BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit, seperti ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi gaster berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung ke dalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah. Pada anak-anak, cidera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7%. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15% penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka kematian sebanyak 35% dan angka kesakitan 50%. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung 2.1.1. Anatomi Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrumpilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung. Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau piloro spasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.
2
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum
minus
(disebut
juga
ligamentum
hepatogastrikum
atau
hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.
Gambar 1. Anatomi Gaster
Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil,
3
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum. Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe. Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya disternsi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe sel utama. Sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCL) dan faktor intrinsik. Faktor intrisik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium dan klorida. Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan
4
submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung. Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan major. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.
Gambar 2. Suplai Darah Lambung dan Duodenum
2.1.2. Fisiologi Lambung a. Fungsi lambung: 1. Fungsi motorik - Fungsi menampung: Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos; diperantarai oleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin.
5
- Fungsi mencampur: Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Konstraksi peristaltik diatur oleh suatu irama listrik dasar. - Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga. Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti kolesistokinin.
2. Fungsi pencernaan dan sekresi - Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehinhha menjadi pepsin. - Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus. - Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal. - Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut. - Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik, dan intestinal. Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini diperantarai seluruhnya oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Sinyal
6
neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik terangsang untuk menyekresi HCL, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan. Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari resptorreseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama oleh protein makanan dan alkohol. Membran sel parietal di fundus dan korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan asetilkolin, yang merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat bereaksi pada sel parietal secara langsung untuk sekresi asam dan juga dapat merangsang pelepasan histamin dari mukosa untuk sekresi asam. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari dua pertiga sekresi lambung total setelah makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari total sekresi lambung harian yang berjumlah sekitar 2000 ml. Fase gastrik dapat terpengaruh oleh reseksi bedah pada antrum pilorus, sebab disinilah pembentukan gastrin. Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar. Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil
7
pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesitokinin, dan peptida penghambat gastrik (Gastric-Inhibiting Peptide, GIP), semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung. Pada periode interdigestif (antara dua waktu pencernaan) sewaktu tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran asam basal (Basal Acid Output, BAO) dan dapat diukur dengan pemeriksaan sekresi cairan lambung selama puasa 12 jam. Sekresi lambung normal selama periode ini terutama terdiri dari mukus dan hanya sedikit pepsin dan asam. Tetapi, rangsangan emosional kuat dapat meningkatkan BAO melalui saraf parasimpatis (vagus) dan diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum.
2.2. Perforasi Gaster Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah: ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta). Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakan penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15% penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut mempunyai angka kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.
8
2.3. Etiologi a. Cidera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh: trauma tertusuk pisau). b. Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. c. Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa. d. Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akut, divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi. e. Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil akhir yang buruk. f. Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic: luka dapat terjadi oleh ERCP dan colonoscopy. g. Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus akut dan kronik dan obstruksi usus. h. Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai membaik. i. Penyakit inflamasi usus: perforasi usus dapat muncul pada paien dengan colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada pasien dengan Crohn’s disease. j. Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul. k. Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau limphoma. l. Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus.
9
m. Benda asing ( misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen, peritonitis, dan sepsis.
2.4. Patofisologi Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E. coli) dan anaerob (Bacteriodes fragilis). Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organorgan visceral cenderung melokalisir proses peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktivitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran absces pada perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, Multiple Organ Failure dan shock.
10
2.5. Gejala Klinis a. Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan b. Nausea c. Vomitus d. Pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil
2.6. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan. b. Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan
takikardi,
febris,
dan
nyeri
tekan
seluruh
abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. Rasa kembung dan konsistensi seperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal. c. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum d. Pada auskultasi: bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa. e. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis: pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.
2.7. Pemeriksaan Penunjang Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah: foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan
11
dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.
1. Radiologi Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi. Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting, karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri. Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri. Pada kasus
12
perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas kumpulan cairan di bagian tengah abdomen. 2. Ultrasonografi Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas. 3. CT scan CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster. Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri.
13
CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya. Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.
2.8. Penatalaksanaan Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah: a. Koreksi masalah anatomi yang mendasari b. Koreksi penyebab peritonitis c. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi lambung). Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia
14
lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.
