Laporan Kasus Dr. Ratih.docx

  • Uploaded by: Sarah Ummah M
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Dr. Ratih.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,138
  • Pages: 24
BAB I PENDAHULUAN Conjoined twin atau kembar siam adalah kondisi janin dimana salah satu bagian tubuhnya saling melekat atau menyatu. Lokasi penyatuan dapat berbeda-beda seperti di dada (thoracopagus), di kepala (cephalopagus), dan lain-lain. Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi ventral, dorsal, dan parapagus (lateral). Parapagus merupakan bahasa Yunani yang artinya penyatuan di sisi tubuh. 1,2 Kasus kembar siam sangatlah jarang, hanya 1 dari 200.000 – 250.000 kelahiran. Tempat penyatuan yang paling banyak adalah di dada (thoracopagus) yaitu 40% dari seluruh kasus kembar siam. Di urutan kedua yaitu omphalogus (abdomen/umbilikus) sebesar 34%, lalu parapagus 28%.1,3 Mekanisme terjadinya kembar siam belum pasti namun salah satu teori yang terkenal adalah fission theory dimana satu sel telur yang telah di fertilisasi mengalami pembelahan sel yang inkomplit pada hari 13-14. 1,2,3 Diagnosis dini kehamilan dengan kembar siam sangat penting untuk merencanakan metode persalinan yang sesuai. Diagnosis dapat ditegakan dengan USG dimulai dari usia gestasi 10 minggu. Persalinan pervaginan sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan banyak komplikasi sehingga Sectio Cesaria merupakan pilihan utama dalam metode persalinan. Dokter umum harus mengetahui bagaimana mendiagnosis kembar siam sehingga memiliki prognosis yang lebih baik untuk ibu. 4,5

1

BAB II STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI a.

Nama

: Ny. P K

b.

Umur

: 23 tahun

c.

Alamat

: Jl Bukit Baru

d.

Suku

: Sumatera Selatan

e.

Bangsa

: Indonesia

f.

Agama

: Islam

g.

Status

: Menikah

h.

Pendidikan

: SLTP

i.

Pekerjaan

: IRT

j.

MRS

: 23 Januari 2019

k.

No. RM

: 1089683

l.

Nama Suami

: Tn. SL

m. Pekerjaan Suami

: Buruh

2.2 ANAMNESIS Keluhan Utama Hamil dengan janin kelainan kongenital

Riwayat Perjalanan Penyakit ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, os kontrol kehamilan ke spesialis kandungan di sungai lilin dan diberitahu bahwa ada kelainan kongenital pada janinnya Keluhan nyeri perut yang menjalar ke pinggang (-) riwayat keputihan (-) riwayat keluar air-air (-) riwayat keluar lendir (-). Os mengaku hamil cukup bulan dengan gerakan janin masih dirasakan

2

Riwayat Penyakit Dahulu: -

Diabetes Melitus (-)

-

Hipertensi (-)

-

Asma (-)

-

Penyakit jantung (-)

-

Alergi (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan: Kontrol kehamilan ke dokter spesialis Obgyn di Sungai Lilin

Status Sosial Ekonomi dan Gizi

: Cukup

Status Perkawinan

: Menikah 1x, lamanya 1 tahun

Status Reproduksi

: Menarche usia 13 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lamanya 5-7 hari, HPHT= 24-04-2018

Status Persalinan

: Hamil anak pertama

2.3 Pemeriksaan Fisik PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

BB

: 45 kg

TB

: 145 cm

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 89 x/ menit

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu

: 36,6oC

3

PEMERIKSAAN KHUSUS Kepala dan Leher Kepala

: Normosefali

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-)

Leher

: JVP (5-2) cmH2O

Thorax Paru Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Stem fremitus kanan=kiri normal

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang dada

Auskultasi

: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi

: Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung normal

Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II normal, HR 80x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: Cembung

Lihat pemeriksaan obstetrik

Ekstremitas Akral dingin (-), edema pretibial (-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK Pemeriksaan Luar Abdomen cembung, tinggi Fundus Uteri 2 jari dibawah procesus xyphoideus (36 cm), memanjang, punggung kiri, presentasi kepala, his (-), DJJ= 138x

4

Pemeriksaan Dalam Inspekulo Portio livid, OUE tertutup, fluor (-), fluksus (-), darah tak aktif, Erosi (-), Laserasi (-), Polip (-) Vaginal toucher Portio kenyal, medial eff 0%, kepala, ketuban, dan petunjuk belu bisa dinilai.

Pemeriksaan Penunjang USG : Kesan dicephalic parapagus

2.4 Pemeriksaan Laboratorium (24-1-2019) Jenis Pemeriksaan

Konvensional

Keterangan

Hasil

Nilai normal

Hemoglobin (Hb)

9,8 g/dL

11,4-15,00 g/dL

Menurun

Eritrosit (RBC)

3,31 x 106/mm3

4,00-5,70x106/mm3

Menurun

Leukosit (WBC)

7,96 x 103/mm3

4,73-10,89x 103/mm3

Normal

Hematokrit (Ht)

29%

35-45%

Menurun

Trombosit

209 x 103/L

189-436 x 103/L

Normal

HEMATOLOGI

Normal

Hitung jenis leukosit 

Basofil

0%

0-1%

Normal



Eosinofil

0%

1-6%

Normal



Neutrofil

70%

50-70%

Meningkat



Limfosit

21%

20-40%

Menurun



Monosit

6%

2-8%

Normal

Ureum

26 mg/dL

16,6-48,5 mg/dL

Normal

Kreatinin

1,36 mg/dL

0,50-0,90 mg/dL

Meningkat

Kalsium (Ca)

