sindur (oranye). Untuk identifikasi senyawa antrakuinon digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakuinon memberikan warna reaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger. Jika larutan ditambah dengan ammonia maka larutan tersebut akan berubah warna menjadi merah untuk antrakuinon dan kuning untuk antron dan diantron. Antron adalah bentuk antrakuinon yang kurang teroksigenasi dari antrakuinon, sedangkan diantron terbentuk dari dua unit antron kuinon (Sirait, 2007).
Gambar struktur kimia antrakuinon Turunan antrakuinon yang terdapat dalam bahan-bahan purgativum berbentuk dihidroksi fenol, trihidroksi fenol seperti emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Turunan antrakuinon sering kali berwarna merah oranye. (Robinson, 1995). a) Antron Antron (9,10-dihidro-9-oxsanthracene) merupakan hasil reduksi antrakuinon. Antron bereaksi secara spesifik dengan karbohidrat dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna biru kehijauan yang khas.
Mekanisme pembentukan warna antron dengan gula telah diteliti. Hird dan Isenhour (1932) dan Wolform et al (1948) menpostulasikan bahwa karbohidrat dan turunannya mengalami pembentukan cincin dalam keberadaan asam kuat dari mineral, seperti yang ditunjukkan untuk glukosa. Karbohidrat dalam asam sulfat akan dihidrolisis menjadi monosakarida dan selanjutnya monosakarida mengalami sehidrasi oleh asam sulfat menjadi furfural atau hidroksil metil furfural.
b) Antranol Antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar (berfluoresensi) kuat. Larut dalam air panas dan alkohol encer. Berkhasiat memperkuat peristaltic usus besar.
c) Diantron Senyawa dimer tunggal atau campuran dari molekul antron. Hasil oksidasi antron (misalnya larutan dalam aseton yang diaerasi dengan udara). Diantron merupakan aglikon penting dalam Cassia, Rheum,dan Rhamnus.
d) Oksantron Oksantron merupakan zat antara antara antrakinon dan antranol. Senyawa ini terdapat dalam Frangulae cortex.
2.3 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam(uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar inidapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Ganjdar,2007). Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau kromatografi kolom, melakukan screeningsampel untuk obat (Ganjdar,2007). Analisa kualitatifdengan KLT dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatifdilakukan dengan 2 cara, yaitu mengukur bercak langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-dekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan analisis lanjutan (Ganjdar,2007). Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya.Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsidan partisi (Ganjdar,2007). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak : Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silica gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.Solut-solut ionik dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan asam (Ganjdar,2007). Dalam KLT tedapat factor resistensi (Rf) yang dirumuskan sebagai berikut :
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen. Sebaliknya jika Rf terlalu rendah, maka kepolaran eluen harus ditambah. Faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah : (Stahl,1985) a. Ukuran partikel pada adsorben b. Derajat keaktifan dari lapisan penjerap c. Ketetapan perbandingan dari eluen d. Konsentrasi zat yang dipanaskan e. Kejenuhan chamber f. Diameter penotol g. Tehnik percobaan h. Suhu i. Keseimbangan
j. Jumlah cuplikan yang digunakan k. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap l. Pelarut m. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan n. Dan lain-lain Cara menggunakan KLT : 1. Potong plat sesuai ukuran. Biasanya, untuk satu spot menggunakan plat selebar 1 cm. berarti jika menguji 3 sampel (3 spot) berarti menggunakan plat selebar 3 cm. 2. Buat garis dasar (base line) dibagian bawah, sekitar 0,5 cm dari ujung bawah plat, dan garis akhir di bagian atas. 3. Menggunakan pipa kapiler, totolkan sampel cairan yang telah disiapkan sejajar, tepat di atas base line. Jika sampel padat, larutkan pada pelarut tertentu. Keringkan totolan. 4. Dengan pipet yang berbeda, masukkan masing-masing eluen ke dalam chamber dan campurkan. 5. Tempatkan plat pada chamber berisi eluen. Base line jangan sampai tercelup oleh eluen. Tutuplah chamber. 6. Tunggu eluen mengelusi sampel sampai mencapai garis akhir, di sana pemisahan akan terlihat 7. Setelah mencapai garis akhir, angkat plat dengan pinset keringkan dan ukur jarak spot. Jika spot tidah kelihatan, amati pada lampu UV. Jika masih tak terlihat, semprot dengan pewarna tertentu seperti kalium kromat, asam sulfat pekat dalam alcohol 96% atau ninhidrin. Berikut ini adalah gambarnya :
Manfaat penggunaan KLT antara lain; a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat. b. Pemeriksaan simplisia hewani dan tanaman. c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat. d. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat.