2.9. Komplikasi Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut: a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada gaster b. Kegagalan luka operasi Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi, seperti malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes mellitus, terapi kortikosteroid, obesitas, batuk yang berat, hematoma (dengan atau tanpa infeksi) c. Abses abdominal terlokalisasi d. Kegagalan multiorgan dan syok septic: 1. Septikemia
adalah
proliferasi
bakteri
dalam
darah
yang
menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler. 2. Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut: hilangnya tonus vasomotor, peningkatan permeabilitas kapiler, depresi myokardial, pemakaian leukosit dan trombosit, penyebaran substansi
vasoaktif kuat,
seperti
histamin,
serotonin
dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler . 3. Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia. 4. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
15
5. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan
kegagalan
sistem
multipel
organ
dan
mungkin
berhubungan dengan defek proteksi oleh mukosa gaster. 6. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif. 7. Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi delirium postoperatif: a. Usia lanjut b. Ketergantungan obat c. Demensia d. Abnormalitas metabolik e. Infeksi f. Riwayat delirium sebelumnya
2.10. Prognosis Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam. Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian: a. Usia lanjut b. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya c. Malnutrisi d. Timbulnya komplikasi
16
BAB III ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. TS
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 44 tahun
Alamat
: Jl. Utama Karya, Dumai Timur
Pekerjaan
: Supir Truk
Agama
: Kristen Protestan
No. RM
: 399384
Tgl. Masuk
: 15 Maret 2018 Pukul 19.40 WIB
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 15 Maret 2018) a. Keluhan Utama Nyeri di seluruh bagian perut sejak 1 hari yang lalu b. Diagnosis Banding 1. Peritonitis ec. perforasi gaster 2. Peritonitis ec. appendisitis perforasi 3. Kolesistitis akut
c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Sejak 3 bulan terakhir, pasien juga sering merasakan nyeri ulu hati, namun mereda dengan istirahat dan minum obat penghilang nyeri. Saat ini, nyeri muncul secara tiba-tiba, terus menerus, dirasakan seperti tertusuk jarum yang kuat dan tidak berkurang dengan minum obat penghilang nyeri. Nyeri memberat bila pasien bergerak dan bernapas. Perut terasa keras dan tegang. Dada terasa menyesak. Mual (+).
17
Muntah 3x, isi apa yang dimakan. Demam (-). Kaki kiri bengkak, nyeri (+), terasa berdenyut. Flatus (+), BAK (+), BAB (+).
d. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti saat ini. Riwayat nyeri pada sendi jari (+) sejak 3 tahun yang lalu dan sering kambuh. Bila sedang kambuh pasien sering membeli obat penghilang nyeri di apotek tanpa resep dokter. Biasanya pasien minum obat dengan jumlah 2 atau 3 kapsul. Riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan disangkal pasien. Riwayat HT (-), DM (-), Penyakit Kuning (-), Gangguan Jantung (-), Gangguan Ginjal (-), Riwayat Operasi sebelumnya (-), Riwayat trauma atau operasi dibagian abdomen sebelumnya (-).
e. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengaku memiliki keluhan serupa dengan pasien. Riwayat keluarga yang mengalami tumor pada saluran cerna (-). Riwayat keluarga HT (-),DM (-), penyakit jantung (-),penyakit ginjal (-).
f. Riwayat Pribadi Dan Sosial Pasien bekerja sebagai supir truk. Pasien mengaku sering minum tuak jika berkumpul dengan teman-temannya. Jika minum, bisa habis satu botol dalamsehari.
III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN) Dilakukan pada tanggal
: 15 Maret 2018
Tekanan darah
: 130/70 mmHg
Suhu tubuh
: 36,2oC
Frekuensi denyut nadi
: 96 kali/menit
Frekuensi nafas
: 24 kali/menit
18
IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK : IV. A. Keadaan Umum Kesadaran
: Composmentis
Keadaan umum
: Tampak sakit berat
Tinggi badan
: 167 cm
Berat badan
: 52 kg
Indeks Massa Tubuh
: 18,57 (normoweight)
IV.B. Pemeriksaan Kepala
: Normochepal, Deformitas (-), Rambut rontok, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik(-/-), Reflek cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm, septum deviasi (-/-), bibir sianosis (-).
IV.C. Pemeriksaan Leher Inspeksi
: Leher tampak simetris, benjolan/massa (-), peningkatan JVP (-).
Palpasi
: Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).
Pemeriksaan trakea
: Posisi trakea simetris, deviasi trakea (-)
Pemeriksaan kelenjar tiroid
: Pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri tekan (-)
IV.D. Pemeriksaan Thoraks a. Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tampak
Palpasi
: Kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial di ICS 5 linea midclavikula sinistra.
