Referat Rjp Anes.docx

  • Uploaded by: Rexsi Arjuna Al Ghfary
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Rjp Anes.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,276
  • Pages: 27
1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Serangan jantung mendadak menjadi penyebab utama kematian diluar rumah sakit dan di rumah sakit. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 70% serangan jantung di luar rumah sakit atau out-of-hospital cardiac arrests (OHCAs) terjadi di rumah, dan sekitar 50% tidak disaksikan. Hasil dari OHCA buruk, hanya 10,8% korban dewasa dengan serangan jantung nontraumatik yang telah menerima upaya resusitasi dari emergency medical service (EMS) atau layanan darurat medis mampu bertahan hidup sampai rumah sakit. Serangan jantung di rumah sakit atau In hospital cardiac arrest (IHCA) memiliki hasil yang lebih baik, dengan 22,3% sampai 25,5% orang dewasa yang masih mampu bertahan hidup.1 Insiden OHCA yang dihadiri oleh EMS di Eropa tercatat sebanyak 86 per 100.000 orang per tahun. Serangan jantung OHCA tetap dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi, berkisar antara 2,6% sampai 9,9%. Penelitian di Eropa mengamati bahwa resusitasi jantung paru (RJP) dapat meningkatkan kelangsungan hidup di rumah sakit.2 Resusitasi merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernapasan, peredaran darah dan saraf ke fungsi yang optimal sehingga kemudian muncul istilah resusitasi jantung paru (RJP).3 Resusitasi jantung paru dapat membantu menjaga oksigenasi miokard dan serebral sampai tenaga dan peralatan bantuan datang, sehingga memcegah kerusakan otak ireversibel akibat kekuranga oksigen.4 Kerusakan otak ireversibel dapat disebabkan oleh aliran darah yang terhenti (henti jantung), trauma dengan hipoksemia berat, atau kehilangan banyak darah yang tidak dikoreksi. Resusitasi dapat dilakukan oleh siapa saja mulai dari orang awam sampai dokter, dimana saja, kapan saja dan tanpa mempergunakan alat dapat diterapkan pada keadaan darurat.3 Waktu untuk memulai resusitasi sangat penting untuk memperbaiki kemungkinan pemulihan secara ideal. Resusitasi harus dimulai dalam waktu 4 menit setelah serangan dan bantuan hidup lanjut pada jantung harus dimulai dalam waktu 8 menit setelah serangan. Pada beberapa kasus, intervensi lanjutan seperti pemberian kejut jantung untuk

2

defibrilasi dan penambahan berbagai terapi farmakologis diperlukan untuk memaksimalkan kemungkinan pemulihan korban. Tanpa intervensi spesifik ritme, pulih dari serangan jantung tidak mungkin terjadi.5 Menurut Safar, RJP dibagi dalam 3 tahap, yaitu (1) bantuan hidup dasar (BHD); (2) bantuan hidup lanjut; (3) bantuan hidup jangka panjang. Bantuan hidup dasar merupakan usaha untuk melakukan oksigenasi darurat dan terdiri dari langkah-langkah (A) airway control = penguasaan jalan napas; (B) breathing support = bantuan pernapasan dengan ventilasi buatan dan oksigenasi pada paru; (C) Circulation support = bantuan sirkulasi dengan mengevaluasi denyut nadi dan melakukan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung dan mengatasi perdarahan.3

3

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernapasan dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tidak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.3 Resusitasi jantung paru dibagi dalam 3 tahap, yaitu (1) bantuan hidup dasar (BHD); (2) bantuan hidup lanjut; (3) bantuan hidup jangka panjang. Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk memperbaiki dan/atau memelihara jalan napas, pernapasan dan sirkulasi serta kondisi darurat yang terkait. Bantuan hidup dasar terdiri dari penilaian awal, penguasaan jalan napas, ventilasi pernapasan dan kompresi dada. Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) Survei Primer (Primary Survey) yang dapat dilakukan oleh setiap orang dan (2) Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis.3,4

2.2. Indikasi a. Henti Napas Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.4 Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan

4

teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung.3,4

b. Henti Jantung Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.3,4 Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.3,4 Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.3,4

2.3. Dasar Resusitasi Jantung Paru Seperti semua aspek kegawatdaruratan medis, penting untuk mempelajari dasar RJP secara sistematis. Bila seseorang ditemukan tidak responsif, hal berikut harus dilakukan dengan cepat dan berurutan:5 a. Menilai respon. Jika tidak responsif, maka b. Cari bantuan dengan mengaktifkan sistem pelayanan medis darurat setempat c. Meminta defibrilator (jika ada)

5

d. Posisikan korban dan buka jalan napas (pertahankan imobilisasi tulang belakang serviks jika trauma berpotensi terjadi) e. Menilai pernapasan. Jika tidak ada pernapasan, maka f. Berikan bantuan pernapasan g. Menilai sirkulasi. Jika tidak ada denyut nadi, h. Mulailah kompresi dada tertutup dan lanjutkan ventilasi. Gunakan defibrillator jika tersedia.

Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest compression merupakan tindakan yang sangat penting dalam CPR kerana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.3,4 Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of survival” pada kondisi HCA maupun OHCA.1

6

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA1

2.4. Fase Resusitasi Jantung Paru 2.4.1. FASE I: Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support/BLS)1,2,3,4 Bantuan Hidup Dasar (BLS) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan napas, henti napas dan henti jantung dan bagaimana melakukan RJP secara benar. BLS bertujuan untuk oksigenisasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. BLS terdiri dari: - C (circulation): mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru - A (airway): menjaga jalan napas tetap terbuka - B (breathing): ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

7

Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa.1

Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa1

8

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:1,2,3 1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsif maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernapas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.

Gambar 3. Pengenalan dan Pengaktifan Cepat Sistem Tanggapan Darurat

2. Resusitasi Jantung Paru Dini Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah: a. Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali/menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi dada. b. Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi

9

maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa. c. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:

Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa1

d. Menunggu rekoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolehkan rekoil dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi. e. Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit. f. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan napas melalui head tilt–chin lift. Namun jika korban

10

dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan napas melalui jaw thrust.

(a)

(b)

Gambar 4. Teknik Pembebasan Jalan Napas (a) Head tilt–chin lift (b) Jaw thrust

g. Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. h. Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal, Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan. i. Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.

11

(a)

(b) Gambar 5. Teknik Kompresi Dada (a) Pada orang Dewasa (b) Pada Pediatri

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/napas atau sekitar 1012 napas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30:2.

12

RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

3. Alat Defibrilasi Otomatis AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30:2. Defibrilasi/shock diberikan bila ada indikasi/instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.

4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak dan Bayi Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum pada Tabel 2.

13

Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi1

Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (Gambar 6 dan 7). Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan

14

pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/napas atau sekitar 12-20 napas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.

Gambar 6. Algoritma Resusitasi Jantung Paru pada Pasien Pediatri dengan Satu Orang Penolong1

15

Gambar 7. Algoritma Resusitasi Jantung Paru pada Pasien Pediatri dengan Dua Orang Penolong1

Posisi mantap Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban tidak responsif yang memiliki pernapasan dan sirkulasi yang baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang stabil dan hampir lateral

16

menjadi prinsip ditambah menaruh tangan yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.1,2,4 2.4.2. FASE II: Bantuan Hidup Lanjut (Advance Life Support/ALS)1,2,3,4 Bantuan hidup lanjut (ALS) merupakan perpanjangan bantuan hidup dasar untuk mendukung sirkulasi dan memberikan jalur napas terbuka dengan ventilasi adekuat yang ditambah dengan: - D (drugs): pemberian obat-obatan termasuk cairan - E (EKG): diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes - F (fibrillation treatment): tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

D (Drugs): Pemberian obat-obatan. Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:1,2,3,4 1. Penting: a. Adrenalin: Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel. b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal: 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. c. Sulfas Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan

17

sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >60/menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).

2. Berguna: a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dextrose 5%), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine. b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat. c. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB

18

dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring. F (Fibrilation Treatment): Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya. Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

Gambar 8. Gambaran EKG Atrial Fibrilasi

19

Gambar 9. Skema Penanganan Pulsesless Arrest

2.4.3. FASE III: Bantuan hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support)1,2,3,4 -

G (Gauge): Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terusmenerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya terutama pada sistem pernapasan, kardiovaskular dan sistem saraf.

20

-

H (Head): Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologis yang permanen.

-

H (Hipotermi): Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30°-32°C.

-

H (Humanization): Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.

-

I (Intensive care): Perawatan intensif di ICU, yaitu tunjangan ventilasi: trakheostomi, pernapasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

2.5. Keputusan untuk Mengakhiri Resusitasi Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,

tergantung

pada

pertimbangan

penafsiran

status

serebral

dan

kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernapasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernapasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.1,2,4 2.6. Pembaharuan pada BLS dan CPR Guidelines 20177 a. BLS Dewasa dan Kualitas CPR Topik yang ditinjau dalam pembaruan 2017 mencakup hal berikut CPR yang didampingi operator, perbandingan penggunaan kompresi dada yang terus-menerus dengan terputus-putus oleh penyedia layanan medis darurat (EMS), serta perbandingan penggunaan CPR kompresi dada saja (tangan saja) dengan CPR menggunakan kompresi dada dan ventilasi pada lokasi di rumah sakit dan di luar rumah sakit.7

21

1. CPR yang didampingi operator7 2017 (diperbarui): Pada pembaruan 2017, direkomendasikan untuk melakukan CPR dengan didampingi oleh seorang instruksi. Pendamping harus memberikan instruksi CPR kompresi dada saja kepada pemanggil untuk orang dewasa dengan dugaan serangan jantung di luar rumah sakit (OHCA).

