Laporan Penyakit Parasitologi.docx

  • Uploaded by: Sinta
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Penyakit Parasitologi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,572
  • Pages: 8
LAPORAN PENGAMATAN PENDERITA PENYAKIT CACING Kremi (Enterobius vermiculrais) A. Hari/tanggal pengamatan

: Kamis 22 November 2018

B. Judul pengamatan

: Pengamatan Penderita Penyakit Cacing

Kremi (Enterobius vermicularis) di RT/RW 12/03 Dusun Kunci Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. C. Tujuan praktikum

:

1. Mengamati gejala penderita penyakit cacing Enterobius vermiculrais. 2. Menganalisis penyakit cacing Enterobius vermicularis. D. Landasan Teori Enterobius vermicularis Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing E. vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia dikenal sebagai infeksi cacing kremi (Noer, 1996). Penyakit ini identik dengan anak-anak, meski tak jarang orang dewasa juga terinfeksi. a. Morfologi Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing betina gravid, uterus melebar dan penuh telur. Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti tanda tanya, spikulum jarang ditemukan. Telur E. vermicularis oval, tetapi asimetris (membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan, serta rerata panjangnya x diameternya 47,83 x 29,64 mm (Brown, 1979). Telur cacing berukuran 50μm - 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar.

Gambar 1. cacing E.vermecularis jantan dan betina

Gambar 2. telur cacing E.vermecularis

Gambar 3. Cacing betina yang bermigrasi ke perianal untuk meletakkan telurnya b. Siklus hidup Manusia merupakan satu-satunya hospest bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam caecum, termasuk appendix.

Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur (Garcia dan Bruckner, 1998). Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kirakira 6 jam setelah dikeluarkan pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari (Gandahusada, dkk. 200). Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis (Mandell et al., 1990). Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati setelah kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.

Gambar 3. Siklus hidup E. vermicularis

c.

Epidemiologi Prevalensi cacing di Indonesia, menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesa (P4I), tahun 1992 untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95% dan cacing tambang 30 – 59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997) menyebutkan, prevalensi anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60%. Cacing ini sebagian besar menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Brown, 1979). Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita. Distrik Mae Suk, Provinsi Chiangmai Thailand ditemukan anak laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 48,8% dibandingkan dengan anak perempuan yang hanya 36,9% pada umur 4,58 ± 2,62 tahun (Chaisalee et al., 2004). Sedangkan di Yogyakarta infeksi cacing lebih banyak ditemui pada penderita laki-laki dibandingkan penderita perempuan. Tingkat infeksi juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan. Semakin besar aktivitas yang berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan terbuka maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi.

d. Penularan penyakit Enterobiasis menular setidaknya melalui 3 cara, yaitu: 1). Penularan dari tangan ke mulut setelah menggaruk perianal (autoinfeksi). 2). Tangan menyebarkan telur ke orang lain maupun diri sendiri setelah memegang benda-benda 3). Pakaian yang terkontaminasi, debu merupakan sumber infeksi. Infeksi melalui inhalasi yang mengandung telur, retroinfeksi melalui anus. Larva yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus.

e. Patologi dan Gejala Klinis Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis yang menonjol berupa pruritus ani, disebabkan oleh iritasi disekitar anus akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk meletakkan telurtelurnya. Gatal-gatal di daerah anus terjadi saat malam hari, karena migrasi cacing betina terjadi di waktu malam. Cacing betina gravid, sering mengembara dan bersarang di vagina serta tuba fallopi. Sementara sampai di tuba fallopi menyebabkan salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang ditemukan.

f. Diagnosis Diagnosis dilakukan berdasarkan riwayat pasien dengan gejala klinis positif. Diagnosis pasti dengan ditemukannya telur dan cacing dewasa. Selain itu, diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dan anal swab dengan metode Scotch adhesive tape swab (Faust et al., 1979). Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan adanya cacing dewasa. Cacing jantan dewasa setelah kopulasi mati dan keluar bersama tinja. Sementara dengan metode Scotch adhesive tape swab, dapat menemukan telur yang diletakkan didaerah perianal (Faust et al., 1979). Metode yang kedua lebih mudah dilakukan, dan lebih sering dilakukan. Selain biaya yang relatif murah, juga kerja yang cepat. Cara kerja metode tersebut hanya menempelkan sisi lekat celophan tape ke daerah perianal, kemudian dengan menggunakan xylol atau toluol untuk menjernihkan, dapat ditemukan adanya telur cacing kremi. Metode ini juga sangat efektif. Sekali melakukan pemeriksaan dengan swab dapat menemukan 50% dari semua infeksi, tiga kali pemeriksaan 90%, dan pemeriksaan 7 hari berturut-turut diperlukan untuk menyatakan seseorang bebas infeksi (Faust et al., 1979).

g. Terapi dan Pencegahan Pengobatan enterobiasis efektif jika semua penghuni rumah juga diobati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang digunakan antara lain piperazin, pirvinium, tiabendazol

dan

stilbazium

iodida

(Gandahusada

et

al.,

2000).