8,0 mg/dL

8,8-10,2 mg/dL

Menurun

Natrium (Na)

146 mEq/L

135-155 mEq/L

Normal

GINJAL

ELEKTROLIT

5

3,8 mEq/L

3,5-5,5 mEq/L

Normal

Bilirubin Total

0,70

0,1 – 1,0 mg/dL

Normal

SGOT

22

0 – 32 U/L

Normal

SGPT

25

0 – 31 U/L

Normal

Protein Total

6,5

6,4 – 8,3 g/dL

Normal

Albumin

2,8

3,5 – 5,0 g/dL

Menurun

Kalium (K) KIMIA KLINIK

2.5 Diagnosis kerja G1P0A0 hamil 39 minggu belum inpartu JTH Preskep-preskep dengan Dicephalic Parapagus + Pertumbuhan Janin Terhambat 2.6 Prognosis Quo ad vitam

: Bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

2.7 Tatalaksana (Planning/P) a. Terapi -

IVFD RL gtt xx/menit

-

Inj Cefazolin 1 x 2 gram (Pre operasi)

-

Pro Sectio Cesaria elektif

b. Monitoring Observasi tanda vital ibu, His, dan DJJ. 2.8 Laporan Operasi Pukul 08.40 Operasi dimulai, pasien pada posisi terlentang dengan spinal anestesi. Dilakukan tindakan septik dan antiseptic pada lapangan operasi. Lapangan operasi dipersempit dengan doek sterile Dilakukan insisi 2 jari diatas simfisis sampai dengan 3 jari di atas umbilikus. Kemudian insisi diperdalam secara tajam dan himpul sampai menembus peritoneum. Dilakukan pembukaan plica, plica disisihkan dengan hak besar. Diputuskan untuk dilakukan tindakan classic caesarean

6

Pukul 08.45 Lahir neonates hidup, laki-laki, dengan 2 kepala (dicephalic parapagus) Berat Badan: 4000 gram, Panjang Badan: 42 cm, A/J: 8/9 Pukul 08.50 Plasenta lahir lengkap, BP: 550gram, PT: 47 cm, Diameter: 17 x 18 cm, SBR dijahit jelujur festoon dengan PEA no 1.0 Kontraksi uterus kurang dilakukan kompresi bimanual 9 kontraksi masih tidak adekuat  diputuskan untuk dilakukan B-Lynch dengan PEA no 1.0 pada 2 bagian uterus Peritoneum dijahit jelujur dengan plain catgut 2.0 Otot dijahit dengan jelujur dengan plain catgut 2.0 Fascia dijahit simple intrumped dengan catgut 2.0 Cutis dijahit jelujur subkutikuler dengan PGA 3.0 Pukul 09.40 Operasi selesai

2.9 Follow Up 1. Follow up pasien (25 Januari 2019) S

= Setelah operasi

O

= KU : Tampak sakit sedang TD : 114/73 mmHg N

T

: 36,4oC

RR

: 20 x/m

: 120 x/m

PL : FUT 1 Jari bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif (-), luka operasi tertutup opsite. A

= P1A0 post classic sectio caesarean modification a.i Dicephalic parapagus + Post B-Lynch a.i atonia uteri

P

= Observasi tanda vital ibu, kontraksi, perdarahan IVFD RL+Oksitosin 20IU gtt xx/m s/d 24 jam Cek laboratorium post operasi Cateter menetap sampai 24 jam post op Mobilisasi bertahap ASI on demand Vulva hygiene 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT 3.1.1 Definisi Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah suatu keadaan yang dialami oleh janin yang mempunyai berat badan di bawah batasan tertentu dari umur kehamilannya. Secara definisi, PJT adalah janin yang berat badannya sama atau kurang dari 10 persentil yang tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal karena terhambat oleh faktor maternal, fetal atau plasenta. Ada klinisi yang menggunakan titik potong (cut-off point) 5 persentil, ataupun 2 Standar deviasi (SD) (kurang lebih 3 persentil). Selain melalui berat badan beberapa mendefinisikan dengan lingkar perut kurang atau sama dengan 5 persentil atau femur lenght (FL)/ abdominal circumference (AC) > 24 6,7

3.1.2 Epidemiologi Sulitnya mengetahui angka pasti insiden PJT karena pencatatan tentang usia gestasi yang sahih sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang (Wirman dan Wiknjosastro, 2008). Pada penelitian pendahuluan di 4 senter fetomaternal di Indonesia tahun 2004-2005 didapatkan 571 KMK dalam 14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling sedikit di RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr. Sardjito Yogyakarta 6,44% (Karkata dan Kristanto, 2012; Sumawan et al.,2013). Janin dengan PJT mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bahkan juga morbiditas jangka panjang. Kematian perinatal sering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan hipoglikemia. Pada PJT terdapat peningkatan kematian janin empat sampai delapan kali dalam masa kehamilan dan lima kali dalam masa persalinan 6,7,8

3.1.3 Klasifikasi Himpunan Kedokteran Fetomaternal mengklasifikasikan pertumbuhan janin terhambat menjadi :6,7,9 a. Pertumbuhan janin terhambat simetris:

8

Jika ukuran badan janin secara proporsional kecil, gangguan pertumbuhan janin terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu, sering disebabkan oleh kelainan khromosom atau infeksi. b. Pertumbuhan janin terhambat asimetris: Jika ukuran badan janin tidak proporsional, gangguan pertumbuhan janin terjadi pada kehamilan trimester III. Keadaan ini sering disebabkan oleh isufisiensi plasenta

Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada awal kehamilan, saat hiperplapsi (biasanya karena kelainan kromosom dan infeksi), akan menyebabkan PJT yang simetris. Jumlah sel berkurang dan secara permanen akan menghambat pertumbuhan janin dan prognosisnya jelek. Penampilan klinisnya proporsinya tampak normal karena berat dan panjangnya sama-sama terganggu, sehingga ponderal indeksnya normal. 7,10 Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada saat kehamilan lanjut, saat hipertrofi (biasanya gangguan fungsi plasenta, misalnya preeklampsia), akan menyebabkan ukuran selnya berkurang menyebabkan PJT yang asimetris yang prognosisnya lebih baik. Lingkaran perutnya kecil, skeletal dan kepala normal, ponderal indeksnya abnormal. 7,10

3.1.4 Faktor Risiko dan Etiologi Untuk membedakan adanya PJT dengan berat bayi lahir rendah, diperlukan pengamatan yang seksama mengenai faktor risiko. Skrining terhadap PJT berdasarkan faktor risiko klinis telah secara rutin diterapkan oleh para ahli. Faktor Risiko Pertumbuhan Janin Terhambat tersebut antara lain:6,7,9 a.

Lingkungan sosio-ekonomi rendah

b.

Riwayat PJT dalam keluarga

c.

Riwayat obstetri yang buruk

d.

Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan yang rendah

e.

Komplikasi obstetri dalam kehamilan

f.

Komplikasi medik dalam kehamilan

Meskipun

sekitar

50%

pertumbuhan

janin

terhambat

belum

diketahui

penyebabnya, ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Etiologi PJT terdiri dari faktor maternal, fetal dan plasenta 6,7,9:

9

a. Faktor maternal 1) Riwayat berat badan lahir rendah atau PJT pada persalinana sebelumnya 2) Ibu yang kecil atau berat badan ibu yang rendah sebelum hamil 3) Gizi maternal buruk (< 1500 kalori / hari) 4) Status sosioekonomi jelek 5) Merokok, alkohol dan narkoba 6) Usia maternal ekstrim, < 16 tahun atau > 35 tahun 7) Menggunakan teknologi reproduksi 8) Partner yang berbeda 9) Teratogen: anti kejang, methotrexate, warfarin 10) Penyakit vaskuler 11) Hipoksia – hidup di ketinggian (>10.000 kaki) 12) Anemia termasuk hemoglobinopati b. Faktor fetus 1) Infeksi kongenital: CMV, sifilis, rubela, varisela, toksoplasma, tuberkulosis, HIV, malaria kongenitak 2) Aneuploidi: trisomi 13, 18, 21, triploidi 3) Microdeletions: 4p4) Sindrom genetik atau kelainan fetal 5) Diskordansi pada kehamilan ganda c. Faktor plasenta 1) Insufisiensi vaskuler plasenta 2) Separasi korionik (abrupsio, hematoma) 3) Infark villi 4) Regresi korion 5) Malformasi uterus mayor 6) Placental mosaicism

3.1.5 Patofisiologi Pada sebagian besar kasus, PJT disebabkan oleh insufisensi plasenta, meskipun beberapa kondisi seperti kelainan kongenital, infeksi, penyalahgunaan obat dan bahan kimiawi juga dapat menyebabkan kondisi tersebut, Insufisiensi plasenta sering dihubungkan dengan adanya suatu kondisi dimana terjadi gangguan toleransi sistem imun maternal pada materno-feto interface yang berakibat pada gangguan invasi tofoblas

10

ke desidua pada saat proses plasentasi sehingga terjadi gangguan invasi plasenta yang akan menyebabkan perfusi uteroplasenta yang buruk. Invasi trofoblas yang tidak adekuat akan meyebabkan terjadinya komplikasi-komplikasi kehamilan seperti preeklampsia, PJT, Abortus berulang, solutio plasenta sedangkan proses invasi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta, perkreta, inkreta, penyakit trofoblas gestasional, choriocarcinoma9,10

3.1.6 Penegakan Diagnosis Kecurigaan adanya suatu PJT jika didapatkan satu atau lebih dari beberapa tanda berikut, yaitu: Tinggi fundus uteri (TFU) lebih dari atau sama dengan 3 cm lebih dibawah normal, pertambahan berat badan kurang dari 5 kg pada usia kehamilan (UK) 24 minggu atau kurang dari 8 kg pada usia kehamilan 32 minggu (untuk ibu dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) < 30), estimasi berat badan < 10 persentil, dari pemeriksaan ultrasonografi HC/AC > 1, AFI kurang dari atau sama dengan 5 cm, sebelum UK 34 minggu plasenta grade 3 dan ibu merasa gerakan janin berkurang10. Diagnosis baru dapat ditegakkan bila usia kehamilan telah mencapai 28 minggu ke atas. Pertumbuhan janin dinyatakan terhambat bila secara klinis dan ultrasonografi (USG) didapatkan taksiran berat sama atau kurang dari 10 persentil (Ada yang menggunakan titik potong 5 persentil, ada pula yang menggunakan 2 SD /kira-kira 3 persentil ) dan lingkar perut (AC) yang sama atau kurang dari 5 persentil atau FL/AC > 24 atau biometri tidak berkembang setelah 2 minggu 7,9 Untuk menegakkan diagnosa diperlukan analisa yang matang dari anamnesis hingga pemeriksaan fisik dan penunjang yang matang.6,10

