SaTu *TAK banyak yang kuketahui tentang cinta, begitu pun dengan persahabatan. Prasangka, ego, dan kepicikan membungkus ragaku, dan inilah yang mengawali kisahku nan cukup berliku dalam siratan kehidupan.*
**** MaLaM baru saja berlalu, tergantikan oleh pagi dengan rona merahnya yang senantiasa menyapa di balik daun-daun akasia samping kamarku. Rasanya musim hujan bulan ini memberi nuansa sendu padaku, entah mengapa. Hawa dingin yang meningkat 25o Celcius seakan mengindik, bahkan menggetarkan ragaku, walau akhirnya kaki yang hampir membeku berhasil mengantarku ke kamar mandi. Byuuur!!! Guyuran air menggambarkan khayalku ke belahan bumi paling utara, tempat orang-orang Eskimo bermukim. Wuiihh! Betapa dinginnya, untung saja hatiku masih hangat. Pukul 8.00 aku masih asyik beraksi di depan cermin sambil melantunkan tembang ‘Cobalah untuk Setia,’ milik diva kita Krisdayanti. Duh, menambah kesyahduan hari. Tok…tok…tok…! Suara ketukan tiba-tiba memotong tembang melo yang kunyanyikan Cha… Cha… terdengar teriakan dari balik pintu kamar kost-ku. “Yaa… “ sahutku sambil melangkah membuka pintu. Seraut wajah oval milik Reyta menyembul dari balik pintu, disertai senyum khasnya. Tanpa banyak cincong ia langsung menyeruak masuk dan duduk di tepi tempat tidur, “What’s up?” tanyaku pada Reyta di depan cermin “Aku mau pinjam kemeja putihmu, boleh?” jawabnya. “Boleh-boleh saja tapi jangan lupa dideterjenin ya, alias dicuci habis pake ‘ntar, “sahutku sambil senyum.” 1
“Tenang aja selesai praktik di lab, bajumu aku cuci. Sekarang mana? Eh, sekalian dengan rok hitam.” Cerocosnya. “Tuh, di lemari,” tunjukku. Setelah mengambil baju dan rok dari lemari, Reyta ngeloyor pergi usai mengucapkan ‘thanks a lot’ andalannya. Beberapa menit kemudian, aku selesai berias dan siap-siap ke kampus. Dengan langkah santai, kususuri jalanan beraspal menuju kampus yang masih basah oleh siraman hujan semalam. Terlihat beberapa mahasiswa berjalan di depan dan di belakangku. Sesekali sepoi angin dingin mengibas tubuh kami.
Aku
mendesah. “Ocha.” Sebuah sapaan melayang ke indera pendengarku, aku pun menoleh. “Eh, Kak Budi,” balasku sambil tersenyum “Tumben jalannya santai,” tanyanya penuh selidik. “Hari ini aku masuk jam ke-2, lagian tugasku juga sudah beres.” “Oh. Emmm, tugas kok tambah hari tambah banyak ya?” tanyaku selidik. “Ya iyalah Kak, bukan mahasiswa namanya kalo ’gak banyak tugas. Lagi pula, hakikat mahasiswa kan pemikir,” jawabku menjelaskan. “Iya sih, tapi badanku rasanya mau hancur. Bayangkan tidur cuma tiga jam sehari semalam, remuk deh.” Aku tersenyum. Wajah kuyu-nya mempertegas kata-kata tadi. Garis-garis hitam di bawah matanya memang terlukis sangat jelas. Tapi itulah perjuangan, boleh dibilang babak baru menuju masa depan. Jika kita bermalas-malas dan meremehkan segalanya hancurlah kita, lebih baik ucapkan saja sayonara pada masa depan yang gemilang dan itu artinya pelarian diri dari dogma manusia tangguh. Hidup memang butuh perjuangan. Ya… perjuangan manusia-manusia kekar dalam lingkup mental, rasa, imaji, pikiran, dan keterbukaan. Kami terus berjalan melewati barisan pohonpohon akasia yang berjejer seakan menjemput kami di tepi jalan yang membelah area Fakultas Teknik dan Fakultas Bahasa. Tak lama kemudian langkah kami berpindah ke hamparan rumput hijau samping gedung kuliah berlantai tiga itu, terlihat beberapa 2
temanku berbincang-bincang sambil menenteng buku-buku yang terlihat cukup tebal. Kami saling menyapa dan mataku terhenti di taman bawah pohon, tampak Iyan dan Wita sedang terlibat pembicaraan serius. Wah..wah…tema apa lagi yang terangkai, aku mendekat. “Hei, good morning” sambut mereka bersamaan. “Hmm, morning. Lagi cerita apa sih?” tanyaku “Eh, tadi aku ketemu sama Kak Dito, duh senangnya mimpi apa aku semalam,” ujar Wita histeris. “Oh ya?” timpalku dengan santai. Trus kalian ngobrol? “Cuma nyapa sih, biasalah udah klise, ada kuliah dek? Jam berapa?” jawab Iyan dengan cepat. “Klise sih klise, tapi…wuiih! Hatiku empot-empotan” ujar Wita dengan wajah bersemu merah. Aku tersenyum. Jadi itu yang mereka bicarakan dengan serius. Hmm…cinta lagi, cinta lagi. Sepertinya cinta menjadi logo pembuka cerita akhir-akhir ini. Aku terdiam, rasa malas menjalar di tubuhku untuk merespon pembicaraan mereka. Lebih pastinya aku tak tertarik membicarakan lelaki gondrong, bertubuh kurus, berkulit putih, dan dikenal oleh banyak mahasiswa itu. Lumayan manislah, tapi terkesan bangga akan reputasinya sebagai aktivis kampus. Diam-diam kuperhatikan ekspresi wajah Wita, begitu segar, binar-binar kebahagiaan mengelilingi kedua bola matanya, dengan bibir yang tak henti menebar senyuman termanis. Kusimpulkan, ia tengah jatuh cinta pada sosok yang dijumpainya tadi. Rasa itu terlihat jelas ia pupuk sepenuh hati. Lamat-lamat kudengar ucapannya, aku akan berubah seperti yang dia minta, jika memang kamu jadian nanti, apapun aku lakukan untuknya, dan aku akan mencoba untuk selalu memperhatikan dan merawatnya. Oh, my God, This is all for love. Keputusan baikkah itu? Aku terhenyak, jauh di lubuk hati ini memang menginginkan ia lebih empati pada sekelilingnya, tapi bukan seperti ini, ia ingin berubah demi cowok itu. Bukan tak mungkin bila suatu hari nanti ‘ku ‘kan berkata you are not you were. Aku tak ingin dia menjadi orang lain. 3
Tapi…, bukankah cinta selalu meminta perubahan? Bukan kah cinta butuh pengorbanan? Ah, entahlah. Mengapa ego dan kepicikanku akan cinta harus aku tancapkan pula di hati sahabatku. Padahal ia juga memiliki pandangan sendiri tentang 5 huruf itu. Kalau cinta bagiku adalah sebuah selingan sekadar memvariasikan kegiatan sehari-hari yang kadang membosankan, mungkin saja baginya cinta adalah hal yang tulus dan sebuah pengorbanan hakiki. Aku akui, sikapku terhadap sebuah cinta begitu angkuh, bahkan hati tulus seseorang pun aku permainkan di masa lalu tanpa rasa iba. Yang kutahu ia tulus padaku, dan kusambut tanpa debaran, tapi dengan genderang permainan tanpa ia sadari. Cukup sinis tindakan itu. Aku ingat sebait goresan pernah kutorehkan di lembaran diaryku, saat SMA dulu Cinta, Ia datang tanpa kuseru, dan Kusambut di tepi jurang karnaval Melambaikah ia, menitikah ia Tak kupeduli, yang kutahu Penaklukan telah terukir Sungguh kejam coretan tangan dinginku. Walau sinis, gurat senyum kepicikan terlukis jua saat itu, kian hari kian menjerumuskan diriku pada permainan hati yang cukup arogan yang ternyata menjadi bumerang bagiku, puuhh! Sepertinya kebekuan tlah menggantikan keangkuhan ini. Tapi apa bedanya? Waktu merambat hingga pikul 09.15, di ujung koridor terlihat sang dosen Psikologi dengan kacamata tebalnya berjalan menuju ruang kuliah. Dengan cepat monolog-ku terhenti dan berdiri sambil memberi kode pada Iyan dan Wita yang masih sibuk berkisah. “Wah, on time amat,” sahut Wita “Memangnya kamu mau masuk jam berapa?” tanyaku
4
“Ya, 09.15 lewat-lewat dikitlah,” jawabnya lagi “Sudah, sudah. Ayo masuk, nanti pintu ruangan tertutup lagi, kita kan tidak boleh telat masuk!” Imbuh Iyan. Kami pun berjalan dengan cepat menuju ruangan. Di dalam teman-teman sudah stand by dengan gaya masing-masing, hingga Pak Riswan masuk ruangan dan berbalik menutup pintu. Dia memang dosen yang disiplin dan tegas. Terlambat berarti di luar. Mata kuliah pun dimulai “Perkembangan Afektif Remaja,” Sub Bahasan Perkembangan Emosi Remaja. Wah, wah… semangat 45 muncul dalam ruangan. Emosi remaja berarti termasuk di dalamnya masalah CINTA, that’s right …. Menit berikutnya diskusi berjalan, materinya dipresentasekan oleh Ima dan kelompoknya. Pertanyaan mulai pada emosi itu sendiri, hingga pada satu pertanyaan yang menghentakkanku. Aldi mengajukan pertanyaan “Apa sebenarnya cinta itu?” dengan tenang sang penyaji menjawab, bahwa cinta adalah perasaan tulus dan suci untuk orang lain yang tak layak untuk dinodai apalagi dipermainkan. Karena ia bukanlah sebuah bola di lapangan. Buukk!!! Aku terhenyak. Jawaban tadi seakan keris melesat menyayat hatiku. Kata-kata itu benar-benar melukaiku membuatku merasa seolah-olah manusia robot yang tak berperasaan, selama ini kemurnian pandangan itu tak pernah kumiliki. Valentine di tepi rona pelangi
Kepenatan merajai tubuhku siang ini, pencarian buku referensi untuk tugas Profasi Keguruanku di perpustakaan jurusan, universitas, dan wilayah tadi cukup menguras energi. Beberapa kali naik angkot di siang bolong membuat kepalaku seakan mau pecah. Akhirnya usai shalat Dzuhur kuistirahatkan tubuhku di kasur empuk. Kutatap langit-langit kamar seolah-olah obat keletihanku menggantung di sana. Belum sepuluh menit mataku terpejam sebuah ketukan di pintu kamar terdengar, dengan langkah loyo kubuka pintu itu, ternyata Si Wita. “Ah… ganggu istirahat siangku saja,” ujarku sedikit kesal dengan mata kuyu.
5
“Yee, marah lagi, ya udah tidur aja sana, biar aku dengar tape sendiri.” timpalnya sambil memasukkan kaset Nina dengan Ya…Ya…Ya-nya itu. “Aduh ke-kerasan, undur dikit volumenya!!!” Kesejukan malam datang menyelimuti bumi. Rasa damai menyatu di dalamnya, sambil menenteng dua gelas cappucino, aku dan Wita yang malam itu menginap di kost-kost-anku mengambil tempat di teras kamar. “Eh, besok malam valentine, kamu ada acara?”tanya Wita. “Tidak ada, memang kenapa?” “Ke pantai yuk! Ada acara di sana, biasa, anak muda, tadi aku diundang kak Dito, duh senangnya. Kayaknya ini adalah kesempatan untuk dekat dengannya.” Ujarnya penuh harap. Aku asyik menyeruput cappucinoku, lalu kemudian bertanya pada Wita. “Wit, kamu bahagia ya, dengan cinta terpendammu?” “Iya. Meski aku tidak tahu sampai kapan harapan ini hadir, yang aku tahu meski aku tidak memilikinya, tapi aku bahagia saat melihatnya, sekalipun ia terkadang tak sadar akan kehadiranku tapi ia menyapaku itu sudah cukup, lebih dari cukup.” Tiba-tiba ia memandangku lekat-lekat membuatku heran. “Cha, beritahu padaku bagaimana mewujudkannya, mewujudkan cinta terpendam ini?” tanyanya sambil menggenggam tanganku. Aku terdiam, kuteliti wajahnya, ada pendar-pendar harap di sana, bersama gambaran kecemasan. Ya ampun, aku kembali dihadapkan dengan masalah cinta. Apa yang harus aku katakan? “Cha…,” panggil Wita sambil menggoyangkan tanganku.” ”Sampaikan padanya,” ujarku. Ia tertegun. “Kenapa? Takut kecewa? Wit, tapi bagaimana kamu tahu dia menolak atau menerima kalau dia sendiri tidak tahu kalau kau mencintainya? Kamu berani mencintai, berarti sudah berani menerima resiko.” “Hm…,” hanya itu jawabannya. Kebisuan pun menyergap, merayap di tengah malam. Hingga di pembaringan pun kami menyelam dalam pikiran masing- masing. Detak jam dinding kian melaju 6
dan aku tak mampu memicingkan mata. Sepinya malam memerihkan mataku. Sejujurnya aku tak ingin bermasalah lagi dengan cinta, tapi nuraniku terasa kosong boleh dibilang hati yang mendamba. Namun entah mengapa sepertinya ada sesuatu yang mencekalnya. Aku bangkit dan menarik laci mengambil diary dan menuliskan kegundahanku. Sejujurnya, Kuingin lembaran baru hadir di hidupku. Letih kurawat kemunafikan ini tak kuat lagi ku berkasuari dalam belantara. Kepura-puraan kini tlah menyayat, … di sini Masa lalu mengikatku Tak kuasa lepas pun sedepa Itulah, harapku pada masa lalu masih ada, meski tlah nyata semua tak akan terulang lagi. Sekian lama kucoba menerima cinta lain tapi masih ku tak sanggup lepas dari masa lalu. Ah… karena itu aku benci cinta, memporak-porandakkan hatiku saja. Namun aku tetap menerima resiko permainanku beberapa tahun yang lalu, aku yang mempermainkan, aku sendiri yang sakit. Keceriaan hari kembali bercengkerama, membersitkan pijar-pijar kasih sayang. Sambutan valentine’s day hangat di kalangan remaja, semua memberi keceriaan yang diwujudkan dalam party, sebenarnya bagiku hari ini biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa sama sekali. Dari dulu sampai sekarang hari valentine nggak pernah ada dalam kamusku, sekadar hura-hura dan buang-buang waktu saja. “Cha, aku berangkat dulu ya!” seru Wita sambil menenteng sesuatu, entah apa isinya. “Ke mana?” tanyaku.
7
“Ya, ke… jalan-jalan bareng yang lain, habis kamu nggak mau ikut sih, jadi aku pergi aja. Kamu akan menyesal nggak ikut,” jawabnya, lalu pergi. Menyesal? Untuk apa aku menyesal hanya karena tidak ikut party mereka? Lagipula, apa yang akan aku dapatkan di sana? Kalau Cuma untuk menebar kasih sayang, setiap hari juga bisa. Ah… ada-ada saja. Aku kembali ke kamar, dengan memeriksa tugas-tugas kuliahku. Sepanjang hari aku berkutat dengan buku-buku hingga malam tiba. Tak kupusingkan apa yang sedang dilakukan Wita, Ani, Iyan, dan Ima di hari Valentaine Day ini, yang jelas tidak ada acara kumpul se-gank, atau mungkin yang lain juga sibuk dengan tugas kuliah. Pukul 8 malam tempat kostku sunyi, sepertinya pada keluar, Reyta juga menghilang. Tapi no problem, dengan begitu aku bisa bebas menikmati lagu-lagu yang aku stel. Sambil duduk istirahat di teras aku mendengarkan lantunan lagu Baim dengan lagu andalannya “Kau Milikku,” sangat syahdu membuatku menerawang jauh ke angkasa. Baim meyakinkan diri memiliki cintanya karena itu ia berusaha meraihnya dan mungkin ia tidak pernah sinis terhadap hal yang namanya cinta. Tidak sepertiku yang memandang cinta sebagai penyiksaan. Detak malam Melaju di ketinggian khayal Merayu nurani pada persinggahan lalu, dan Hangatnya membekukan jiwaku Tuk berbaur
8
DuA PAGI yang indah. Matahari mulai menyemburat menyapa penghuni bumi yang cantik dan gagah-gagah. Dengan tubuh yang masih diserang kemalasan, aku mencoba bangun dari tempat tidur tak tahan dengan suara omelan Bunda dari dapur. “Ocha, bangun dong sayang, udah siang tuh! Masak kamu dikalahin lagi sama si Pipit, dasar pemalas!” seru Bunda yang ternyata sudah ada di depan pintu kamarku sambil menggedor-gedor. Si Pipit itu adalah nama ayam jantan kesayangan Bunda. Sampai-sampai aku saja yang anak semata wayangnya dicuekin habis kalau urusannya sudah menyangkut Si Pipit itu, dasar ayam sialan bisa banget yah, kamu ambil posisi aku di depan Bunda? Begitulah gerutuanku setiap hari kalo selalu dibanding-bandingkan dengan Si Pipit. “Iya, Bunda, bentar lagi deh. Lagian ini hari Minggu, Ocha tidak sekolah, buat apa bangun cepat-cepat?” Sungutku berjalan ke pintu kamar sambil memeluk bantal guling. “Ada apa sih, Bunda bangunin Ocha?”Suruh belanja lagi? Ocha nggak mau, ah! Ocha mau bobo’ lagi, soalnya ngantuk pulang dari ultah teman tadi malam. Pliss ya, Bunda!” Dengan berbagai alasan aku membujuk Bunda agar mengizinkanku untuk tidur lagi. Tapi rupanya Bunda tak kenal kompromi juga kali ini, sambil menjewer telingaku, menarikku ke luar dari kamarku. “Bagus ya, sayang. Bunda kan tidak menyuruh kamu pulang larut malam, pake di antar segala lagi sama Si Ichal.” Sambil menahan sakit akibat jeweran Bunda, aku mencoba menyela pembicaraannya. “Aduh! Sakit nih, bun. Ocha pulang jam 11 malam kok, belum terlalu larut. Lagian Ichal kan sahabat Ocha. Bunda juga sudah tahu, kok masih marah sih? Kumanyunkan bibirku sebagai tanda protes. Dan kalau sudah begini, hati Bunda pasti
9
akan luluh. Lihat saja, dia nggak tega kok ngeliat anaknya yang tersayang ini ngambek. “Sudah kalo begitu, Bunda maafkan deh, tapi jangan diulangi yah? Sekarang kamu mandi, habis itu kamu ke rumah tante Mirna,” kata Bunda dengan suara mulai lambat kembali. Aku pikir sih karena ada maunya, jadi… ya gitu deh. Upss bisa durhaka dong aku. Aduh, maafin Ocha ya Bunda, pliss! Sangat lama aku tertegun. Tentu saja Bunda heran ngeliat tingkahku. Kok tiba-tiba tergugu sambil senyum cekikikan lagi. “Ocha, ngapain senyum-senyum sendiri, kamu setuju ya?” tanya Bunda menatapku penuh keheranan dan sepertinya Bunda telah separuh kemenangannya dariku, ya… biarlah demi Bundaku yang cantik dan sayang sama aku, dia menang lagi. Ihh… pertandingan kaliii!! “ Baiklah Bunda sayang, Ocha bakal nurutin perintah Bunda. Tapi, dengan satu syarat…” sambil mengerling Bunda dengan gaya centilku. Aku meninggalkan Bunda sendirian yang menganga melihat kelakuanku. Aku memang menuruti keinginan Bunda, tapi jangan salah semua ini kulakukan agar Bunda ngijinin aku pergi barengbareng teman-temanku yang rada centil itu ke pantai. Uppss… hampir lupa, janjiannya jam 09.00 pagi ini, katanya sih ada kejutan. Aduhh… apa yah? Kok jadi penasaran begini sih. Ah, sudahlah, mendingan aku buruan mandi, trus ke rumah tante Mirna, sahabat mama yang mulutnya kayak beo itu. Tapi baik hati lhooo…, ditambah lagi anaknya cakep kayak bintang film Hollywood, Tom Cruise… alamaaak!!! Bisa pingsan aku kalo ketemu dia nanti. Jantungku bisa copot dan pastinya aku bakal dilarikan ke rumah sakit, pake Katana merahnya itu lhoo…, kok ngelantur ke situ sih, kapan mandinya. Ucapku cekikikan menuju ke kamar mandi. Byuuurr… kuguyur tubuhku dengan air yang telah terisi penuh di bak mandi. Segar banget mandi, apalagi keramas pagi hari, otak jadi rileks, kepala jadi dingin.
**** 10
Kukayuh Polygon kebanggaanku menyusuri jalan beraspal yang lumayan mulus menuju rumah tante Mirna. Sepintas kulirik jam tanganku dan ternyata sudah menunjukkan pukul 07.45. Wah… gawat, harus buruan nih. Kalo tidak aku bisa telat janjian dengan my best friend semua, Naya, Riri, and Uni. Sepedaku kukayuh secepat mungkin. Nafasku pun ngos-ngosan setelah tiba di rumah itu. Tanpa menoleh sedikit pun, aku taruh sepedaku berdekatan dengan Katana Merahnya. Hampir saja kutabrakkan, tapi secepat kilat seseorang telah menahannya dari samping. Pegangannya begitu kuat sehingga aku tersungkur miring ke arahnya. Aku menatap matanya yang tajam. Dia tersenyum, uhhh… manis buanget! “Maaf yah, aku buru-buru, mobilmu tidak lecet kan?” aku cepat tersadar dan segera minta maaf atas perbuatanku. Hampir saja jantungku copot saat senyum mautnya tersungging dari bibir tipisnya. Aku tak boleh terlalu kerdil begitu memujinya. Bisa-bisa dia besar kepala lagi, ujarku dalam hati. Setelah tertegun sejenak, dia menjawab pertanyaanku sambil membetulkan letak sepedaku. “Nggak apa-apa kok, hanya lecet sedikit bisa diperbaiki. Hei, nama kamu siapa? Aku Ragil,” Dia mengulurkan tangannya yang blepotan itu, tapi tak apalah. “Aku Ocha. O, ya tante Mirna ada? Soalnya ada titipan dari Bunda nih”. Aku menyerahkan bungkusan plastik yang isinya aku sendiri tak tahu.” “Maksud kamu Mama? Ada kok di dalam, tunggu ya, aku panggilkan atau kamu masuk saja!” Tanpa ba-bi-bu lagi aku melangkah ke dalam mengikuti langkah kaki Ragil yang terus saja berteriak memanggil Mama-nya di dapur. Biasalah, Ibu rumah tangga hari minggu begini pasti kerjaannya di dapur mempersiapkan sarapan pagi untuk keluarganya. Tak lama kemudian, tampak dari dalam tante Mirna menuju ke arahku sambil menyapaku dengan wajah lelah. Ragil sih, nggak bantu Mama-nya, khan repot begini. Aduh lupa, kan cowok. “Aduh jadi merepotkan ya, Cha? Makasih lho, bilang sama Mamamu juga. Duduk dulu ya, tante bikinin teh, kamu pasti capek.” Baru saja tante Mirna akan berdiri, aku segera menyelanya.