Pengobatan enterobiasis adalah sebagai berikut : 1). Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari selama 8 hari. 2). Pirvinium pamoat, diberikan dengan dosis 5 mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian. 3). Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram. Pencegahan dengan menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti sprei teratur, ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Kalau perlu toilet dibersihkan dengan menggunakan desinfektan (Noer, 1996). Selain itu, peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi kelompok dapat membantu pencegahan. E. Hasil pengamatan : GAMBAR Cacing dewasa

Enterobius

vermicularis Penderita Cacing vermicularis

Enterobius

Ket Gambar: Penderita penyakit Ket Gambar: cacing vermicularis

Enterobius cacing Enterobius vermicularis usia 8 tahun.

GAMBAR Kuku jari tangan penderita Kuku jari kaki penderita Cacing Cacing Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis

Ket Gambar: kuku jari tangan penderita tampak kotor dan Ket Gambar: kuku jari kaki panjang dan panjang terlihat kotor F. Pembahasan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di RT/RW 12/03 Dusun Kunci Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, dari responden yang menderita penyakit cacing sebesar 1 orang anak usia 8 tahun, dan yang pernah menderita penyakit cacingan 5 orang berusia 5-10 tahun. Penyakit cacingan ini rata-rata disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis. Enterobiasis menular setidaknya melalui 3 cara, yaitu: 1). Penularan dari tangan ke mulut setelah menggaruk perianal (autoinfeksi). 2). Tangan menyebarkan telur ke orang lain maupun diri sendiri setelah memegang benda-benda. 3). Pakaian yang terkontaminasi, debu merupakan sumber infeksi. Infeksi melalui inhalasi yang mengandung telur, retroinfeksi melalui anus. Larva yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus. Tingkat infeksi juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan. Semakin besar aktivitas yang berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan terbuka maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi. Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Usia anak-nakalebih rentan terinfeksi penyakit ini karena seringya aktivitas yang kontak langsung dengan lingkungan.

Seperti bermain di lumpur, tidak biasa cuci tangan, dsb. Gejala klinis yang menonjol berupa pruritus ani, disebabkan oleh iritasi disekitar anus akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk meletakkan telur-telurnya. Gatal-gatal di daerah anus terjadi saat malam hari, karena migrasi cacing betina terjadi di waktu malam. Pencegahan dengan menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti sprei teratur, ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Kalau perlu toilet dibersihkan dengan menggunakan desinfektan (Noer, 1996). Selain itu, peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi kelompok dapat membantu pencegahan. Pengobatan enterobiasis efektif jika semua penghuni rumah juga diobati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obatobatan yang digunakan antara lain piperazin, pirvinium, tiabendazol dan stilbazium iodida (Gandahusada et al., 2000).

G. Kesimpulan Berdasarkan Pengamatan yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa masih rendah pengetahuan masyarakat tentang gejala dan penanganan penyakit cacing Enterobius vermiculrais.

DAFTAR RUJUKAN Brown, H.W. 1979. Dasar Dasar Parasitologi Klinis. Penebar Swadaya: Jakarta. Chaisalee, T., Tukaew, A., dan Suwansaksri, J. 2004. Verry high prevalence of Enterobiasis Among The Hilltribal Children in rural district “Mae Suk” . Med Gen Med: Thailand. Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta. Garcia, L. S., dan Bruckner, D. A. 1998. Diagnostim Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC: Jakarta. Faust, E. C., dan Russel, P. F. 1979. Craig And Faust’s Paraitology. 8th ed. Lea and Febriger. Philadelphia. Noer, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. FKUI: Jakarta.

Related Documents


More Documents from "asfira"

Diare.pptx
December 2019 59
Siroh Nabi Sulaiman.docx
October 2019 73
Anemia Dr Ineu 1.docx
December 2019 44
Default(2).pdf
April 2020 25
Malaria.docx
December 2019 35
Ppt Uji Protein.pptx
December 2019 38