Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa.docx

  • Uploaded by: chintya
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,936
  • Pages: 45
LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

I.

PERILAKU KEKERASAN

A. DEFINISI Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000) Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Towsend,1998). B. TANDA DAN GEJALA Menurut Keliat (2006) adalah: a. Klien mengatakan benci / kesal dengan seseorang b. Suka membentak c. Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau kesal d. Mata merah dan wajah agak merah e. Nada suara tinggi dan keras f. Bicara menguasai g. Pandangan tajam h. Suka merampas barang milik orang lain i. Ekspresi marah saat memnicarakan orang C. TINGKATAN a. Triggering incidents Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk. b. Escalation phase Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan kekerasan. c. Crisis point Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal mencapai tujuannya. Pada fase ini klien sudah melakukan tindakan kekerasan.

d. Settling phase Klien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal. e. Post crisis depression Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus pada kemarahan dan kelelahan. f. Return to normal functioning Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan kelelahan.

D. KLASIFIKASI 1. Irritable aggression Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang tinggi (directed against an available target) 2. Instrumental aggression Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencana 3. Mass aggression Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat orang berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya individualitas, bila ada ada seseorang yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator) maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015) E. RENTANG RESPON (Stuart dan Sundeen, 1995)

a. Respon marah yang adaptif meliputi : 1. Pernyataan (Assertion) Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini biasanya akan memberikan kelegaan.

2. Frustasi Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan, atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak menemukan alternatif lain. b. Respon marah yang maladaptif meliputi : 1. Pasif Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. 2. Agresif Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi masih terkontrol. 3. Amuk dan kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol, dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

F. FAKTOR PREDISPOSISI (Keliat, 2002) Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan. Jika faktor berikut dialami oleh individu : a. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasaan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan. b. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif) dan control sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permissive) c. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerudakan system limbic, lobus, frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan. d. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.

G. FAKTOR PRESIPITASI (Keliat, 2002) Faktor Presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang rebut, padat, kritikan yang mengarah pada penghianatan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakam faktor penyebab yang lain.

H. MEKANISME KOPING Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain: 1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. 2. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. 3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. 4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. 5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.

II.

III.

PROSES TERJADINYA MASALAH

KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN Data Subyektif :  Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.  Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.  Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.  Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.  Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.  Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.  Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

Data Objektif :  Mata merah, wajah agak merah.  Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.  Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.  Merusak dan melempar barang-barang.  Mata merah, wajah agak merah.  Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.  Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.  Merusak dan melempar barang-barang.  Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

IV. MASALAH KEPERAWATAN a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan b. Perilaku kekerasan / amuk c. Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah

V. ANALISA DATA NO 1

DIAGNOSA Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

DATA SUBJEKTIF 1. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang. 2. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah. 3. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

DATA OBJEKTIF 1. Mata merah, wajah agak merah. 2. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain. 3. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam. 4. Merusak dan melempar barang-barang.

2

Perilaku kekerasan / amuk

1. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang. 2. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah. 3. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

1. Mata merah, wajah agak merah. 2. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai. 3. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam. 4. Merusak dan melempar barang-barang.

3

Gangguan harga diri : Klien mengatakan: saya tidak harga diri rendah mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN Perilaku Kekerasan

VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN 

TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.



Tujuan Khusus: 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya. Intervensi : 

Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.



Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.



Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Intervensi : 

Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.



Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.



Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Intervensi : 

Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.



Observasi tanda perilaku kekerasan.



Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Intervensi : 

Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.



Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang bisa dilakukan.



Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Intervensi : 

Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.



Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.



Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan. Intervensi : 

Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.



Diskusikan cara lain yang sehat.



Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.



Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung.



Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan. Intervensi : 

Bantu memilih cara yang paling tepat.



Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.



Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.



Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.



Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.

8. Klien mendapat dukungan dari keluarga. Intervensi : 

Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga.



Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program). Intervensi : 

Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).



Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).



Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999 Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

I. HALUSINASI

A. DEFINISI Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005). Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasarr-dasar organik fungsional, psikotik, maupun histerik (Yosep, 2007) Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.