11
“nggak usahlah tante, Ocha pulang saja. Soalnya ada janji sama teman, hampir telat nih.” Aku berdiri dan berpamitan pada tante dan Ragil yang menatapku sambil bengong. “Mama, anaknya tante Rani cantik ya?” ragil melirik mamanya dengan sumringah lebar yang dibalas lirikan aneh oleh Mamanya. *** Aku tiba di rumah kurang lebih pukul 08.59 wita. Bisa dibantai aku sama Naya kalo terlambat lagi. Baru saja kulangkahkan kakiku ke dalam rumah, tiba-tiba telepon rumahku berdering keras mengagetkanku. Kontan saja aku melompat tinggi dan langsung mengangkatnya. Kring…!! Kring..!! “Halo.. siapa nih?!!” tanyaku seenaknya saja. “Eh kampret, kamu masih di rumah ya, kami jemput ya? udah di jalan nih”. Tuut . Tanpa sempat aku jawab, mereka menutup telponnya. Sialan, pulsanya kurang kali. Tapi, nggak boleh seenaknya gitu dong, kayak nggak punya sopan santun saja, nggak diajarin kali yee sama orangtuanya. Lho kok aku jadi senewen begini. Mereka kan udah biasa ngelakuin semua ini. Klakson mobil Naya terdengar dari luar rumah. Sepertinya kuntilanak itu sudah datang. Dan, aku apa dong? Nggak ah, ngawur banget sih aku. “Hai kunyuk belom ganti pakaian ya? Tapi udah mandi kan?” semprot mereka dari dalam mobil. Tentu saja aku jadi cemberut dikatain kunyuk, tega banget sih mereka. Tanpa menjawab pertanyaan mereka, aku langsung berlari ke dalam kamar mencari Bunda. Semoga Bunda ngijinin aku pergi. Pikirku. “Bunda, Ocha mau minta ijin ke luar bareng teman-teman, boleh ya?’ aku merengek mengeluarkan jurus ampuhku. Dengan berat hati, Bunda mengijinkan juga dengan petuah satu rel kereta api. Setelah ganti pakaian dan berpamitan, aku dan teman-teman berangkat. Dan, astaga kebiasaan Naya mengemudi mobil dengan 12
kecepatan tinggi. Tak bisa juga disadari. Hampir saja mobilnya menabrak pedagang kaki lima yang berjejeran di sepanjang jalan Cendrewasih ke Pantai Losari. “Nay, pelan-pelan dong. Kamu mau kita mati muda? Rugi dong dunia akhirat,” ujarku menasihatinya dengan nada bercanda. Tetapi, dasar Naya, masuk telinga kanan ke luar telinga kiri, tetap saja mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi. Aku tiba di pantai tepat pukul 09.20 wita. Akhirnya sampai juga dengan selamat. Aku dan teman-teman menghembuskan nafas dalam-dalam. Gimana nggak sih, hampir saja Naya mencopot nyawa kami gara-gara kelakuannya yang brutal. “Hey, turun yuk, mereka udah nungguin tuh di pinggir,” seraya menunjuk ke pinggir pantai. Di sana, ada 5 cowok yang kelihatan bete karena nungguin kita. Upss.. ada sosok coolnya kak Fais. Dia melambaikan tangannya dan melempar senyum manisnya ke arah kami dan pastinya aku dong yang paling manis ( GR banget sih aku). By the way,kenapa dia ada di sini ya? tumben banget kak Fais ikut bareng cowok-cowok gokil itu. Ifan…Ichal...Temmy, dan Rudi? What’s wrong ya? Tanpa sadar aku telah berada di depan mereka, melihat tingkahku bengong seperti itu. Ifan sengaja menyentil hidungku yang emang dasarnya mancung ke dalam. “What’s up girl? Kayak kerasukan setan aja !!” tentu saja aku tersontak kaget akibat ulahnya. Aku mengomel panjang lebar ke dia disertai tertawaan serentak dari teman-teman. Kak Fais juga. Dia hanya tersenyum melihat ulah adiknya, Ifan senang banget kalo menjahili aku. “Nay, kok kamu nggak bilang sih kalo kak Fais datang juga? Curang lho ya?” seruku seraya berbisik di telinga Naya. Dia tak menanggapiku, malahan dia mendekati kak Fais dan yang lainnya. “Guys, katanya kita mo jalan-jalan, kok cuma bengong di sini, jalan yuk ke sana”, ujarnya seraya menunjuk ke pinggir pantai yang kurang penghuninya. Akhirnya, kami menuruti ajakannya Naya. Seperti biasa Ifan jalan beriringan dengan uni. Mereka berdua kan kekasih sejati. Sementara itu, yang lain berjalan di depan sambil bercanda ria. Tanpa mempedulikan keberadaanku dengan kak Fais. 13
Mereka terus saja berlari ke depan. Sepertinya sengaja membiarkanku berduaan dengannya. Mungkin ini kejutan yang dikatakan Naya cs tempo hari. Aduh, kira-kira ada apa ya? Setelah terdiam cukup lama, akhirnya kak Fais membuka mulutnya lega untuk mulai pembicaraan. “Cha, gimana sekolahmu, lancar-lancar aja khan?” tanya kak Fais sambil melirik ke arahku dan tersenyum manis. Duh, manis banget, ( gula kali manis). Kok aku jadi geregetan dan nervous gini sih? Jangan sampe’ ketahuan kak Fais deh. Dengan bibir agak gemetar, aku menjawab pertanyaannya. “Lumayan kak, tapi PR nya numpuk, sampe’-sampe’ badanku kadang pegal, bahkan kalo bisa, hampir remuk kali,” ujarku dengan nada bercanda, tentu saja kak Fais tertawa mendengar ocehanku. “Kamu lucu juga ya cha, aku baru tahu lho. Ifan kok nggak pernah bilang kalo kamu bisa lucu seperti itu.” Aku jadi manyun dibilangin lucu sama kak Fais. Dikiranya aku pelawak, sepertinya dia sadar kalo’ aku tersinggung, cepat dia minta maaf, cuma bergurau, katanya. “Cha, Ifan dan yang lain ke mana ya, mereka kok ninggalin kita sih?” “Nggak tau,” aku pura-pura nggak tahu, padahal sih aku tahu kalo’ mereka sengaja ninggalin aku dan kak Fais, biar bisa bicara lebih lama. “Cha, ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar ya?” tanyanya membuatku tersentak kaget. Aku harus ngomong apa ya, bilang ya atau nggak, tapi dasarnya sih aku punya, si Reno, anak Smansa. Tetapi, kami jarang ketemuan. Lagipula kalo’ aku bilang nggak, kak Fais belum tentu suka aku dan nyatain perasaannya ke aku. Aku nggak mungkin jadi pacarnya, dia terkenal introvert dengan cewek-cewek di sekolah dulu, meskipun begitu, banyak cewek cantik yang notabenenya gaul ngejar-ngejar kak Fais. Aduh, jadi bingung, jawab apa ya? masih memikirkan jawaban yang tepat, kak Fais malah megang pundakku dan matanya tajam gitu deh ke aku. Aku semakin tak mengerti, apa lagi ini. Darahku berdesir, jantungku berdetak kencang, aku semakin salah tingkah. Mungkin saja mukaku kayak kepiting rebus saat ini. 14
“Cha, kamu dengar nggak pertanyaanku?” dia mencoba mendesakku dan aku mencoba menenangkan hatiku dan mengatur aliran darahku. “Nggak ada, emangnya ada apa kak, mau ngedaftar ya?” kucoba bergurau agar aku tak ketahuan nervous begini. Kupalingkan wajahku dari pandangannya. Dalam hitungan detik, dia menciumku sebagai jawaban gurauanku. Kontan saja aku kaget dan tak percaya atas apa yang kulihat barusan. Finally, aku tertunduk malu menyembunyikan muka meronaku. Duh, gusti ALLAH, makasih atas rezki yang Engkau berikan padaku pagi ini. Apaan sih, kok jadi ngayal gini. “Kak Fais apaan sih, nggak malu ya di liatin orang?” ujarku sambil melongok kiri kanan, jangan sampe’ ketahuan sama yang lain. Bisa-bisa aku jadi bahan ledekan seharian penuh. Untungnya nggak. Kak Fais malahan tersenyum penuh kemenangan melihat tingkahku salah tingkah. “Cha, aku suka sama kamu, boleh kan jadi pacarmu?” “Tapi….” Baru saja aku akan melanjutkan kalimatku, kak Fais keburu menyela.. “Aku hanya butuh jawaban, ya atau tidak!!” aku jadi bingung sendiri nggak tahu harus jawab apa. Terima nggak ya? dengan suara agak kikuk dan kaku. “Kak Fais beneren suka aku? Becanda kali!” tetap saja aku pura-pura bego untuk menutupi kekacauan hatiku. “Aku nggak bercanda Cha, aku serius sama kamu. Aku sudah lama memperhatikanmu sejak kamu berteman dengan Ifan cs. Aku pikir kamulah cewek yang paling tepat buat aku, sampe’ aku terobsesi banget tuk ngedapetin kamu tanpa sepengetahuan kamu”. Kak Fais cerita panjang lebar. Sebenarnya aku nggak apa-apa sih, sebab notabenenya aku juga suka sama kak Fais. Tetapi, statuskukan masih pacaran dengan Reno? Hampir setahun lagi. Meskipun aku hanya melampiaskan kesalku sih sama Reno, tapi gimana menjelaskannya ya nanti. Ah, masa bodoh, kesempatan untuk ngedapetin kak Fais udah ada di depan mata, hanya datang satu kali lho… lagipula, selama ini aku tak bertepuk sebelah tangan, dia juga 15
menyambutnya tanpa sepengetahuannya juga. Atau jangan-jangan Uni cs yang bilang ke Ifan dan Ifan yang menyampaikannya. Dasar cecunguk sialan. Tetapi kok, mikirin mereka sih. Keberadaannya saja mereka aku nggak tahu. “Sebenarnya juga sayang sama kakak…” tanpa ba bi bu lagi, kak Fais memelukku erat dan mengucapkan thank U berulangkali. Aku sih kaget melihat tingkahnya yang kayak anak-anak. Debaran jantungku berdetak kencang, tubuhku bergetar serasa ada aliran listrik menyetrumku. Sedang asyik gitu, eh maksudku di peluk. Tampak dari kejauhan, mereka bersorak dan bersiul menggoda kami. “Duh yang lagi jatuh cinta, lupa ya sama kita-kita? Emang sih, kalo’ udah jatuh cinta, dunia serasa milik berdua, lalu kita di kemanain dong??” kontan saja tawa yang lain meledak akibat ledekan Ichal. Dan aku tersipu sekaligus menggerutu dalam hati melihat ulah mereka. Kak Fais tampak adem ayem saja mendengar ocehannya. ****** Suara merdu Ariel Peterpan lewat lagunya’ Semua Tentang Kita’ yang mengalun indah di MP3 komputerku telah berakhir membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum getir mengingat kenangan itu. Tanpa sadar, tanganku bergerak pelan menekan tuuts komputer. Dear diary Wednesday, 22nd february Masa laluku tidak pernah bisa melepaskanku. Aku semakin terjerat di dalamnya. Entah kapan waktu itu akan datang menjemputku tuk keluar dari kubangan kelam ini. Aku sudah tak kuasa menahannya. Menariknya lagi ,aku lelah. Sekali waktu inginku berlari untuk menghindari semua ini. Tetapi selalu saja ku ditariknya hingga aku semakin terjatuh dan terjatuh. Orang bijak mengatakan semakin sering kita terjatuh, kita semakin tidak merasakan sakit. Dan saat inipun. Aku ingin berkata aku belum puas terjatuh agar tegar itu bisa mencapaiku. Meskipun sangat sulit tuk mewujudkannya. Diam-diam aku selalu berusaha ingin mewujudkan impianku. Aku sadar kalo’ waktunya masih akan lama untuk bisa meloloskan diriku dari jeratan tali ini. Namun, aku yakin suatu saat hari itu akan tiba.
Aku berhenti sejenak mengamati tulisanku. Begitu terlukakah hatiku untuk seorang lelaki bernama kak Fais. Aku melirik jam yang terpampang di dinding dan sudah menunjukkan pukul 1 malam. Rupanya sudah larut malam. Pantas saja keadaan 16
rumah kosanku menjadi lengang. Tak terdengar lagi bunyi radio yang keras dari kamar sebelahku. Mereka sudah terlelap. Entah apa yang di impikannya. Kumatikan monitor komputerku dan aku segera bergegas ke tempat tidur untuk menghilangkan penatku setelah seharian beraktivitas. Inilah hidup Berperan dalam suka pun duka Sebagai jalan melintang Dalam pelukan dunia. ******** Aku masih tertidur pulas ketika Uni membangunkanku. Menggedor-gedor pintu kamarku dengan keras. Aduh apaan sih, ganggu saja, hari inikan aku nggak ada kuliah. Jadi aku bisa istirahat cukup, bebenah kamar. Tetapi, itu nanti. Dengan mata masih terpejam, aku menyahut panggilan Uni. “Ada apa sih, Ni?” “Ada telpon Ifan dan Ichal. Mau diterima nggak? Katanya penting lho”. Ah, Ichal dan Ifan, tumben banget mereka nelpon. Bukannya lagi sibuk dengan aktivitas kampusnya. Lalu, kabar penting apa sih, mungkin Uni hanya mengelabuiku saja agar aku cepat bangun, aku lekas bangun dan membukakan pintu untuk Uni. “Tumben nelpon, mau married ya?” tanyaku setelah aku mengambil alih gagang telpon itu dari tangan Uni. Uni, Ifan, dan Ichal adalah teman yang masih setia berbagi cerita denganku, mereka adalah sahabat yang masih tersisa untuk mendengarkan keluh kesahku. “Sudah jam tujuh non, masih molor saja kerjaannya, pantes berat badan tuh tambah melar, gimana bisa diet.” Omel mereka dari seberang. Aku sih hanya mendongkol mendengar ledekan mereka di pagi hari, seperti biasa. “Biarin, memangnya ada aturan baru ya kalo’ anak indekosan di larang bangun kesiangan? Nggak ada kok, by the way, ada apa pake’ acara nelpon segala, 17
masih ingat juga ya rupanya kalian berdua, cecunguk-cecunguk tengik”. Aku hanya membalas ejekan mereka. Rasain. Terdengar suara mereka yang mendengus, agak jengkel, tak apalah, mereka yang duluan kok. “Cha, ada acara nggak hari ini, kita jalan yuk, kangenku udah menumpuk nih”. “Aduh, gimana ya, sebenarnya sih ada, tapi….”, aku menghentikan ucapanku untuk membuat mereka penasaran. Mereka mulai mendesak. “Tapi, apaan Cha, buruan dong, atau kamu nggak mau lagi jalan sama kita ya, udah bosan ya? ya sudah persahabatan kita berakhir di sini”. Terdengar nada kecewa dari hembusan nafasnya. Uh, kena kalian, aku kerjain. Sekejap, aku tertawa terbahakbahak hingga Uni melongok dari kamarnya karena penasaran. “Rasain kalian, tadi itu aku kan belum lanjutin kalimatnya, maksudnya kalo’ kalian yang ngajak, aku sih oke saja, lagian aku nggak ada kuliah kok hari ini, mau ngajak kemana?” “Dasar rese’ lo Cha, ngerjain kami berdua, kita ke MP ya? temanin aku belanja dong, cari kado untuk Rara, dia ulang tahun nanti malam, aku nggak tahu ngasih kado apa, aku pikir kamu kan cewek, sejenis dengan dia, jadi pasti tau deh apa yang pas buat Rara, plis ya,” Ifan membujukku habis-habisan. Sejak hubungannya dengan Uni putus setahun yang lalu saat promnight sekolahan, Ifan pacaran dengan Rara, anak STMIK. Wajahnya sih aku nggak pernah liat. Tapi kata Ichal, orangnya lumayan cantik. Gaul pula. Meskipun mereka sudah putus, bukan berarti persahabatan kami akan terputus juga. Kami tetap berkomunikasi by phone, begitu pun dengan Uni dan Ifan. “Aku sih mau, tapi kamu jemput aku ke sini ya jam 10, Uni boleh ikut kan?” tanyaku balik ke dia. Mendengar namanya disebut, Uni
muncul dari dalam
kamarnya. Ada apa namanya disebut, aku bilang saja kalo’ dia mau ikut nggak ke Mal cari kado untuk pacarnya Ifan. “Cha, aku boleh ngomong nggak dengan Uni?” pintanya Idari seberang.
18
“Ya bolehlah, nih Uni-nya juga udah ngebet banget pengen bicara sama kamu,” aku menyerahkan gagang telpon ke Uni, dan aku bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Terdengar tawa cekikikan Uni dari luar. Asyik sekali pembicaraannya dengan Ifan dan Ichal, apa yang diomongin ya? aku semakin penasaran dan mendekati Uni. “Kalian ngobrolin apaan sih?” tanyaku seraya mendekatkan telingaku ke gagang telpon. Seru sekali. ******* Pukul 10. 30 wita di Mal Kami berjalan dengan santai memasuki ruangan Mal. AC-nya membuatku harus merapatkan sweater di badanku yang tak kulepas sewaktu turun dari motor tadi. Pengunjung mal juga belum terlalu banyak berseliweran. Anak-anak sekolah pun belum datang ngecengin outlet-outlet. Para SPG pun belum banyak yang siap melayani. Kami menaiki lantai 2 dengan eskalator yang tersedia. Satu persatu counter pun kami masuki, namun belum ada satupun yang cocok buat selera Ifan, eh, selera Ifan atau pacarnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk masuk ke outlet tas’ ELIZABETH’. Ifan menanyaiku yang cocok buat Rara, aku bilang nggak tahu. Dia langsung cemberut, tapi aku langsung memaksa untuk menyebutkan ciri-cirinya. Setelah itu, aku memilihkan tas yang mungil untuknya dan Ifan langsung menyetujuinya. Dan, Ichal hanya mengangguk lemas. Katanya sih, cukup unik. Kami ke kasir membayar tagihannya. Setelah lama berkeliling hingga ke lantai 3, perut Ichal berbunyi kriuk minta diisi. Kami pun tertawa bersamaan. Langsung saja aku tarik mereka ke resto yang terkenal enak dan terletak di lantai 1. “Cha, ngomong-ngomong, kamu sudah dapat pengganti kakakku belum?” tanya seenaknya saja. Aku terdiam mendengar pertanyaannya dan memalingkan muka ke sudut ruangan resto ini. Terlihat sepasang remaja berpegangan tangan sambil bergantian saling menyuapi. Tentu saja perutku mual seketika dan tak 19
berselera makan lagi. Baru saja aku akan berangkat dari tempat duduk, Ifan dan Ichal segera menahan tanganku. Mereka jadi heran melihat tingkahku langsung aneh dan berubah kayak begitu. “Ada apa Cha, aku menyinggung perasaan kamu ya, sori, aku nggak ada maksud lain kok,” mereka meminta maaf dan tak akan mengulanginya lagi. Mereka membujukku untuk makan lagi. Aku menurutinya, tapi baru sesuap yang kutelan, perutku jadi mules dan kontan saja makanan dalam mulutku kumuntahkan bersamaan dengan gejolak saat ini. Tentu saja, Ifan dan Ichal bersungut jengkel melihat ulahku, yang telah mengenai baju mereka. Aku hanya tersenyum dan meminta maaf padaku karena tak sengaja. “Fan, Chal, maaf ya, nggak sengaja, cepetan deh kalian bersihkan di toilet, aku tunggu di sini ya!” “Kamu sih enak minta maaf, tapi liat nih jadi blepotan,” omel Ifan seraya meninggalkanku menuju toilet di ujung kiri sana. Ada apa denganku? Mendengar nama kak Fais. Kok aku jadi begini? Meski pun aku berusaha melupakan sosoknya. Namun, tetap tak bisa. Bahkan untuk menggantikan posisinya pun tak bisa kulakukan. Katakan padaku Dengan apa kusapu pelangi yang tertinggal Jika pendar-pendar melati masih di sini Dengan apa pula sesal ini kuhempas Setelah se abad merana karenanya Ingin kugenggam kembali Tapi tak mampu Ingin kuraih yang lain Namun, tak kuasa ‘Perihku padamu’ ‘ meraja bertalu
20
TiGa Kuguyur tubuhku dengan air di bak mandi. Pheuw. Dingin sekali, sedingin hatiku saat ini memaknai cinta. Mencemooh orang yang bercinta. Tapi mereka kelihatan bahagia dengan keberadaan cinta itu, atau aku yang terlalu menganggap nista cinta. Peduli apa dengan cinta hanya membawa perih tak tertahankan. Suara deringan telepon dari ruang tengah terdengar begitu keras. Tak ada yang mengangkatnya. Sudah berulang kali berdering. Ke mana semua orang? Inikan baru pukul 5 sore? Masih molor kali ya? Kugosok tubuhku dengan handuk dan bergegas ke arah telepon. Aku segera mengangkatnya. Terdengar jelas di seberang sana, suara keibuan yang sepertinya kukenal. “Assalamu’alaikum, bisa bicara dengan Ocha?” “Waalaikumussalam, ini Bunda ya? Bunda gimana kabarnya, kapan bisa jenguk Ocha lagi, udah kangen nih Bunda.” Kuserang Bunda dengan pertanyaan-pertanyaan hingga Bunda tertawa geli mendengarkanku. Katanya aku nggak berubah baru juga dua bulan nggak pulang sudah minta dijenguk. “Bunda jahat, Bunda nggak senang ya, kalo Ocha pulang ke rumah.” Aku mulai ngambek, tetapi Bunda malah ketawa. Ada yang lucu ya denganku? “Cha, kamu bisa pulang ke rumah dulu ya sayang? Soalnya ada acara keluarga besok lusa. Masih ingat nggak dengan teman Bunda, tante Mirna, dia nitip salam buat kamu dari anaknya, katanya Ragil.” Upps… aku hampir melupakan sosok yang satu ini. Ragil adalah pacar aku yang ke sekian kali saat aku masih pacaran dengan kak Fais. Waktu itu Ragil ngotot ingin pacaran denganku meski dia tahu kalo aku sedang menjalin hubungan dengan kak Fais. Ya sudah, aku terima saja, tapi tidak berlangsung lama hanya lima bulan kok. Setelah itu, kami putus karena dia harus melanjutkan kuliahnya ke Bandung. Aku sih biasa saja. Hubunganku dengan kak Fais 21
juga bertahan hingga dua tahun. Dan, sekarang Ragil sudah ada lagi di Makassar? Mungkin dia sedang liburan, tapi inikan bukan musim liburan kampus? Ada apa ya? Cukup lama aku terdiam. Sementara Bunda terus saja nyerocos tentang kedatangan Ragil. Katanya Ragil makin cakep. Semangat 45 banget. What’s wrong dengan Ragil dan Bunda? Apa yang disembunyikannya dariku ya? aku semakin bingung, hingga Bunda menutup teleponnya dan tak lupa mengingatkanku untuk pulang ke rumah. Aku iya-kan saja sih, aku juga sudah kangen dengan keadaan rumah, sudah lama tak pulang. Sewaktu SMA dulu, dan melanjutkan kuliah di UNM, aku lebih senang tinggal indekost, meskipun Bunda melarangku karena katanya masih dalam wilayah Makassar. Namun, aku bersikukuh untuk indekost, belajar mandiri kataku. Akhirnya, Bunda mengijinkanku tapi harus sering-sering pulang ke rumah. ******* Aku
segera menghubungi
telpon
genggam
Ichal.
Tetapi,
mailbox.
Kutinggalkan pesan via SMS. Kalo kamu ada waktu, antar aku temui Bunda pukul 9 pagi ini. Plis ya Penting banget!! Ocha
Aku membereskan barang yang akan kubawa pulang. Hanya 2 buah buku untuk ujian kamis nanti. Selebihnya nggak ada lagi. 10 menit kemudian, balasan SMS Ichal masuk. Tiit…tiit. Baik non, tunggu setengah jam lg, aq ke situ.
Aku tersenyum membaca SMSnya. Thanks ya Chal, kamu memang teman yang paling baik sedunia. Gumamku sendirian. Tak berapa lama kemudian, suara
22
deruman motor yang terdengar dari halaman depan rumah. Ichal membunyikan klakson motornya beberapa kali, pertanda menyuruhku cepat. Aku segera berlari ke luar dan mengajaknya segera berangkat. Setelah di atas motor, aku berangkat. Aku berteriak pamitan kepada Reyta dan Uni. Sepanjang perjalanan menyusuri jalan raya yang semakin dipadati kendaraankendaraan beroda empat dan beroda dua, pejalan kaki yang berseliweran di pagi hari. Ichal terus saja mengeluarkan banyolan-banyolannya yang paling gress. Tentu saja aku tertawa terpingkal-pingkal dan menyuruhnya untuk menghentikan motornya. Perutku sudah sakit dibuat oleh leluconnya. Tetapi, dasar Ichal, dia tak menanggapiku. Tak terasa kami tiba di rumah kurang lebih 11.05 wita. Bunda menyambutku dengan sangat antusias dan omelan yang seperti biasa. Disusul keluarga yang lain menyambutku dengan tatapan yang aneh. Pandangan mereka seakan mengisyaratkan untuk memberitahukan siapa pria yang kutemani. Aku memperkenalkan Ichal pada keluargaku, kalo dia adalah sahabatku sewaktu SMA. Kalo’ Bunda sih sudah tahu, karena Bunda sudah menganggapnya sebagai anaknya juga. Cukup lama keluargaku mengintrogasiku tentang kuliahku, dan sebab musabab aku ngekost. Akhirnya, Ichal berpamitan pulang, masih ada kuliah pukul 2 siang nanti. Aku mengantarnya sampai depan pintu dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya mengantarku ke sini. ******** Suara tawa riuh dari ruang keluarga terdengatr heboh. Mereka menceritakan keluarga masing-masing. Bahkan, lamat-lamat kudengar, obrolan Bunda dengan dengan tante Mirna menyebut namaku dan Ragil. What’s wrong? Aku semakin tertarik dengan obrolan keduanya. Tanpa sepengetahuan mereka, aku menguping di balik pintu kamarku yang letaknya dengan ruang keluarga begitu jauh. Seru sekali pembicaraannya, bahkan sesekali dibarengi tawa cekikikan keduanya.