Perkusi Kanan atas jantung
: ICS II linea parasternalis dextra
Kanan bawah jantung
: ICS IV linea parasternal dextra
19
Kiri atas jantung
: ICS II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah jantung
: ICS IV linea midclavicula sinistra
Auskultasi
: BJ I-II regular, bising (-)
b. Paru Inspeksi
: Tampak simetris kanan dan kiri, scar (-/-), retraksi dinding dada (-/-).
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru.
Palpasi
: Pergerakan dinding dada simetris, fremitus dextra dan sinistra simetris, nyeri tekan (-/-)
Auskultasi
: Suara napas vesikuler di seluruh bagian parenkim paru, wheezing (-/-), ronchi (-/-).
IV.E. Pemeriksaan Abdomen: Inspeksi
: Datar, terlihat tegang, scar (-), massa (-)
Auskultasi
: Peristaltik (+) menurun
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Nyeri tekan (+), defans muscular (+) di seluruh kuadran, hepar tak teraba, lien tak teraba, massa (-)
IV.F. Pemeriksaan Ekstremitas: Superior
Inferior
Akral dingin
(-/-)
(-/-)
Edema
(-/-)
(-/-)
Sianosis
(-/-)
(-/-)
20
V. Pemeriksaan Penunjang Tanggal: 15 Maret 2018 Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Glukosa Darah Glukosa Darah Fungsi Hati SGOT SGPT Fungsi Ginjal Creatinin Ureum Elektrolit Natrium Kalium Chlorida
Hasil
Nilai Rujukan
11 gr% 10.5 10^3mm^3 31 % 280 10^3mm^3
14-17 4-11 36-52 150-450
201 mg/dL
<140
48 mg/dL 147 mg/dL
<40 <30
1,3 mg/dL 42 mg/dL
0,5-1,2 20-40
137 mmol/L 4,3 mmol/L 110 mmol/L
125-149 3,35-4,01 80,5-96,1
Radiologi: Tanggal 15 Maret 2018 a. Thoraks AP Kesan: Kardiomegali, pulmo dalam batas normal
21
b. Foto Polos Abdomen
Kesan: Pneumoperitoneum Elektrokardiografi
Tidak ada Kelainan pada Hasil EKG VI. Diagnosis Kolik Abdomen ec. Susp. Perforasi Gaster
22
VII. Tatalaksana - IVFD RL 12 gtt/i - Metronidazole 1 flakon - Inj. Ranitidine 25 mg iv - Inj. Ketorolac 30 mg iv - Inj. Ceftriaxone 1 gr iv Skin Test - Pasang NGT terbuka - Pasang kateter - Rencana tindakan Laparotomi
23
BAB IV PEMBAHASAN
Telah dilaporkan seorang pasien dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Sejak 3 bulan terakhir, pasien juga sering merasakan nyeri ulu hati, namun mereda dengan istirahat dan minum obat penghilang nyeri. Saat ini, nyeri muncul secara tiba-tiba, terus menerus, dirasakan seperti tertusuk jarum yang kuat dan tidak berkurang dengan minum obat penghilang nyeri. Nyeri memberat bila pasien bergerak dan bernapas. Perut terasa keras dan tegang. Dada terasa menyesak. Mual (+). Muntah 3x, isi apa yang dimakan. Kaki kiri bengkak, nyeri (+), terasa berdenyut. Flatus (+), BAK (+), BAB (+). Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum yang bisa diakibatkan salah satunya oleh penggunaan obat-obatan seperti NSAID. Pada pasien ini terdapat riwayat konsumsi obat penghilang nyeri untuk keluhan nyei sendinya selama 3 tahun terakhir. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya nyeri pada seluruh lapang perut dan terdapat defans muscular, bising usus yang menurun, nyeri yang bertambah dengan pergerakan posisi badan. Salah satu temuan fisik pada pasien perforasi gaster adalah pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen keras seperti papan. Pada pemeriksaan penunjang radiologis, ditemukan gambaran pneumoperitoneum pada foto polos abdomen posisi AP dan erect. Gamabarn pneumoperitoneum menandakan adanya udara bebas dalam ruang abdomen. Tatalaksana pada pasien ini adalah dilakukan terapi suporti dan kemudian direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi berupa laparotomi. Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi. Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan.
24
BAB V KESIMPULAN
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakitpenyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma. Penatalaksanan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evakuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Pieter, John, editor: Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31: Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC: Jakarta, 2004. Hal. 541-59. 2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor: Mansjoer, Arif., Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta: 2000 3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis prosesproses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC: Jakarta, 2006 4. http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastric_ruptu re Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation in Neonatal Period, available from www.medicaljournalias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf 5. Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological diagnostics of gastrointestinal perforation
26