LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS
Disusun Oleh : Kelompok VII Ni Luh Dewi Risma Astriani
(C117007)
Ni Wayan Nora Widiani
(C1179016)
Ni Komang Rosiana
(C1117031)
Ni Made Rahayu Ningsih
(C1117033)
Ari Wina Sani
(C1117036)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA USADA BALI 2019
BAB I KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Definisi Penyakit 1. Pengertian HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2009c). Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masingmasing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2009).
2. Pengertian AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2009). HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2009).
B. Anatomi Fisiologi Human immunodeficiency virus adalah virus penyebab Acquired mmunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV yang dulu disebut sebagai HTLVIII (Human T cell lympothropic virus Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy Virus) adalah virus sitopatik dari retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virus ini memiliki kemampuan unik untuk mentransfer informasi mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan translasi (dari RNA ke protein) pada umumnya. AIDS, Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa AIDS ditujukan pada orang yang mengalami infeksi virus HIV,
dimana orang tersebut mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki sistem imun positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan meliputi kondisi demensia progresif, “wasting syndrome”, (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker serviks) atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB).
C. Etiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2010). Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target. Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 2009). Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2010). Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2010). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2009).
D. Epidemiologi Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998). Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007).
Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah
mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).
E. Patofisiologi Sel T dan magrofag serta sel dendritik/ langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan sumsum tulang. Hunan Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat peningkatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian virus yang bersesuai yaitu antigen group 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antbodi, menstimulasi
limfosit
T
sitotoksin,
memproduksi
limfokin,
dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu itu, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-geejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, jumlah sel T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
PATHWAY
VIRUS HIV
Merangsang T Limfosit, sel saraf, makrofag, monosit, limfosit B
Merusak seluler
Immunocompromise
HIV-positif?
Flora normal patogen
Invasikuman patogen
Reaksi Psikologis Organ terget
Manifestasi oral
Lesi mulut
Nutrisi inadekuat
Gastrointestinal
Manifestasi saraf
Kompleks demensia
Kekuran gan volume cairan
Gangguan mobilisasi
Ensepaloti akut
Gangguan rasa nyaman: nyeri
Intoleran si aktivitas
Diare
Hepatitis
Respiratori
Disfungsi biliari
hiper termi
Kekurangan volume cairan
Nutrisi inadeku at
Gangguan rasa nyaman: nyeri
Penyakit anorektal
Infeksi
Ketidak efektifa n bersihan jalan nafas
Gangguan pola BAB
Dermatologi Gatal, sepsis, nyeri
Sensori Gangguan penglihatan dan pendengaran
Ketidake fektifan pola nafas Gangguaan sensori
Gangguan body imageapas
F. Gejala Klinis Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1–2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral. Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi
lain
termasuk
menibgitis,
kandidiasis,
cytomegalovirus,
mikrobakterial, atipikal 1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh. 2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif. 3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap Dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan. Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi): 1. Gejala mayor : a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor: a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalisata c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d. Kandidias orofaringeal e. Herpes simpleks kronis progresif f. Limfadenopati generalisata g. Retinitis virus Sitomegalo Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase. 1. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain. 2. Fase lanjut Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek. 3. Fase akhir Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
G. Klasifikasi Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indikator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.
a. Kategori klinis A Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C 1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik. 2. Limpanodenopati generalisata yang persisten (PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty) 3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut. b. Kategori klinis B Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup : 1. Angiomatosis Baksilaris 2. Kandidiasis
Orofaring/
Vulvavaginal
(peristen,
frekuen/responnya jelek terhadap terapi 3. Displasia Serviks (sedang/berat karsinoma serviks in situ ) 4. Gejala konstitusional seperti panas (38,5o C) atau diare lebih dari 1 bulan. 5. Leukoplakial yang berambut 6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda/terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf. 7. Idiopatik Trombositopenik Purpura 8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii c. Kategori klinis C Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup : 1. Kandidiasis bronkus, trakea/paru-paru, esophagus 2. Kanker serviks inpasif 3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner/diseminata 4. Kriptokokosis ekstrapulmoner 5. Kriptosporidosis internal kronis
6. Cytomegalovirus (bukan hati, lien, atau kelenjar limfe) 7. Refinitis Cytomegalovirus (gangguan penglihatan) 8. Enselopathy
berhubungan
dengan
Human
Immunodeficiency Virus (HIV) 9. Herpes
simpleks
(ulkus
kronis,
bronchitis,