a. Riwayat medis dan obstetrik. Riwayat medis diperlukan untuk mengiindentifikasi faktor risiko PJT. Riwayat obstetrik penting karena bila kehamilan sebelumnya PJT, maka memiliki risiko lebih tinggi untuk terulang kembali pada kehamilan berikutnya. b. Berat badan. Penambahan berat badan ibu merupakan indeks yang tidak sensitif untuk membedakan PJT dengan bayi kecil tetapi sehat. c. Mengukur tinggi fundus uteri (TFU): terbatas akurasinya untuk mendeteksi janin Kecil Masa kehamilan (KMK), sensitivitas 56-86%, spesifitas 80-93%. Kekeliruan hasil pengukuran juga bisa terjadi pada kehamilan ganda, hidramnion, letak lintang, turunnya kepala dalam jalan lahir, hamil dengan mioma uteri, obesitas, di samping kurang tepat meletakkan pita.

11

d. Diameter Biparietal (BPD). Metode ini menunjukkan 2 pola yang nyata pada gangguan pertumbuhan janin. Slow growth profile dimana pertumbuhan BPD selalu di bawah 10 persentil dari usia kehamilan. Sedangkan late flattening profile yaitu pertumbuhan BPD yang normal selama dua trimester pertama diikuti berhentinya pertumbuhan selama trimester terakhir. Sensitifitas dan spesifisitas pengukuran BPD serial terlalu rendah sebagai metode primer untuk mengevaluasi janin kecil karena kepala adalah organ terakhir yang terpengaruh oleh malnutrisi janin e. Estimasi berat janin ( Estimated Fetal Weight /EFW) dan Abdominal Circumference (AC). Tingkat pertumbuhan lingkar perut tidak terpengaruh usia gestasi. Bila tingkat pertumbuhan < 1 cm dalam 2 minggu menunjukkan PJT. AC mempunyai nilai prediksi negatif 99%. Pada KRT AC<10 persentil untuk memprediksi luaran perinatal yang jelek f. Rasio lingkar kepala dan perut (H/A ratio). Membandingkan organ yang paling akhir dipengaruhi malnutrisi janin, yaitu otak, dengan yang paling mudah terpengaruh, yaitu hati, dan memiliki nilai yang signifikan dalam mengidentifikasi bayi PJT asimetris. AC diukur setinggi bifurkasio vena hepatika pada pusat hati janin. Lingkar kepala diukur setinggi thalamus. Keuntungan menggunakan lingkar kepala daripada BPD adalah efek molding diminimalkan. g. Rasio Femur-abdomen (F/A ratio). Membandingkan panjang femur (FL) yang minimal dipengaruhi gangguan pertumbuhan janin, dengan lingkar perut (AC) yang sangat dipengaruhi oleh gangguan pertumbuhan janin. FL cukup mudah diukur dan tidak terpengaruh molding atau presentasi atau letak janin yang tidak normal. Rasio F/A tetap konstan setelah kehamilan 20 minggu. Nilai normalnya adalah 22 + 2. Bila kelainan rasio F/A cukup tinggi, harus dicurigai kuat adanya malnutrisi janin. Jika rasio F/A normal, janin mungkin kecil dan sehat atau menderita PJT simetri tetapi tidak mengalami malnutrisi berat. h. Indeks Timbangan bayi (Fetal Ponderal Index / PI). PI diukur dengan membagi perkiraan berat janin dengan 3 kali panjang femur. Nilai normalnya adalah 8.325 + 2.5 (2 SD). PI tidak terpengaruh usia gestasi dan memiliki nilai konstan pada pertengahan akhir kehamilan. i. Volume air ketuban (AFV) dengan menentukan indeks cairan amnion (Amniotic Fluid Index / AFI), yaitu dengan teknik 4 kuadran. Disebut oligohidramnion jika AFI kurang dari 5. Oligohidramnion adalah tanda akhir terjadinya malnutrisi

12

janin.Pemeriksaan AFI dilakukan setiap minggu atau 2 kali seminggu tergantung berat ringannya PJT. j. Analisa Doppler (Doppler Velocimetry). Gelombang Doppler digunakan untuk melihat hambatan aliran darah ke janin yaitu kelainan vaskuler plasenta, yang dapat dinilai antara lain arteri serebri media (ASM/MCA), rasio serebroplasenta (RSP) / Cerebroplacental ratio (CPR), vena umbilikalis (VU), dan duktus venosus (DV) Arantii. (Figueras dan Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 )