B. TANDA DAN GEJALA Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut: 1. Bicara sendiri. 2. Senyum sendiri. 3. Ketawa sendiri. 4. Menggerakkan bibir tanpa suara. 5. Pergerakan mata yang cepat 6. Respon verbal yang lambat. 7. Menarik diri dari orang lain. 8. Berusaha untuk menghindari orang lain. 9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata. 10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

C. TINGKATAN 1. Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan Gejala klinis : a.

Menyeringai/ tertawa tidak sesuai

b. Menggerakkan bibir tanpa bicara c.

Gerakan mata cepat

d. Bicara lambat e.

Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan

2. Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan Gejala klinis : a.

Cemas

b. Konsentrasi menurun c.

Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata

3. Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan Gejala klinis : a.

Cenderung mengikuti halusinasi

b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain c.

Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah

d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk) 4. Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan Gejala klinis : a.

Pasien mengikuti halusinasi

b. Tidak mampu mengendalikan diri c.

Tidak mampu mengikuti perintah nyata

d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

D. KLASIFIKASI 1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya. 2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.

3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya. 4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya. 5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.

E. RENTANG RESPON Rentang respon emosi menurut Stuart dan Sundeen (1998 dalam Purba 2009) adalah sebagai berikut: Adaptif < ------------------------> Maladaptif Pikiran logis Kadang pikiran terganggu Gangguan proses pikir/ delusi Persepsi akurat Ilusi Halusinasi Emosi konsisten Emosi berlebihan atau Tidak mampu mengalami kurang Dengan pengalaman Emosi Perilaku sesuai Perilaku yang tidak biasa Perilaku tidak terorganisir Hubungan Positif Menarik Diri Isolasi Sosial

F. FAKTOR PREDISPOSISI Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah: 1. Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut: a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia. c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

2. Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. 3. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.

G. FAKTOR PRESIPITASI Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: 1. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. 2. Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. 3. Sumber koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

H. MEKANISME KOPING Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi (Muhith, 2015): 1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari 2. Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu benda 3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal 4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien

IV.

PROSES TERJADINYA MASALAH

V.

KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN Data Subjektif: 1. Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya. 2. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata. 3. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata. 4. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus. 5. Klien merasa makan sesuatu. 6. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya. 7. Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar. 8. Klien ingin memukul/ melempar barang-barang. 9. Klien mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi 10. Klien mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain. 11. Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.

1. 2. 3. 4.

Data Objektif: Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya. Klien berbicara dan tertawa sendiri. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.

5. 6. 7. 8.

Disorientasi. Klien terlihat lebih suka sendiri. Bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan. Ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

VI.

MASALAH KEPERAWATAN a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi. c. Isolasi sosial : menarik diri

VII.

ANALISA DATA NO 1

DIAGNOSA DATA SUBJEKTIF Risiko mencederai Klien mengatakan marah dan diri, orang lain dan jengkel kepada orang lain, lingkungan. ingin membunuh, ingin membakar atau mengacakacak lingkungannya.

DATA OBJEKTIF Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.

2

Perubahan sensori 1. Klien mengatakan perseptual : halusinasi mendengar bunyi yang tidak . berhubungan dengan stimulus nyata. 2. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata. 3. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus. 4. Klien merasa makan sesuatu. 5. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya. 6. Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.

1. Klien berbicara dan tertawa sendiri. 2. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu. 3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu. 4. Disorientasi.

7. Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.

3

Isolasi sosial : menarik diri

1. Klien mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi. 2. Klien mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain. 3. Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.

VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi b. Isolasi Sosial : Menarik Diri c. Risiko Perilaku Kekerasan d. Risiko Mencederai diri.

IX.

RENCANAN TINDAKAN KEPERAWATAN X. Tujuan Pasien mampu :

-

Mengenali halusinasi yang dialaminya

-

Mengontrol halusinasinya

1. Klien terlihat lebih suka sendiri. 2. Bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan. 3. Ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

-

Mengikuti program pengobatan Keluarga mampu : Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.

Kriteria Evaluasi

Intervensi

Setelah ….x pertemuan,

SP I

 Bantu pasien mengenal halusinasi (isi, waktu terjadinya,

pasien dapat menyebutkan : 



frekuensi, situasi pencetus, perasaan saat terjadi halusinasi.

Isi, waktu, frekuensi,

 Latih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.

situasi pencetus,

 Tahapan tindakannya meliputi :

perasaan.

- Jelaskan cara menghardik halusinasi.

