Anemia Dr Ineu 1.docx

  • Uploaded by: sinta
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anemia Dr Ineu 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,434
  • Pages: 14
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang Secara sederhana anemia sering diartikan sebagai kekurangan darah. Secara teoritis anemia merupakan istilah untuk menjelaskan rendahnya nilai hemoglobin (Hb) sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Pada anak anak, kekurangan zat besi atau Anemia defisiensi Besi (ADB) merupakan penyebab anemia terbanyak. Anemia kekurangan zat besi ialah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan zat besi tubuh. Prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia masih sangat tinggi, terutama pada wanita hamil, anak balita, usia sekolah dan pekerja berpenghasilan rendah. Pada anak-anak Indonesia angka kejadiannya berkisar 40-50%. Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) melaporkan kejadian anemia defisiensi besi sebanyak 48,1% pada kelompok usia balita dan 47,3% pada kelompok usia anak sekolah.1 ADB pada anak akan memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Selain itu berkurangnya kandungan besi dalam tubuh juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan berkurang. Masalah yang paling penting yang ditimbulkan oleh defisiensi besi yang berlangsung lama, adalah menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak.1

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Anemia

defisiensi

besi

adalah

anemia

yang

timbul

akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted ironstore) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.2

2.2.

Epidemiologi Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 612 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.2

3

2.3.

Etiologi

A. Bayi kurang dari 1 tahun 1.

Cadangan besi kurang, karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.

2.

Alergi protein susu sapi

B. Anak umur 1-2 tahun 1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih. 2. Obesitas 3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis. 4. Malabsorbsi. C. Anak umur 2-5 tahun 1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan. 2. Obesitas 3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus ataupun parasit). 4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis dsb).

4

D. Anak umur 5 tahun-remaja 1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) 2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri. 2.4.

Stadium Anemia Defisiensi Besi 1. Stadium I : Hanya ditandai oleh kekurangan persedian besi di dalam depot. Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi didalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang.disamping itu kadar ferritin/ saturasi transferrin di dalam serumpun dapat mencerminkan kaddar besi di dalam depot.1 2. Stadium II : Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.1 3. Stadium III : Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini di tandai oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar besi didalam serum.1

5

Table 1. Parameter Defisiensi Besi Parameter

Stadium I

Stadium II

Stadium III (jelas

(Normal= storage

Sedikit

menurun

irone def)

menurun

mikrositik/ hipokromik)

Cadangan besi (mg)

<100

0

0

Fe Serum (ug/dl)

Normal

<60

<40

TIBC (ug/dl)

360-390

>390

>410

Saturasi

20-30

<15

<10

Feritin serum (ug/dl)

<20

<12

<12

Sideroblas (%)

40-60

<10

<10

FEP (ug/dl)

>30

>100

>200

MCV

Normal

Normal

Menurun

Transferin(%)

2.5.

Patofisiologi Patofisiologi anemia defisiensi besi (ADB) disebabkan karena gangguan homeostasis zat besi dalam tubuh. Homeostasis zat besi dalam tubuh diatur oleh absropsi besi yang dipengaruhi asupan besi dan hilangnya zat besi/iron loss. Kurangnya asupan zat besi/iron intake, penurunan absropsi, dan peningkatan hilangnya zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh sehingga menimbulkan anemia karena defisiensi besi.3 Zat besi yang diserap di bagian proksimal usus halus dan dapat dialirkan dalam darah bersama hemoglobin, masuk ke dalam enterosit, atau disimpan dalam bentuk ferritin dan transferin. Terdapat 3 jalur yang berperan dalam absropsi besi, yaitu: (1) jalur heme, (2) jalur fero (Fe2+), dan (3) jalur feri (Fe3+). 3 Zat besi tersedia dalam bentuk ion fero dan dan ion feri. Ion feri akan memasuki sel melalui jalur integrin-mobili ferrin (IMP), sedangkan ion fero

6

memasuki sel dengan bantuan transporter metal divalent/divalent metal transporter (DMT)-1. Zat besi yang berhasil masuk ke dalam enterosit akan berinteraksi dengan paraferitin untuk kemudian diabsropsi dan digunakan dalam proses eritropioesis. Sebagain lainnya dialirkan ke dalam plasma darah untuk reutilisasi atau disimpan dalam bentuk ferritin maupun berikatan dengan transferin. Kompleks besi-transferrin disimpan di dalam sel diluar sistem pencernaan atau berada di dalam darah. Transport transferrin dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti. Kapisitas dan afinitias transferin terhadap zat besi dipengaruhi oleh homeostasis dan kebutuhan zat besi dalam tubuh. Kelebihan zat besi lainnya kemudian dikeluarkan melalui keringat ataupun dihancurkan bersama sel darah. Perdarahan baik makro ataupun mikro adalah penyebab utama hilangnya zat besi. Sering kali perdarahan yang bersifat mikro atau okulta tidak disadari dan berlangsung kronis, sehingga menyebabkan zat besi ikut terbuang dalam darah dan lama-kelamaan menyebabkan cadangan zat besi dalam tubuh ikut terbuang. Keadan-keadaan seperti penyakit Celiac, postoperasi gastrointestinal yang mengganggu mukosa dan vili pada usus, sehingga penyerapan besi terganggu dan menyebabkan homeostasis zat besi juga terganggu. 2,3 Kekurangan zat besi ini berlangsung dalam 4 tahap, yaitu: 1) Kadar Besi Normal Pada stadium awal kehilangan besi, masih dapat dikompensasi dengan cadangan ferritin dalam tubuh, sehingga kadar Hb masih terdeteksi normal. 2) Penurunan Besi Progresif Bila kehilangan besi terus berlanjut, akan terjadi balans negatif dari homeostasis zat besi. Cadangan zat besi akan semakin menurun tanpa menyebabkan anemia. Ketika cadangan ini terus dipakai dan semakin berkurang, masih terdapat zat besi di dalam tubuh dalam bentuk besi tidak stabil yang didapat dari sisa-sisa metabolisme dan