23
Oh, tidak! Apa yang telah kudengar ini tak mungkin terjadi. Bunda nggak boleh dong seenaknya mengambil keputusan kayak gitu. Bunda telah menentukan pertunanganku dengan Ragil tanpa minta persetujuanku. Aku meringis perih setelah mendengar semua itu. Seperti ada sebilah keris menghunjam dadaku seketika. Aku terperosok jatuh, tak kuasa menahan rasa sakitnya. Aku memang pernah menjalin hubungan dengan Ragil, tetapi kejadiannya sudah cukup lama. Lagipula, hingga saat ini kepastian hubunganku dengan kak Fais belum ada kepastian. Jujur, aku masih menanti. Seolah ada petir yang menyambarku, aku tersontak kaget ketika Bunda memegang pundakku dan menyuruhku makan siang. Kontan saja Bunda ikut kaget dan menanyakan apa yang terjadi denganku. Ya ALLAH, berilah kekuatan pada hambaMU ini. Tak kujawab pertanyaan Bunda, hanya melemparkan senyum yang dibalut sakit. Aku mengikuti langkah Bunda menuju ruang makan, di sana telah berkumpul yang lain untuk menikmati santapan siang dengan lahap. Tak kulihat sosok Ragil, ke mana dia? Ketika aku menyantap makanan, tante Mirna mendekat dan menanyakan kabarku. Aku jawab saja, lumayan baik. Tante Mirna terus saja berkicau laiknya beo. Tak berubah juga, dia ingin berusaha untuk menyembunyikan rahasia perjodohan itu dariku. Aku mendesah, seakan tante Mirna tahu arti desahanku. Dia berdiri dan berbaur dengan yang lain. Dan aku semakin tenggelam dengan pikiran-pikiranku. Tiba-tiba saja, kepalaku menjadi berat, mataku berkunang-kunang,banyak sekali bintang-bintang yang menari-nari di depan mataku. Tak sadar, aku langsung ambruk. Tak kuketahui apa yang terjadi setelah itu. Yang jelas masih sempat kudengar suara histeris Bunda memanggilku. Suara tangisan keluargaku yang ada saat itu mulai terdengar jelas melihat keadaanku yang terkapar lemas tak berdaya di atas tempat tidur. Sepanjang aku pingsan, aku takk tahu kalo didekatku telah duduk seorang cowok yang sudah tak asing lagi. RAGIL.
24
Kata Bunda, aku pingsan selama 3 jam. Cukup lama juga. Dan Ragil dengan setia menungguiku hingga siuman. Tante Mirna menelponnya mengatakan keadaanku dan dia langsung ke sini dengan wajah cemas. Tampak dari wajahnya memang. Setelah keadaanku agak pulih kembali, Bunda menyerangku dengan segudang pertanyaan kayak tersangka saja. Aku tersenyum ke arah Ragil dan tak menggubris keberadaan yang lain. Eitss..jangan salah bukan berarti aku masih menyukainya dan menyetujui perjodohan itu. “Kamu udah baikan ya Cha? Syukurlah aku cemas banget ngeliat keadaanmu yang tiba-tiba pingsan.” “Nggak apa-apa kok Gil, mungkin aku hanya lelah, karena kurang istirahat semalam. Kapan kamu datang?” “Tiga hari yang lalu, sory aku tak menelponmu. Tapi mama sudah menyampaikan salamku bukan?”tanyanya dengan senyum menggoda. Aku tak tahu arti senyuman itu. Mungkin saja dia sudah tahu tentang perjodohan itu. Aku mengangguk lemas dan berusaha tersenyum sebisa aku. Tak terasa waktu berlalu begitu saja. Keluarga pun sudah mulai bubar. Mereka berpamitan pulang, tak terkecuali Ragil. Namun, sebelum dia pamit, dia berbisik ke telingaku kalo’ dia merindukanku dan ingin ngobrol banyak denganku dan dia. Aku tersenyum getir mendengar kata-kata itu. Sangat lama nian aku tak pernah mendengarnya lagi. Setelah kak Fais, aku memang tak pernah menjalin hubungan spesial dengan yang namanya pria, tak sedikit juga yang berusaha mendekat. Namun, kutolak dengan sinis. Cinta. Tak jera orang dengan kata ini. ****** “Halo say, kamu udah baikan ya? aku kangen berat sama kamu”. Dia mulai menggombal lagi.
25
“Ya, agak mendingan sih dibandingin kemarin, rupanya seorang Ragil masih kangen ya dengan seorang Ocha,” aku mencoba bercanda dengannya. Di sebrang, dia hanya tertawa mendengar aku ngomong seperti itu. “Ya iya dong, masa’ dilupain gitu aja. By the way, ada acara nggak nanti malam?” tanyanya. “Nggak ada sih, but besok pagi aku ada ujian, jadi mo’ belajar. Emangnya ada apa? Mau ngajak aku keluar?” tanyaku. “Sebenarnya sih iya, tapi lainkali aja, kamu belajar saja, jangan sampe’ larut malam lho, nanti sakitmu kambuh lagi. Ngomong-ngomong, boleh aku ngantar kamu besok ke kampus? Sekalian aku mau tahu kampus dan kosanmu,” aku berpikir cukup lama untuk memutuskannya. “ Bolehlah, kamu jemput aku pukul 8 besok pagi ya? Jangan telat lho?” akhirnya obrolan kami mengalir panjang. Ada tawa di sana, sementara tawaku kian menggantung entah ke mana. Setelah lelah bercerita panjang lebar, aku menutup telponnya dan berlari masuk kamarku. Bingung, resah, gembira. Entah apa yang berkecamuk di dalam hatiku, aku sendiri masih tak mengerti. Semua bercampur baur menjadi satu hingga hampir saja menghancurleburkan tubuhku hingga berkeping-keping. Aku segera memejamkan mataku untuk menghindari pikiran-pikiran kusutku. Bahkan, dalam mimpiku pun sosok kak Fais dan Ragil berkejar-kejaran. Aku tak kuasa menghentikannya dan hanya berusaha menatap hampa. Gamang seketika. Tak ada bunyi yang terdengar riuh lagi. ****** Keesokan harinya, Ragil benar-benar memenuhi janjinya untuk menjemputku. Masih dengan Katana merahnya, dia mengantarku ke kampus. Ketika menyuruhku naik ke mobil, aku diperlakukan bagai tuan putri. Sungguh, dia tak berubah, sikapnya padaku begitu tulus, dan aku semakin tak mengerti dengan perlakuannya itu. Jika hati kecilku menentang perjodohan itu, kenapa aku masih bersedia diajak olehnya. 26
Bukankah hal ini semakin membuat Bunda dan tante Mirna bahkan Ragil berpikir kalo’ aku juga bersedia. Sampai detik ini sih Bunda belum membicarakannya denganku secara langsung. Entahlah, mungkin menunggu hingga aku siap dengan semuanya. Namun, sampai kapan akan disembunyikan? Tak banyak kata yang kuucapkan kepada Ragil, aku hanya terdiam memikirkan kegundahan ini. Sementara itu, Ragil menatapku aneh, katanya, aku bukan Ocha yang dulu lagi. Periang dan cerewet. Beda banget. Aku tertawa lirih mendengar ucapannya. “Cha, kamu pulang jam berapa sebentar? Nanti aku jemput ya?” “Nggak usahlah Gil, lagian juga teman-temanku ingin
pulang bareng
denganku siang ini. Makasih banyak ya atas tawaranmu,” aku berusaha menolak dengan halus tawarannya agar aku tak bisa terhanyut dengan menghindar darinya. Aku bisa menghilangkan prasangka Bunda dan mamanya tentang hubungan kami. “Tapi Cha, lebih bagus lagikan kalo aku kenalan dengan teman-temanmu sekalian, biar lebih akrab.” Dia mencoba membujukku, apalagi ini, supaya lebih akrab dengan teman-temanku? Semakin banyak saja pertanyaan yang berkeliaran di otakku. “Plis ya Cha, kitakan baru ketemu, aku pengen banget ngobrol banyak sama kamu dan kenapa kamu sepertinya ingin menghindar dari aku? Ada yang marah ya? Atau kamu masih pacaran dengan Fais?” pertanyaan Ragil membuatku tersentak kaget. Ditambah lagi nama kak Fais terdengar lagi di telingaku. Mengapa semua orang begitu rajin menyebut namanya, tak adakah yang lain? Ragil mulai curiga dengan sikapku, tapi bukankah itu lebih bagiku dan baginya tentunya. Jadi, aku tak perlu bersusah payah untuk menjelaskannya. Aku masih terdiam tak tahu harus ngomong apaan lagi pada dia. Tanpa sadar kuanggukkan kepalaku. Tentu saja Ragil senang. “Jadi, jam berapa kamu pulang kuliah nanti?” “Pukul 2 siang, tapi mungkin teman-temanku akan ikut,” kataku dingin dan ada nada angkuh tergambar di sana. 27
“Oke deh say.” Ragil melajukan Katana merahnya dengan kecepatan sedang. Dan, akhirnya tiba juga di kampus. Aku turun dengan loyo dan mrngucapkan terima kasih. Kemudian, dia telah berlalu dari hadapanku, dan aku hanya tergugu di tempat itu, menatap kepergiannya. Sungguh ada yang terasa sakit sekali di dalam hati ini. Entahlah. Aku berjalan ke kelas dengan langkah gontai. Tiba-tiba dari belakang, Iyan, Wita, dan Ima mengagetkanku. “Hei non, pagi-pagi sudah ngayalin anak orang, dosa lo.” Ledek mereka dengan tawa terpingkal-pingkal. “Siapa yang ngayal? Aku kan cuma bad mood aja, kalian tuh yang dosa, udah su’udzon sama aku.” Aku meninggalkan mereka menuju bangku yang letaknya di depan. Kulirik sepintas, mereka masih termangu dengan ucapanku tadi. Hebat, Ocha udah pinter ngomong ya sekarang, pake’ bahasa planet gitu. Aku terkikik mendengar bisikan mereka. Bahasa planet apaan, dasar bego. Dosen yang ditunggu datang juga. Tak biasanya, senyum menghiasi bibir tebalnya. Jangan-jangan ujiannya sulit nih. Gumamku lirih. Dosen mulai membagikan soal ujian kali ini. Wah, lumayan sulit juga. Tanpa melirik sedikit pun ke arah Iyan CS, aku terus saja melaju dengan jawaban-jawabanku, meski setengah teriak mereka memanggil namaku. Namun, kuacuhkan, karena kalo’ tidak, dosen bibir tebal itu bisa merampas kertasku kalo ketahuan kerjasama atau ngasih jawaban. Ujian pun berakhir dengan gerutuan-gerutuan teman-teman sekelasku. Bahkan, ada juga mahasiswa yang terdengar menyumpahserapahi dosen perawan tua itu. Aku sih tak mempedulikannya. Sempat ku menoleh ke arah mereka, tapi mereka pura-pura cuek. Aku tahu itu. Aku mendekati mereka dan berusaha minta maaf atas sikapku tadi. Aku berusaha menjelaskannya. “Kalian tahukan bu Ratna, bisa-bisa tak satupun di antara kita yang akan lolos jika ketahuan aku ngasih jawaban. Kalian serius nggak mau maafin aku? Ya sudah. Aku pergi ya?!” mereka betul-betul ngambek, aku pura-pura meninggalkan ruangan, tapi sebelum aku pergi, aku sempat meneriakkan: 28
“Ada yang mau ikut nggak? Ada yang mau ntraktir aku lho di lapangan tembak.” Aku mencoba menggoda mereka dengan makanan. Biasanya sih mereka nggak akan meloloskan apa saja yang menyangkut makanan. Aku tahu kelemahannya.Tuh betulkan? Mereka mengejarku dan menanyakan kepastiannya, emang betul? Aku sih pura-pura cuek juga sih. Belagak pilon gitu lho. Namun, mereka mendesakku, akhirnya tawaku meledak juga. “Kalo soal makanan, kalian nggak pernah mo’ ngelewatin ya. aku mo’ ngajak kalian makan gratis sebentar? Ada waktu nggak?” tanpa dikoor, mereka serempak mengatakan mauuuuuuuu…….. ********] Suasana gerah tampak dalam ruangan lapangan tembak itu. Meskipun ada pendingin ruangan, tetapi, masih saja gerah, gimana nggak, pengunjung memadati tempat makan yang terkenal dengan baksonya yang enak itu. Kicauan kepanasan Iyan CS mulai merdu kedengaran. Sampe’-sampe’ aku melirik Ragil untuk melihat reaksinya terhadap teman-temanku. Tak sengaja, pandangan kami bertubrukan. Bruukk.. !! segera saja kupalingkan mukaku ke arah pengunjung. Untunglah yang lain tak menyadarinya, jadi aku tak perlu semalu itu pada mereka. Tanpa mendapat perintah lebih awal dariku, Wita menanyakan berbagai hal kepada Ragil. Mukaku langsung memerah mendengarnya. “Gil, kamu apanya Ocha sih? Kok Ocha nggak pernah bilang yah kalo punya teman secakep kamu?” Kampret, ngapain ngomong seperti itu. Umpatku dalam hati. “Oya? Masa sih?” Ragil melirikku dengan tersenyum. Aku hanya menunduk. Gila juga nih anak, senyumnya nggak luntur lagi. Masih maut banget. Aduh apaan sih? Kupelototi matanya Wita, tetapi dengan santainya nyerocos terus. “Ragil kuliah di mana? Di Makassar juga? Kok nggak pernah liat?” 29
“Nggak, aku kuliah di Bandung, tetapi aku datang ke sini, karena ada urusan keluarga yang penting banget untuk di omongin, hanya beberapa hari kok.” Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka, tanpa berkata-kata. Sesekali aku melirik teman-temanku dan Ragil. Seru sekali obrolan mereka. Aku pamit ke toilet sebentar. Sebenarnya sih nggak mau pipis, tapi aku berpikir panjang tentang perkataan Ragil tadi. Urusan keluarga? Aduh kok semakin ruwet ya masalahnya. Aku kembali menemui mereka dan mengajaknya untuk segera pulang. Iyan cs langsung mengeluh panjang. Peduli amat. Semakin lama di sini, semakin bertambah pusingku. Iyan, Wita, dan Ima meminta Ragil mengantar mereka satu persatu ke rumahnya. Katanya, mumpung ditumpangin mobil keren dan cowok cakep, jadi nggak apa-apalah. Aku terus saja mendongkol melihat kelakuan
mereka yang
sengaja memancing emosiku. Tetapi, Ocha tenang, tenang, jangan terpancing, mereka adalah setan-setan penggoda, ucapku dalam hati berusaha menenangkan diri tanpa sepengetahuan mereka. Perjalanan yang melelahkan mengantar mereka satu persatu, akhirnya tibalah giliranku untuk diantar pulang ke rumah kosanku. Lama terdiam, ragil membuka mulutnya. “Cha, kenapa sejak tadi kamu diam terus? Ada masalah ya? atau kamu tidak senang aku ajak ke luar? Cerita dong, biar aku nggak salah tingkah gini melihat sikapmu.” “Nggak apa-apa kok Gil, aku hanya lelah saja.” “Cha, sebenarnya ada yang mau aku omongin, tapi ngeliat kondisi kamu kayak gini, aku tunda saja deh, lainkali saja, biar lebih fres ngomongnya.” “Kamu mau ngomong apa Gil? Ngomong aja lagi, aku siap mendengarkan kok.” Aku jadi tertarik ucapannya barusan. Mungkin saja dia ngomong soal perjodohan itu. “Bentar malam saja ya aku ke rumahmu lagi. Setelah aku mengantarmu. Kamu istirahat saja dulu, biar badan kamu jadi segar. Aku nggak mau kalo kamu sakit lagi.” Perhatian banget si Ragil ini, hampir saja aku jadi luluh di buatnya. Aku mengangguk saja, aku coba memejamkan mataku sepanjang perjalanan pulang. 30
Setelah tiba di rumah, Ragil membangunkanku dengan sangat pelan. Aku terbangun dengan mata masih terpicing sedikit. Kukucek mataku. “Oh, sudah sampe ya? makasih ya Gil, kamu nggak mampir dulu?” aku menawarinya untuk mampir ke rumahku, sekadar basa-basilah. Tetapi, Ragil menolak, katanya dia ingin pulang saja dulu. Biar aku istirahat dulu. Ya..sudah, dia pamit pulang setelah mengantarku hingga ke kamar. Tanpa ba bi bu lagi aku segera menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur empukku. Lelah sekali seharian ini. ******** Sore mulai merambati malam. Itu berarti, Ragil akan datang sebentar lagi. Aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan diriku dari kepenatan. Eitss… kenapa bisa sesemangat ini ya? jangan- jangan aku kembali jatuh cinta lagi. Tidak. Aku hanya menunjukkan toleransiku sebagai mantan pacar, nanti aku dikiranya benci dia lagi. Terdengar dari luar klakson mobilnya, aku bergegas keluar menyambutku. Ceria sekali wajahnya dan di tangannya, tergantung sekantong apel merah kesukaanku. “Hai, Cha, kamu udah siap? Kita ke luar yuk?” dia mengajakku ke luar malam ini. Ke pantai tempat kami sering berkencan secara sembunyi-sembunyi dulu waktu SMA. “Seperti yang kamu liat.” Dia menyerahkan kantongan itu dan aku membawanya masuk ke kamar. Tak berselang lama. Aku kembali menemuinya. Dia mengulurkan tangannya untuk kuraih, tetapi aku mengacuhkannya dan terus saja naik ke mobil. Ragil kelihatan kecewa atas sikapku barusan, tapi aku tak peduli.. Dengan senyum dipakskan, dia menoleh ke arahku dan tentu saja kubalas senyum itu dengan perih yang mendalam. Tidak. Cinta tak boleh mengalahkanku. Aku harus lebih kuat. Persetan dengan cinta. Cinta hanya membawa luka yang teramat pedih bagi yang mempercayainya. 31
Ragil memutar lagu ‘kau milikku’-nya Baim, aku nggak boleh terhanyut dengan semua itu. Wake up girl. Alunan melodi lagu romantis terus saja mengisi ruang kosong dalam mobil. Menurutku sih emang ruang kosong, karena tak satupun diantara kami yang membuka mulut. Aku sibuk dengan khayalan tingkat tinggiku. Dan mungkin saja Ragil sibuk memikirkan apa yang akan dibicarakannya padaku nanti. ( duh, geer banget sih). Ragil memarkirkan mobilnya di sudut parkiran. Katanya, biar lebih gampang nemunya kalo pulang nanti. Aku sih terserah saja. Dia mengajakku masuk ke kafe Kirana yang kurang pengunjungnya dan memilih tempat duduk paling pojok. Sepertinya, dia berusaha untuk mengingatkanku kenangan ketika pacaran dulu. Ya, di tempat inilah kami sering menghabiskan waktu tanpa sepengetahuannya kak Fais. Kami jalani hubungan itu tanpa khawatir ketahuan kak Fais. Katanya, kalaupun ketahuan, itu lebih baik. Dia akan leluasa untuk memilikiku sepenuhnya. Kutengok masa itu, di sana tawa masih membalutku tanpa ada tekanan apapun. Dengan gurauan, Ragil
semakin menyemarakkan kencanku dengannya,
tanpa perasaan bersalah sedikit pun pada kak Fais, kujalani hidupku dengan enjoy. Aku pacaran dengannya dan dia sangat menyayangiku dengan tulus. Ragil pun tulus padaku. Tetapi apa yang telah kuperbuat, aku menyakiti hati banyak orang. “Cha, aku mau kita pacaran, sejak hari itu, aku mulai sayang sama kamu.” Perkataan Ragil waktu itu membuatku kaget bukan kepalang. Dia tahu sendiri aku pacaran dengan kak Fais, tapi kenapa ngomongnya seperti itu? Seperti tahu jalan pikiranku, Ragil memegang tanganku dan mengatakan: “Cha, aku tahu kok kamu masih pacaran dengan Fais, tapi itu tak jadi masalah, kita bisa backstreet. Kalo kamu menolak aku,aku akan sakit hati Cha, karena sayangku sudah menggunung dan itu tak bisa kuhancurkan.” Aku tak bisa ngomong banyak lagi, tatapan tajam Ragil menjadi tatapan sendu. Tanpa pikir panjang untuk keduanya lagi, aku menyetujuinya. Ide gila itu muncul begitu saja. Sungguh pahit mengingat semua itu, karena ide gila itulah. Aku menikmati hasilnya sekarang, kehancuran, ketakpercayaan pada cinta, sinis, muak, benci, 32
membalut ragaku hingga saat ini. Dan, sekarang aku tak tahu lagi apa dan bagaimana cinta itu lagi. Aku tertunduk, dan tak terasa air mataku bergulir. Ah, rupanya aku masih bisa menangis. Aku pikir, keangkuhanku akan terus nmembungkus ragaku. Sungguh picik sekali pikiranku. Segera kuhapus air mataku agar Ragil melihat dalam keadaan ini. Kalau tidak, dia bisa mengintrogasiku. “Cha, kamu mau makan apa?” “Nggak usah, aku pesan minum aja, seperti biasa, jus alpukat.” Ragil segera memesankanku jus alpukat kesukaanku dan dia minuman dingin, Pocary sweat. “Cha, ada apa sih? Kamu nggak senang ya aku datang ke Makassar lagi?” tanyanya penuh selidik. “Nggak ada apa-apa kok,” jawabku singkat. “Nggak Cha, keliatan banget dari roman mukamu, kamu menyembunyikan sesuatu dari aku. Aku boleh tahu?” semakin penuh selidik petanyaannya. “Gil, katanya kamu mau ngomongin sesuatu ke aku?” aku tak menjawab pertanyaannya tadi, tapi justru ku balikkan ke dia. Kami terdiam. Sesaat kemudian minuman yang kami pesan datang juga memecahkan keheningan di antara kami. “Iya penting banget Cha, makanya aku balik ke Makassar.” Sejenak dia tak melanjutkan kata-katanya. Aku hanya diam mendengarkan dengan segala pikiran yang berkecamuk di benakku. “Beberapa waktu yang lalu, mama menelponku, menanyakan pendapatku tentangmu. Tentang saja, aku surprise banget mendengarnya. Trus, aku bilang saja kalo di antara kita pernah ada hubungan spesial. Mama semakin tertarik dengan ceritaku. Akhirnya, mama menyuruhku untuk pulang ke Makassar sesegera mungkin. Aku nurut saja, sebagai anak yang berbakti toh?” dia mencoba bercanda sembari meminum pocari sweatnya. Aku tersenyum getir. Hampir saja aku ambruk kemudian dia melanjutkan ceritanya. “Setibanya aku di sini, mama langsung menyerangku dengan pertanyaanpertanyaan tentang hubungan kita. Mama begitu antusias mendengarnya, tapi aku bilang , kita sudah bubaran sejak keberangkatanku ke Bandung dulu. Sampai tiba 33
waktunya, mama memberitahuku kalo dia berniat menjodohkan kita berdua. Hal ini sudah dibicarakannya dengan Bunda kamu. Dan Bunda kamu pun setuju dengan rencana itu. Awalnya sih aku sampe kaget mendengar rencana mama, tapi sejujurnya aku dalam hatiku bersorak bahagia. Surprise banget kan Cha?” Ragil menghentikan ceritanya. Dia menatapku dengan pandangan penuh arti. Tapi aku bingung harus bilang apa sama Ragil. Saat ini aku masih belum siap dengan perjodohan itu. Terlalu cepat dan berat bagiku. Penantian yang tak kunjung pasti masih tertanam dengan rapi di hatiku meski rasa sakit masih menyelimutinya. Sementara itu, harap Ragil padaku semakin besar. Aku pun takut mengecewakan Bunda yang begitu sayang padaku. Lalu, apa yang harus aku lakukan di saat seperti ini? Aku semakin terjepit. Sementara itu, Ragil masih menatapku dengan tatapan yang aneh. Sama waktu dia menyatakan perasaannya dulu di sini. Dan saat itu, aku tak kuasa menolak. Lalu, sekarang mestikah kuulangi lagi? Tidak. Aku harus menolak perjodohan ini. Tetapi, bagaimana caranya, aku sendiri tak tahu. “Cha, kamu lagio mikirin apa sih? Ngga usah sepucat itulah.” Uppss…aku pucat? “Cha, aku mo nanya sesuatu sama kamu, tapi jangan tersinggung padaku ya?” “Apaan?!!” tanyaku singkat. “Kamu masih pacaran dengan Fais atau udah bubaran sih?” Pertanyaannya membuatku kaget. Menahan sakit di dadaku. “Kamu mau jawaban seperti apa Gil?” balikku bertanya. Ragil terperanjat kaget pula mendengar ucapanku seperti itu. Dingin, sangat dingin sekali. “Kenapa kamu ngomong seperti itu Cha? Kata-kata pun sangat sinis dan angkuh. Kamu bukan Ocha yang dulu lagi yang kukenal. Sejak kedatanganku ke sini, aku memang melihat perubahan itu pada dirimu. Sangat drastis. Angkuh, sinis, dingin, dan banyak lagi sifatmu yang semakin tak kupahami. Tatapanmu jadi beku, tak seriang dulu lagi. Ada apa Cha? Fais menyakiti kamu ya?” Aku tersenyum getir lagi mendengarkan ocehan Ragil, tak kuduga prakiraan Ragil tentangku banyak benarnya juga. 34
“Nggak kok, hanya saja keadaan yang membuatku seperti ini…” tak kulanjutkan kalimatku. “Cha, kamu mau ceritakan sama aku, apa yang terjadi?” Ragil mulai mendesakku. “Gil, nggak ada yang salah kok dalam hal ini. Tidak kau dan juga Kak Fais. Jadi, jangan paksa aku untuk mengatakannya, suatu saat kamu pasti akan tahu. Dan mengenai perjodohan itu, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Yang jelasnya, masih belum terpikirkan olehku untuk segera menikah. Masih banyak hal yang perlu kubenahi. Aku harap kamu ngerti dengan keputusanku ini. Tapi kuminta kamu jangan berubah padaku. Perjalanan kita masih panjang Gil, tak perlulah secepat itu. Kamu taukan aku masih semester 3 dan kamu juga masih kuliah.” Panjang lebar aku menjelaskannya pada Ragil, entah apa yang aku bicarakan, aku sendiri tak mengerti. Karena setelah itu, dia mengangguk lemas dan mengajakku pulang. Kebisuan menghinggapi kami sepanjang perjalanan pulang. Tak ada yang berkomentar. Semua tenggelam dengan pikiran masing-masing. Mungkin ini adalah keputusan yang benar. Aku tak boleh cengeng, apalagi rapuh menghadapi keadaan seperti ini. Aku telah terbiasa dengan semua ini. Dan, Ragil? Berkali-kali dia menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya memperhatikan saja dari samping. Kesalahankah ini? Hingga tiba di rumah, tak terucap satu kata pun dari mulutnya. Namun, ketika kulangkahkan kakiku memasuki rumahku, dia memanggilku dan mengucapkan selamat malam. Setelah itu, dia berlalu dari hadapanku membawa luka yang dalam. Ragil tersakiti lagi olehku. Kuketuk pintu rumah dengan pelan agar tak membangunkan yang lain. Pelanpelan kupanggil nama Uni dan Reyta bergantian. Tak ada sahutan. Kulirik jam tanganku, astaga!! Sudah pukul 11 malam, pantas saja mereka sudah terlelap. Kuhampiri jendela kamar Uni dan mengetuknya. Mendengar ketukanku, Uni terbangun dan membuka pintu jendelanya, dia kaget melihat kepulanganku larut malam begini.
