Lapkas Dr Retno - Ga.docx

  • Uploaded by: Boby Ramadhan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Dr Retno - Ga.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,549
  • Pages: 28
LAPORAN KASUS STASE ANESTESI “GENERAL ANESTESI”

Disusun Oleh : Boby Ilham Ramadhan

2014730015

Hasanah Suci

2014730040

Rofifati ‘Ainy

2014730084

Tamara Haramain K

2014730088

Pembimbing : dr. Retno Tri Siswanti, Sp.An

KEPANITRAAN KLINIK STASE ANESTESI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini sesuai dengan waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Retno Tri Siswanti, Sp.An, selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini, sehingga ini dapaT diselesaikan dengan baik. Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia kedokteran anestesi, khususnya pada topik ”General Anestesi”. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, semoga bermanfaat.

Jakarta, Januari 2019

Penulis

Identitas Pasien  Nama Pasien

: An.SS

 Usia

: 14 thn

 Jenis kelamin

: Perempuan

 Agama

: Islam

 No. Rekam Medis

: 25-92-89

Anamnesis Keluhan Utama : •

Hidung tersumbat terus menerus

Keluhan tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat terus menerus dan terkadang dirasakan sakit pada daerah hidung. Keluhan dirasakan sangat mengganggu pada pasien. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat alergi obat : ibuprofen, asetil salisilat 2. Riwayat penyakit asma disangkal 3. Riwayat penyakit darah tinggi disangkal 4. Riwayat penyakit diabetes disangkal 5. Riwayat penyakit jantung disangkal 6. Riwayat operasi sebelumnya disangkal Riwayat Keluarga (-) PemeriksaanFisik Status generalis •

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang



Kesadaran

: Compos mentis

Tanda-tanda vital •

Tekanan darah

: 117/76 mmhg



Nadi

: 81 x/mnt



Suhu

:360 C



Pernapasan

: 20 x/menit

Status Generalisata Pemeriksaan kepala •

Kepala

: Normochepal



Mata

: Konjungtiva anemis -/-, pupil isokor, sclera ikterik -/-



Telinga

: Discharge -/-



Hidung

: discharge -/-, deviasi septum (+)



Mulut

: Bibir kering, Faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1

Pemeriksaan leher •

Leher

: Tidak terdapat benjolan di kanan dan kiri

Pemeriksaan dada •

Thoraks

: Bentuk dan gerak simetris



Pulmo

: Suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)



Cor

: BJ I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen •

Abdomen

: Datar, supel, jejas (-), nyeri tekan (-), bising usus (+) normal, hepar

tidak teraba, lien tidak teraba

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

BEKUAN Perdarahan

2’ 30” menit

1–3

Pembekuan

4’ 30” menit

2–6

HEMATOLOGI

Darah Rutin 13,0 g/dL

L = 13,7 – 17,5. P = 11,3 – 15,7

8,08 10^3/ul

L = 4,23 – 9,07. P = 3,98 – 10,04

Hematokrit

38,2 %

L = 40,1 – 51,0. P = 34,1 – 44,9

Trombosit

286 10^3/ul

Hemoglobin Leukosit

L = 163 – 337. P = 182 - 369

Pemeriksaan dilakukan tanggal 17-12-2018

Pemeriksaan Rontgen Hasil : Cor dan Pulmo dalam batas normal

Kesimpulan konsul anestesi •

Status fisik ASA II



ACC operasi

Laporan Anestesi Pasien  Diagnosis Pra Bedah

: septum deviasi

 Diagnosis Pasca Bedah

: Post septoplasty

 Jenis pembedahan

: Septoplasty

LAPORAN ANESTESI PASIEN •

Jenis Anestesi : General Anestesi



Premedikasi

: Methylprednisolone 125mg IV 1 jam sebelum operasi Ondansetron 4 mg Ranitidin 50 mg Midazolam 2 mg Sulfate Atropin 0,25mg



Induksi

: propofol 110 mg fentanyl 50 μg Atracurium 30mg



Medikasi tambahan

: Ketorolac 30 mg Asam Traneksmat 500 mg Dexametasone 10 mg iv Diphenhydramine 10 mg Vit K 10 mg



Obat Anestesi : Intubasi ET No.6,0



Maintenance : Inhalasi Sevoflurant



Respirasi

: terkontrol (14x/menit, Tidal volume 320)