3.1.7 Penatalaksanaan Bila janin sudah didiagnosis mengalami PJT, maka harus disiapkan pengawasan perinatal janin dan waktu terminasi yang optimal. Pengawasan ante partum yang diperlukan antara lain:7,9,10 a. Non Stress Test (NST). Merupakan tes terpenting, karena menentukan apakah keadaan janin berbahaya atau tidak. Penurunan variabilitas denyut jantung janin, hilangnya reaktivitas, kurangnya akselerasi, dan timbulnya deselerasi variabel, merupakan tanda-tanda lemahnya pertahanan janin dan terminasi perlu segera dilakukan. NST dilakukan antara seminggu sekali sampai tiap hari tergantung keadaan klinisnya. Indikasi NST tiap hari adalah PJT berat dengan rasio S/D > 6. b. Contraction Stress Test (CST) dan Biophisic Score (BPS) / Biophysical profile (BPP), dapat digunakan pada NST abnormal. Bila hasilnya fetal compromise maka harus terminasi segera. Pada keadaan dimana tidak terdapat tes-tes pelengkap ini, maka NST cukup untuk memutuskan terminasi kehamilan segera. c. Volume cairan amnion, penting untuk mengetahui perkembangan janin PJT. Sebaiknya dilakukan tiap minggu dan frekuensi NST ditingkatkan bila terjadi penurunan jumlah cairan amnion. Kriteria USG terpenting yang menunjukkan fetal compromise adalah oligohidramnion. d. Amniosentesis, pada janin PJT sebaiknya dilakukan tiap minggu mulai usia kehamilan 36 minggu dan kehamilan segera diakhiri jika paru-paru telah matur. e. Cordosentesis. Sampel darah korda umbilikalis jarang diindikasikan untuk PJT. Terutama adalah kecurigaan defek kromosom sehingga diperlukan penentuan kariotipe janin. Ada pula yang menyarankan pemeriksaan ini untuk mengetahui tingkat hipoksia dan asidosis janin. Nicolini dkk justru menemukan bahwa sampling korda umbilikalis berbahaya bagi janin PJT, karena sering mengalami bradikardi yang lama dan berat saat prosedur ini.

13

Manajemen persalinan merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan janin PJT. Hal ini disebabkan karena selain defek kongenital, asfiksia intra partum merupakan penyebab utama morbiditas perinatal janin PJT. Pada kasus PJT harus segera dilakukan terminasi kehamilan bila ditemukan 9,10: a. Rasio FL/AC biometri ≥ 26, janin termasuk PJT berat. b. Doppler velocimetri arteri atau vena umbilikalis (PI ≥ 1,8) yang disertai AEDF/REDF c. AFI ≤ 4 d. BPS memburuk e. KTG : deselerasi lambat f. Tambahan : Doppler a.uterina, MCA,DV Dilakukan terminasi mutlak bila : a,b, dan c terpenuhi. Penatalaksanaan kasus PJT juga berdasarkan usia kehamilan, yaitu 10: a. ≥ 37 minggu : terminasi kehamilan dengan seksio sesaria atau pervaginam bila Bishop score ≥ 5. b. 32-36 minggu : konservatif selama 10 hari dapat berlangsung lebih dari 50% kasus PJT terutama preeklampsia. c. < 32 minggu : perawatan konservatif tidak menjanjikan, sebagian besar kasus berakhir dengan terminasi. Bila pertumbuhan janin masih berlangsung, terminasi pada kehamilan 38 minggu. Namun, bila pertumbuhan janin tidak ada dan maturitas paru cukup (biasanya pada kehamilan 35 minggu) dilakukan terminasi dengan cara : a. Janin reaktif : Induksi persalinan didahului dengan pematangan serviks b. Janin non reaktif atau terdapat gejala gawat janin : seksio sesarea c. Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk perabdominan.

Bila surveillance janin abnormal pada usia kehamilan kurang dari 38 minggu maka harus diperiksa rasio lecitin/spingomielin air ketuban. Bila paru janin telah matang (L/S ≥ 2) maka dilakukan terminasi kehamilan apabila : 1) uji beban kontraksi positif, 2) oligohidramnion, 3) BPD tidak bertambah lagi (risiko tinggi disfungsi otak janin). 7,10

3.2 DICEPHALIC PARAPAGUS 3.2.1 Definisi Conjoined Twin atau kembar siam adalah kondisi dimana salah satu bagian tubuhnya saling melekat atau menyambung. Dalam kasus kembar siam terdapat 14

beberapa organ yang umumnya menjadi tempat perlengketan seperti dada (rhoracopagus) dan parapagus. Parapagus berasal dari basaha Yunani dimana ‘para’ berarti ‘sisi’ dan ‘pagus’ berarti ‘fiksasi’, bila digabungkan parapagus memiliki makna perlengketan di bagian sisi Salah satu kasusnya yaitu dicephalic parapagus dimana terdapat satu tubuh namun dengan dua kepala. 1,2

3.2.2 Klasfikasi dan Epidemiologi Kasus kembar siam sangatlah jarang. Diantara kehamilan kembar dengan monochorionic, hanya 1,3% nya merupakan kembar siam. Mesikipun prevalensi sebenarnya masih belum dapat dipastikan, namun dari beberapa literatur dapat diperkirakan kembar siam terjadi 1 di antara 200.000 - 250.000 kelahiran. 1,3,11 Kembar siam dibagi berdasarkan lokasi perlengketannya secara garis besar menjadi ventral, dorsal, dan lateral. Selain itu terdapat klasifikasi berdasarkan organ yang menyatu, yaitu1,3,11