35
“Ni, bukain pintunya dong, dingin banget nih, kamu tega ngeliat aku mati kedinginan di luar sini?!!” pintaku merengek ke Uni. “Apaan sih Cha, kamu tahu ini sudah jam berapa? Darimana aja baru pulang jam segini?” “Uni sayang, nggak usah banyak cincong, cepet bukain pintunya dong?!!” Akhirnya Uni mengalah, dia mengalah ke ruang depan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, aku langsung menyerbu Uni dengan ciuman dan segera berlari ke kamarku tanpa mempedulikan omelan Uni. “Cha, kamu darimana saja sih, nggak biasanya banget kamu pulang selarut ini?” “Pantai,” jawabku singkat. “Astaga dengan siapa?” tanyanya lagi. “Ragil, masih ingatkan kan dengan dia?” Aku mencoba mengembalikan ingatannya ke masa SMA dulu. Tiba-tiba, dia berteriak lantang. Tetapi segera kusumbat mulutnya dengan tanganku agar mengecilkan suaranya. Bisa-bisa yang lain terbangun. “Cha, kamu masih berhubungan dengan dia? Kamu bilang kan sudah bubaran? Trus, kapan dia balik ke Makassar, kok nggak cerita sih?” “Aduh Ni, pertanyaan kamu banyak banget sih, aku harus jawab yang mana dulu? Satu persatu saja ya?” Kutarik Uni ke dalam kamarku, dengan suara yang sangat pelan, aku menceritakan semuanya, tanpa ada yang tersisa semuanya. Mendengar semua itu, Uni kaget setengah mati. Dia hampir tak percaya dengan apa yang kukatakan semua ini. “Jadi, bagaimana reaksi Ragil mendengar keputusanmu itu, dia nggak shock kan?” “Entahlah, tapi sewaktu pulang tadi, dia nggak bicara apa-apa padaku kecuali selamat malam. Aku sih nggak masalah, lagipula dia duluan kok yang mendesakku untuk ngomong.” Dengan cueknya aku bercerita. Sementara Uni terus berdesis kayak ular kali. 36
Aku mengakhiri ceritaku dan menyuruh Uni kembali ke kamarnya karena akupun sudah mengantuk. Dengan jengkel, Uni meninggalkan kamarku. Aku segera menutup pintu kamar. Tetapi tak langsung begitu saja tertidur. Kuhampiri meja belajarku dan kunyalakan monitor komputerku. Aku mulai menulis lagi…. Dear diary!!! Sesal membuatku hampir tak bernyawa lagi. Satu persatu, datang menyeruak menghantam ragaku yang menggantung di rimba belantara. Kesalahankah ini yang kuperbuat? Aku hanya menyaksikan seonggok luka terhampar di depanku lagi. Tawa atau tangiskah yang akan menghampiriku? Aku pun tak mengenalinya lagi. Semua menjadi satu hingga aku tak mampu memisahkannya.
Kuamati tulisanku di monitor komputerlu, sungguh sinis cara pandangku. Aku lekas mengsavenya dan segera kumatikan. Terbias senyum angkuh di rupaku. *******
37
EmpAT Sejak kejadian malam itu, Ragil nggak pernah lagi menghubungiku. Dia menghilang lagi. Mungkin dia sudah balik ke Bandung tanpa mmberitahukanku. Mungkinkah hatiku sekeras batu? tidak juga, buktinya, masih ada tempat di hatiku untuk seseorang yang kunanti. Pheww. Kuhempaskan tubuh lelahku di kasur seraya memandang langit-langit kamarku. Bersamaan dengan itu, HPku berbunyi. Sepertinya ada SMS yang masuk. Kuambil dan kubaca sms itu. Cha, ada waktu nggak? Kita bisa ketemuan? Kafe hijau, pukul 4 sore.
Kubaca nama pengirimnya. Iyan. Ada apa ya? Sepertinya serius sekali. Tak seperti biasanya, jam dindingku berdetak keras, pukul 03.15. Sudah Ashar, ku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk berwudhu. Uh, segar sekali, seketika pikiranku menjadi plong. Usai menunaikan shalat Ashar, aku ganti pakaian dan pergi menemui Iyan. Di pojok kafe, aku melihatnya duduk termenung sendiri. Sesekali dia meminum minuman dingin yang tersedia di depannya. Melihat kedatanganku, Iyan melambaikan tangannya. Aku segera menghampirinya dan memesan minuman dingin juga. “Apa yang terjadi? Kenapa mukamu kusut begitu?” Kulontarkan pertanyaan pertama dengan mata penuh selidik. Aku mengamati gerak-geriknya. Dia kelihatannya gelisah. Bahkan, matanya mulai sembab. Aku mulai bingung atas sikapnya yang tidak seperti biasanya. Aku mencoba medesaknya. Tapi, dia tak bergeming. Sangat lama aku membiarkannya terdiam hingga dia membuka mulutnya seraya menghapus air mata yang masih tersisa dipipinya.
38
“Ternyata kak Iccank tidak menyukaiku. Dia bilang sendiri tadi siang. Katanya, hubungan seperti ini tidak bisa dilanjutkan. Aku egois dan menuntut banyak dari dia. Aku tak bisa memahami kesibukannya yang padat.” Ia menceritakan dengan isak tangis yang berusaha ditahannya. Persoalan cinta lagi. Aku berusaha menyembunyikan sinisku pada cinta. Sebisa mungkin kuhibur dengan kata-kata yang ternyata bisa menyejukkan jiwanya. Masih banyak pria yang lebih oke dari dia. Kenapa mesti harus menangisi seorang pria seperti itu. Dia berbangga hati. Aku tahu hubungannya dengan kak Iccank memang belum terlalu lama. Dia sangat mencintai pria itu. Untuk pertama kalinya, dia menyukai seorang pria, tapi pun berakhir begitu saja. Sungguh kasihan sahabatku yang satu ini. Meski banyak pria yang mengejarnya karena wajahnya yang terbilang sangat cantik, hidung mancung, kulit putih bersih dan postur tubuh yang tinggi. Ideal, hampir sempurna. Entah kenapa, dia tidak begitu semangat
untuk
pacaran
hingga
muncul
sosok
kak
Iccank
yang
telah
meluluhlantahkan pertahanannya. Kekaguman yang biasa berlanjut ke percintaan yang ternyata bersambut. Pria bodoh yang tidak tertarik dengan dia. Akhirnya hubungan itu pun berlanjut hingga menyisahkan luka yang sangat dalam saat ini. Menjelang Maghrib, aku mengajaknya pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya. Aku khawatir kalau dia pulang kehidupan rumahnya sendirian, akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Namun, dia mencoba meyakinkanku kalau tidak akan terjadi apa-apa padanya. Tapi aku tak percaya, karena aku tahu kalau dia sedang labil, dia akan segera ambruk. Penyakitnya akan kambuh lagi. Dengan tertawa sangat dipaksakan,
Iyan
meyakinkanku
lagi.
Akhirnya,
dengan
berat
hati
aku
meninggalkannya sendiri, sempat ku menoleh sebentar ke belakang untuk memastikan kekhawatiranku. Dan dia hanya melambaikan tangannya dan berusaha tersenyum padaku. Dalam perjalanan pulang, aku tulis sms untuk Ian. Tegarlah sahabatku yang cantik. Aku selalu di dekatmu.
39
Tiit…titi…. SMSku telah terkirim. 5 menit kemudian, kuterima balasan smsnya: Tiit…tit. Thanks ya cha. Aq kan baik2 saja.
Aku tersenyum membaca SMSnya. Banyak hal yang membuatku senang bersahabat dengannya. Kesamaan persepsi tentang cinta. Dan ketegaran hidup yang selalu diagung-agungkannya, meski pada dasarnya dia rapuh, tapi dia tidak menampakkannya pada orang lain. Sesampainya di rumah, aku langsung berwudhu untuk menunaikan shalat Maghrib. Begitu ringan pikiranku ketika telah selesai menunaikan perintah Allah ini. Sajadah biru yang terhampar di depanku, seakan mengalahkan keangkuhanku dalam sekejap. Aku memang tak ada artinya di depan sang pencipta. Aku begitu kerdil. Tak terasa, mataku jadi sembab. **** Rasa kantuk mulai menjalari tubuhku. Mataku semakin berat saja rasanya. Padahal kuliah belaum berakhir. Aku harus bertahan hingga setengah jam ke depan karena kalau aku sampai tertidur, dosen bibir tebal itu akan menimpuk kepalaku dengan buku tebalnya. Akhirnya, saat yang ditunggu datang juga. Aku langsung tertidur di bangku ketika bu Ratna meninggalkan ruangan. Baru beberapa menit aku tertidur, Wita menghampiriku dan menimpuk kepalaku. “Cha, bangun dong, ada yang nitip salam tuh tuk kamu?” Dengan mata setengah ngantuk, aku menanyakan siapa yang nitip salam. “Aldi,” jawabnya singkat. “What’s? Aku nggak salah dengar tuh? Suruh dia ngaca dulu deh, baru temui aku.” Dalam sekejap, kantukku mendadak hilang. Mataku membelalak tak
40
mempercayai apa yang telah diucapkan Wita barusan. Dasar cowok brengsek. Dia nggak nyadar kali ya? Aku tak bergairah mendengar berita tentang cinta lagi. Persetan dengan cinta. Persetan pula dengan Aldi. Segera saja kutinggalkan ruang kuliah, meninggalkan Wita yang menatapku bengong. Aku menuju kantin tuk membeli sesuatu yang bisa mengisi perutku. Hanya minuman dingin saja. Entah kenapa, beberapa hari ini, aku tak berselera makan. Masalah yang datang satu persatu kehadapanku membuatku gamang dan nafsu makanku langsung menurun drastis. Kontan saja berat badanku turun 5 kg. Ya, bagus juga sih, aku diet gratis. Aku kembali ke kelas dengan langkah gontai. Tak kulihat batang hidung Wita lagi. Ke mana dia? Secepat itu menghilang. Aku termenung sendirian, memikirkan 2 sosok yang berlarian di benakku. Kemana mereka? Ragil menghilang begitu saja bagai di telan bumi. Sementara kak Fais, tak ada kabar beritanya. Entah apa yang dilakukan mereka saat ini. Sejak memutuskan kak Fais setahun yang lalu, aku tak sempat pacaran lagi. Ya, suatu kesalahan besar. Waktu itu, pas Valentine’s day kelas 3 SMA, dengan begitu saja aku memutuskan kak Fais tanpa memikirkan perasaannya. Yang ku tahu, 2 tahun jadian dengannya, tak kurasakan apa-apa. Aku mengatakan alasanku memutuskannya kalau aku mencintai orang lain dan tak bisa melupakannya, sebelum aku pacaran dengan kak Fais, Reno, Ragil, dan yang lainnya. Aku menyimpan cinta untuk seseorang. 5 tahun aku bertahan dengan cinta terpendamku. Aku terus saja bertahan hingga satu persatu, mereka mengisi hari-hariku. Seakan punya dendam yang mendalam, tak kupedulikan perasaan pria yang kupacari hampir bersamaan. Semua berlalu begitu saja. Kucampakkan mereka dengan meninggalkan sisa luka yang dalam bagi mereka. Hingga sosok Ragil dan kak Fais berseliweran silih berganti dalam hidupku. Meskipun demikian, aku tetap tak bisa melupakan sosok kak Adi. Hingga tiba waktunya, aku mendengar berita pernikahannya. Seketika aku langsung ambruk. Seluruh persendian tubuhku hampir saja remuk, tapi aku tetap bertahan. Barulah aku merasakan rasa kehilangan yang sangat mendalam. Tapi bukan untuk 41
kak Adi, justru tak kuduga itu adalah kak Fais. Aku menangis isak. Sesaat kubuka diary-ku yang terikut dalam tasku. Ada tulisan dalam lembaran kertas warna pink. Dear diary… 20 Juli Ada resah menggauliku. Sementara galau itu menggumuliku tanpa pasti. Getar dawai halus itu makin terdengar jelas dalam hati nuraniku mendesakku untuk berkata padamu: Aku pernah mencintaimu 5 tahun yang lalu dan saat inipun rasa itu masih ada. Mulutku terkunci, lidahku keluh, menatap bayangmu pun aku tak sanggup karena setiap kita berpandangan tak ada yang saling bicara, hanya saja mata kita saling menjilat. Kuketuk hatiku, kurasakan dawai itu semakin redup terdengar dan akupun terkulai jatuh, saat kutahu dirimu telah jadi milik orang lain.
Sejak kejadian itu, aku mulai merasakan rasa kehilangan, kerinduan, dan rasa sakit yang tak tertahankan. Sesal yang menghampiriku seolah mengatakan cinta adalah ketulusan jiwa. Segera kutampik kalimat itu. Tidak. Cinta hanyalah bara yang siap membakar kita. Aku tak boleh cengeng. Meski aku tahu di umurku yang masih di bilang cukup muda memandang sinis dan picik cinta. Sementara, seumuranku tengah berasyik-asyik dengan cinta, mengagung-agungkan. Di tengah kesibukanku membuka lembaran demi lembaran diary-ku, aku tak menyadari kalau ternyata Iyan, Wita dan Ima telah berdiri di belakangku dan memelukku dari belakang. Mereka berusaha menghiburku untuk tidak larut dalam kenangan dan tidak lagi menutupi ketakberdayaanku. Aku hanya menarik nafas dalam-dalam. Thank’s yah untuk semuanya yang telah mendukungku dan menjadi sahabat terbaikku. ********* Menjelang sore, aku telah terbaring lemas di atas kasur empukku. Sungguh aku sangat lelah sekali. Menjadi panitia seminar kebahasaan menguras tenagaku seharian ini. Aku mencoba memicingkan mataku, namun lelah yang menjalariku tak jua membawaku ke alam kantuk. Seluruh tubuhku seakan remuk. Aku cari obat tidur di laci mejaku yang penuh dengan pernak-pernik. Hingga akhirnya kutemukan, 42
seketika kutimang-timang, seolah ragu meminumnya, aku menyimpannya lagi di atas meja. Aku tak boleh meminumnya, bisa jadi aku ketagihan. Suasana rumah sangat sepi sekali. Ke mana Uni, Reyta, dan yang lainnya. Biasanya sore seperti ini, mereka berkumpul di kamar Uni, berceloteh ria sambil meminum teh hangat. Sungguh nikmat sekali. Kehangatan yang terjalin di antara kami membuatku tak akan melupakan kenangan indah ini bersama mereka. Penghuni rumah ini telah kuanggap sebagai keluarga kedua dariku. Mereka adalah teman yang baik. Apabila ada yang mengalami masalah yang pelik, tentu saja yang lain siap siapa membantu dengan semampu mereka. Kupejamkan mataku sekali lagi dan akhirnya dengan susah payah, aku tertidur juga. Setelah itu, aku terlelap dan tak merasakan kedatangan Uni, Reyta. Terdengar adzan Maghrib yang menggema hingga membangunkanku dari tidur. Aku segera terbangun dan mengambil peralatan mandi untuk membersihkan tubuhku alias mandi. Setelah shalat Maghrib, aku menuju kamar Uni. Yah, selain teman-teman kampusku, Uni adalah salah satu tempatku curhat di rumah. Tak ada sedikit pun rahasia yang kusembunyikan darinya. Sejak SMA, kami sudah bersahabat. “Ni, aku mo ngomong sesuatu ke kamu, bolehkan?” tanyaku seraya memperhatikan ekspresi mukanya yang nampak kelelahan. Hampir saja kuurungkan niatku. “Apaan Cha? Bukan soal Ifan khan?” “Bukan, ada hal yang lebih penting yang ingin kubicarakan. Menurut kamu, kak Fais masih sayang nggak sih sama aku?” Aku memperbaiki posisi dudukku setelah ngomong tentang kak Fais. “Kenapa kamu tanyakan seperti itu sama aku, Cha? Bukankah kamu sendiri yang lebih tahu tentang perasaanmu dengan dia?” “Ya iya sih, tapi, selama setahun ini, dia nggak pernah menghubungi aku atau mungkin dia sudah nggak sayang lagi sama aku.” Kumanyunkan bibirku untuk memberi kesan kalo aku sedikit kesal. Eitss…. Kenapa tiba-tiba aku meminta pendapat Uni mengenai kak Fais? Perasaanku terhadap cocok laim memang hampir 43
mati rasa, tapi harapku pada Kak Fais semakin kuat mengisi benakku. Meski aku memandang picik ‘cinta’, tapi masih tersisa cinta yang nyata untuk kak Fais. Pembicaraan kami mengalir hingga ada perkataan Uni yang cukup membuatku tersentak kaget. “Apaan Ni, kamu bilang kak Fais pernah nelpon ke sini? Kapan? Kok kamu nggak bilang sama aku?” Tanyaku penuh selidik. “Kak Fais sendiri yang bilang agar aku tak memberitahukannya pada kamu, entahlah, aku tak mengerti apa maksudnya, tapi jelasnya, dia ngomong seperti itu sama
aku.”
Uni
kelihatan
merasa
sangat
bersalah
dengan
tindakannya
menyembunyikan hal ini padaku. Ya sebuah pertanyaan tentang perasaanku dilontarkan ke Uni saat aku pulang ke rumah Bunda. Katanya, apakah aku sudah punya pacar? Tentu saja Uni bilang aku belum punya pacar, karena dia pikir hubungan kami masih berjalan dengan baik. Tapi, prediksi Uni salah. Oh my god? Dalam keadaan seperti ini, keangkuhanku mulai muncul, menyeruak keluar, menghempaskan segala resah yang berusaha menggumuliku. Aku meninggalkan kamar Uni dengan segala tanya yang mengantung. Membawaku pada sebuah kehancuran bathin. Aku berusaha menenggelamkan namanya ke dalam tembok-tembok yang kulalui. Namun, setelah itu apa yang terjadi? Hanya kehancuran, pengkhianatan pada cinta yang tak akan pernah habis. Sungguh, keangkuhanku semakin memuncak. Telepon
genggamku
berbunyi
berulang
kali.
Tumben
ada
yang
menghubungiku lewat HP, biasanya sih sayang pulsa alias miscall. Kuperhatikan nomornya. Aku tak mengenalnya, siapa yang menghubungiku ya? Aku segera memencet tombol yes. Terdengar suara lelaki yang tak kukenal. “Halo… ini dengan Ocha ya?” tanyanya menyebut namaku. Aku semakin bingung siapa dia? “Ya, siapa nih?”
44
“Masa kamu nggak kenal aku sih Cha? Aku teman sekelas kamu, Aldi,” jawabnya enteng. What’s? Aldi? Bukankah dia yang nitip salam padaku? Mo’ ngapain dia menelponku? “Ya, aku tahu, ngapain kamu nelpon aku? Ada yang penting? Terus kamu dapat nomor aku dari siapa?” “Dari salah seorang teman. Kamu nggak perlu tau. By the way, aku motivasi ngomong sesuatu sama kamu, boleh?” Apalagi ini. “Apaan?” “Wita sudah nyampein salam aku nggak?” “Ya, terus?” tanyaku pura-pura nggak tahu. “Nggak, aku cuma mo’ bilang aku suka kamu?” “What? Kamu suka aku? Nggak salah ya, atau mungkin telingaku yang ada masalah?” Tentu saja aku tertawa mendengar pernyataannya. Dasar bego, aku kan suruh dia ngaca dulu. Uh, pria sama saja. Makan tuh cinta. “Benaran Cha, pokoknya aku rela ngapain aja asal bisa ngedapetin kamu.” Tuts… tuts. HPnya langsung dimatikan begitu saja. Bete nggak sih, masa bodoh. Masalah aku saja masih banyak, ditambah lagi cecunguk satu ini. ******** Sejak saat itu, Aldi selalu menghubungi aku, bahkan tengah malam pun. Awalnya, aku cuekin saja dia, dan ancamannya. Karena tak tahan, aku bilang saja sama Uni, Wita, Ian, dan Ima. Kalo Uni sih nyaranin aku tuk ngomong langsung saja ke dia. Ngomong baik-baik. Tapi, aku bilang sudah. “Kalo gitu, kamu bilang saja, kamu sudah punya pacar. Oke khan? Mungkin saja dia akan mundur”. “Ya iya sih, tapi kamu tahu khan kalo aku nggak punya pacar dan nggak suka. Kalo, maksud kamu, Ragil, nggak deh, lagipula aku juga nggak tahu dia ada di mana
45
sekarang, but, kalo kak Fais, nggak juga, dia udah mati kali, trus siapa yang mau kujadikan pacar bo’ong-bo’ongan?” “Gimana kalo Ifan saja?” Kontan aku memajukan mukaku ke Uni. “What? Ifan? Nggak ah, ntar pacarnya marah lagi. Aku nggak mau cari ribut dengan Rara, kutolak tawaran Uni tuk jadiin Ifan pacarku. “Nggak kok, Ifan pasti ngerti, begitu pun Rara. Masalahku dengan Rara udah selesai, jadi nggak perlu dipikirin lagi deh. Cha, buruan gih sms Ifan. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menyetujui ide Uni. Segera kuambil HPku dan menulis pesan tuk Ifan. Fan, aq mo minta tlng kehidupan U, tp aq minta maaf dilarang sama Rara. Mo gak jadi pcr bo’onganq? Soalnya, ada teman sekelas yang mengancam aku spy
jd
pcrx. Tp, aq gak mau. Plis ya? Hax bbrp hari kok? Ocha. Titit… Pesanku sudah terkirim. Mudah-mudahan Ifan mau. Ucap batinku. Beberapa menit kemudian, balasan sms Ifan masuk. Tit..tit.. Kamu terima sj Cha, apa slhx sih? Fais.
Upss. Kok nama kak Fais yang tertulis. Ifan ngerjain aku lagi. Tapi, aku jadi penasaran juga, mungkin dia memang kak Fais. Aku dan Uni saling berpandangan. Aku bingung harus bilang apa. Seketika, keringat dinginku keluar. Gemetar. Uni bilang, lebih baik aku bicara langsung dengannya, dan memastikan apa betul dia kak Fais atau Ifan. Kutekan nomor Ifan.. “Halo, siapa sih ini? Ifan khan?” tanyaku memastikan. “Halo, Cha. Kamu terima saja cowok itu, ada yang salah ya dengan dia?” Kudengarkan dengan seksama suara tadi. Tawa itu. Upss.. dia memang kak Fais.