Posisi

: Terlentang



Cairan

: RL

Laporan durante operasi •

Mulai anestesi : 19.15 WIB



Mulai operasi : 19.30 WIB



Selesai operasi : 21.15 WIB



Berat Badan



Lama Operasi :  105 menit



Pasien puasa :  8 jam



Cairan yang masuk : RL 3 plabot



Tekanan darah dan frekuensi nadi

: 55 Kg

Pukul 19.15 : 117/76 mmHg, N : 81x/mnt Pukul 19.30 : 100/53 mmHg, N : 86x/mnt Pukul 19.45 : 122/63 mmHg, N : 98x/mnt Pukul 20.00 : 105/49 mmHg, N : 64x/mnt Pukul 20.15 : 130/53 mmHg, N : 109x/mnt Pukul 20.30 : 100/69 mmHg, N : 88x/mnt Pukul 20.45 : 99/61 mmHg, N : 77x/mnt Pukul 21.00 : 98/59 mmHg, N : 72x/mnt Pukul 21.15 : 104/61 mmHg, N : 83x/mnt

Terapi cairan yang diberikan : Maintanance •

2cc/kgBB/Jam



2 x 55 = 110 cc/Jam

Pengganti puasa 8 jam



8 x maintenance



8 x 110 = 880 cc/Jam

Stress operasi •

8 cc/kgBB/jam



8 x 55 = 440 cc/jam

EBV 70cc/kgBB/jam 70 x 55 = 3850 cc/jam ABL 20% x EBV 20% x 3850 cc = 770cc/jam •

Jam I : ½ puasa + maintenance + stress operasi ½ 880 + 110 + 440 = 990 cc



Jam II: ¼ puasa + maintenance + stress operasi ¼ 880 + 110 + 440 = 770 cc

 Instruksi post operasi  observasi : -

Bila sadar penuh minum/makan bertahap

-

Bila kesakitan berikan tramadol 100 mg iv pelan diencerkan/8 jam

-

Bila mual/muntah berikan ondancentron 4mg/8 jam iv

-

Infus RL 500CC/8 jam

-

Diet dan nutrisi: tinggi karbohidrat dan tinggi protein

-

Observasi tanda vital/6 jam

Monitoring tanda-tanda vital -

Kesadaran

:

Compos Mentis

Aldrette Score -

Aktivitas

: mampu mengangkat semua Ekstremitas (2)

-

Pernapasan

: Dapat Bernapas Dalam dan Batuk (2)

-

Sirkulasi

: Tekanan Darah ± 20% dari Nilai Pra Anetesi

-

BP : 108/59 mmHg

-

HR : 87x/menit

-

RR : 20x/menit

-

Kesadaran

: sadar penuh mudah dipanggil (2)

-

S

: 360C

-

Saturasi O2

: ≥ 92 % dengan udara kamar (2)

-

SpO2: 100 %

-

Pasien muntah,

(2)

Skor : 10/10

sebagian makanan masih utuh Kesan : keadaan umum baik, puasa kurang dari 8 jam

PEMBAHASAN  Dari hasil pemeriksaan preoperatif, kami dapat menentukan status pasien adalah ASA II dengan interpretasi bahwa pasien kemungkinan memiliki penyakit sistemik ringan atau sedang. Selain itu, kita juga memberikan edukasi kepada pasien untuk puasa ± 8 jam sebelum operasi.

Keadaan pre-operative  Pasien datang dengan kesadaran compos mentis dan telah mengalami program puasa selama 8 jam. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 110x/menit. Hb : 13,0 gr/ dl. Durante Operative  Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan general anestesi dan memakai fasilitas intubasi dengan menggunakan ET nomor 6.  Tekhnik general anestesi ini perlu di perhatikan terhadap pengawasan jalan nafas.  Hindari agen induksi yang menstimulasi saraf simpatis seperti penggunaan ketamin.