2015 (lama): Pendamping harus memberikan instruksi CPR kompresi dada saja kepada pemanggil untuk orang dewasa dengan dugaan OHCA.

Alasannya: Ringkasan dan tinjauan sistematis BLS International Consensus in CPR and ECC Science with Treatment Recommendations (CoSTR) 2017 dianggap sebagai instruksi untuk CPR kompresi dada saja dengan pendamping untuk pasien OHCA. Tidak ada penelitian terbaru yang ditinjau untuk pembaruan ini.

2. CPR oleh Pendamping7 2017 (diperbarui): - Untuk dewasa dengan OHCA, penolong yang tidak terlatih harus CPR kompresi dada saja dengan atau tanpa bantuan pendamping. - Untuk penolong tidak terlatih yang terlatih dengan CPR kompresi dada saja, disarankan agar mereka memberikan CPR kompresi dada saja untuk dewasa yang mengalami OHCA. - Untuk penolong tidak terlatih yang terlatih dengan CPR menggunakan kompresi dada dan ventilasi (napas buatan), mungkin dapat memebrikan ventilasi (naps buatan) selain kompresi dada untuk dewasa yang mengalami OHCA.

22

2015 (lama): - Untuk penolong tidak terlatih, CPR kompresi dada saja adalah alternatif yang memungkinkan untuk CPR konvensional bagi pasien dewasa yang mengalami serangan jantung. - Untuk penolong tidak terlatih yang terlatih, dapat memberikan ventilasi selain kompresi dada untuk dewasa yang mengalami serangan jantung. - Untuk penolong tidak terlatih yang terlatih, dapat memberikan ventilasi selain kompresi dada untuk dewasa yang mengalami serangan jantung. Alasannya: ringkasan dan tinjauan sistematis BLS CoSTR 2017 membandingkan pendamping yang menggunakan CPR kompresi dada dan ventilasi (napas buatan). 3. CPR oleh EMS7 2017 (diperbarui): - Sebaiknya sebelum penempatan salura udara lanjutan (saluran udara supraglotik atau saluran trakea), penyedia EMS memberikan CPR dengan siklus 30 kompresi dan 2 napas. Penyedia EMS dapat menggunakan tingkat 10 napas per menit (1 naas setiap 6 detik) untuk memberikan ventilasi asinkroni selama kompresi dada terusmenerus sebelum penempatan saluran udara lanjutan. - Rekomendasi yang diperbarui ini tidak menghalangi rekomendasi 2015 yang menjadi alternatif yang memungkinkan sistem EMS menerapkan paket perawatan sebagai penggunaan awal dari kompresi dada dengan gangguan yang minim (seperti ventilasi yang tertunda) untuk OHCA yang terlihat terjatuh. 2015 (lama): - Selama pasien tidak memiliki saluran udara lanjutan yang terpasang, penolong harus memberikan siklus 30 kompresi dan 2 napas selama CPR. Penolong memberikan napas buatan selama jeda

23

di antara kompresi dan memberikan setiap napas kira-kira selama 1 detik. - Namun, dalam sistem EMS yang menggunakan paket perawatan yang mencakup kompresi dada secara terus-menerus, penggunaan teknik ventilasi pasif dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari paket tersebut. Alasannya: ringkasan dan tinjauan sistematis BLS CoSTR 2017 mempertimbangkan penggunaan perbandingan kompresi dada yang terusmenerus dengan terputus-putus saat penyedia EMS melakukan CPR menggunakan kompresi dada dan ventilasi sebelum penempatan saluran udara lanjutan. b. Konten BLS Dewasa dan Kualitas CPR7 1. CPR untuk Serangan Jantung 2017 (diperbarui): Kapanpun saluran udara lanjutan (saluran trakea dan perangkat supraglotik) dimasukkan selama CPR, penyedia dapat melakukan kompresi terus-menerus dengan ventilasi bertekanan positif yang diberikan tanpa jeda pada kompresi dada. 2017 (tidak diubah): Penyedia dapat memberikan 1 napas setiap 6 detik (10 napas per menit) saat kompresi dada terus-menerus dilakukan.