46
Aku langsung histeris memanggil namanya. “Kak Fais , kapan datang? Kemana saja sih?” “Hai Cha, pa kabar?” Tak dijawabnya pertanyaanku, justru dia yang nanya balik. Nggak nyambung gitu lho. “Lumayan buruk” jawabku singkat dengan sedikit tertawa untuk menutupi nervousku. “Oh, apanya yang buruk Cha, boleh aku tahu?”, “Seperti yang kak Fais baca sendiri kan tadi sms ku? Trus, kalo kak Fais gimana kabarnya juga?” tanyaku sembari menenangkan kekacauan hatiku. Perasaan apa yang telah menghinggapiku saat ini? Ada yang kembali. Pikirku. tidak, ini hanya perasaan refleks sesaat dari hatiku. “Aku baik kok Cha, By the way, sekarang kamu pasti udah tambah gede dan cantik ya?” dia mencoba bercanda denganku. tawanya masih khas seperti dulu. “Kak Fais bisa saja, bukankah dari dulu juga, Ocha udah gede dan cantik?” “Ngomongin cowok di sms tadi, kenapa kamu ga’ mau?”. Aduh kak Fais apain sih nanya gituan. Dia nggak nyadar kali ya, kalau aku masih sayang dia dan nggak bisa pacaran lagi setelah dia. Yah, kesalahan masa lalu sih tak bisa mengembalikannya lagi padaku. Atau mungkin kak Fais belum memaafkanku hingga sekarang. Tapi, bagaimana dengan pertanyaanya dulu pada Uni. Bukankah itu membuktikan kalau dia masih care sama aku. “Aku nggak suka aja,” jawabku enteng banget. Waktu SMA aku memang sering gonta ganti pacar bahkan sering selingkuh. Tapi tak kupedulikan. “Cha, aku mau ketemu denganmu, boleh? Atau ada yang marah ya?” Sejenak aku terdiam. Kemudian aku mengangguk ya. Pembicaraan berlanjut hingga larut malam. Aku tak ingat berapa lama aku ngobrol dengan kak Fais. Mungkin Tiga jam. Katanya, aku tak berubah. Tawa centilku. Dia bilang sih masih kangen denganku. Oh sesuatu yang tak terduga. Dalam sekejap, khayal dan harapku semakin tinggi. Penantian yang melelahkan ini terhenti juga. Tiba-tiba saja, aku
47
begitu menghargai cinta. Segala keangkuhanku memudar seketika. Aku harap semua ini adalah pemberhentian dari petualanganku. Malam semakin larut. Aku pun tenggelam dengan pikiran-pikiran indahku. Bayangan bertemu sosok kak Fais semakin mengukuhkan hatiku untuk tak lagi sinis dan angkuh. Rasa yang terus menggumuliku selama ini, aku harap terhempas di belantara dan tak mengikuti langkahku. Harap-harap cemas semakin membuatku penasaran untuk segera melihatnya esok siang. Aku tak bisa memejamkan mata dan beranjak bangun mendekati monitor komputerku. Segera aku membuka file “Diary-ku,” dalam sekejap aku menulis dan menghasilkan sebuah karya yang tak terbayangkan olehku.
Dear diary!! 19 desember Kuingin selalu jujur, bahwa piano yang berdenting itu senantiasa terlantun dengan merdu mengiringi setiap langkahku, membawaku pada sebuah janji yang pernah terikrarkan dan tersemat dalam bingkai hatiku. Setiap kata dari bait yang tertulis selalu ingin kunyanyikan dengan melodi kasihmu yang berirama dengan merdu di indera dengarku. Tapi, setiap kali lantunan bait perbait ingin pula kuperdengarkan, kau menghilang dalam kenangan kasat mata membawa serta cintaku yang rapuh. Kuhanya bisa menantimu mengisahkan sebuah narasi yang tak beralur. Menunggu jawabmu lewat untaian kalimat tak berjedah. Egoiskah diriku? Mengharapkanmu dengan seribu penantian yang tak berujung. Meski kutahu, bayangmu yang senantiasa berlarian di imaji khayalku selalu tak bisa kuraih dengan mengandalkan tangan kecilku yang hanya bisa menggenggam sebutir pasir tak berwarna.
Wow. Romantis banget tulisanku kali ini. Ternyata aku bisa menulis seromantis itu. Aku tersenyum penuh bahagia. Hatiku berbunga- bunga membawaku terbang ke angkasa tinggi. Sungguh begitu tak berdayanya aku sekarang di hadapan kak Fais. Di selimuti kebahagiaan seperti itu, aku mengkhayal sangat tinggi, ditambah pula dengan lantunan suara Rossa dengan lagu “cintai aku.” Tak terasa, seketika tanganku kembali menekan tuuts computer dan menulis sesuatu sebagai bentuk ekspresi jiwaku. 48
Menitip salam kepada kekasihku yang berada di kota impian! Aku merindumu di setiap desah napasku. Menelan nafasmu lewat imaji bayangmu. Menggapai impimu lewat tangan kecilku. Kekasihku, setiap kali resah menghampiriku dan mengajakku berkompromi untuk melupakannmu, setiap kali itu pula kurasakan rinduku bergejolak dan berdesakan diI atas tumpukan cintaku. Ketika mentari pagi tersenyum dan menyapaku, menanyakan arti hadirmu diI hatiku, kujawab bahwa arti hadirmu telah membawaku terbang ke puncak yang paling tinggi. Namun sejenak olehku, ku tak ingin berada diiketinggian karena kutakut saat menengok ke bawah, ragaku telah terhampar di gurun kesepian engkau adalah dentingan piano yang selalu mengalun indah di jantung hatiku tapi semua bagiku tidak sanggup menandingi dirimu dan cintaku. Perasaan cintaku yang telah terbingkai erat dalam hatiku senantiasa membiaskan guratgurat kesetiaan kepadamu seorang. Di akhir kalimatku, yang ingin kusematkan janji setia bahwa inilah kejujuran hatiku yang bergema sembari melantunkan melodi kekaguman cinta yang tak dapat diciptakan musisi manapun, karena rasa cintakyu padamu telah melebur dalam sukmaku.
Ada binar-binar kesetiaan terukir dalam kalimat itu dan pengagungan atas nama cinta. Aku seolah terhempas dan mengalahkan segala yang ada dalam diriku. Lalu, ke mana semua pandangan sinisku, picikku dan angkuhku? Semua yang telah membungkus ragaku selama ini, sekejap menghilang terkalahkan oleh gaung keagungan cinta. Pheww. Begitu dangkal pertahananku. Begitu kerdil diriku kurasakan saat ini. Seakan aku telah bangkit dari kehancuran, semua sirna. Aku tak tahu, aku musti menuliskan apa lagi. Semua yang terlintas di pikiranku saat ini telah tertorehkan dengan ringan tampa beban di atas tulisanku. Yang aku tahu, selama ini hanya coretan-coretan sinis dari tangan dinginku saja, bukan coretan puitis seperti ini. Aku telah berubah. Bukankah ini lebih baik? Dalam waktu sekejap, aku telah melupakan masalahku tentang Aldi. Semua tertutupi dengan pendar-pendar melati yang mengharumi ragaku. Terbayang lagi pertemuan esok siang. Akankah dia memelukku erat? memberiku ciuman lembut seperti dulu? Akankah terbias senyum manisnya? Akankah terbias kerinduan yang mendalam kepadaku?
49
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku dan terus mengikutiku hingga kealam mimpiku. Dalam mimpiku, mengapa aku terpental jauh darinya? Diapun menjauh. Kudapati diriku tercabik-cabik. Apakah ini sebuah pertanda buruk bagiku untuk pertemuan esok. Aku harap ini hanyalah bunga tidurku saja. Karena kalau semuanya terjadi, aku semakin terpuruk. Dan terasing di gurun kesepian. Aku tak ingin semua itu terjadi lagi dalam hidupku. Aku menghentikan khayalku dan terus bermain dalam lingkaran kebahagiaanku. Meski ini hanya sesaat, itu sudah cukup bagiku. Begitu lemahkah aku saat ini? Aku berdandan secantik mungkin. Cukup lama juga di depan kaca memperhatikan, apalagi yang kurang. Aku tersenyum ceria. Dari luar terdengar ketukan yang cukup keras. Kubuka daun pintu kamarku. Oh, rupanya Uni. ”Mau kemana Cha, tumben cantik banget, ceria banget.” Aku tak menjawab pertanyaan Uni, hanya terus tersenyum dan kembali kurapikan pakaianku. Tentu saja Uni heran dan hanya melongo melihatku seperti ini. Tak seperti biasanya katanya. Memakai Make Up, dan pakaian yang kukenakan cukup modis untuk seorang Ocha. Aku hanya menimpalinya. “Baguskan Uni?” “Apanya yang bagus? Cukup seksi tahu?” Titiit..tit.. Hpku berbunyi, sepertinya ada sms yang masuk. Aku berniat mengambilnya, tapi keduluan Uni. Cha, aq harus nunggu dimana? Di gramedia MP sja ya? Fais.
“Rupanya ini yah yang kamu sembunyikan dari aku? Bagus ya? Mulai petak umpetan sekarang” aku segera merebut HPku dan mengatakan pada Uni kalo belum sempat mengatakannya. Dia hanya cemberut. “Belum sempat gimana? Aku kan tadi nanya sama kamu, tapi kamu saja yang mau menyembunyikannya. Aku nggak percaya lagi”. 50
“Ya sudah, aku minta maaf deh. Aku kasih tahu ya kalo aku janjian dengan kak Fais siang ini, puas Nona?”. Aku mencubit pipinya karena gemas melihatnya cemberut begitu. “Trus, kamu perginya sekarang?’ “Ya gitu deh, oya ada pesan buat kak Fais nggak?” tanyaku dengan lirik mata menggoda. Menungu jawabannya, aku ambil tas dan memasukkan HP dan dompetku. :nitip salam buat dia saja deh” jawabnya tersenyum. Aku segera berpamitan pada Uni. Aku bilang mungkin pulangku agak malam, jadi jangan marah lagi padaku. Taksi yang kuhubungi tadi telah menunggu di depan rumah. Setelah pikir-pikir mendingan naik taksi agar aku bisa cepet sampai di Mal . Lagipula, siang begini pasti panas banget. Taksi melaju dengan kecepatan sedang, berkali-kali pula sms kak Fais masuk menanyakan aku sudah ada di mana sekarang, lalu aku bilang sudah di jalan, mungkin 15 menit lagi aku akan sampai. Senyum bahagia terus saja menghiasi bibirku, sekali-kali aku menyanyikan ladu dengan suara kecil. Supir taksi senyum-senyum saja melihat ku sangat bahagia sekali. “Non, kalau boleh tau, non bahagia sekali, ada apa ya? Kalo aku mau nebak, pasti mau ketemu pacarnya ya?’ Tanya supir itu dengan senyum menggoda. “Ada deh Pak,”jawabku singkat. Eitss..jangan salah, supirnya sudah berumur sekitar 45 tahun ke atas. Terlihat dari gurat-gurat mukanya. Aku turun dari mobil dan bergegas ke lantai 3, Gramedia, tempatku janjian dengan Kak Fais. Pertemuanku kali ini harus berkesan. Dan tak menyisakan luka lagi seperti apa yng pernah kulakukan pada Ragil beberapa waktu lalu. Sungguh tak dinyana perbuatanku itu. Nafasku ngos-ngosan ketika tiba di depan pintu Gramedia. Mataku liar mencari sosok kak Fais. Aku hampir lupa bagaimana rupanya. Tak jua kutemukan, aku menuju rak buku bahasa sambil mataku tak henti mencari. Aku sedang asyik memilih-milih buku, tiba-tiba dari belakang seseorang memegang pundakku dan menyapaku. Suara laki-laki. Kak Fais. Aku segera berbalik dan
51
kupandangi wajahnya dengan seksama, sembari kuatur nafasku agar tak kelihatan nervousku di hadapannya. “Hai Cha, apa kabar? tambah cantik yah kamu,” sapanya dengan menyunggingkan senyum seperti dulu. Senyum yang masih sama. Aku terlena seketika. ”Baik , kalo kak Fais gimana kabarnya?’ tanyaku balik. Dia menjawab lumayan baik juga. Baguslah artinya tak ada lagi yang dikhawatirkan. Kemudian dia mengajakku cari tempat makan yang enak sekaligus bisa sebagai tempat ngobrol yang nyaman. Aku mengajaknya ke lantai 1 tempat makan yang enak sekaligus bisa sebagai tempat ngobrol yang nyaman. Aku memandangi sekeliling ruangan, kali-kali saja ada tempat duduk yang masih kosong di pojok. Upss.. mataku terhenti pada sudut kanan resto. Dapat yang kosong. Kami berjalan ke sana, dan memesan minum dan makan. Setelah duduk, Kak Fais memulai pembicaraan. “Cha, urusanmu dengan temanmu itu bagaimana? Kamu sudah bicara?” “Belum sempat kak, tapi lebih cepat memang lebih baik agar dia tak menggangguku lagi, kalo di kampus sih aku menghindar dari dia,” ucapku panjang lebar. Dia hanya tersenyum mendengarku berceloteh. “Cha, kamu baik-baik saja kan?” entah mengapa dia ingin memastikan dirinya dengan jawabanku. Tentu saja aku tersenyum dan mengangguk. “Kak Fais, kemana saja selama ini?kok nggak pernah ngasih kabar? Sudah lupa ya?”. Aku mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang. “Aku ke luar kota dan baru 3 hari aku di Makassar. Membaca SMSmu semalam, sempat membuatku kaget juga sih, rupanya kamu masih bersahabat juga dengan Ifan. Aku pikir nggak lagi, karena Ifan dan Uni kan sudah putus?” “Iya sih, tapi bukan berarti persahabatan kami juga sudah putus dong. Bahkan, mereka kembali sahabatan. Ngomong-ngomong, kita baru ketemu sekarang ya kak?” “Iya”. Jawabnya singkat tanpa ekspresi. Tak ada suara yang terdengar. Kami tenggelam dengan pikiran masing-masing sambil menikmati makanan yang terhidang di depan kami. Sesekali kulirik dia dan ternyata diam-diam kak Fais juga melirikku. 52
Aku hanya tersenyum untuk menutupi kebekuam ini. Bosan dengan situasi seperti ini, aku menanyakan apa dia sudah punya pacar. “Belum ada, aku baru saja putus dengannya. Aku dengar kamu juga belum ada lagi.” “Ya, gitu deh, siapa juga yang mau dengan aku? Lagipula aku tak tertarik tuk pacaran lagi.” Ada nada dingin kembali terucapkan dari bibirku. “Oh, ngomong-ngomong, soal isi suratmu yang dulu aku tak mengerti, siapa lelaki yang beruntung itu? Boleh aku tahu?”. Dia mendehem , sekali lagi kutarik nafas dalam-dalam
kemudian bercerita panjang lebar. Aku ceritakan tentang
kegilaanku memendam cinta selama 5 tahun pada kak Adi dan keinginan orangtuaku yang berniat menjodohkanku. Dan tak lupa kukatakan bahwa penyesalanku tak kunjung terhenti atas apa yang kulakukan padanya. Mendengar semua iu kak Fais hanya tersenyum tipis, ada kesan dipaksakan pada senyuman itu. Mungkinkah kak Fais tak senang dengan ceritaku? Ya, aku memang bersalah dan meminta maaf padanya. “Mengapa kamu tak menerima niat baik Ragil?” pertanyaan itu seolah sebilah keris yang menikam tepat di ulu hatiku. Tak bisa kulontarkan jawaban itu kak Fais, biarlah menjadi
jawaban dalam hatiku sendiri dan tak perlu diketahui. Ucapku
membathin. “Nggak kok, hanya saja aku memang belum belum siap dan gak suka. Terlalu cepat bagiku sepertinya aku saja yang terus berkicau, kini giliran kak Fais dong yang bercerita.” Aku menyadari kalo terlalu berat rupanya kak Fais untuk menceritakan semua kisahnya. Aku hanya menjadi pendengar setia dan sesekali menimpaili omongannya. Dari gaya berceritanya, aku menangkap sesuatu kalo dia sangat sakit hati atas perlakuan pacarnya di masa lalu. Mungkinkah aku? Pikirku. tapi, dia segera menampiknya sendiri, bukan aku gadis itu. Waktu terus berlalu, berkali-kali telpon temannya masuk Akhirnya pembicaraan kami terhenti. Dan, kak Fais mengatakan kalo ada waktu dia ingin
53
bertemu lagi. Kami meninggalkan tempat itu dan kak Fais mengantarku hingga depan pintu MP. Ketika aku naik ke mobil, kutulis sms untuk kak Fais. Ada yang terlupa kukatakan, bhw orang yang sangat kusayangi dan tak bisa kulupakan adalah kak’. Agak naïf memang, aq yang mengatakan lebih dulu. Tapi hatiq jadi ini. Ocha.
plong.
Aq tak memaksa kk’ untuk menjawabnya. Thankx atas semua
Aku tersenyum lebar, seakan yang kupikul selama ini telah lepas. Terserah anggapan kak Fais tentangku saat ini, yang jelasnya aku sudah merasa lebih baik. Tak berapa lama kemudian, balasan sms kak Fais masuk. Aq senang ats kejujuranmu, tp mengapa bukan tadi kamu katakan?bukankah tadi adalah momen yg tepat untuk bicarakan ttg perasaan qta semua. Jangan lupa sesuatu yang jauh. Miss U. fais.
Aku tersanjung dengan kata-kata kak Fais, mungkinkah ini akan jadi awal cerita antara kamu berdua lagi? Aku terus saja berkhayal, membayangkan pertemuan yang baru saja kami lakukan. Sungguh aku seakan berada di atas puncak yang tinggi dan takut menoleh ke bawah karena aku takut aku akan mendapati ragaku telah terkapar tak bernyawa. Sungguh tragis, pikirku. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Pandanganku menerawang ke atas langit-langit kamar dan seolah ada bayangan kak Fais tergambar dan menggantung di sana. Aku melemparkan senyumku pada sosok semu itu. “Kak, ternyata aku tak bisa melupakan kakak meskipun aku berusaha menyangkalnya dan menghamburkan kemunafikan ini pada setiap orang bahkan orang terdekatku.” Aku mendesah panjang mengucapkan kata-kata itu. Di dalam lamunanku,
aku
tersentak
kaget
ketukan
pintu
kamarku.
Aku
beranjak
membukanya. “Ah, kamu Rey, ada apa?” Rey adalah panggilan Reyta yang paling tak disukainya, katanya seperti nama cowok. Tapi tak kugubris omongannya. Aku bilang kalau aku sangat senang memanggil dengan nama itu, cukup unik. Lagipula gayanya kayak cowok alias tomboy. Dia memanyunkan bibirnya tanda protesnya lagi padaku. 54
“Cha, kamu darimana saja sih. Kayaknya sudah seminggu kali ya kita tak ketemu?sibuk apan sih?trus, sepertinya kamu baru pulang ya, darimana?” “Apaan sih Rey, pertanyaan mu itu panjang banget, harus jawab yang mana dulu ih?oya Uni kemana? Kok aku nggak mendengar suaranya?” Belum kujawab pertanyaannya, giliran aku yang bertanya ke dia. Tentu saja dia cemberut dan memalingkan mukanya. Aku menggodanya dengan berbagai cara agar memaaafkanku. Akhirnya, dengan sebatang coklat sebagai sogokan, dia langsung tertawa keras seperti biasa sih. “Cha, kamu belum jawab pertanyaanku, kamu darimana tadi sih?” rupanya Reyta penasaran banget dengan aku. “Kamu mau tau?” aku tersenyum genit padanya. Dia mendesakku dan memaksaku untuk mengatakan yang sebenmarnya. “Reyta sayang, aku baru saja bertemu dengan seseorang di MP.” “Siapa Cha?beritahu aku dong?” dia semakin penasaran saja. “Kamu pasti akan kaget mendengar namanya Rey, kak Fais, aku baru janjian dengannya Rey, kamu tau nggak dia makin cakep lho”, bersemangat banget aku menyebut nama kak Fais. “What? Aku nggak salah dengar kan Cha? Trus ngapain juga kamu ketemu dia, bukankah selama ini kamu menderita karena dia?“ Reyta tak percaya begitu saja dengan apa yang kukatakan
barusan. Dan kata-katanya seolah mengingatkanku
dengan sikapku selama ini. Aku hanya tertawa dingin di dalam hati, Ocha sekarang udah beda, pikirku. Reyta menatapku bengong dengan sikap diamku. Dia terus saja ngoceh tentang pertemuanku dengan kak Fais. Dan satu pertanyaannya membuatku terhenyak dan terhempas lunglai tak berdaya. “Ocha yang dingin, angkuh, sinis yang kukenal selama ini telah luluh dengan seorang kak Fais yang membuat dirinya hancur. Tak kusangka, perubahan yang cukup drastis sekali. Dalam sekejap, semua mendadak menghilang menghempaskan derita yang kau alami. Bagus sekali,” seolah tak ada beban, dia mengatakan semua itu 55
dan aku hanya tergugu mendengarnya. Pernyataannya adalah vonis mati bagiku saat ini. Aku hanya menyunggingkan senyum yang sangat tertekan dan penuh luka. Sesungguhnya aku sangat terluka mendengar ucapan Reyta, tapi apa yang dikatakan Reyta adalah benar semuanya Tak ada yang bisa kusangkal. Lagipula bukan kak Fais yang menyakiti aku selama ini, tapi aku sendiri yang tersakiti dengan permainanku sendiri di masa lalu. Setelah pembicaraan kami berakhir, Reyta meninggalkan kamarku tanpa tahu apa yang kurasakan. Aku kembali terpuruk dan menenggelamkan harapanku yang hampir teraih. Pheww. Apa yang telah kulakukan? Gumamku. Cinta membawaku pada sebuah Pertanyaan, pengharapan semu Bahagia sesaat tlah menghancurkan harapku Tak kupersalahkan siapa Yang aku aku, Penantian telah hampir terhenti Namun, Sekejap senyap meluluhlantahkan ronaku. *********
56
LIMA Aku tengah berdandan di depan cermin, mempersiapkan diri untuk ikut serta dalam Peksimidas antar mahasiswa. Yah, hari ini aku harus konsentrasi dan full dalam membacakan puisi . Tit…itit. HPku berbunyi dan sepertinya ada SMS yang masuk, kulihat layar, dari Iyan, kemudian aku membacanya. Cha, acaranya pkl berapa sih?aq tunggu di PKM saja yah bareng Wita, Ima & Ami? Cepetan dong.