Mampu memperagakan

- Peragakan cara menghardik

cara dalam mengontrol

- Minta pasien memperagakan ulang.

halusinasi

- Pantau penerapan cara ini, beri penguatan perilaku pasien - Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien

Setelah ….x pertemuan, 

pasien mampu : 

Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan.



SP 2 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1) Latih berbicara / bercakap dengan orang lain saat halusinasi muncul



Memperagakan cara

Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien

bercakap-cakap dengan orang lain Setelah ….x pertemuan pasien mampu :  

SP 3



Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan 2).Latih kegiatan agar

Menyebutkan kegiatan

halusinasi tidak muncul.

yang sudah dilakukan. 

Tahapannya :

Membuat jadwal

Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi

-

kegiatan sehari-hari dan

halusinasi.

mampu

-

Diskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien.

memperagakannya.

-

Latih pasien melakukan aktivitas.

-

Susun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih (dari bangun pagi sampai tidur malam)

-

Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan, berikan penguatan terhadap perilaku pasien yang (+)

Setelah

SP 4

….x pertemuan, pasien

Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1,2&3)

mampu :  



Tanyakan program pengobatan.

Menyebutkan kegiatan

Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa

yang sudah dilakukan. 

Jelaskan akibat bila tidak digunakan sesuai program.

Menyebutkan manfaat

Jelaskan akibat bila putus obat.

dari ssprogram



Jelaskan cara mendapatkan obat/ berobat.

pengobatan



Jelaskan pengobatan (5B).



Latih pasien minum obat



Masukkan dalam jadwal harian pasien

Setelah ….x pertemuan

SP 1 

keluarga

 Mampu menjelaskan  tentang halusinasi

Identifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien. Jelaskan tentang halusinasi :

-

Pengertian halusinasi.

-

Jenis halusinasi yang dialami pasien.

-

Tanda dan gejala halusinasi.

-

Cara merawat pasien halusinasi (cara berkomunikasi, pemberian obat & pemberian aktivitas kepada pasien).

-

Sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.

-

Bermain peran cara merawat.

-

Rencana tindak lanjut keluarga, jadwal keluarga untuk merawat pasien

Setelah ….x pertemuan keluarga mampu :

SP 2



Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1).



Latih keluarga merawat pasien.



RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat pasien



Menyelesaikan kegiatan yang sudah dilakuka



Memperagakan cara merawat pasien Setelah ….x pertemuan keluarga mampu :

 

SP 3



Evaluasi kemampuan keluarga (SP 2)

Menyebutkan kegiatan

Latih keluarga merawat pasien.

yang sudah dilakukan. 

RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat pasien

Memperagakan cara merawat pasien serta mampu membuat RTL Setelah ….x pertemuan keluarga mampu :

 

SP 4



Evaluasi kemampuan keluarga.

Menyebutkan kegiatan

Evaluasi kemampuan pasien.

yang sudah dilakukan. 

RTL Keluarga:

Melaksanakan Follow -

Follow Up

Up rujukan

Rujukan

-

DAFTAR PUSTAKA Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University Press. Yosep,I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: refika Aditama. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Edisi 3, EGC, Jakarta. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Jakarta: EGC.

Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Teori dan

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

I. ISOLASI SOSIAL A. DEFINISI Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang klien mengalami penuruanan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Keliat, 2010) Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari dari interaksi dengan orang lain. Individu marasa dirinya kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran prestasi, atau kegagalan . ia kesulian untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain (Balitbang, 2007). Kesimpulan : isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana indifidu tidak mau mengadakan interaksi terhadap komunitas disekitarnya, atau sengaja menghindari untuk berinteraksi yang dikarnakan orang lain atau keadaan disekitar diangap mengancam bagi indifidu tersebut.

B. TANDA DAN GEJALA Data subyektif       

Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan Pasien merasa tidak berguna Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

Data obyektif       

Tidak memiliki teman dekat Menarik diri Tidak komunikatif Tindakan berulang dan tidak bermakna Asyik dengan pikirannya sendiri Tak ada kontak mata Tampak sedih, afek tumpul

(Yosep iyus, 2009)

C. RENTANG RESPON

D. FAKTOR PREDISPOSISI 1. Faktor Perkembangan Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai usia lanjut untuk dapat mengembangkan hubungan social yang positif, diharapkan setiap tahapan perkembangan dapat dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social maladaptive. 2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku. a. Sikap bermusuhan/hostilitas b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, e. Ekspresi emosi yang tinggi 3. Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh

karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial. 4. Faktor Biologis Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia.