a. Cephalopagus : jika terdapat perlengketan dari kepala sampai umbilikus. Akan ada dua wajah namun satu wajah akan memiliki bentuk yang tidak proposional. Bagian bawah abdomen dan pelvis tidak menyatu, sehingga akan ada empat tangan dan empat kaki b. Thoracopagus : Penyatuan terjadi pada thoraks sampai umbilikus. Penyatuan ini pasti melibatkan jantung. Pelvis tidak menyatu, akan ada empat tangan dan empat kaki c. Omphalopagus : Janin bersatu pada daerah umbilikus dengan posisi berhadapan . Penyatuan mungkin akan melibatkan bagian bawah thoraks namun tidak akan memengaruhi jantung d. Ishiopagus : Penyatuan terjadi pada umbilikus sampai pelvis dengan dua sakrum dan dua simfisis pubis. 15

e. Craniopagus : Penyatuan terjadi semua bagian pada tengkorak kecuali wajah dan foramen magnum. f. Pyopagus : Sacrocicygeal dan regio perineal menyatu, biasanya dengan satu anus namun dua rectum, empat tangan , dan empat kaki g. Rachipagus : Penyatuan di atas sacrum, hal ini akan memengaruhi kondisi vertebra

Kondisi yang paling banyak terjadi adalah thoracopagus (perlengketan di regio thoraks) yaitu 40% dari kasus kembar siam. Di urutan kedua terdapat omphalogus (perlengkatan pada abdomen), yang memiliki frekuensi sebesar 34%, kemudian dilanjutkan dengan parapagus (perlengketan sisi dengan sisi) 28% 1,3,11 . 3.2.3 Patofisiologi Mekanisme pasti mengenai pembentukan kembar siam belum dapat disimpulkan. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang dinyatakan oleh para ahli, satu yang paling dikenal adalah fission theory. Teori ini menjelaskan bahwa kembar siam berasal dari satu sel telur. Morula berubah menjadi blastocyst pada hari ke-6 setelah proses fertilisasi. Pada proses akhir pembelahan morula akan terbentuk dua sel yaitu inner cell mass dan sel-sel lainnya. Inner cell mass ini yang nantinya akan membentuk tubuh. Kembar siam terjadi ketika inner cell mass yang berasal dari satu zigot membelah secara tidak sempurna. Kembar siam hanya terbentuk ketika terdapat permasalahan dalam pembelahan inner cell yang terjadi pada hari 13-14 setelah fertilisasi1,3,11

3.2.4 Diagnosis Menegakkan diagnosis kembar siam merupakan tantangan tersendiri bagi para tenaga kesehatan. Diagnosis dini janin kembar siam dapat meminimalisir cedera yang ditimbulkan pada saat persaina nkelak dengan berbagai perencanaan yang sesuai. Dari anamnesis tidak akan ada keluhan khas yang menandakan adanya janin kembar siam. Keluhan yang mungkin disampaikan adalah hamil besar dimana umumnya terjadi pada kehamilan janin kembar biasa. Diagnosis baru dapat ditegakkan ketika pemeriksaan USG dilakukan. Deteksi janin kembar siam dapat 16

dimulai pada usia gestasi 10 minggu. Pada trimester awal dengan usia gestasi 9-12 minggu, kondisi janin dengan dicephalic dapat terdeteksi juga dengan USG transvaginal1,3,11

Gambar 1. Gambaran dicephalic pada hasil USG dengan usia gestasi 18 minggu

Kriteria diagnosis pada pemeriksaan USG adalah adanya membran amniotik yang berpisah, tubuh janin yang tidak dapat terpisah, tidak adanya perubahan posisi tubuh janin dalam beberapa kali pemeriksaan, terdapat hiperekstensi vertebra yang tidak biasa, anatomi ekstrimitas yang tidak normal, anomalia kompleks, dan adanya lebih dari tiga pembuluh darah umbilikus. Polihidramnion terjadi pada 50-76% kasus. 4,5

3.2.6 Tatalaksana Persalinan pervaginam sebaiknya dihindari karena memungkinkan terjadinya banyak komplikasi seperti distosia uteina, ruptur uterin, atau cedera jaringan lunak. Ketika janin kembar siam dapat dideteksi dini, sectio cesaria menjadi pilihan utama untuk menghindari trauma maternal dan memfasilitasi penanganan bayi yang lebih cepat. Persalinan pervaginam dapat dipertimbangkan pada kondisi janin yang kecil, prematur, janin mati, dan terminasi kehamilan sebelum 24 minggu. Saat persalinan pervaginam pun berbagai manuver seperti craniotomy, decapitasi, eviserasi, atau amputasi harus dipersiapkan untuk mengatasi kemungkinan terhambatnya persalinan. Terdapat berbagai dilema dalam tatalaksana kembar siam setelah proses persalinan. Terapi operatif tidak perlu dilakukan sesegera mungkin, biasana akan

17

menunggu usia bayi menuju balita untuk memungkinkan proses evaluasi yang lebih teliti. Dalam situasi tertentu, intervensi diperlukan selama 24 jam pertama. Beberapa bayi tidak dapat bertahan dalam 24 jam pertama sehingga penjelasan kepada orang tua merupakan tatalaksana yang penting. Dalam terapi definitif terdapat tiga pilihan yaitu a. Melepas life support sehingga secara perlahan membiarkan kedua bayi meninggal b. Memisahkan si kembar dengan kemungkinan salah satu akan meninggal c. Membiarkan kembar siam tersebut tetap hidup seperti itu sepanjang hidupnya Semua proses tatalaksana harus melibakan orang tua.