7

penyerapan besi. Bila defisiensi besi terus progresif, besi tidak stabil ini pun akan terpakai dan tubuh akan mengalami gejala-gejala anemia yang awalnya masih berbentuk normositik dan jumlah retikulosit masih normal. 3) Respon sumsum tulang dan eritropoietin (EPO) Defisiensi yang lebih parah dan terus berlanjut akan menimbulkan respon sumsum tulang dan EPO. Sumsum tulang dan eritropoietin memegang peranan

yang sangat

penting dalam

pembentukan sel darah. Sintesis heme dan globin juga diatur oleh protein kinase yang disebut dengan penghambat translasi diatur heme/heme-regulated translational inhibitor (HRI). Pada keadaan defisiensi besi yang terus berlanjut akan terjadi defisiensi heme, sehingga merangsang HRI akan memfosforilasi subunit alfa dari faktor translasi eIF2. Faktor eIF2 berfungsi untuk memproduksi globin, pada saat terfosforilasi fungsi sistensi globin akan terganggu sehingga konsentrasi

hemoglobin

dalam

darah

menurun

(hipokromik).

Eritropoietin akan berusaha untuk meningkatkan produksi sel darah, tetapi karena adanya defisiensi zat besi, respon ini tidak sempurna. Konsentrasi EPO akan meningkat tanpa adanya peningkatan retikulosit, sehingga membatasi proses eritopoiesis yang menyebabkan sel darah merah yang terbentuk berukuran kecil (mikrositik). 4) Perubahan Metabolisme Defisiensi

besi

yang

berlangsung

kronis

kemudian

menyebabkan cadangan besi sama sekali tidak ada, sehingga produksi hepsidin terhenti. Hepsidin adalah protein dalam liver yang mengatur keseimbangan zat besi. Tidak adanya hepsidin akan membuat absorpsi besi gastroinsteinal meningkat sehingga semakin mengganggu homeostasis zat besi dan pembentukan sel darah. 2.6.

Manifestasi klinis

8

Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara bertahap.Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodoti-roksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB. Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut.3 Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.3

2.7.

Diagnosis A. Anamnesis a) Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan

9

b) Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar c) Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut d) Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics) e) Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.

B. Pemeriksaan fisik. a) Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga. Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia b) Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL c) Tanpa organomegali d) Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal jantung, protein-losing enteropathy e) Rentan terhadap infeksi f) Gangguan pertumbuhan g) Penurunan aktivitas kerja

C. Pemeriksaan penunjang

10

a) Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi. b) Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%) pada talasemia trait. c) Ratio MCV/RBC (Mentzer index) » 13 dan bila RDW index (MCV/RBC xRDW) 220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari 220 merupakan tanda talasemia trait. d) Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan poikilositosis. e) Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi f) Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang tidak adekuat g) Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk menentukan defisiensi besi, mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronik h) Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat i) Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian preparat besi dengan dosis 3 mg/ kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5–10 hari diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.

Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.

D. Kriteria diagnosis ABD menurut WHO

11

1) Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia 2) Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%) 3) Kadar Fe serum <50 µg/dL (N: 80-180 µg/dL) 4) Saturasi transferin <15% (N: 20-50%) Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan: 1) Anemia tanpa perdarahan 2) Tanpa organomegali 3) Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target 4) Respons terhadap pemberian terapi besi

2.8.

Tatalaksana Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang abnormal, pasca pembedahan.4

a) Preparat besi Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Komposisi besi elemental: Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental b) Transfusi darah Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar Hb <4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.

12

2.9.

Pencegahan Anemia Defisiensi Besi

a) Pencegahan primer 1) Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan 2) Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun 3) Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun 4) Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan. 5) Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani 6) Pendidikan kebersihan lingkungan b) Pencegahan sekunder 1) Skrining ADB Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24

13

bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun. a) Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja. b) Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat skrining ADB c) Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte protoporphyrin (ZEP). d) Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera memberi terapi. 2) Suplementasi besi Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan: 

Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kg BB/hari



Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu



Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu



Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu

3) Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan makanan pendamping ASI seperti sereal

14

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ikatan dokter anak indonesia. Pendoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. 2009

2.

Simadibrata M, Daldiyono. Anemia defisiensi besi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p.548-56.

3.

World health organization. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009

4.

Ikatan dokter anak indonesia. Pendoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. 2009

Related Documents

Anemia Dr Ineu 1.docx
December 2019 44
Anemia Dr. Hari-1.docx
December 2019 13
Anemia
July 2020 33
Anemia
September 2019 46
Anemia
October 2019 41
Anemia
June 2020 20

More Documents from ""

Diare.pptx
December 2019 59
Siroh Nabi Sulaiman.docx
October 2019 73
Anemia Dr Ineu 1.docx
December 2019 44
Default(2).pdf
April 2020 25
Malaria.docx
December 2019 35
Ppt Uji Protein.pptx
December 2019 38