Aku tersenyum lirih membacanya. Thanks ya atas perhatian kalian. Aku langsung saja membalas smsnya dan kukatakan kalo acaranya pukul 10 pagi . aku akui ada banyak hal yang aku dapatkan setelah bersahabat dengan mereka selain dari sahabat SMAku. Arti persahabatan sejati yang kutemukan dan cara memandang terhadap masa depan. Terutama Iyan, aku bisa berpikir dewasa karena dia. Ketulusan hati dan banyak lagi. Sahabat sejati yang akan selalu kumiliki, tempat berbagi suka dan duka. Aku tersadar dari lamunan dan segera beranjak pergi meninggalkan kamarku dengan sejuta harapan untuk dapat tampil prima dan terbaik. Memang sih, baru kali ini aku ikut lomba baca puisi selama jadi mahasiswa, jadi aku agak nervous. Di tambah lagi, saingannya adalah senior yang malang melintang di dunia perpuisian. Tapi, namanya juga mencoba dan berusaha, kalau kalah, yah nggak apa-apa sih. Kalau menang? Senang dong. Tapi, yang terpenting kan harus tampil yang terbaik dulu. Aku melangkah dengan penuh semangat menuju gedung PKM. Tempat berlangsungnya kegiatan tersebut. Terlihat banyak mahasiswa yang berseliweran ke sana kemari. Sepertinya mereka sibuk memepersiapkan diri juga. Aku memandangi mereka satu persatu. Tampak wajah tegang sepertiku, riang, ragu dan cemas. Dan, ada harapan di wajah-wajah itu. Tengah sibuk memperhatikan mereka, HPku 57
berbunyi keras yang mengagetkanku. kak Fais? bukankah dia sudah kembali ke tempat tugasnya? Tumben menelpon aku aku pikir, dia sudah melupakan aku setelah pertemuan siang itu. Lalu, sekarang
apa ya? Segera kuangkat dan menjawab
telponnya. “Halo, kak fais ya? Tumben nelpon aku, lagi kangen ya?” tanyaku “Aku emang tiba-tiba ingat kamu, gimana kabarmu Cha?” “Aku baik kok, kalo kakak bagaimana? Nggak terjadi apa-apa kan?” “Baik juga kok Cha, oya, kok rame sekali di situ, kamu lagi di kampus ya?” ”Iya sih, ada acara kampus, kak Fais di mana sekarang? Di Makassar ya?” tanyaku penuh selidik. Suaraku agak berat. Entah apa yang kurasakan sekarang, rindukah aku? Ada perasaan aneh juga sih. Dan entah mengapa, di lubuk hatiku yang paling dalam masih bergaung panjang memanggil namanya. Rasanya sangat teriris sakit. “Aku di Toraja sekarang, kebetulan bosku menugaskanku ke sini selama beberapa hari, Cha, gimana kabarnya yang lain? Titip salam yah buat mereka?” sangat jelas aku mendengar dengusan panjang kak Fais, seperti menggambarkan punya masalah yang berat. Aku tertegun seketika hingga kak Fais mengagetkanku. “Cha, kamu dengar aku kan?” tanyanya. “Iya kak, oh ya kak Fais belum jawab pertanyaan aku, ada apa menelponku? Pasti ada yang penting kan?” aku mencoba untuk tertawa menutupi kekacauan dan ketegangan hatiku. “Lho Cha, aku kan bilang kalo tiba-tiba ingat kamu aja, memangnya aku nggak boleh menelpon adik manisku ini? Atau ada yang marah ya?” “Ngak sih, kan Cuma nanya, kan kak Fais ke Makassar lagi, nggak kangen sama Ocha?” “Nggak pasti sih, soalnya aku nggak tahu setelah ini ditugaskan kemana lagi. Tapi nanti aku hubungi kamu kalo aku ke Makassar. Sudah ya, sepertinya bosku sudah marah-marah tuh. Salam tuk teman-temanmu, kamu juga.” Darahku berdesir setelah kak Fais mengucapkan dua kata itu. 58
Kak Fais menutup telponnya dan aku termangu di sini. Beribu tanya muncul di benakku dan kembali menerbangkan harapku. Aku masih menyimpan rasa yang cukup dalam buat kak Fais. Ingin sekali, aku mengetahui perasaan kak Fais yang sebenarnya. Setelah pertemuan itu, kami masih saling menghubungi via sms. Tapi, waktunya tak berselang lama, mungkin dia sudak capek atau aku yang masih kekanak-kanakan bila di hadapannya. Namun, sekarang kak Fais muncul lagi, sebuah tanda tanya besar bagiku. Dan mengapa aku tak pernah bisa memahaminya? Aku akui, aku selalu menanti telpon kak Fais. Aku tak bisa lepas dari dia, semakin dalam saja. Andai waktu masih bisa diputar kembali, aku tak ingin begini. Berada dalam ketidakpastian, hanyut dalam lara dan kehampaan. Namun, apa yang harus kulakukan, pesona kak Fais telah membuatku hampir gila dan mati rasa pada semua cowok. Aku masih termenung dan tak menyadarai kedatangan Iyan cs. Dia memegang pundakku secara mendadak hingga aku berteriak keras kerena terperanjat kaget. Kontan saja hampir seluruh mahasiswa yang ada di ruangan ini menoleh ke arahku. Aku hanya tersenyum pahit melihat sikapku yang memalukan ini dan Iyan cs hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan ketololanku. Hampir aku menimpuk kepala mereka satu persatu untuk membalas perlakuannya. “Cha, kok kamu nervous gitu sih?” tanya Iyan. “Nggak sih, aku hanya sedikit berpikir…..,” tak kulanjutkan ucapanku untuk membuat mereka penasaran “Berpikir apaan sih Cha?” “Nggak sebelum kalian datang, aku baru saja menerima telpon kak Fais dan ngomong sama dia, dia nitip salam buat kalian” “Trus kalian ngomong apaan?” Aku hanya tersenyum dan bilang nggak ada apa-apa yang spesial kami bicarakan. Kemudian aku mengajak mereka untuk duduk di barisan paling depan. Tentu saja hanya muka kesal yang ditunjukkannya padaku, tetapi
aku tidak
mempedulikannya. Satu persatu peserta telah menunjukkan aksi mereka dan tiba 59
giliranku yang dipanggil oleh MC. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan berjalan ke depan dengan langkah tegap. Iyan cs menyemangatiku agar menampilkan segala kemampuanku karena mereka yakin aku pasti bisa. Di atas panggung, kupandangi seluruh ruangan dan menghela nafas panjang dulu, kemudian aku membacakan puisi ‘IBU’, tanpa sadar airmataku berlinang selama pembacaan puisi itu. Seketika aku mengingat Bundaku yang bekerja keras untuk hidup kami. “thanks yah Bunda, puisi ini kupersembahkan buat Bunda,ucapku dalam hati. Gemuruh tepuk tangan penonton menyemarakkan ruangan PKM yang mulai agak gerah. Suasana hati peserta menjadi deg-degan menunggu keputusan dewan juri..Akhirnya, setelah lama juri berdiskusi, telah diputuskan yang berhak menjadi pemenangnya dan memanggil satu persatu yang menjadi pemenangnya. Aku hampir saja tak percaya ketika MC membacakan nana FAUZIAH RAMADHANI. Kontan temanku memelukku semua. Kegembiraanku tak terlupakan lagi. “Thanks ya say, semua ini berkat dukungan kalian,”ucapku tak dapat menahan tangis. Mereka menenangkanku dan mnyuruhku untuk naik ke panggung. Setelah di atas panggung, aku mengucapkan sepatah kata untuk sahabatku yang telah bersedia mendukungku sepenuhnya. Acara telah selesai, kami meninggalkan tempat itu dengan sejuta kegembiraan yang meluap-luap dengan kemenanangan yang pasti. Kugenggam erat dan apakah kemenangan-kemenangan yang lain dapat kugenggam erat juga seperti hari ini? “Cha, traktir kita ya?” “Baiklah kita ke warung Mbak Atik saja, yuk”. Dengan wajah penuh warna keceriaan, kami berjalan dengan penuh canda. Tiba di warung, pandangan kami edarkan ke seluruh sudut ruangan, mataku terhenti ketika ada meja kosong di sudut kanan. Kami segera ke sana dan memesan makanan . *** Sebuah amplop biru tergeletak di depan kamarku. Aku segera memungutnya dan membaca siapa pengirimnya. RAGIL WIBOWO? Bandung. Aku segera 60
membukanya. Ada apa ya Ragil mengirimiku surat? Bukankah dia sakit hati padaku? Dan menghilang tanpa kabar sedikitpun? Dan mengapa sekarang?
Dear Ocha januari 2005
Bandung, 15
Kerinduan di dada tak dapat kupejamkan hingga aku telah lancang untuk mengirimimu surat. Mungkini hatimu menggerutu padaku, tapi aku hanya seorang anak manusia yang tidak dapat menahan resah yang berkepanjangan yang kualami. Ocha, aku tak bisa munafik pada diriku bahwa bagaimanapun besarnya aku berusaha melupakanmu, semakin kuat cinta ini mengikatku. Ocha sayang, masih bolehkan aku memanggilmu dengan nama itu? Karena memang aku masih sangat sayang dan akan selalu sayang padamu hingga ujung waktu sekalipun. Aku tak kan pernah berhenti mencintaimu dan aku takkan lelah menunggumu. Ijinkan aku untuk menyayangimu lagi. RAGIL
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Sekejap pertahananku menjadi runtuh dan aku terhempas jatuh. Mengapa Ragil berbuat seperti ini? Tak puaskah dia dengan perlakuanku padanya? Begitu tuluskah dan besar cintanya padaku hingga merelakan hatinya sakit? Aku tak dapat mengerti semua ini. Dalam keadaanku yang seperti ini, Ragil masih menginginkanku, sementara dia tahu kalo aku menginginkan orang lain, kak Fais. Cinta memang membuat rumit. Ragil? Mengapa kamu begitu bodoh? Aku telah menyakitimu. Seketika airmataku berlinang. Aku menangis untuk siapa? untuk kesalahankukah? Atau untuk kebodohanku? atau mungkin untuk ketulusan Ragil? Aku memang tak pantas untuk siapapun. Aku masih terisak, ketika Uni telah duduk di sampingku dan membaca suratku. Dia memelukku dan mengatakan untuk bersabar. “Cha jangan nangis gitu dong, kamu kan kuat? Sejak kapan kamu mulai cengeng begini?” Tanya Uni dengan suara lembutnya berusaha menenangkanku dari kegalauan pikiran dan kekacauan hatiku. Belum sempat kuselesaikan urusanku dengan kak Fais tentang kejelasan hubungan kami, kini Ragil kembali menawarkan aroma mawar yang harum. Tapi apakah aromanya masih akan tetap mewangi ketika indra penciuman kita telah tak berfungsi lagi?
61
“Ni, aku nggak tahu harus ngapain lagi?”. Dengan mata sembab aku masih merangkul Uni. “Cha, sebaiknya kamu sabar dan seharusnya bahagia dong karena ada orang yang begitu tulus mencintamu dan ingin menerimamu apa adanya. Cha, lebih baik dicintai daripada mencintai.” Ucap Uni mengingatkan makna cinta. Aku hanya terdiam, bingung menentukan siapa yang paling tepat untukku. Memikirkan kata-kata Uni, sebuah pilihan yang sulit. Dalam kebingunganku, tibatiba SMS masuk. Cha, aq skrang ada diBbali, kamu mo pesan apa? Fais. Kak Fais? Aku kaget, secara beruntun datang padaku. Kutatap Uni yang sedari tadi menatapku juga. “Cha, kamu jadian lagi sama kak Fais?” “Nggak kok, kak Fais memang sering menghubungiku belakangan ini. Aku sangat bahagia, tapi aku takut suatu saat nanti aku akan kehilangan lagi” ucapku lesu. “Cha, kamu masih menyukai kak Fais kan?” “Iya, bahkan melebihi jiwaku. Aku masih selalu berharap dia akan datang dan mengatakan lagi’ aku masih sayang kamu Cha’, bodohkan Ni?” “Ocha, kamu jangan bermimpi terus dong, bukankah kak Fais juga masih menyukaimu hingga kini?” “Entahlah Ni, sikapnya memang keliatan. Tapi kamu tau sendiri kalo aku tak pernah bisa menebak isi hatinya, mungkin saja sekarang dia hanya menganggapku adik saja. Sakit kan,Ni, ?” dengan muka sedih dan segera kuhapus airmataku yang masih sembab di pipiku. “Ya sudahlah, berdoa sama ALLAH, akan memudahkanmu untuk mendapatkannya. Kamu percaya jodoh kan Cha?” Aku mengangguk ketika Uni mengatakan begitu. Segera kutulis SMS untuk kak Fais. Kak fais ga’ usah rpot. Thanx,kk’ hati2 saja di Bali. salam dari uni. Ocha
62
Menit-menit selanjutnya kami lancar berSMS ria dan Uni meninggalkankui. Sekejap, aku dapat menyingkirkan persoalan surat Ragil. Meskiun aku terbebani dengan semua itu. Tapi, aku mencoba untuk menikmati kebahagiaan sesalku dengan kak Fais. Aku semakin tak bisa melepaskan diri dari genggaman kak Fais yang telah kugenggam sendiri. Bahkan, aku semakin terhanyut dengan permainan ini. Hingga detik ini, kak Fais belum pernah menyinggung hubungan kami. Mungkin benar dugaanku kalo dia hanya menganggapku sebagai adiknya. Tak ada yang pasti bersama dia. Aku tak bisa menjadi bagian dari cintanya, tak ada tempat untuk itu. sementara ada yang begitu tulus mencintaiku, dan aku tak mengacuhkannya. *** Kuamati rak buku itu dengan seksama. Aku harus menemukan referensi tentang HIV-AIDS & NARKOBA secepatnya, sabtu besok akan ada pelatihan dan penyuluhan yang akan diadakan oleh MAPHAN (Mahasiswa Peduli HIV AIDS & NARKOTIKA). Dan aku belum menyusun materi untuk itu, aku akan jadi salah satu pembicara tentang itu di SMA 5 . Panitia sih yang memberikan tugas padahal baru berapa minggu aku jadi anggota. Kata kak Wana sih untuk melatih pengetahuan yang kuperoleh selama ini. Seraya mencari buku di rak kesehatan, lamat-lamat kudengar pembicaraan seru dua orang gadis di rak sebelahku. “ Ra, semalam kak Fais menelponku, katanya hari ini dia kan pulang dari bali,” ucap suara itu dengan semangat. “Oh ya? Trus, kamu akan jemput dia di bandara?” ucap cewek yang bernama rara. Eitss… bukankah Rara itu adalah pacarnya Ifan? Berarti cewek yang bersamanya itu adalah……?
63
“Katanya nggak usah pengertian soalnya beberapa temannya ikut juga!!” lho, mengapa cewek itu tahu banyak mengenai kak Fais? Mungkinkan cewek itu adalah pacar kak Fais??? “Lisa, kita ke toilet yuk, udah kebelet nih.” ajak temannya yang bernama Rara. Sepintas aku melihat kedua wajah cewek itu ketika melintas di depanku. Sangat cantik, putih dan langsing. Pantas saja kak Fais tergila-gila padanya. Aku hanya menelan air liurku. Terasa sakit dalam dada ini. Lalu, aku melangkah meninggalkan gramedia setelah membayar di kasir buku yang kubeli. Aku seolah ingin menanyakan pada gadis itu mengenai hubungannya dengan kak Fais. Namun, dalam sekejap, pertahananku menjadi runtuh, kepalaku menjadi pening, dan aku ambruk ketika melangkahkan kaki ke luar gramedia. Tak kurasakan lagi siapa yang telah menolongku. Dan setelah tersadar, aku memperhatikan seluruh ruangan yang di cat berwarna putih bersih, ada meja kerja, sepertinya ruang kerja. Terdengar langkah kaki menuju ke arahku, aku berpaling sedikit. Siapa dia? Pria berjas hitam dengan langkah tegap menghampiriku. Sepertinya berusia sekitar 25 tahunan. “Hey, kamu sudah sadar?’ sapanya padaku. “Iya, aku sekarang ada di mana? Anda yang telah menolongku? Terimakasih.” Aku berusaha tersenyum padanya. “Kamu ada di ruangan kantorku. Ruang di Rektur. Kamu masih di Mal.” Ucapnya dengan penuh wibawa dan sangat berkharismatik. “ Aku FAUZIAH RAMADANI, panggil saja Ocha” aku mengulurkan tanganku dan dia menyambutnya dengan uluran tangannya juga. INDRA, namanya, seorang Direktur muda Gramedia. “Bagaimana bisa anda menolongku?” “Kamu jatuh pingsan di depan Gramedia. Kebetulan waktu itu aku sedang mengawasi karyawanku dan sesaat aku memperhatikanmu yang berada di rak buku kesehatan. Hingga kamu keluar, aku terus memperhatikanmu, karena kamu oleng dan
64
akhirnya terjatuh, segera saja kusuruh pegawai lain mengangkatmu ke ruanganku ini,” ucapnya panjang lebar. “Maaf ya, aku telah merepotkan anda,” “Tak usah sungkan begitu, panggil aku Indra saja.” Perlahan-lahan aku beranjak dari kursi panjang yang empuk itu yang telah kutempati untuk berbaring. Dalam hati aku bergumam, ternyata ruangan bos begitu mewah. Setelah kuucapkan terimaksih, aku pamit pulang tapi dia mencegatku dan menanyakan nomor telponku. Kuberikan saja nomor HPku. Dan tanpa kutanya dia memberikan nomornya juga. Aku geli dalam hati. Di balik kharismatiknya, ternyata dia masih santai. Aku baru tahu kalo dia masih lajang ketika tanpa kutanya lagi dia mengatakannya sendiri. Aku meninggalkan Mal dengan membawa sejuta luka di hati. Tak dapat kuelakkan lagi betapa sakitnya kurasakan saat ini. Segera kusetop sebuah taksi untuk mengantarku pulang. Di dalam taksi pun aku sempat menangis dalam hati. Sakit. Perih. Dan kini aku di perbudak lagi oleh cinta. Aku tiba di rumah tepat pukul 17.30 wita. Sepi sekali. Ke mana semua orang, tapi kak Ani juga yang biasanya keras tak terdengar dan yang lain tak keliatan batang hidungnya, biasanya sore begini mereka telah ngumpul di ruang tamu untuk minum teh bersama. Aku berlekas mengganti pakaianku. Penat sekali, rasanya ingin mandi satu bak agar kepenatan pikiran dan tubuhku bisa lenyap. Byuur…..!!!! kubasahi rambutku dengan air bak yang cukup menusuk kulit, dingin. Ringan sekali. “Mengapa kak Fais selalu menyakitiku? Memberiku harap dan khayal yang tinggi, aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Meskipun di hatiku, seluruh ruangnya telah terisi penuh oleh bayangnya, bukan berarti aku harus mempermainkan diri sendiri. Aku harus ngomong ke dia”. ucapnya bergumam sendirian. Setelah menunaikan shalat Isya, aku berbaring di tempat tidur sambil memainkan HPku. Masih ragu aku untuk mengirimkan sms pada kak Fais. Tapi segera kutepis pikiran-pikiran itu dan menulisnya juga. 65
Kerinduan selalu menghentak dada yang terbalut sepi. Apakah sebuah kata maaf tak cukup berarti untuk salah yang tak berujung makna?resah selalu mengikutiku dan menanyaiku sebuah Tanya yuang tak bisa kujhwb. Akankah rasa itu dapat melebur ke dlm sukmaku ketika kepastian tak kunjung teraih?. Ocha.
Tit….tit. SMSku telah terkirim dan aku jadi deg-degan sendiri. Tak berselang lama, HP bergetar keras. Ada telpon yang yang masuk. Kuperhatikan layar HP ku. Nama kak Fais tertulis di situ. Segera kuangkat. “Halo, Cha, apa maksud kamu sih nulis sms seperti?” langsung menanyaiku. “Kak Fais nggak ngerti ya? Coba deh dibaca ulang lagi, pasti kak Fais bisa memaknai isinya? Ucapku dengan nada sinis padanya. “Maksud kamu apaan Cha? Kepastian tak kunjung teraih, kalimat apaan itu? kamu semakin membuatku bingung Cha” ucapnya dengan nada serius. Dengusan nafasnya terdengar jelas di telingaku berulang kali. “Sudahlah, kak, mendingan kak Fais baca ulang lagi dan maknai baik-baik, setelah itu telpobn aku lagi ,” aku segera mematikan Hp, tak kupedulikan pa katanya nanti. Perasaanku yang membabi buta padanya semakin membuatku berani berbuat kasar seperti itu. entah mengapa angkuhku kembali menyeruak ke permukaan. Aku beranjak dari tempat tidur dan menyalakan layar monitor komputerku. Tanganku seolah gatal ingin menulis sesuatu, lagipula aku harus menyusun materi untuk besok. Namun, aku membuka file diary-ku dan menuliskan sesuatu lagi. Dear diary 17 januari Saat kerinduan bercerita dengan keresahan, berbagai rasa berbagi menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk. Kerinduan selalu inginmenang dalam segala waktu dan tempat di setiap sudut dalam raga ini. Sementara keresahan berkelana menjauh dari jiwa-jiwa yang terbalut sepi. Tapi hanya sekejap ‘dia’ kembali lagi menawarkan racun yang merasuki hati dan pikuiranku. Ingin dihempas jauh, semakni kuat tarikannya. Aku hampir berputus asa, namun rasa yang besar di hatiku bergema indah mengiringi gaung-gaung kehampaan. Tak dapatkah salah satu mengalah? Agar bunga yang hampir layu itu dapat mekar kembali bersama alunan cintamu yang deras mengalir di dalam kalbuku.
Kuhentikan tanganku bermain di atas tuts tut computer. Aku tersenyum perih menahan sakit di hatiku, segera ku save. Kemudian aku segera mengambil buku yang
66
kubeli tadi untuk menyusun materi tentang HIV AIDS. Aku harus menyelesaikannya malam ini. Tak terasa waktu terus saja berlalu dan jam dinding yang terpampang di dindingku dengan setia berdetak begitu keras. Kulirik dan astaga!!! Sudah pukul 12 malam. Sudah larut begini, pantas saja tak kedengaran suara-suara yang lain. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi aku segera menyelesaikannya dan setelah itu ngeprintnya. Ada 10 lembar, cukup banyak juga, setelah mnyusunnya rapi di atas mejaku. Aku menghampiri tempat tidur. Pikiranku menerawang ke atas sana, aku tak boleh berpikir-pikir macam-macam. Aku harus konsentrasi untuk penyuluhan besok yang kubawakan untuk anak SMA 5 . *******
67
ENAM Sambutan siswa SMA 5 terhadap pelatihan dan penyuluhan HIV AIDS dan NARKOBA yang kami laksanakan sangat antusias sekali. Terbukti dengan banyaknya siswa yang bertanya dan menanggapi materi itu. Sungguh, sebuah kejutan yang luar biasa sekali, semua berjalan lancar dan di luar dugaan. Kehangatan yang mereka berikan membuatku lebih bersemangat dan melupakan masalah yang kualami. Aku menoleh
ke arah seniorku dan mereka mengacungkan jempolnya
padaku, aku hanya tersenyum pada mereka. Aktivivitasku yang menyita waktu seharian ini membuatku sedikit penat, namun semua itu tak menggoyahkan niatku untuk menyelesaikan penyuluhan ini hingga tuntas. Aku sangat bahagia sekali dengan apa yang kulakukan, sesaat keangkuhan hatiku menghilang bersama kehangatan yang ditunjukkan oleh siswa SMA itu. “Ocha, sukses ya pelatihan tadi, animo dan ambisi siswa sangat besar sekali. Aku tak mengira semua akan berjalan lancar seperti ini. Ternyata aku tak salah memilihmu untuk bergabung dalam organisasi ini” ucap kak Wana yang telah berada di dekatku ketika aku membereskan barang-barang. “Iya kak, Ocha juga nggak nyangka akan sesurprise ini, semua ini berkat kakak yang telah membimbing Ocha”. “Ocha, bukan kami, tapi kerjasama kita dan semangat kamu yang besar juga” kak Wana menimpali ucapanku, kemudian dia berlalu dari hadapanku meninggalkan aku yang sibuk membenahi semua perlengkapan acara. Acara telah selesai dan aku tersenyum puas, namun seakan ada yang membungkus senyumku dengan perih.
68
Apalagi yang kurasakan ini? Mengapa aku tak pernah bisa lepas dari perasaan seperti ini? Sesaat sebelum meninggalkan gerbang sekolah, terdengar suara seorang gadis memanggilku dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan dia sudah menghampiriku dengan seulas senyumnya yang manis. “Kak Ocha, boleh aku main ke rumah kakak? Aku suka kakak membawakan materi itu dan aku ingin menanyakan banyak hal pada kakak, bolehkan?” “Kalo kamu berminat, kamu jalan-jalan saja ke sekret kakak di kampus, kamu tau kan kampus kakak, kami akan senang sekali, sudah ya kakak pulang dulu, ini alamat dan telpon kakak, kalo kamu ingin menghubungi kakak”. Aku berlalu dari hadapan siswa SMA itu yang bernama Ratih. Di dalam mobil yang kutumpangi pulang, aku termenung sendirian, mengingat kejadian di sekolah tadi, ternyata dalam keadaanku yang sedikit limbung, aku masih bisa memberikan yang terbaik buat orang lain. Dan memikirkan peristiwa semalam membuat hatiku miris dan tak berdaya. Mengapa kak Fais tak membalas smsku? Mungkinkah dia sudah mengetahui maknanya dan berbalik marah padaku?. Mengapa aku selalu saja memikirkan dia? Aku terobsesi padanya. Bep!...bep!!! Alarm HPku berbunyi, mengingatkanku tentang kuliahku jam 3 nanti. Aku lekas mematikannya. “Siapa Cha?”tanya kak Wana. “Bukan siapa-siapa kak, hanya alarm saja, aku ada kuliah hari ini, maaf ya kak, aku tak bisa kembali ke sekret, besok saja aku ke sana” “Ya sudahlah, nggak apa-apa, makasih ya?” Sesampainya aku di kampus, suasana kampus sudah sangat sepi. Banyak mahasiswa yang sudah pulang karena mungkin sudah tidak ada mata kuliah lagi. Mataku liar mencari Iyan cs serta teman-teman yang lain. Ke mana mereka semua? Kelas kok kosong begini. Kulirik jam tanganku, lewat 10 menit. Mengapa mereka belum datang semua? Pikirku. 69
Tit…tit.. Cha, aq lupa bilang kalo pak mus ga’ masuk hari ini. Cuma tugas kok, kmu bisa ke rumah mengambilnya. Iyan.