E. FAKTOR PRESIPITASI 1. Stresor Biokimia a. Teori dopamine yaitu kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejalagejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak 2. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial a. Stresor Psikologis Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

F. MEKANISME KOPING Individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (Gail, W Staurt 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian

ambang splitting, formasi reksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Dunia merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk melindungi diri, klien menjadi pasif dan kepribadiannya semakin kaku (rigid). Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan. Konflik antara kesuksesan dan perjuangan untuk meraih kesuksesan itu sendiri terus berjalan dan penarikan diri dari realitas diikuti penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan lingkungannya yang menimbulkan kesulitan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Menarik diri juga disebabkan oleh perceraian, putus hubungan, peran keluarga yang tidak jelas, orang tua pecandu alkohol dan penganiayaan anak. Resiko menarik diri adalah terjadinya resiko perubahan sensori persepsi (halusinasi).

III. DATA FOKUS PENGKAJIAN 1) Data Subjektif a) Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata b) Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata c) Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus d) Klien merasa makan sesuatu e) Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya f) Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar g) Klien ingin memukul/melempar barang-barang h) Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat, ya atau tidak. 2) Data Objektif a) Klien berbicar dan tertawa sendiri b) Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu c) Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu d) Disorientasi e) Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar, banyak diam, kontak mata kurang (menunduk), menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi menekur.

IV. MASALAH KEPERAWATAN a. Resiko perubahanm persepsi sensori: halusinasi…….. b. Isolasi sosial : menarik diri c. Gangguan konseps diri: harga diri rendah

V. ANALISA DATA NO DIAGNOSA 1 Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

DATA SUBJEKTIF 1. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak

DATA OBJEKTIF 1. Klien berbicar tertawa sendiri

dan

2.

3.

4. 5.

6.

7.

berhubungan dengan stimulus nyata Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus Klien merasa makan sesuatu Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar Klien ingin memukul/melempar barang-barang

2. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu 3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu 4. Disorientasi

2

Isolasi sosial menarik diri

: Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat, ya atau tidak.

Klien terlihat Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar, banyak diam, kontak mata kurang (menunduk), menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi menekur.

3

Gangguan konseps Klien mengatakan : saya tidak diri: harga diri bisa, tidak mampu, bodoh / rendah tidak tahu apa – apa, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri.

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri.

VI.DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri. 2. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan 1: Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi……. Berhubungan dengan menarik diri 1. Tujuan umum: Tidak terjadi perubahan persepsi sensori: halusinasi …. 2. Tujuan khusus: a. Klien dapat membina hubungan saling percaya Intervensi :  Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan tuiuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan / janji dengan jelas tentang topik, tempat, waktu.  Beri perhatian dan penghargaan: temani kilen walau tidak menjawab.  Dengarkan dengan empati : beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru, tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien. b. Klien dapat menyebut penyebab menarik diri Intervensi :  Bicarakan penyebab tidak mau bergaul dengan orang lain.  Diskusikan akibat yang dirasakan dari menarik diri. c. Klien dapat menyebutkan keuntungan hubungan dengan orang lain Intervensi :  Diskusikan keuntungan bergaul dengan orang lain.  Bantu mengidentifikasikan kernampuan yang dimiliki untuk bergaul. d.Klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap: klien-perawat, klien-perawat-klien lain, perawat-klien-kelompok, klien-keluarga. Intervensi :  Lakukan interaksi sering dan singkat dengan klien jika mungkin perawat yang sama.  Motivasi temani klien untuk berkenalan dengan orang lain

   

Tingkatkan interaksi secara bertahap Libatkan dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi Bantu melaksanakan aktivitas setiap hari dengan interaksi Fasilitasi hubungan kilen dengan keluarga secara terapeutik

e. Klien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain. Intervensi :  Diskusi dengan klien setiap selesai interaksi / kegiatan  Beri pujian atas keberhasilan klien f. Klien mendapat dukungan keluarga intervensi :  Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga  Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

Diagnosa 2: Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah 1.