BAB III PROSEDUR KERJA 3.1 ALAT DAN BAHAN No Alat 1. Pipet 2 Cawan Porselen 3 Tabung Reaksi 4 Penjepit Kayu 5 Gelas Ukur 6 Plat KLT 7 Bejana KLT 8 Corong 9 Kapas 10 Vial 11 Batang Pengaduk
No 1. 2 3 4 5 6 7 8
Bahan Ekstrak Rheum officinale L. Toluena Aquadest KOH 0,5 N Amonia pekat H2O2 encer Etil Asetat Asam Asetat Glasial
3.2 PROSEDUR KERJA a. Reaksi Warna 1. Uji Borntrager 1) Ekstrak sebanyak 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest, saring, lalu filtrat diekstraksi dengan 5 ml toluena dalam corong pisah. 2) Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, disebut sebagai larutan VA dan VB. 3) Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambah amonia pekat 1 ml dan dikocok. 4) Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. 2. Uji Modifikasi Borntrager 1) Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1 ml H 2O2 encer. 2) Dipanaskan selama 5 menit dan disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena. 3) Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan VIA dan VIB 4) Larutaan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambah amonia pekat 1 ml. Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanya antrakinon.
b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 1. Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan : Fase diam
: Kiesel gel GF 254
Fase gerak
: Toluena–Etil asetat–Asam asetat glasial (75 : 24 : 1)
Penampak noda
: Larutan KOH 10% dalam metanol
2. Timbulnya noda berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau hijau ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon.
3.3 SKEMA KERJA A. Uji Borntraeger
Ekstrak 0,3 gram (Rheum officinale)
Ditekstraksi dengan 10 ml aquadest panas
Fase toluene dikumpulkan dan dibagi 2 (VA dan VB)
Diekstraksi dalam corong pisah diekstraksi 2 kali
VA sebagai blanko
Disaring
Filtrat diekstraksi dengan 5 ml toluene
VB ditambah 1 ml Ammonia pekat dan dikocok
Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon
B. Uji Modifikasi Borntraeger
Ekstrak 0,3 gram (Rheum officinale)
Filtrat ditambah asam asetat glasial
Diekstraksi deangan 5 ml toluena
Ditambah 5 ml KOH 0,5 N
Disaring
Fase toluene dikumpulkan dan dibagi 2 (VA dan VB)
Ditambah 1 ml H2O2 encer
Dipanaskan selama 5 menit
VA sebagai blanko
Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanya senyawa antrakinon
VB ditambah 1 ml Ammonia pekat dan dikocok
C. Kromatografi Lapis Tipis
Sampel
Totolkan pada fase diam Kemudian dieluasi
Jika timbul warna kuning, kuning coklat , merah ungu atau hijau ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon
-
Fase diam Fase gerak Penampak noda
: Kiesel Gel 254 : Toluena : Etil Asetat : Asam Asetat Glasial (75 : 24 : 1) : Larutan KOH 10 % dalam methanol
DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. & Bakhuizen van den Brink, Jr., R.C. 1965. Flora of Java Volume II. . N.V.P Noordhoff – Groningen, the Netherlands. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Farmakope Herbal Indonesia, Edisi I, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta. Gandjar, Ibnu Gholib. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Gunawan, D dan Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam.Penebar Swadaya : Jakarta. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan tinggi. ITB Press : Bandung. Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB: Bandung. Stanitsky, Conrad L. 2003. Chemistry in Context. New York: Mc Graw-Hill.