3.3 ATONIA UTERI 3.3.1 Definisi Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Secara fisiologis, kontraksi dari serat-serat miometrium dapat mengontrol perdarahan post partum. Dengan adanya kondisi atonia, perdarahan tidak dapat dikontrol.7

3.3.2 Epidemiologi Angka kejadian perdarahan postpartum memiliki tren yang kian meningkat. Pada tahun 2013 di Amerika terdapat 17,3 kematian per 100.000 kelahiran. Dari angka tersebut 11,4% kematian disebabkan perdarahan postpartum. Angka perdarahan postpartum meningkat dari 1,5% pada taun 1999 menjadi 4,1% pada tahun 2009. Seiring dengan meningkatnya angka tersebut, angka kejadian atonia uteri pun menigkat dari angka 1% menuju 3,4% 7,12

3.3.3 Etiologi Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan atonia uteri adalah 7,12: a. Regangan rahim berlebihan yang diakibatkan kehamilan gemeli, polihidramnion, atau bayi terlalu besar b. Kehamilan grande multipara c. Kelelahan persalinan lama d. Ibu dengan anemis atau menderita penyakit menahun e. Infeksi intra uterin 18

f. Mioma uteri : menimbulkan gangguan dalam kemapuan kontraksi uterus g. Ada riwayat atonia uteri pada persalinan sebelumnya

3.3.4 Patofisiologi Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan lapisan

perdarahan

tengah

postpartum,

miometrium

tersusun

sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. $asing-masing serabut mempunyai

dua

buah

lengkungan

sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka delapan. %etelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus tetap vasodilatasi sehingga terjadinya perdarahan postpartum7,9

3.3.5 Diagnosis Setelah bayi dan plasenta lahir, cek perdarahan. Jika perdarahan aktif, banyak, dan bergumpal, lakukan pemeriksaan fundus uteri. Pada atonia uteri, fundus uteri akan teraba masih setinggi pusat dengan kontraksi yang tidak adekuat. Setelah terdiagnosis atonia uteri, hitung estimasi perdarahan dan pertimbangkan untuk pemberian transfusi. 7,9,1

3.3.6 Tatalaksana a. Pemijatan uterus b. Oksitosin dapat diberikan c. Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan transfusi sesuai kebutuhan, jika perdarahan terus berlangsung, memastikan plasenta lahir lengkap, jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta, sisa plasenta tersebut dikeluarkan, uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan darah setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukan adanya koagulopati. 19

d. Jika perdarahan terus berlangsung kompresi bimanual internal atau kompresi aorta abdominalis. e. Jika perdarahan masih berlangsung setelah dilakukan kompresi, ligasi arteri uterina dan ovarika, histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa f. Pilihan terakhir setelah ligasi dan sebelum histerektomi adalah jahitan kompresi uterus dengan teknik B-Lynch B-Lynch Pada tahun 1997 B-Lynch memeragakan suatu teknik dengan menggunakan jahit jelujur yang dapat mengkompresi uterus secara mekanik pada kasus-kasus atonia uteri yang tidak dapat diatasi dengan manajemen yang lain. Jahit B-Lynch dimulai dari bagian bawah kanan anterior uterus. Satu insisi vertikal yang dilanjutkan ke bagian posterior ke anterior. Pada ketinggian yang sama dengan insisi vertikal di anterior, insisi horizontal dilakkan pada posterior uterus dari kanan ke kiri, lalu berlanjut menyusuri uterus secara vertikal dari posterior ke anterior, dan berakhir dengan insisivertikal di bagian kiri bawah anterior uterus. Jahitan kemudian dikencangkan dan diikat satu sama lain7 Berdasarkan data, jahitan B-Lynch efektif untuk menangani perdarahan postpartum. Lima dari tujuh pasien yang mendapat jahitan ini terhindar dari histerektomi

Gambar 3. Jahitan B-Lynch untuk kompresi uterus

Beberapa modifikasi dari jahitan B-Lynch juga telah banyak digunakan. Salah satunya adalah jahitan safety pin. Prinsipnya hampir sama dengan jahitan BLynch, yang berbeda adalah safety pin menjahit satu per satu sisi uterus. Dimulai dari titik 20

yang sama dengan BLynch, dilakukan insisi langsung ke bagian posterior uterus, dilanjutkan menyusuri uterus secara vertikal dari posterior ke anterior dan berhenti di bagian 4-5 cm di bawah fundus anterior. Lakukan insisi dari area fundus anterior ke fundus posterior. Setelah itu, lakukan insisi kembali dari area fundus posterior ke fundus anterior, sehingga kedua ujung jahitan dapat bertemu di anterior. Kencangkan kemudian ikat, lakukan jahitan yang sama pada bagian kiri uterus 7,12