Tujuan umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal 2. Tujuan khusus : a. Klien dapat membina hubungan saling percaya intervensi : 1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terpeutik 2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki Intervensi :  Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimilikiklien.  Setiap bertemu klien hindarkan dari penilaian negatif.  Utamakan memberi pujian yang realistik.

b. Klien dapat menilai kemampun yang dimiliki Intervensi :  Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit  Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkn penggunaannya.

c. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampun yang dimiliki Intervensi :  Rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan  Tingkatkan kegiatan sesuai toleransi kondisi klien  Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan d. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kondisi sakit dan kemampuannya Intervensi :  Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan  Beri pujian atas keberhasilan klien  Diskusikan kemungkinan pelaksanan di rumah e. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada Intervensi :  Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat dengan harga diri rendah  Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat  Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

klien

DAFTAR PUSTAKA Fitria, Nita.2010.Prinsip Dasar dan aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan keperawatan ( LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika Keliat A,Budi Akemat. 2009. Model Keperawatan Profesional Jiwa, Jakarta Yosep Iyus, 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama. Stuart, G.W> & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatrich Nursing, 8 ed. Missouri: Mosby, I

LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

G. HARGA DIRI RENDAH A. DEFINISI Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (keliat, 2011). Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak diterima lingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya (Barry, dalam Yosep, 2009). Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai keinginan.

B. TANDA DA GEJALA Menurut Carpenito, L.J (1998 : 352); Keliat, B.A (1994 : 20) 1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker 2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi jika saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri sendiri. 3. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa 4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri. 5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang memilih alternatif tindakan. 6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.

C. TINGKATAN Menurut Coopersmith (dalam Nugroho, 2010) harga diri dikelompokan menjadi tiga, yaitu : 1. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi, yaitu individu yang afektif ekspresif dan cenderung berhasil dalam bidang akademis dan sosial dengan rasa percaya diri dan kualitas pribadinya.

2. Individu yang memiliki harga diri sedang, yaitu individu yang memiliki ciri-ciri sama dengan individu yang memiliki harga diri tinggi, hanya cenderung membatasi diri terhadap lingkungan sosial. 3. Individu yang memiliki harga diri rendah, yaitu individu yang diliputi oleh kekhawatiran terhadap interaksi sosial dan tidak yakin akan keberadaan mereka. Mereka cenderung terisolir, kurang mampu mengekspresikan diri, takut dimarahi orang lain, didalam kelompok mereka cenderung hanya sebagai pendengar dari pada berpartisipasi.

D. KLASIFIKASI Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan). 2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.

E. RENTANG RESPON

1. Aktualisasi diri : pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima 2. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal –hal positif maupun yang negative dari dirinya 3. Harga diri rendah: individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa lebih rendah dari orang lain 4. Identitas kacau: kegagalan individu mengintegrasikan aspek – aspek identitas masa kanak – kanak ke dalam kematangan aspek psikososial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis

5. Depersonalisasi: perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.

F. FAKTOR PREDISPOSISI  Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi : 1. Faktor predisposisi gangguan citra tubuh a. Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi) b. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit) c. Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi tubuh d. Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterpi, transplantasi 2. Faktor predisposisi gangguan harga diri a. Penolakan dari orang lain b. Kurang penghargaan c. Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten d. Persaingan antar saudara e. Kesalahan dan kegagalan yang berulang f. Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan 3. Faktor predisposisi gangguan peran a. Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat sakit b. Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi c. Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai d. Peran yang terlalu banyak 4. Faktor predisposisi gangguan identitas diri a. Ketidak percayaan orang tua pada anak b. Tekanan dari teman sebaya c. Perubahan dari struktur sosial

G. FAKTOR PRESIPITASI Faktor pencetus terjadinya gangguan konsep diri bisa timbul dari sumber internal maupun eksternal klien, yaitu : a. Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya. b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga jenis transisi peran : c. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan penyesuaian diri. d. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambahnya atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian. e. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh : Kehilangan bagian tubuh. Perubahan bentuk, ukuran, panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.