 Kedalaman pembiusan harus cukup kuat sebelum dilakukan manipulasi seperti pemakaian laringoskop untuk intubasi guna menghindari gejolak hemodinamik.  Pemeliharaan dapat digunakan agen inhalasi seperti Isofluran, desfluran Sevofluran dan lain-lain.  N2O dapat digunakan sebagai analgetik selain dengan opioid.  Perhatian terhadap ablasi kornea atau ulserasi pada pasien dengan eksoftalmus dengan pemberian salep mata.  Untuk induksi diberikan Fentanyl dan propofol.  Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.  Setelah pasien masuk dalam stadium anestesi disusul dengan pemberian Atracurium 30 mg IV sebagai muscle relaxan untuk memudahkan intubasi endotrakeal.  Atracurium merupakan pelumpuh otot non depolarisasi dengan onset cepat, durasi sedang, pemulihan cepat, akumulasi minimal, serta tendensi histamin release yang rendah.  Setelah itu pasien diberi O2 murni selama ± 3 menit, setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi dengan pipa endotrakeal nomor 6.  Balon pipa endotrakeal dikembangkan. Kemudian diyakinkan bahwa pipa endotrakeal ada dalam trakea dan tidak masuk ke dalam salah satu bronkus atau esophagus dengan mendengarkan suara paru-paru dengan stetoskop. Gerakan dinding dada harus simetris pada setiap inspirasi buatan.  Kemudian orofaringeal tube dimasukkan mulut [agar lidah tidak jatuh ke belakang, lalu difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi.  Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi yang digunakan adalah N2O 2 liter/menit, O2 2 liter/menit, sevoflurant.  N2O merupakan zat anestesi yang lemah tapi mempunyai efek analgetik yang kuat.  Pemberian N2O biasanya bersamaan dengan O2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia.  Selain itu juga dikombinasikan dengan sevoflurant .  Sevoflurant merupakan halogenasi ether, bau tidak menyengat.

 Keuntungan penggunaan sevoflurant adalah induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat, efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, tidak merangsang jalan napas.  Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol tiap 15 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 130 – 99 mmHg. Tekanan diastolik berkisar antara 70 – 49 mmHg. Di lihat dari tekanan darah yang turun, maka sevovlurant diturunkan menjadi 1%.  Untuk mencegah perdarahan yang banyak, maka pada kasus ini di berikan, asam traneksamat dan vitamin K, , Infus RL diberikan pada pasien sebagai cairan rumatan.  Ondansetron juga di berikan untuk mengurangi mual.  Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri pasca operasi diberikan ketorolac dengan dosis 30 mg/ml.  Ketorolac tromethamine merupakan senyawa anti inflamasi non steroid bekerja pada jalur siklo oksigenase, menghambat biosintesis prostaglandin dengan aktifitas analgetik yang kuat secara perifer maupun sentral, disamping itu memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik.  Ketorolac memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin atau pethidine namun efeknya lebih lambat.  Ekstubasi mengalami kendala karena pasien muntah dan kurang kooperatif.  Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan RL setelah selesai operasi

PEMBAHASAN ANESTESI UMUM 2.1 DEFINISI Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran 2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri 3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka 2. 2 Pilhan cara anestesi 

Umur o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum



Status fisik o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah. o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari penggunaan anestesia umum. o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum. o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.



Posisi pembedahan

o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama. 

Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.



Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi



Keinginan pasien



Bahaya kebakaran dan ledakan o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum: 2.3.1 Faktor respirasi Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:  Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.  Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi. 2.3.2 Faktor sirkulasi Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena Factor-faktor yang mempengaruhi: 1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. 2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. 3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,

konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat. 2.3.3 Faktor jaringan 1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan. 2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan. 3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan: a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung. b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit. c) Lemak : jaringan lemak d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah : ligament dan tendon. 2.3.4 Faktor zat anestesika Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut. 2.4 TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM 2.4.1 Penilaian dan persiapan pra anestesia Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 2.4.1.1 Penilaian pra bedah A. Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak

nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya B. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien. C. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks. D. Kebugaran untuk anestesia Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari. E. Klasifikasi status fisik Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Kelas I

: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.Contohnya: pasien

batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas.Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis. Kelas V

: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE F. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasienpasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

2.4.1.2 Premedikasi Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: 1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien a. Menghilangkan rasa khawatir melalui: i. Kunjungan pre anestesi ii. Pengertian masalah yang dihadapi iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi b. Memberikan ketenangan (sedative) c. Membuat amnesia d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)

e. Mencegah mual dan muntah 2. Memudahkan atau memperlancar induksi a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik 3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik 4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur) 5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis 6. Mengurangi rasa sakit

2.4.1.3 Waktu dan cara pemberian premedikasi: Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan. Obat-obat yang sering digunakan: 1. Analgesik narkotik a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB 2. Analgesik non narkotik a. Ponstan b. Tramol c. Toradon 3. Hipnotik a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB 4. Sedatif a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5. Anti emetic a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB b. DBP c. Narfoz, rantin, primperan.