Gambar 4. Modifikasi B-Lynch

21

BAB IV ANALISIS KASUS

Ny P K, 23 tahun, datang ke IGD RSMH pada tanggal 23 Januari 2019 dengan keluhan hamil dengan janin kelainan kongenital. ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, os kontrol kehamilan ke spesialis kandungan di sungai lilin untuk diperiksa USG dan diberitahu bahwa ada kelainan kongenital pada janinnya. Keluhan nyeri perut yang menjalar ke pinggang (-) riwayat keputihan (-) riwayat keluar air-air (-) riwayat keluar lendir (-). Os mengaku hamil cukup bulan dengan gerakan janin masih dirasakan. Pasien mengaku HPHT tanggal 24-4-2018 sehingga pada saat pemeriksaan usia gestasi sekitar 3839 minggu. Dari pemeriksaan fisik, berat badan pasien 45 kg dengan tinggi badan 145 cm, IMT = 21,4. Berat badan pasien sebelum lahir adalah 39-40 kg. Hanya terjadi penambahan berat badan sebanyak 5 kg. Penambahan berat badan ini dinilai kurang pada usia kehamilan 39 minggu. Sehingga salah satu indikator untuk menegakkan diagnosis PJT. Tapi tidak ada indikasi terminasi segera pada kondisi pasien sehingga PJT tidak menjadi indikasi untuk terminasi. Dari keterangan yang diberikan oleh dokter spesialis Obgyn didapatkan kondisi janin dengan dicephalic parapagus. Dari hasil USG ditemukan gambaran adanya penyatuan dua kepala di bagian sisi (parapagus) . Dicephalic parapagus merupakan kondisi kembar siam dimana penyatuannya terletak pada bagian sisi kepala. Kondisi ini sangat jarang sehingga faktor risiko dan etiologi belum ditemukan. Pada pasien ini pun tidak ada faktor risiko yang bermakna. Terhadap pasien kemudian direncanakan persalinan dengan sectio cesaria dikarenakan persalinan pervaginam terlalu berisiko menyebabkan berbagai komplikasi. Dilakukan classic sectio cesaria agar memberikan ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Bayi dengan kondisi conjoined twin memiliki badan yang lebih besar sehingga membutuhkan ruang ekstra saat persalinan. Setelah bayi dan plasenta dilahirkan, terjadi perdarahan pada pasien. Ketika diperiksa, kontraksi uterus tidak adekuat sehingga didiagnosis adanya atonia uteri. Perdarahan postpartum karena atonia uteri saat sectio cesaria dapat langsung diatasi dengan kompresi bimanual. Namun setelah dilakukan kompresi bimanual , kontraksi uterus 22

masih belum adekuat. Setelah kompresi bimanual dan sebelum memutuskan untuk histerektomi, masih ada opsi untuk dilakukan jahitan B-Lynch. Maka dari itu diputuskan lah untuk dilakukan jahitan B-Lynch pada pasien dengan PEA no 1.0. B-Lynch ini bertujuan untuk mengkompresi uterus melalui jahitan sehingga menstimulus kontraksi pada uterus. Kemudian setelah diobservasi, kontraksi uterus membaik. Pasien kemudian di rawat inap denganobservasi ttv, kontraksi, dan perdarahan. Diberikan infus RL + Oksitosin gtt xx untuk menjaga kontraksi uterus tetap adekuat. Cateter menetap sampai 24 jam, mobilisasi bertahap, ASI on demand, dan vulva hygiene.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Amrish T, Naik DC, Khanwalkar PG, Meghana M. Dicephalic Parapagus – Tribrachius – Case Study. Int J Anat Res 2013, vol 1(2): 26-28 2. Mete A, Cebesoy FB, Dikensoy E, Rutlar I. Dicephalic Parapagus Conjoined Twins “ A Rare Second Trimester Sonographic Diagnosis. Journal of Clinical Ultrasound vol 38. 2010 : 88-89 3. Camuzcuoglu H, Toy H, Vural M, Cece H, Aydin H. Prenatal Diagnosis of Dicephalic Parapagus Conjoined Twins. Arch Gynecol Obstet 2010 281: 565 – 567 4. Vural F, Vural B. First Trimester Diagnosis of Dicephaclic Parapagus Conjoined Twins via Transvaginal Ultrasonograaphy. Journal of Clinical Ultrasound 2005 : 364366 5. Lausman A, Kingdom J. Intrauterine Growth Restriction: Screening, Diagnosis, and Management. SOGC Clinical Practice Guideline no 295. 2013; 741-748 6. Steirnborn et al. Early Detection of decreased soluble HLA-G levels in the material circu;atio predicts the occurance of preeclampsia and intrauterine growth retardation. Am J Reprod 2007 (4) ; 277-286 7. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Cetakan 4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta; Balai Penerbit FK UI. Hal: 732-735.S 8. Cunningham, F.G., etc. 2005. Kematian Janin dalam Obstetri Williams Vol. 2, Edisi 21. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1200-1206. 9. Figueras F, Gardosi J. Intrauterine Growth Restriction: New concepts in antenatal surveilance, diagnosis, and management. Am Journal Obstet Gynecol. 2011; 204(4): 288-300 10. Harma M, Harma M, MIL Z, Oksuzler C. Vaginal Delivery of Dicephalic Parapagus Conjoined Twins : Case Report and Literature Review. Tohoku J Exp. 2005;205:179 – 185 11. Kaveh M et al Dicephalic Prapagus Tribrachius Conjoined Twins in a Triplet Pregnancy : A Case Report. Journal of Family and Reproductive Health. 2014, vol 8 ; 83-87 12. Sanjaya DGW. Tanda Bahaya serta Penatalaksanaan Perdarahan Postpartum. ISM Vol 3 2013; 9-18

24

Related Documents

Laporan Kasus
June 2020 61
Laporan Kasus
June 2020 56
Laporan Kasus
June 2020 53

More Documents from "Amin Muhammad"