2015 (lama): Jika korban memiliki saluran udara lanjutan selama CPR, penolong tidak dapat memberikan siklus 30 kompresi dan 2 napas (mereka tidak lagi mengganggu kompresi untuk memberikan 2 napas). Sebaliknya, penyedia dapat memberikan 1 napas setiap 6 detik (10 napas per menit) saat kompresi dada terus-menerus dilakukan. Alasannya: Ringkasan dan tinjauan sistematis BLS CoSTR 2017 mempertimbangkan penggunaan perbandingan kompresi dada yang terusmenerus dengan terputus-putus setelah penempatan saluran udara lanjutan pada pengaturan rumah sakit. Tidak ada penelitian terbaru yang ditinjau untuk pembaruan ini.

24

2. Rasio Kompresi Dada dengan Ventilasi 2017 (diperbarui): Penolong yang terlatih dalam CPR dengan kompresi dada dan ventilasi (napas buatan) dapat memberikan rasio kompresi dengan ventilasi sebesar 30:2 untuk dewasa yang mengalami serangan jantung.

2015 (lama): penolong dapat memberikan rasio kompresi dengan ventilasi sebesar 30:2 untuk dewasa yang mengalami serangan jantung. Alasannya: ringkasan dan tinjauan sistematis BLS CoSTR 2017 mempertimbangkan rasio kompresi dengan ventilasi untuk BLS dewasa. Tidak ada penelitian terbaru yang ditinjau untuk pembaruan ini. c. BLS Pediatrik dan Kualitas CPR7 Perubahan untuk BLS pediatrik merupakan hasil dari pertimbangan manfaat kelangsungan hidup dari CPR dengan kompresi dada dan napas buatan di dalam CPR kompresi dada saja, dengan kesimpulan bahwa manfaat bertahap dari napas buatan menimbulkan rekomendasi yang berbeda. Pembaruan yang dibahas meliputi: -

Menegaskan kembali bahwa kompresi dada dan ventilasi diperlukan untuk bayi dan anak yang mengalami serangan jantung.

-

Sangat disarankan jika pendamping yang tidak ingin atau tidak dapat memberikan napas buatan harus dapat memberikan kompresi dada untuk bayi dan anak-anak.

1. Komponen dari CPR Berkualitas Tinggi: BLS Pediatrik 2017 (diperbarui): Kompresi dada dengan napas buatan seharusnya diberikan untuk bayi dan anak-anak yang mengalami serangan jantung.

2015 (lama): CPR konvensional (kompresi dada dan napas buatan) seharusnya diberikan untuk serangan jantung pediatrik.

25

Alasannya: berdasarkan pada bukti yang terus berkembang sejak publikasi Pembaruan Panduan 2015, rekomendasi untuk memberikan CPR menggunakan kompresi dada dengan napas buatan ke bayi dan anak-anak yang mengalami serangan jantung adalah memungkinkan. 2. Komponen dari CPR Berkualitas Tinggi: CPR Kompresi Dada Saja 2017 (diperbarui): Jika pendamping tidak ingin atau tidak dapat memberikan napas buatan, disarankan untuk penolong memberikan kompreis dada untuk bayi dan anak-anak yang mengalami serangan jantung. 2015 (lama): Karena CPR kompresi dada efektif bagi pasien serangan jantung primer, jika penolong tidak ingin atau tidak dapat memberikan napas buatan, disarankan untuk penolong melakukan CPR kompresi saja untuk bayi dan anak-anak yang mengalami serangan jantung. Alasannya: Dibandingkan dengan manfaat kelangsungan hidup dari CPR menggunakan kompresdi dada ndan napas buatan terhadap kenyamanan menerapkan rekomendasi CPR kompresi dada saja untuk dewasa, disimpulkan bahwa manfaat bertahap dari napas buatan menimbulkan rekomendasi yang berbeda.

26

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yan g diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan

oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh American Heart Assosiation.

27

DAFTAR PUSTAKA 1. Kleinman M, Brennan E, Goldberger Z, Swor R, Terry M, Bobrow B., et al. (2015). Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circulation. Vol.32(18):S414-S435. 2. Mauri R, Burkart R, Benvenuti C, Caputo M, Moccetti T, Del Bufalo A., et al. 2015. Better management of out-of-hospital cardiac arrest increases survival rate and improves neurological outcome in the Swiss Canton Ticino. Europace. Vol. 18(3): 398-404. 3. Introduction to Advanced Life Support. (2016). ANZCOR Guideline. Vol. 111:1-5. 4. Bon, C.A. (2018). Cardiopulmonary Resuscitaion (CPR). Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview#a1

[Diakses

pada: 20 Maret 2019]. 5. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-7. 6. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. 7. American Heart Association. (2017). Fokus Utama Pembaruan Pedoman AHA 2017 untuk Bantuan Dasar Hidup Pediatrik dan Dewasa dan Kualitas CPR. AHA: November 2017.

Related Documents


More Documents from "Garry Saragih"