2.5 INDUKSI ANASTESI Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’: S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. T :Tube

 Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A :Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidungfaring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. T : Tape

 Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia S :Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

2.5.1 STADIUM ANESTESI Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.

Stadium I Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata). Stadium II Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata. Stadium III Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium IV Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.6 TEKNIK ANESTESI UMUM 2.6.1 Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan Indikasi : 

Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)



Keadaan umum baik (ASA I – II)



Lambung harus kosong

Prosedur : 

Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik



Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)



Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll



Induksi

efek



Pemeliharaan

2.6.2 Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur : 1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat) 2. Intubasi setelah induksi dan suksinil 3. Pemeliharaan Teknik Intubasi 1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap 2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+) 3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt 4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka 5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri 6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus ) 7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar ) 8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah 9. Masukan ET melalui rima glottis 10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (alat resusitasi)

Klasifikasi Mallampati : Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

2.6.3 Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol) Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. 

Teknik sama dengan diatas



Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)



Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

2.6.4 Induksi intravena Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena: A. Tiopental (pentotal, tiopenton) Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi. B. Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg), suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. C. Ketamin (ketalar) Kurang

digemari

karena

sering

menimbulkan

takikardia,

hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi

midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg). D. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2.6.5 Induksi intramuscular Sampai

sekarang

hanya

ketamin

(ketalar)

yang

dapat

diberikan

secara

intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. 2.6.6 Induksi inhalasi A. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan. B. Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah. C. Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan. D. Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. E. Desfluran (suprane) Sangat

mudah

menguap.

Potensinya

rendah

(MAC

6.0%),

bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. F. Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. 2.6.7 Induksi per rectal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. 2.6.8 Induksi mencuri Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan. Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg (Antracurium) 1. Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. 2. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. a. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot: i. Cegukan (hiccup) ii. Dinding perut kaku iii. Ada tahanan pada inflasi paru

2.7 RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

2.8 TATALAKSANA JALAN NAPAS Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan: 1. Hidung Menuju nasofaring 2. Mulut Menuju orofaring Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform. 2.8.1

Manuver tripel jalan napas Terdiri dari: 1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital. 2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula 3. Mulut dibuka Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

A. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulutfaring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (nasopharyngeal airway). B. Sungkup muka Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung. C. Sungkup laring (Laryngeal mask) Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring: 1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas 2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus. D. Pipa trakea (endotracheal tube) Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). E. Laringoskopi dan intubasi Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop: 1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa 2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa. Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi. Gradasi

Pilar faring

Uvula

Palatum Molle

1

+

+

+

2

-

+

+

3

-

-

+

4

-

-

-

2.9 Intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut: 1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya. 2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang. 3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi 2.9.1 Kesulitan intubasi 1. Leher pendek berotot 2. Mandibula menonjol 3. Maksila/gigi depan menonjol 4. Uvula tak terlihat 5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas 6. Gerak vertebra servikal terbatas 2.9.2 Komplikasi intubasi 1. Selama intubasi a. Trauma gigi geligi b. Laserasi bibir, gusi, laring c. Merangsang saraf simpatis d. Intubasi bronkus e. Intubasi esophagus f. Aspirasi g. Spasme bronkus 2. Setelah ekstubasi a. Spasme laring b. Aspirasi c. Gangguan fonasi d. Edema glottis-subglotis e. Infeksi laring, faring, trakea

2.10 EKSTUBASI

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika: a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi 2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring. 3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.

2.11 SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR). 2.11.1 Aldrete Score A. Nilai Warna 

Merah muda, 2



Pucat, 1



Sianosis, 0

B. Pernapasan 

Dapat bernapas dalam dan batuk, 2



Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1



Apnoea atau obstruksi, 0

C. Sirkulasi 

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2



Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1



Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

D. Kesadaran 

Sadar, siaga dan orientasi, 2



Bangun namun cepat kembali tertidur, 1



Tidak berespons, 0

E. Aktivitas 

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2



Dua ekstremitas dapat digerakkan,1



Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

2.11.2 Steward Score (anak-anak) A. Pergerakan 

Gerak bertujuan 2



Gerak tak bertujuan 1



Tidak bergerak 0

B. Pernafasan 

Batuk, menangis 2



Pertahankan jalan nafas 1



Perlu bantuan 0

C. Kesadaran 

Menangis 2



Bereaksi terhadap rangsangan 1



Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI 2009. Anastetik Umum, dalam Farmakologi dan Terapi. Balai penerbit FKUI , Jakarta. Hal 122-138 2. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta. 3. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi, 1989, Jakarta. 4.

Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009.

Related Documents


More Documents from "Apheloe"

Batu Saluran Kemih.docx
December 2019 36
Lapkas Dr Retno - Ga.docx
December 2019 35
Stt.pptx
December 2019 31
Hukum Kepailitan
June 2020 28
Proposal.docx
June 2020 19
Pkwu.docx
June 2020 14