H. MEKANISME KOPING 1. Jangka pendek a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis dentitas ( misal : konser musik, bekerja keras, menonton televisi secara obsesif ) b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara ( misal : ikut serta dalam aktivitas social, agama, klub politik, kelompok, atau geng ) c. Aktivitas sementara menguatkan perasan diri ( misal : olah raga yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan poipularitas ) d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan individu (misal : penyalahgunaan obat ). 2.

Jangka panjang a. Punutupan identitas ; adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting bagi individu tanpa memperlihatkan keinginan, aspirasi, dan potensi diri individu tersebut. b. Identitas negatif ; asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai dan harapan masyarakat.

c. Mekanisme pertahanan ego: 1. Penggunaan fantasi 2. Disosiasi 3. Isolasi 4. Projeksi 5. Pergeseran ( displasement ) 6. Peretakan ( splitting ) 7. Berbalik marah pada diri sendiri 8. Amuk

II. PROSES TERJADINYA MASALAH Harga diri terjadi karena perasaan dicintai dan mendapatkan pujian dari orang lain. Harga diri akan menjadi rendahketika tidak ada lagi cinta dan ketika adanya kegagalan, tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, merasa tidak berharga, gangguan citra tubuh akibat suatu penyakit sehingga akan menimbulkan suatu gambaran individu yang berperasaan negative terhadap diri sendiri.

III. DATA FOKUS PENGKAJIAN 1. Isolasi Sosial : menarik diri Data yang perlu dikaji a. Lebih bnayak diam b. Lebih suka menyendiri/hubungan interpersonal kurang c. Personal hygine kurang d. Merasa tidak nyaman diantara orang e. Tidak cukupnya keterampilan sosial f. Berkurangnya frekuensi, jumlah dan spontanitas dalam berkomunikasi 2. Gangguan konsep diri harga diri rendah Data yang perlu dikaji a. Perasaan rendah diri b. Pikiran mengarah c. Mengkritik diri sendiri d. Kurang terlibat dalam hubungan sosial e. Meremehkan kekurangan/kemampuan diri f. Menyalahkan diri sendiri g. Perasaan putus asa dan tidak berdaya

3. Koping individu tidak efektif a. Masalah yang dihadapi pasien (sumber koping) b. Strategi dalam menghadapi masalah c. Status emosi pasien

IV. MASALAH KEPERAWATAN 1. Gangguan isolasi sosial : menarik diri\ 2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah 3. Koping individu tidak efektif V. ANALISA DATA NO DIAGNOSA 1 Harga diri rendah

DATA SUBYEKTIF 1. Klien mengatakan bahwa dirinya merasa tidak berguna 2. Klien mengatakan bahwa dirinya tidak mampu 3. Klien mengatakan bahwa dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja 4. Klien mengatakan bahwa dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan dan toileting)

DATA OBJEKTIF 1. Klien terlihat mengkritik diri sendiri 2. Perasaan tidak mampu 3. Pandangan hidup ysng spesimis 4. Klien terlihat tidak menerima pujian 5. Klien terlihat adanya penurunan produktivitas 6. Penolakan terhadap kemampuan diri 7. Kurang memperhatikan perawatan diri 8. Klien terlihat berpakaian yang tidak rapih 9. Klien terlihat kurang nafsu makan 10. Klien terlihat tidak berani menatap lawan bicaranya 11. Klien terlihat lebih banyak menunduk

12. Klien bicara dengan dengan lambat dan nada yang lemah

VI. DIAGNOSA KEPERAWATANA 1. Harga Diri Rendah VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Diagnosa : harga diri rendah. Tujuan umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal. Tujuan khusus: 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya. a. Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip komunikasi terapeutik:  Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal  Perkenalkan diri dengan sopan  Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien  Jelaskan tujuan pertemuan  Jujur dan menepati janji  Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya  Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien 2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien. b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien. c. Utamakan memberi pujian yang realistik. 3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan. a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan. b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya. 4. Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari. b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien. c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan. 5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya. a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan. b. Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah 6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada. a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat klien dengan harag diri rendah.

b. Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat. c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN(basic course). Buku Kedokteran. Jakarta: EGC Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama. Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Wilkinson A. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Buku Kedokteran : EGC Kusumawati, F. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

H. DEFISIT PERAWATAN DIRI A. DEFINISI Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004). Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 ). B. TANDA DAN GEJALA Untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah kurang perawatan diri maka tanda dan gejala dapat diperoleh melalui observasi pada pasien yaitu: a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor. b. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan. c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya. d. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK

C. KLASIFIKASI 1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan 2. Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri. 3. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias. Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri. 4. Kurang perawatan diri : Makan Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan. 5. Kurang perawatan diri : Toileting

Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).