pneumonitis/esofagitis ) 10. Histoplamosis diseminata/ekstrapulmoner 11. Isoproasis intestinal yang kronis 12. Sarkoma Kaposi 13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak 14. Kompleks
mycobacterium
avium
(M.kansasi
yang
diseminata/ekstrapulmoner) 15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner/ekstrapulmoner) 16. Mycobacterium, spesies lain, diseminata/ekstrapulmoner 17. Pneumonia Pneumocystic Cranii 18. Pneumonia Rekuren 19. Leukoenselophaty multifokal progresiva 20. Septikemia salmonella yang rekuren 21. Toksoplamosis otak 22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
H. Komplikasi 1. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. 2. Neurologik a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan
kepribadian,
kerusakan
kemampuan
motorik,
terapeutik,
hipoksia,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. b. Enselophaty
akut,
hipoglikemia,
karena
reaksi
ketidakseimbangan
elektrolit,
meningitis/ensefalitis. Dengan efek : -
Sakit kepala
-
Malaise
-
Demam
-
Paralise
-
Total/Parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis. d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV) 3. Gastrointestinal a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatalgatal dan siare. 4. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas. 5. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar, infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
I. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes untuk diagnose infeksi HIV a. ELISA b. Western blot c. P24 antigen test d. Kultur HIV 2. Tes untuk deteksi gangguan system imun a. Hematocrit b. LED c. CD4 limfosit d. Rasio CD4/CD limfosit e. Serum mikroglobulin B2 f. Hemoglobulin
J. Penatalaksanaan Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan : a. Melakukan abstinensi seks/melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi. b. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi. c. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya. d. Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
e. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu : 1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis. 2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk
penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3 3. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : -
Didanosine
-
Ribavirin
-
Diedoxycytidine
-
Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makanmakanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obatobatan yang mengganggu fungsi imun 6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
BAB II KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian a. Identitas Meliputi nama, umur, tempat dan tanggal lahir b. Riwayat Test HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obatan c. Penampilan umum Pucat, kelaparan d. Gejala subyektif Demam kronik dengan atau tanpa mengigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia e. Pasienikososial Kehilangan pekerjaaan dan penghasilan, perubahan pola hidup f. Status mental Marah atau pasrah, depresi , ide bunuh diri, halusinasi g. HEENT Nyeri perorbital, sakit kepala, edema muka, mulut kering h. Pemeriksaan fisik 1. Kepala Inspeksi : Bentuk kepala simetris, rambut hitam keriting, kulit kepala kering, tidak ada ketombe. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. 2. Mata Inspeksi : Sklera putih, dapat melihat dengan jelas, bola mata simetris, konjungtiva merah muda, ada reaksi terhadap cahaya (miosis) tidak mengguakan alat bantu penglihatan, fungsi penglihatan normal. Palpasi : Tidak nyeri tekan.
3. Hidung Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan dan pembengkakan. 4. Telinga Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada kelainan dikedua telinga, tidak ada lesi dan serumen. Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan. 5. Mulut Inspeksi : Gigi tampak kuning, lidah bersih, mukosa mulut lembab. Palpasi : Otot rahang kuat. 6. Leher Inspeksi : Ada pembesaran kelenjar getah bening. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. 7. Thoraks (paru-paru) Inspeksi : Dada simetris, tidak ada lesi, respirasi 40 kali per menit, terdapat retraksi dinding dada. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. Auskultasi : Bunyi napas ronkhi. Perkusi : Batas paru-paru normal. 8. Kardiovasukular (jantung) Inspeksi : Ictus cordis terlihat, terlihat tatto di dada sebelah kanan. Palpasi : Ictus cordis teraba. Auskultasi : S1 dan S2 reguler. Perkusi : Batas jantung normal. 9. Abdomen Inspeksi : Tidak ada lesi, terdapat pembesaran abdomen Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. Auskultasi : Bising usus 8 kali per menit. Perkusi : Timpani.
i. Pola fungsi kesehatan
Pola persePasieni dan pemeliharaan kesehatan
Pola nutrisi
Pola eliminasi
Pola istirahat tidur
Pola aktivitas dan latihan
B. Diagnosa Keperawatan 1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare kronis ditandai dengan turgor kulit buruk , penurunan produksi urine. 2. Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan penurunan masukan oral ditandai dengan mual,muntah,tidak nafsu makan, porsi makan tidak habis,nyeri pada mulut,penurunan BB, massa otot menurun. 3. Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
dengan
imunosupresi,
C. Intervensi Diagnosa Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
cairan Setelah diberikan tindakan Nic label : monitor cairan keperawatan selama 3x24 jam 1. Tentukan jumlah dan berhubungan dengan diare diharapkan kekurangan volume jenis intake/asupan cairan serta kebiasaan kronis ditandai dengan turgor cairan dapat diatasi dengan kriteria hasil : eliminasi kulit buruk , penurunan a. Membran mukosa lembab 2. Tentukan factor – b. Turgor kulit membaik factor risiko yang produksi urine. c. TTV stabil mungkin menyebabkan d. Pengeluaran urin 400 ketidaksimbangan cc/24 jam cairan 3. Tentukan apakah pasien mengalami kehausan atau gejala perubahan cairan 4. Periksa turgor kulit 5. Catat dengan akurat asupan dan pengeluaran cairan Nic label : manajemen cairan 1. Monitor tanda – tanda vital pasien 2. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat output pasien 3. Tingkatkan asupan Kekurangan volume
Rasional 1. Mengetahui derajat kehilangan cairan 2. Memberi informasi tentang keseimbangan cairan dan fungsi ginjal sebagai pedoman pemberian cairan. Mempertahankan keseimbangan cairan,mengurangi rasa haus dan melembabkan membran mukosa 3. Sebagai indikator dari sirkulasi volume cairan 4. Mencukupi kebutuhan cairan. 5. Sebagai kewaspadaan terhadap gangguan elektrolit dan fungsi ginjal.