Sialan.. kenapa mereka baru mengatakannya sekarang? Tanpa buang waktu lagi, aku bergegas ke rumah Iyan yang tak begitu jauh dari kampus. Tiba di sana, ternyata pada ngumpul semua. Mereka ngerjain aku nih, rupanya senyum kan yang terhias di bibirku mereka. Uh…aku kesal dipermainkan seperti ini. “Apa-apa sih kalian, kenapa tak bilang kalo pak Mus nggak jadi datang? aku kan bisa langsung pulang istirahat. Aku capek tau!!!”. “Maaf…maaf deh, kita juga baru tau kok siang tadi” Wita menimpali. “Mana tugas pak Mus, sini aku mau pulang saja, lelah tau” kumanyunkan mulutku. Iyan memberikan tugas itu dan mengatakan kalo lebih baik aku mengerjakannya di sini saja biar lebih ringan. Setelah pikir-pikir, aku setuju juga dengan idenya. Di tengah kesibukan kami kerja tugas dan berceloteh ria,
mendadak Iyan
menanyaiku . “Cha, gimana hubunganmu dengan kak Fais? Dia nggak pernah nelpon lagi?” aku tersontak kaget mendengar pertanyaan ian, kontan saja Iyan dan yang lain kaget juga melihat reaksiku hebat begitu. “Ya, biasa saja kok, sepertinya kak Fais hanya menganggapku adik saja. Dan kemarin aku bertemu dengan pacar kak Fais,” ada perih yang tersimpan setelah menyebut nama pacar kak Fais. “Apa? Pacar kak Fais?” seolah dikoor, kompak mengatakan kalimat itu. “Cha, kamu tidak berusaha menanyakan sendiri pada kak Fais tentang perasaanmu dan perasaannya? Atau gimana kalo kamu sms dia sekarang.” “Nggak ah, masak aku duluan, norak tau?!!” kutolak ide gila Iyan yang di iyakan oleh Ami dan Ima.
70
“Cha, hari gini masih norak-norakan? Nggak pantas lagi tau?!! Sekarang cepat kamu sms dia atau aku yang akan sms.” Ancam Iyan yang memolotiku. Dengan sedikit jengkel aku mengiyakan ide gilanya itu. kak fais, gimana kabarnya?Ocha mo bilang kalo Ocha sayang kk’, apa kak fais juga masih sayang sama Ocha?
Tit..tit..ti..!! SMS telah terkirim. Aku jadi deg-degan lagi. Apapun jawabannya nanti, aku harus menguatkan hatiku dan berbesar hati untuk menerima keputusannya. Tak berapa lama kemudian, balasan SMS kak Fais masuk. Ocha sayang, kk’ sangt sayang kamu dr dulu hingga sekarang. Tapi kk’ menyayangi kamu sekarang sebagai ‘adik’ manis kk’. Kk’ minta maaf ya ats semua yg tlah kulakukan. Maksih juga ats perhatianmu selama ini. Kk’ hanya berpesan’ carilah teman yang baik yg bisa membahagiakanmu. Jangan marah ya. Aku sayang kamu. Miss U. fais.
Cukup panjang isi SMS kak Fais. Cukup menyayat hati. Aku hancur berkepingkeping. Penantian yang cukup panjang harus terhenti sampai di sini. Aku langsung memeluk erat Iyan, sementara yang lain memelukku dari belakang. Pertahananku runtuh. Apa yang telah kupertahankan selama ini tak ada artinya tadi. Ternyata aku memang hanya seonggok debu yang siap diterbangkan angin kapan saja. Aku terus saja menangis. Menangisi kebodohanku yang terlalu setia menantinya. Aku selalu yakin pada hatiku bahwa dia akan kembali dan tak pernah melupakan kisah cinta kami. Tapi apa yang terjadi? Aku larut dengan pesonanya, menenggelamkan namanya di hatiku. “Cha, kamu sendirikan yang pernah bilang ke aku kalo cowok tak pantas di tangisi. Lalu mengapa seorang Ocha yang tegar, tiba-tiba runtuh” Iyan terus saja membujukku. “Bukan Iyan, aku menangis bukan untuk dia, tapi kebodohanku, keangkuhanku yang telah kupertahankan
kepada cowok lain yang telah tulus
mencintaiku sekarang tak ada artinya lagi.” Aku masih terisak menampik ucapan Iyan. 71
“Ya sudah dong, kamu tidak bodoh kok, hanya saja cintamu untuk dia terlalu dalam dan besar.” Aku menghentikan tangisku dan segera menghapus airmata yang tersisa di pipiku. Kucoba untuk tersenyum pada mereka dan meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja dan tidak perlu terlalu khawatir. Tidak ada yang perlu ditangisi, Ocha sekarang memang lemah dan tak berdaya. Menjelang petang, kami berpamitan pulang dan Wita mengantarku pulang dengan motornya. Berkali-kali dia menasihatiku agar tak larut dalam kesedihanku. Aku berusaha akan tegar dan tak ada yang boleh mengetahui kehancuran hatiku, terutama orang di rumah nanti. Tiba di rumah aku tak dapat menahan tangisku. Dengan menelungkupkan wajahku di bantal, aku menangis sepuasnya. Untungnya kak Ani tidak ada di kamarnya sehingga tak mendengar tangisanku. Adzan Maghrib di masjid telah menghenyakkanku dan menyadarkanku dari kebodohan yang kulakukan. Aku segera bersuci dan menunaikan shalat setelah shalat aku menulis di selembar kertas dan segera kutempel di papan jadwalku. 18 JANUARI AKHIRNYA, AKU TELAH MENEMUKAN JAWABAN DARI TEKATEKI YANG SELAMA INI MEMBINGUNGKANKU. MAKASIH TELAH MEMBUATKU SADAR UNTUK TAK MENCINTAIMU LAGI. AKU AKAN BERUSAHA MELUPAKAN KK’ WALAU KUTAHU ITU AKAN SULIT KULAKUKAN. NAMUN, AKU SANGAT BERHARAP AKU MAMPU MELAKUKANNYA. TELAH TERBESAR
MENCINTAIMU DALAM
HIDUKU,
MERUPAKAN TAPI
KEBAHAGIAAN
MELUPAKANMU
ADALAH
KEBAHAGIAAN TERBESAR YANG INGIN KURAIH SECEPATNMYA. AKU TAK INGIN MENANGIS LAGI UNTUK KESEKIAN KALINYA HANYA KARENA SESUATU YANG TAK PANTAS DITANGISI DAN MEMBUATKU LALAI TERHADAP BANYAK HAL SATU HAL YANG 72
PERLU
KUUCAPKAN:”
MELULUHLANTAHKAN
SELAMAT,
ANDA
TELAH
BERHASIL
AKU DENGAN PESONA DAN CINTA YANG
KAU MILIKI.”
TEGARLAH OCHA SAYANG!!!!!!! cinta menjauh merengek peduli apa cinta datang meluruhkan rasa yang telah hamper mati melebur sukma pada jiwa *** Semakin hari kondisi bathinku tak dapat kutahan lagi. Aku hampir tak bernyawa lagi. Kesedihan yang membelenggu ragaku membuatku terhempas jauh. Aku tak bisa melupakan kak Fais dalam waktu sekejap. Meskipun aku selalu berusaha untuk melakukan semua itu, selalu saja bayangannya mengikutiku. Sejak kejadian itu, aku jarang ke luar kamar dan mengobrol dengan orang-orang rumah. Aku seolah bisu dan menjadi patung. Keadaanku membuat Uni dan yang lain bingung dan jengkel padaku. Aku tahu mereka jengkel, dari sorot matanya, sikapnya padaku, tapi aku tak bisa mnyalahkan mereka, justru akulah yang cukup bersalah. Aku tak bisa menceritakan keadaanku pada siapapun, karena mereka pasti menertawakanku. Dengan berusaha menyembunyikan diri dan meyakinkan diriku untuk tegar seperti batu karang. Tak kupedulikan suara-suara sumbang di dekatku. Aku terus berjalan mengikuti langkahku sendiri. Aku memang tak berdaya. Aku memendam perasaan dan sakit hatiku sendiri. Selalu menangis sendirian dan tak boleh ada yang tahu. YA ALLAH mengapa aku seperti ini? Aku tak tahu harus melakukan apa? 73
Kebisuanku pada orang-orang rumah membuat hati mereka panas. Tapi, aku tak peduli. Meskipun tak seperti sebelumnya, aku berusaha berkomunikasi dengan mereka dan dengan risiko menanggung kejengkelannya padaku. Suatu hari, saat aku sedang berada di kamar, Uni mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus air mataku dan segera memoleskan bedak putih agar aku tak ketahuan aku telah menangis. “Ada apa Ni?” tanyaku berdiri ada pintu setengah terbuka. “Nggak, aku boleh masuk?’ “Oh iya silahkan.” Agak kaku komunuikasi yang terjalin diantara kami “Cha, kamu baik-baik saja kan? Kamu berubah sekali, bukan Ocha yang dulu lagi, apa yang tejadi padamu?” Aku hanya tersenyum miris, sebisa mungkin aku menyembunyikan luka di hatiku. Kalo tidak, aku hanya akan merepotkan uni dan lainnya kalo mengetahui kondisi bathin yang kualami. “Nggak apa-apa kok Ni, aku hanya lelah karena banyak tugas belakangan Ni dan pusing memikirkan kegiatan organisasiku. Nggak perlu khawatir ya” aku mencoba meyakinkan Uni dengan kata-kataku. “Oh begitu?!!” hanya ucapan singkat itu yang keluar dari bibir Uni. Aku tahu dia tak puas dengan jawabanku, lalu, Uni meninggalkan kamarku dan kembali aku tenggelam dengan luka bathinku. Mengapa aku selemah ini? Aku ingin tegar, tapi mana? Aku hanya semakin tenggelam ke dasar samudra yang paling dalam. Maafkan aku Uni, tak bisa mengatakannya padamu. Mudah-mudahan kamu masih menganggapku sahabat yang baik meski pada dasarnya aku tidak baik lagi. Aku melewati hari-hariku dengan kebekuan hati, kehancuran yang telah menyayat hati dan cinta yang telah memporakporandakan tubuhku. Ke mana keangkuhan, sinis, dan kepicikan terhadap cinta yang kumiliki selama ini? Mengapa menghilang tanpa meninggalkan sisa? Sebulan kemudian…..
74
Minggu pagi, seperti biasa aku melakukan jogging ke pantai. Rutinitas yang tak bisa kutinggalkan dan menjadi salah satu alternatif kesembuhan derita yang kualami. Aku mencoba bangkit sedikit demi sedikit dari reruntuhan ini. “Rey, kamu nggak perhatikan aku ya? Selama 2 hari ini, aku merasa kok bibirku miring begini?” dengan suara berat, aku menjelaskan keadaanku pada Reyta yang sejak tadi diam tak mengacuhkanku. “Rey, kamu dengar nggak sih? Aku mulai jengkel dengan sikapnya. “Ya, aku dengar, kamu nggak nyadar yah, mungkin saja akibat kekakuanmu bicara dengan kami selama ini. Yah, anggaplah sebagai hukuman tuhan terhadapmu.” Deg..!!! ringan sekali bibir Reyta mengatakan seperti itu. aku memang bersalah pada mereka dan jarang berkomunikasi. Tapi, apakah semua urusan pribadiku mesti kubeberkan pada mereka? Aku juga punya privasi dong dan hakku untuk tak berkatakata. Egoku menyeruak. Meski ucapan Reyta cukup membuat ku terhempas, tak kupeduli. Tanpa berkata-kata, kami berlari menyusuri jalan raya yang masih agak lengang dari kendaraan, namun telah dipadati oleh pejogging-pejogging. Hingga kami tiba di rumah pun, tak ada yang berkata-kata, kelihatannya kejengkelannya padaku semakin menjadi-jadi. Bilakah luka kan cair? Kala bara api semakin besar Perih Kian menyayat Mengalahkan segala rasa Mati Pekat Kian tampak Mengikuti baynag gelap Menyusuri cinta Kian tenggelam Biarkanku tapaki jalan berterjal Meski kaki kian terseok Tersandung granat kebencian 75
Ingin kupadamkan Tak cukup gletser mencair.
*** Akhirnya dengan berat hati, aku terpaksa pulang ke rumah Bunda. Meski sebenarnya aku tak ingin Bunda mengetahui penyakitku ini. Aku pamit pada Uni, kukatakan mungkin selama 2 minggu aku akan nginap di rumah. Yah, sampai penyakitku sembuh dan kembali seperti semula. Dalam perjalanan pulang. otakku berputar memikirkan masalahku yang berlalu. Terlalu angkuh diriku untuk mengatakan pada semua orang bahwa aku sakit hati. Aku tak sanggup mengakuinya di hadapan mereka, meski mereka juga sakit atas sikapku ini. Aku tiba di rumah dengan perasaan berat. Segera kubayar taksi itu dan melangkah masuk ke rumah. Ting..tong!! kubunyikan bel rumah. Tak ada sahutan dari dalam. Berkali-kali aku membunyikan bel, tapi Bunda tak mendengarnya. Ke mana Bunda? Pikirku. oh ya aku ingat, kalo Bunda pergi, biasanya dia menyimpan kunci di bawah batu dekat bunga, katanya sih, berjaga-jaga kalo aku mendadak pulang seperti ini. Dan tak ada yang tahu selain aku dan Bunda, tentunya. Segera kuangkat batu itu. Dan, ALHAMDUILILLAH, Bunda masih menyimpannya juga. Gumamku. Tanpa ba bi bu lagi, aku segera membuka pintu rumah. Sunyi sekali. Ah, Bunda kemana sih? Pasti ke rumah tante mirna untuk bergosip ria, uh dasar Bunda. Aku menuju kamarku dan segera kuhempaskan tubuh lelahku di atas kasur empukku. Sudah sebulan lebih aku tak menengok Bunda, tapi beberapa kali sih aku selalu menelponnya atau Bunda yang menelponku. Kalau tidak begitu, Bunda kan ngomel panjang memarahiku karena mengkhawatirkanku. Tak terasa, aku terlelap dan terbuai mimpi. Aku melihat sosok kak Fais melambaikan tangannya dari arah jauh dengan tersenyum manis seraya meneriakkan” selamat tinggal Ocha” aku segera mengejar dan menjulurkan tanganku untuk diraih
76
olehnya. Tapi dari arah lain, justru tangan lain yang berusaha ingin meraih tanganku, namun, mengapa tanganku tak sanggup meraih keduanya. Menggenggam pun tak bisa. Apa arti semua ini? Aku terbangun dari tidurku, sungguh mimpi buruk bagiku. Kulirik jam dinding yang setia menemani kamarku kala aku tidak ada. Astaga!!! Pukul 5 sore, aku belum menunaikan shalat Ashar. Segera kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk membersihkan pikiran-pikiran buruk di kepalaku. Dalam shalatku, aku bermunajat panjang pada yang MAHAKUAT untuk memberikanku kekuatan dalam ketakberdayanku. Aku telah runtuh dan tak tahu harus bangkit dari sisi mana. Aku memang pengecut, tak bisa menceritakannya pada sahabat-sahabatku. YA ALLAH apakah hambamu ini salah? Hamba hanya tak ingin merepotkan mereka, namun mereka malah memusuhiku atau aku yang bersikap seperti musuh? Tak terasa airmataku berlinang, kepalaku terasa pening sekali. Ada banyak yang berseliweran di depanku. Sosok kak Fais yang tersenyum penuh kemenangan, wajah-wajah murka orang terdekatku, dan tataan lembut Ragil. Mengapa tiba-tiba aku merindukan sosok Ragil? Kemanakah kamu sekarang Ragil? Aku sudah kalah sekarang. Aku tak menyadari kalo Bunda sudah berada di belakangku. Berdiri dan menatapku penuh iba. Tanpa berucap apapun, segera kupeluk Bunda dan menangis sejadi-jadinya. “Ocha, kenapa kamu sayang?” “Nggak apa-apa Bunda, Ocha hanya kangen saja sama Bunda,” dengan bibir miring aku mengatakan apa adanya pada Bunda. Bunda melepaskan pelukannya dariku dan menatapku lekat-lekat. Seribu pertanyaan tergambar di sorot mata Bunda. Aku hanya menunduk tak tahan melihat tatapan itu. ”Cha, kenapa mata kamu sayang?” sambil memegangi mataku yang sebelah kanan.
77
“Nggak kok Bunda,” aku mencoba mengelak, tapi Bunda malah mendesakku. Malahan dia memegangi bibirku. “Astaga, bibir kamu juga kenapa sayang?” Bunda kaget banget. Aku menggeleng kuat, namun Bunda mendesakku lagi. Akhirnya kukatakan kalo sudah 2 hari keadaanku seperti ini. “Astaga!!!! Kenapa tidak kemarin sih?” “Ocha juga baru nyadar kok pagi tadi.” “Kamu pasti terkena ‘angin hantu’ !!!!” angin hantu adalah nama penyakit yang dipercayai oleh orangtua sebagai guna-guna orang lain yang berniat jahat pada kita dan dikirimkan pada subuh hari. Cirinya sebagian anggota mati rasa. “Bunda apaan sih, hanya penyakit beginian kok”. Aku menampik pernyataan Bunda. “Kamu tuh kalo dibilangin sama Bunda nggak percaya. Sebentar malam Bunda antar kamu ke di dokter praktek dulu, kalo tidak ada hasilnya, kita ke rumah teman ayah kamu yang pandai mengobati penyakit beginian” *** Suasana rumah indekosanku riuh sekali. Uni, Reyta, kak Ani dan kak Rima sedang berkumpul di ruang tamu. Mereka tampak berdebat satu sama lain. Reyta berdiri dan menuju ke kamarku, ada sesuatu yang dibawanya dari dalam, selembar kertas yang telah kutempel di papan jadwalku. Duplikat kunciku memang ada sama dia, jadi leluasa . “Liat ini, coba kalian baca isinya,” ucap Reyta menyerahkan kertas itu pada Uni secara bergantian . Astaga!!!!!! “Rupanya ini yang menyebabkan Ocha berubah drastis sekali. Pantas saja kelakuannya seperti itu” kak Ani membuka mulut
78
“Iya ya, kenapa dia tak pernah mengatakannya pada kita? Biasanya kan dia selalu terbuka pada kita.” Kak Rima berkomentar pula. Uni dan Reyta saling berpandangan. “Uni, Rey, kalian juga tidak tahu ini?!! Bukankah kalian berdua sangat dekat?” kak Ani mengernyitkan keningnya. Kami tak langsung menjawab. “Kak, aku pernah tanya ke Ocha kok tentang masalahnya, tapi dia bilang nggak apa-apa.” “Kenapa anak itu jadi seperti ini yah? Dia sendiri kan yang bilang kalo persetan dengan cinta, cinta itu malapetaka. Tapi, sekarang? Dia emang munafik,: ujar kak Ani dengan kejengkelan yang membara di dalam dadanya. “Sudahlah kak, mungkin dia pikir, ini yang terbaik baginya” Uni meredakan emosi kak Ani. “Bukan begini caranya, kalo dia ingin tegar dan berjalan sendiri, it’s okey. Tapi sikapnya itu yang membuat kita jengkel. dia seperti memusuhi kita dan selalu mengurung diri di kamar. Bukankah lebih menunjukkan kelemahannya? Giliran kak Rima yang marah-marah. “Atau begini saja, kita buat kesepakatan bersama, kalo Ocha pulang nanti segera kita sidang dia dan bicarakan ini. Aku yakin, sakitnya ini adalah pengaruh dari itu semua..” yang lain pun menyetujui ide kak Rima. Akhirnya mereka bubar, tinggal Uni dan Reyta yang saling berpandangan. “Ni, sebaiknya kamu telpon Ifan dan Ichal, beritahu dia kalo Ocha sakit, maukan?”. Setelah berpikir, Uni mengangguk. ####### WARTEL AINUL, PUKUL 20.10 WITA “Halo, Assalamu Alaikum, bisa bicara dengan Ifan?” Tanya Uni pada suara wanita di sebrang sana.