D. RENTANG RESPON

Keterangan : 1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stressor dan mampu untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yanh dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri. 2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stressor kadangkadang klien memperhatikan perawatab dirinya. 3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat stressor.

E. FAKTOR PEDISPOSISI 1. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu. 2. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri 3. Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuasn realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri. 4. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

F. FAKTOR PRESIPITASI Menurut Depkes (2000:59) faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygine adalah : 1. Body Image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. 2. Praktik Sosial Pasa anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene. 3. Status Sosial Ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, dan alat mandi lainnya yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. 4. Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya. 5. Budaya Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan. 6. Kebiasaan Seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan yang lain-lain 7. Kondisi Fisik atau Psikis Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya a. Dampak fisik Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan peorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah : gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku b. Dampak psikososial Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan hrga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

G. MEKANISME KOPING a. Regresi b. Penyankalan c. Isolasi sosial, menarik diri d. Intelektualisasi (Mukhripah & Iskandar, 2012:153) Sedangkan menurut (Stuart&Sudeen, 2000) didalam (Herdinan Ade, 2011:153-154) mekanisme koping menurut penggolongannya dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Mekanisme Koping Adaptif Mekanisme koping yang dimendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri. b. Mekanisme Koping Maladaptif Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya tidak mau merawat diri.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH Kurang perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu mengalami kegagalan kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas kebersihan diri (Carpenito, 1977). Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perawatan diri kurang: a. Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif dan keterampilan. b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri. c. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.

III. DATA FOKUS PENGKAJIAN Data subyektif 1. Klien mengatakan dirinya malas mandi 2. Klien mengatakan malas makan 3. Klien mengatakan tidak tahu cara membersihkan WC setelah bab/bak Data Obyektif 1. Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ; kotor, berbau 2. Ketidakmampuan berpakaian; pakaian sembarangan 3. Ketidakmampuan bab/bak secara mandiri : bab/bak sembarangan

IV. MASALAH KEPERAWATAN 1. Defisit Perawatan Diri 2. Isolasi Sosial 3. Gangguan Pemeliharaan Kesehatan

V. ANALISA DATA NO DIAGNOSA 1 Defisit perawatan diri

SUBJEKTIF 3. Klien mengatakan dirinya malas mandi 4. Klien mengatakan

dirinya malas berdandan 5. Klien mengatakan ingin

disuapi makan 6. Klien mengatakan tidak

pernah membersihkan

OBJEKTIF 1. Ketidak mampuan mandi, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki, bau, serta kuku panjang dan kotor 2. Ketidakmampuan

alat kelaminnya habis

berpakaian atau

buang air

berhias, ditandai dengan rambut acakacakan, pakaian kotor atau tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur dan tidak berdandan 3. Ketidakmampuan makan secara mandiri yang ditandai dengan tidak mampu mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya. 4. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai

dengan BAB/BAK tidak pada tepatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelan BAB/BAK.

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Defisit Perawatan Diri b. Isolasi Sosial

VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN a. Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri. Tujuan: 1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri 2. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik 3. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri Tindakan keperawatan a. Membantu klien dalam perawatan kebersihan diri Untuk membantu klien dalam menjaga kebersihan diri Saudara dapat melakukan tahapan tindakan yang meliputi: 

Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.  Menyiapkan lat-alat untuk menjaga kebersihan diri  Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri  Membimbing klien dalam kebersihan diri b. Membantu pasien berdandan/berhias Untuk pasien laki-laki membantu meliputi : 

Berpakaian

 

Menyisir rambut Bercukur

Untuk pasien wanita, membantu meliputi : 

Berpakaian  Menyisir rambut  Berhias c. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri  Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai  Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK  Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

DAFTAR PUSTAKA Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta : Momedia Aziz, F,dkk. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang: RSJD Dr. Amino Gondhoutomo.2003 Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa. Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Related Documents


More Documents from "Marsustia Marhaba"