nutrisi Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kurang dari kebutuhan tubuh diharapkan terjadi perbaikan berhubungan dengan status nutrisi dengan kriteria hasil : penurunan masukan oral a. Melaporkan peningkatan nafsu makan ditandai dengan b. Porsi makan habis mual,muntah,tidak nafsu c. BB tidak turun makan, porsi makan tidak Ketidakseimbangan
habis,nyeri
pada
mulut,penurunan BB, massa otot menurun.
cairan dengan oral 4. Monitor status hidrasi 5. Dukung pasien dan keluarga untuk membantu dalam pemberian cairan dengan baik Nic label : monitor nutrisi 1. Indentifikasi perubahan berat badan terakhir 2. Monitor adanya mual muntah 3. Indetifikasi perubahan nafsu makan dan aktivitas akhir – akhir ini 4. Diskusikan peran dari aspek social dan emosi terkait dengan mengomsumsi makanan 5. Tentukan pola makan 6. Tentukan factor – factor yang mempengaruhi asupan nutrisi Nic label : manajemen nutrisi 1. Tentukan status gizi
1. Untuk
mengetahui
adanya perubahan berat badan 2. Untuk adanya
mengetahui mual
dan
muntah 3. Untuk
mengetahuai
adanya peruhan pada nafsu makan 4. Untuk
memberikan
dukungan
dalam
meningkatkan
nafsu
makan 5. Untuk
membatu
Resiko
tinggi
berhubungan
pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi 2. Identifikasi adanya 6. alergi 3. Bantu pasien dalam menentukan pedoman atau piramida makanan yang paling cocok dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan preferensi 4. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan makanan yang lebih sehat 5. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengonsumsi makanan infeksi Setelah dilakukan askep selam Nic label : control infeksi Untuk dengan 3 x 24 jam diharapkan tidak
1. Bersihkan
lingkungan infeksi
imunosupresi, malnutrisi dan terjadi infeksi dengan kriteria
setelah dipakai pasien
pola hidup yang beresiko.
lain
hasil : a. Klien bebas dari tanda
2. Pertahankan
tekniik
merencanakan
pola
makan yang sehat Mengetahui factor
adanya yang
mempengaruhi nutrisi
meminimalkan resiko
dan gejala infeksi
isolasi
b. Mendeskripsikan proses penularan factor
penyakit,
3. Monitor
dan
gejala
infeksi
yang
4. Ajarkan
pasien
mempengaruhi penularan
keluarga
serta penatalaksanaannya
tanda dan gejala infeksi
mengebai
c. Menunjukkan kemampuan mencegah
untuk timbulnya
infeksi d. Jumlah leukosit dalam batas normal e. Menunjukkan
dan
prilaku
hidup sehat f.
D. Implementasi Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursalam, 2011).
E. Evaluasi Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu: a. Evaluasi formatif Evaluasi ini disebut evaluasi berjalan dimana evaluai dikatakan sampai dengan tujuan tercapai b. Evaluasi sumatif Merupakan
evaluasi
akhir
dimana
metode
evaluasi
ini
menggunakan SOAP S (Subjective)
: informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan diberikan
O (Objective)
: informasi yang di dapat berupa hasil pengamatan penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan
A (Analysis)
: membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi,teratasi sebagian, atau tidak teratasi
P ( Planing)
: rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa
DAFTAR PUSTAKA Djoerban Z, Djauzi S. 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Editor: SUdoyo AW, SetyohadiB, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Puat Penerbitan IPD FAKUI. Nasronudin. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang. Surabaya: Airlangga. Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th Edition. Missouri: Mosby Elsevier Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition. Missouri: Mosby Elsevier NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi 2012-2014/Editor, T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Sumarwati, Dan Nike Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Barrah Bariid, Monica Ester, Dan Wuri Praptiani. Jakarta; EGC.