79
“Iya, siapa nih?” Tanya balik suara itu tanpa menjawab salamku terlebih dahulu. “Uni” jawabnya singkat. Wanita itu memanggil Ifan dengan setengah teriak. Terdengar langkah kaki Ifan mendekati telpon dan mengucakan thanx pada mamanya. “Halo say, apa kabar? Tumben nelpon aku, kangen ya? Tanya Ifan dengan nada genit. “Apaan sih Fan, aku cuma mo ngabarin kalo Ocha sakit!!” ucap Uni jengkel. “Apa? Ocha sakit? Kapan Ni?” pertanyan Ifan memberondong Uni. “Astaga Ifan khawatir banget ya sama Ocha?” Uni tertawa mendengar reaksi Ifan. Segitunya. “Ya, iya dong. Kita kan sobatan, nggak salahkan? sakit apaan sih Ocha?!!” “Entahlah Fan aku juga tak tahu. Sebulan ini dia sangat berubah banget. Dia menjadi tertutup pada aku dan lainnya. Oya, aku lupa bilang kalo dia sakit kena ‘angin hantu’ katanya.” “Ocha ada masalah ya?” Tanya Ifan mulai kedengaran serius. “Ya, serius banget Fan. Aku mo nanya sama kamu, gimana hubungan kak Fais dengan Ocha?” ‘Lho, apa hubungannya dengan kak Fais? Bukankah mereka lanjut?” “Aku pikur juga begitu. Tapi setelah Ocha pulang, kami menemukan selebaran kertas yang isinya mengenai kak Fais”. Cukup lama pembicaraan antara Uni dan Ifan. Ifan bilang akan menjenguk Ocha di rumahnya dengan Ichal. Tapi, Uni melarang dan menunggu kedatanganku saja. *** “Ocha bangun dong sayang, sudah pukul 5 subuh nih, kamu nggak shalat?” dengan mata masih terpicing, aku menjawab Bunda. “Shalat dong Bunda”. 80
“Kalo gitu bangun dong, bukankah pagi ini kamu akan ke rumah pak Iman lagi?” Astaga!! Aku harus buru-buru nih, kalo tidak pak Iman bakalan pergi lagi dan aku tidak akan ketemu lagi seperti kemarin pagi. Setelah shalat subuh, aku segera mengeluarkan Polygonku dan mengayuhnya dengan cepat. Dinginnya udara pagi menusuk kulitku. Segera kurapatkan sweaterku dan mengikat erat scraft yang kugunakan untuk menutupi mukaku kecuali mata aku pake’ kacamata. Aku tiba di rumah pak Iman tepat waktu. Baru saja aku menyimpan Polygonku, pak Iman sudah mau Akan berangkat. Untung saja istrinya yang baik itu menyuruhnya untuk mengobatiku dulu. Pak Iman mempersiapkan obatnya yaitu merica dan minyak kayu putih. Panas kan, bayangin nggak?1. “Nak Ocha, gimana perasaanmu sekarang? Udah merasa lebih baik?” tanya ku pada pak Iman. “Lumayan pak” “Insya ALLAH 2-3 hari lagi akan sembuh, bersabar saja.” Setelah mengucapkan terima kasih aku pamit pulang pada kedua orang tua itu. dengan bernyanyi-nyanyi kecil aku mengayuh sepedaku sepanjang jalan raya yang masih basah oleh tetesan embun. Kupeluk Bunda dari belakang. Aku bahagia sekali. “Ada apa sih Cha, senang banget?!” tanya Bunda heran. “Ya dong Bunda, bentar lagi Ocha kan sembuh,” “Oh ya?? Baguslah. Tadi teman kamu nelpon, namanya Iyan. Siapa sih?” “Teman kuliah Ocha, trus Iyan bilang apa Bunda?” “Dia nanya kamu, kenapa nggak masuk kuliah, apa kamu sakit ? Bunda bilang dong kalo kamu sedang sakit.” “Makasih ya Bunda, Ocha ke kamar dulu”
81
Selama seminggu lebih di rumah, aku tak pernah menghubungi siapapun. HPku pun seringkali ku nonaktifkan. Bukannya tak ingin dihubungi, hanya saja aku tak ingin yang lain mengkhawatirkanku. Sebenarnya kangen juga sih sama mereka. Sejujurnya aku telah membohongi banyak orang. Bahkan Bunda ku juga. Aku sadar kok kalo penyakit yang kuderita ini adalah stroke di usia dini. Aku dengar itu ketika Bunda mengantarku ke dokter, Bunda sih tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter, tapi aku sedikit banyak percaya setelah memikirkan semuanya. Separah inikah aku? Aku mendesah mencoba mengeluarkan beban yang ada di dalam ragaku. Sedikit demi sedikit, aku mampu melupakan kak Fais, meski belum sepenuhnya. Namun, setidaknya aku dapat bangkit kembali dari mimpi buruk ini. Banyak hati yan tersakiti dengan ulahku ini, tapi tak sepantasnya mereka memvonis mati dengan wajah-wajah murkanya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengambil HP yang kuletakkan di dalam lemari. Segera saja kuaktifkan, pasti banyak mailbox dan memenuhi kotak masukku. Ting..!! HP ku aktif kembali, astaga banyak sekali pesan yang masuk dan mailbox. Gimana nggak, selama seminggu aku tak menyentuhnya. Kubuka satu persatu, Iyan menghubungi beberapa kali dan lainnya juga. Ada juga SMS kak Wana menanyakan kabarku mengapa tak pernah muncul ke sekret. Lalu, aku menghubungi mereka satu persatu. Pertama Iyan, aku bilang kalo aku harus istirahat dulu dan minta diabsenkan pada dosen untuk setiap mata kuliah yang kuikuti. Setelah itu aku menghubungi kak Wana minta maaf karena tak bisa ikut kegiatannya MAPHAN. Saat ini, aku sudah agak tenang, kondisi fisik dan batinku berangsur-angsur pulih. Tak terasa lagi beban itu. aku seolah dilahirkan kembali. Tak ada bayangan tentang kak Fais lagi. Semua telah menghilang bersama dengan luka yang telah kurasakan. Aku mencoba bertahan kesekian kalinya agar luka ini tak kenmbali lagi. Pheww..!! betapa bodoh aku dengan semua yang kulakukan ini. Cinta tak boleh mengalahkanku lagi. Aku harus tegar dan kembali seperti semula. Memang dasarnya cinta adalah kebusukan yang tak pantas diagung-agungkan. Meskipun aku telah 82
terdampar di gurun kesepian selama sekian waktu yang cukup lama, bukan berarti aku tak menemukan jalan pulang. Dengan segala pertahanan yang kumiliki, aku berusaha menelusuri jalan terjal dalam ragaku. Tak sedikit juga yang berusaha menghempasku lagi, tapi aku berusaha melawan dengan sekuat tenaga yang masih tersisa di dalam bagian terkecil dalam ragaku. Dua minggu menjalani pengobatan pada pak Iman, akhirnya kondisi fisikku kembali seperti semula. Tak kurang satu pun. Aku tersenyum puas, Persetan dengan cinta. Angkuhku kembali menyeruak seiring kebencian yang mendalam yang tertanam lekat di dalam jiwaku. Masalah kemarin adalah sebagai peringatan bagiku untuk lebih berhati-hati dalam mengartikan cinta. Cukuplah kak Fais yang menjadi bagian terakhir dari petualanganku. Sekarang, segalanya kupasrahkan pada ALLAH. *** Senin pagi aku kembali ke indekosanku. Tak ada yang spesial. Sama seperti dulu ketika kutinggalkan dengan hati yang terkoyak. Aku harap kembaliku saat ini dapat mencairkan segala rasa yang beku di antara kami semua. Aku sayang kalian. Ucapku dalam hati dengan senyuman miris. Kuketuk pinti beberapa kali, tak ada sahutan. Ke mana semua orang? Aku mencoba lagi. Dan, akhirnya terdenagar langkah kaki dari dalam rumah menuju pintu. Pelan-pelan bunyi deritan pintu. Dengan tubuh tegap, aku menanti siapa yang akan membuka pintunya. Setelah pintu terbuka melongok wajah yang masih kusut.UNI. Segera kupeluk erat dan kukatakan kalo aku sangat rindu sekali. Terdengar isak tangis kami berdua. Kemudian uni mengajakku masuk. Segera kubuka pintu kamarku , aduh berantakan sekali. Aku ingat waktu aku pulang duilu, aku lupa membereskannya. ”Cha, kamu udah baikan ya? Kenapa tak menelpon sih? Kami sangat khawatir.” “Ya, begitulah, makasih ya, Ni, ke mana yang lain, kok nggak kelihatan?”. 83
“Reyta udah berngkat ke kampus pagi tadi, kak Ani dan kak Rima juga sudah berangkat kerja”. Uni meninggalkan kamarku, katanya mau cuci muka dan aku membersihkan kamarku. Pheww.. debunya banyak sekali. Hampir seluruh ruangan ini. Astaga!! Komputerku berdebu juga, aku lupa membungkusnya dengan plastik. Selama beberapa jam aku mebersihkan kamar. Dan, akhirnya selesai juga, cukup melelahkan, badanku terasa pegal. Kriuk ..!! Perutku berbunyi. Aku lupa sarapan pagi tadi waktu berangkat. Segera kuperiksa kantongan yang kubawa, biasanya Bunda memasukkan makanan ringan untukku. Aha.. aku menemukan sebungkus roti tawar dengan selai nanas dan dua kaleng susu coklat. Dan kue lain, aku mengambilnya dan kupanggil Uni untuk membuatkan susu. Kami menikmati makanan yang kami makan sambil bercerita. “Ni, aku minta maaf ya atas kejadian kemarin. Aku pantas dimarahi oleh kamu dan lainnya. Kalian pasti jengkel padaku, aku tahu itu dengan sadar.” Uni tak menghiraukanku, dengan muka kelihatan kesal, dia ngomong padaku. “Cha, kamu tahu kami jengkel padamu, tapi kenapa kamu tak mengerti juga atau kami yang tak mengerti dengan kamu? Terus terang aku sangat kecewa padamu, sepertinya kamu tidak memeprcayaiku lagi sebagai sahabatmu. Ingat Cha, kita sudah bersahabat bertahun-tahun, tapi kenapa kamu masih main umpet-umpetan dariku? Kepada yang lain boleh kamu rahasiakan, tapi denganku juga kamu berbuat begitu?” Uni mulai mengeluarkan kekesalannya padaku, dia menangis. Aku jadi terharu atas ketulusan hati Uni. “Maafkan aku Ni, aku tidak bermaksud begitu, hanya saja kemarin itu membuatku tak bisa berkata-kata. Aku baru sadar kalo aku tak cukup dewasa menyelesaikan masalah”. “Tidak begini caranya Cha, kamu ingin tegar, tapi menyusahkan orang lain. Kamu tau tidak kalo yang lain tuh sakit hati sama kelakuan kamu,” aku hanya tergugu mendengar perkataan Uni, semua itu vonis yang dijatuhkan pada tersangka utamanya 84
adalah aku ”Cha, sekarang aku mo’ tanya, apa dengan sikap diammu itu, tegar yang kau junjung sendiri itu telah membuahkan hasil?” tanya Uni dengan mata melotot padaku. “Ya, aku dapat melewatinya meski dengan hati yang terkoyak, dengan tertatih memaknai cinta, ternyata cinta memang terlalu nista di depanku. Aku berharap semua tentang kak Fais dapat menjauh dari ingatanku dengan tak menyisakan luka sedikitpun”. “Syukurlah kalo begitu, artinya tak sia-sia kamu bersikap sinis pada kami”. Seolah ada kemarahan penuh terdengar dari mulut itu. Aku mendengar suara langkah kaki dari luar. Sepertinya ada yang telah pulang. Aku melongok ke luar sedikit dan ternyata adalah Reyta. Aku dan Uni segera menghapus airmata yang tersisa
di pipi kami. Seolah tak ada apa-apa, kami
menghabiskan minuman yang tersisa di gelas kami masing-masing. *** Malam itu, tanpa pemberitahuan sebelumnya, Ichal dan Ifan datang ke kosanku. Tak biasanya mereka datang secara mendadak begini. Atau mungkin, Uni memberitahukan
kedatanganku. Aku segera melangkah ke ruang tamu dengan
mencoba tersenyum sebisa mungin untuk menuutpi gemetar yang menggerogoti tubuhku. Kusapa mereka dengan menanyakan kabarnya masing-msing. Tak dijawab, malahan memandangku dengan sorot mata tajam dipenuhi keheranan. “Hey, what’s wrong guys? Kenapa sih kalian? Terpana ya dengan aku?” “Cha, kamu udah baikan ya? Sory, kami nggak jenguk kamu, tau sendirikan kesibukan kami?” Aku pura-pura manyun dan kemudian tertawa lagi. “Aku tahu kok pangeran yang super sibuk, trus, kalian datang mau ngapain?”
85
“Ceritanya ngusir nih. Ok deh kita berdua akan pulang kok”, Ifan dan Ichal berdiri dari tempat duduknya. Tapi segera kutarik kembali. “Cuma bercanda kok, segitu aja marah.” Mereka duduk kembali dan tertawa bersamaan. Sialan. Mereka kerjain aku lagi. “Cha, kamu dan Uni ada amasalah ya?kamu tuh kalo ada masalah dibicarain dong, jangan cuma disimpan sendirian, makan hati tau.” “Nggak ada apa-apa kok, siapa yang bilang?” aku memalingkan mukaku ke arah samping menghindari tatapamata mereka yang siap menerkamku. “Dengan kami, kamu juga nggak mau cerita? Kamu masih menganggap kami sahabatmu dan kakakmu kan Cha?” Ifan mendesakku untuk bicara. “Baiklah, tapi tidak di sini tempatnya. Gimana kalo ke tanjung saja, mau kan?” tanyaku dengan suara agak parau. Dengan berat hati mereka menganggukkan kepala. “Tunggu ya aku ganti pakaian dulu” ucapku sambil berlari ke dalam kamar. Tak berapa lama kemudian aku pamit paada Uni untuk keluar bareng Ifan dan Ichal. “Mudah-mudahan kamu bisa bebas dari masalahmu, hati-hati ya Cha” Dinginnya malam membalut tubuh kami yang hanya terbungkus sweater hijauku saja. Aku ikut boncengan Ichal sementara Ifan tak membonceng siapa-siapa. Motor Ichal melaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Canda dan tawa menyertai perjalanan kami menembus pekatnya malam. Hingga tiba pada sebuah lapangan luas dengan rumput yang lumayan agak basah. Kami berhenti di situ. Aku segera duduk pada tanah yang kosong dan agak kering. Di susul dengan Ifan dan Ichal di depanku seperti ingin menyidangku saja. “Sekarang kamu mulai cerita deh”. Aku menarik nafas dalam-dalam. “Kamu boleh cerita mulai dari awal atau terserah kamu”. “Fan, Chal, aku berterima kasih banget atas perhatian kalian. Kalian udah baik banget sama aku.” Lalu aku tertunduk lesu sebelum memulai ceritaku. Dengan perasaan masih galau, kuceritakan mengenai hubunganku dengan kak Fais. Mulai dari penantianku yang tak kunjung ada kepastian hingga pertemuanku 86
kembali dan kerasnya hatiku untuk menerima cowok lain. Aku lakukan semua ini demi seorang kak Fais. Aku mengukuhkan hatiku untuk tak mempercayai cinta lagi kak Fais muncul di hadapanku. Dan ketika sosok kak Fais muncul di hadapanku secara tiba-tiba, aku begitu mengangung-agungkan cinta dalam sekejap. Aku memang bersalah dengan menyakiti hatinya masa lalu, tapi apakah maaf tak cukup berarti baginya? Aku menangis di depan mereka. Awalnya aku terbang tinggi kehidupan puncak dengan pesona yang dia tawarkan kembali. Dan aku terbawa dengan pesonanya itu. Aku kira, dengan lancarnya komunikasi kami kembali setelah setahun lebih tak bertemu akan mencairkan hatiku dan hatinya. Tetapi, aku hanya berkhayal tinggi sekali. Khayalan memang tak pernah sejalan dengan kenyataan yang ada. Ketika aku mengatakan kalo aku dijodohkan dengan sesorang, dia malah bilang mengapa aku menolaknya? Dia tak pernah tahu kalo alasanku menolaknya karenan penantianku yang masih utuh untuknya. Tetapi, kak Fais tak pernah memahami semua itu hingga tiba waktu aku menanyakan perasaannya yang sebenarnya padaku. Dan saat itulah, pertahananku menjadi runtuh. Aku tak menyangka kalo penantianku sia-sia saja. Aku menghentikan ceritaku. “Cha, kamu sabar ya? Kami selalu bersamamu kok, jadi jangan pernah berpikir kalo kamu hanya sendirian saja”. Ifan dan Ichal mencoba menghiburku. “Aku memang cengeng ya?” ujarku tertawa lirih. “Nggak kok, justru kamu kuat, Cha. Oya, lalu apa hubungannya dengan Uni, katanya kalian tidak akrab lagi?” tanya Ichal. “Oh itu? Uni memang masih marah dan kecewa padaku. Selama ini, aku tak pernah menceritakan masalahku dengan siapa pun terutama dia. Tapi persoalannya aku hanya tidak mau merepotkannya. Lagipula apakah semua persoalan pribadi mesti dibeberkan?” “Oh begitu? Tapi, sekarang kamu udah baikan dengannya kan?” tanya Ifan lanjut.
87
“Iya, aku sudah menyelesaikannya kok tadi pagi meski kelihatan Uni masih kecewa padaku. Tetapi, aku tak menyalahkan dia kok, aku justru senang karena dia memperhatikaknku, aku saja yang tak tahu diri.” “Jadi gimana perasaanmu, udah baikan kan? Kamu sudah bisa melupakan semuanya?” “Mudah-mudahan begitu, selama beberapa bulan ini, aku berpikir tak ada gunanya dipikirkan lagi, aku ini hanya manusia bodoh yang tak berguna, aku sudah bertekad melupakan kak Fais, saat ini perasaanku sudah mati rasa terhadapnya”. Kataku sedikit tertahan. “Baguslah kalo begitu, tapi, perasaanmu tidak mati rasakan buat cowok lain?’ tanya mereka hampir bersamaan. “Entahlah, yang aku tahu, aku tak tertarik lagi dengan cowok lain. Dulu saja aku tak bisa menjalaninya dengan seseorang apalagi sekarang dengan keadaanku yang seperti ini. Tetapi, sejujurnya aku juga serahkan semua ini pada yang MAHAKUASA. Mungkin saja hari ini hatiku berkata lain, dan esok siapa yang tahu?” “Cha, sebaiknya aku bicara sama kak Fais saja ya?” “Nggak usah Fan persoalan di antara kami udah jelas, dia hanya menganggapku sebagai ‘adik’ saja sekarang, tak lebih dari itu. Sebaiknya aku saja yang belajar menerima semua ini. Jangan katakan ya Fan, aku mohon banget sama kamu!!” Aku tak mau kelihatan lemah di hadapan kak Fais, meskipun sekarang aku memang sudah lemah. Namun, tidak untuk di lihat olehnya. Dia kan tertawakan kalau melihat keadaanku atau mungkin akan kasihan padaku. Dan , aku tak mau ketika dia kembali hanya karena kasihan padaku. Aku tak butuk butuh kasihan kak Fais. Bagiku sekarang tak ada nama kak Fais lagi. “Baiklah, aku hanya ingatkan kamu Cha, jangan pernah lagi menyembunyikan sesuatu dari sahabat-sahabatmu, akan menyiksa diri kamu sendiri. Lebih baik kita
88
pulang sekarang, udah larut malam, nati Uni marah lagi.” Ifan menghidupkan mesin motornya, aku ikut dia dan giliran Ichal yang tak membonceng siapa pun. Suasana jalan raya sedikit ramai, para pengendara kendaraan sepertinya baru pulang dari aktivitas malamnya. Kami melewati sepanjang jalan yang menembus pekatnya malam dan dinginnya cuaca yang menusuk kulit kami. Sesampainya di rumah, Uni langsung ngomel pada kami, karena pulang larut malam. Kami sih hanya senyum-senyum saja melihat gerutuan Uni yang tak jelas itu. tanpa duduk lagi, Ifan dan Ichal berpamitan pulang, katanya tak baik cowok ada di kosan cewek tengah malam begini. “Oh ya, silahkan pulang dan jangan pernah kembali lagi ya?!!” usir Uni dengan sikap pura-pura. Keduanya hanya tertawa tak menanggapi perkataan Uni karena mereka tahu, Uni ngak pernah marah seserius itu. Akhirnya, mereka pulang setelah mengucapkan selamat malam dengan perasaan yang bagaimana aku tak tahu. Namun, yang aku tahu perasaanku sekarang menjadi plong. Kami menatap kepergiannya dengan kebisuan malam yang mengbungkus raga kami. Tak ada yang mengawali pembicaraan. Kami hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Hanya saja mata kami saling memandang. “Ni, makasih ya. Hari ini aku senang banget soalnya udah curhat sama kamu dan mereka,” ucapku apada Uni setelah berada di dalam rumah kembali. Dia hanya tersenyum
tanpa
berkata-kata.
Dia
ngeloyor
masuk
ke
kamarnya
tanpa
mempedulikanku. Aku melongo melihat sikap Uni. Aku masuk kamar dan setelah di dalam, terdengar suara-suara sumbang yang memekakkan telinga. Katanya Ocha sudah pulih kembali ya, pertanda baik dong. Aku segera menutup telingaku. Nggak apa-apa kok mereka ngomong seperti itu, yang jelasnya, besok adalah hari baru buatku. Semua rasa tentangmu tlah mati Pekat Pada tabir gerlap Jadi bayang gelap yang sejati Ingin kuludahi hatimu 89
Agar tak menyisakan luka batin bagiku Kini, gunung es itu kembali membeku Tak kuinginkan kau mencairkannya Hingga tiba masa gletser kembali mencair Tapi, bukan kau Karena semakin kau mendekat Pun semakin membeku Selamat” karma anda, aku telah terkalahkan egoku”. ***
Tujuh Aku terlelap di batas hina hatimu Menguap Bongkar rasa yang tlah mati Percaya cinta di balik layar biru Terbayang perih, mengulum resah Tuk mencair Tak cukup kata mewakili gerah bermain Campakkan jiwa pada lara yang bersemayam Ingin tapaki jalan berterjal tak bertepi Menyertai rindu pada raga yang hampir tak bernyawa Melawan getir hati yang tlah mati rasa Aku melangkah dengan gontai ke kampus. Kurasakan tubuhku masih terasa pegal karena semalam. Aku tak dapat tidur semalam. Aku harus kembali ke Ocha yang dulu lagi. Gumamku. Masih terasa perih yang menyayat hatiku, tapi dengan hanya berdiam diri dan menangisi sesuatu yang tak tampak lagi, tak ada gunanya. Aku harus tegar, memulai hari baru dengan segala keangkuhan dan rasa yang masih tersisa, kenangan itu masih berlarian di benakku mengejarku hingga batas yang tak kutahu sampai kapan akan berakhir. Kata Uni, tak gampang melupakan seseorang dengan begitu saja, apalagi orang itu adalah pernah menjadi begitu berarti dalam diri kita. Benar apa yang di katakan Uni, tak gampang, tetapi tak berusaha mengingatnya dapat menjadi solusi. Mengalihkan perhatian yang lain adalah solusi juga. 90
Tak terasa, ternyata kakiku melangkah ke arah PKM sekret MAPHAN. Belum banyak yang datang hanya beberapa orang saja, kak Wana pun belum datang.Astaga!! inikan baru pukul 8. 15 pagi, terlalu kepagian aku datang pantas saja masih lengang. Kak Ismail muncul dari dalam dengan muka kusut. Biasanya sih beberapa orang menginap di sekret karena mengerjakan sesuatu yang belum selesai. “Hai kak, baru bangun ya? Maaf menganggu ya?” kataku berbasa-basi pada kak Ismail. Dia mengucek matanya dan permisi sebentar untuk cuci muka di kamar mandi. Aku mengamati keadaan ruangan ini, selama 2 minggu lebih aku tak menengoknya.
Pasti
banyak
kegiatan.
Aku
memperhatikan
jadwal-jadwal
penyuluhan yang tertempel di papan jadwal. Wah, padat juga minggu ini, gumamku. Aku sempat melalaikan aktivitasku ini selama hanya bergulat dalam kesendirianku dan kehampaan yang kualami. Tak kupedulikan teguran-teguran senior yang mengatakan aku tak pernah konsentrasi dalam melakukukan sesuatu. Sesekali menreka menanyakan masalah yang menimpaku, tetapi aku hanya terdiam dan tak mengatakan sedikitpun. Biarlah kutanggung sendiri. Aku memang egois. “Cha, kapan kamu datang? Ada kue nggak?” tanyanya “Ini,” sambil mengulurkan sebungkus kue yang di masukkan Bunda ke dalam kantonganku kemarin. “Kak, kak Wana dan yang lain belum datang ya?” tanyaku pada kak Ismal yang telah melahap kue yang kuberikan. “Iya. Oya Cha, kamu udah melihat itu nggak?” kak Ismail menunjuk ke arah papan jadwal yang tadi kulihat. Aku hanya mengangguk. “Kak, kunjungan ke Panti rehabilitasi kemarin itu sudah bereskan? Dan gimana dengan proposal permintaan dana untuk Fancy Fair nanti?” Kak Ismail hanya tersenyum dengan ocehanku. “Cha, kamu bertanya atau apa sih, banyak banget. Kunjungan ke Panti tertunda hingga minggu depan, pihak Panti meminta kita untuk menundanya dulu karena persoalan dalam, ada seorang pemakai yang melarikan diri”.
91
“Alasan yang klise banget, trus orang itu sudah ditemukan belum?” tanyaku penasaran. “Belum sih”. Setelah ngomong, aku membenahi persuratan yang berserakan di lantai. Aku harus cepat, sebentar lagi kuliah. “Cha, buru-buru banget, memangnya mau kemana kamu?” Tanya kak Ismail “Aku ada kuliah 15 menit lagi kak, tadinya aku hanya ingin mampir saja melihat keadaan di sini. Tetapi, eh malah tinggal ngobrol. Aku pergi dulu ya kak?” setelah membereskan semuanya aku ngeloyor pergi dan kak Ismail berteriak agar aku kembali lagi ke sini sebentar. Masih ada yang harus dikerjakan. Tiba di ruang perkuliahan, aku mendapati Iyan dan Ima terlibat pembicaraan. Nafasku segera kuatur karena ngos-ngosan berlari tadi. Aku pikir sudah terlambat. Ternyata masih tersisa waktu 5 menit lagi. Kudekati kedua cecunguk itu. “Hai girls. Apa kabar?” sapaku dengan menyunggingkan senyum yang lebar sekali. “Ocha, kamu udah baikan, kok nggak bilang sih?” keduanya menyerbuku dengan pelukan dan cubitan yang cukup keras dari Iyan. Auww, sakit sekali, teriakku. “Kamu jahat ya Cha, nggak bilang sama kami kalo kamu lagi sakit. Kamu pikir, kita ini siapa, bukan sahabat kamu lagi?” sungut Iyan padaku. Ia memalingkan mukanya ke arah kanan sebagai tanda protesnya padaku. Aku sih hanya mencubit pipinya yang mulus itu. “Aku minta maaf deh say, jangan marah gitu dong”. “Gimana nggak marah, aku hubungi HP kamu, nggak pernah aktif, aku telpon ke rumahmu katanya kamu lagi sakit dan pulang ke rumah Bundamu. Yah, aku minta saja nomor telpon rumahmu,” dengan masih wajah cemberut, Iyan bercerita padaku. Dari arah jauh, tampak dosen mata kuliahku melangkah. Dengan ciri khas jalannya yang melenggok, beliau dijuluki pantat bebek oleh teman-teman. Lucu juga sih gelar itu. Tetapi, memang pantas dan sesuai kok. Segera kuajak keduanya masuk kelas. Biasanya kami sering mengambil tempat duduk paling depan. 92
Perkuliahan berjalan dengan tertib, tak banyak suara-suara bising yang terdengar dari belakang. Tumben banget mereka terdiam dan memperhatikan penjelasan dosen pantat bebek itu. biasanya ruangan kayak pasar. Ada apa yah mereka terdiam? Tak sepertinya biasanya banget. Aku menanyakannya pada Iyan, Iyan bilang sih 2 minggu yang lalu, Randy yang kocak membuat ulah pada bu Mila yang sedang mengajar. Randy melempari pantat bu Mila dengan kertas yang berisi batu. Tentu saja bu Mila kaget dan marah besar. Awalnya tak ada yang mengaku siapa yang melakukannya. Namun, setelah bu Mila mengancam akan melaporkannya ke Dekan dan tak akan mengajar lagi, akhirnya Randy ngaku deh dan dia diberi skorsing selama 2 kali tidak ikut kuliah ini. Dan yang lain pun tak berani berulah lagi kalo mata kuliah bu Mila. Semuanya pada takut. Aku dan Iyan tertawa cekikikan, kontan saja bu Mila berbalik dan melotot ke arah kami. Kami pun tertunduk. Uh… menyeramkan banget mata itu. Dengan ketegangan yang tercipta selama perkuliahan berlangsung, akhirnya bu Mila menyelesaikannya juga. Teman sekelas langsung bernafas lega. Bu Mila hanya melotot ke arah kami sebelum melangkahkan kakinya ke luar ruangan. Sesaat kami terdiam. Setelah itu, terdengar tawa yang keras dari belakang. Ada udara segar katanya setelah pantat bebek itu pergi. “Cha, katanya kamu sakit yah, udah sembuh kan?” tanya salah seorang teman sekelas yang bernama Leo. Aku hanya mengangguk dengan meyunggingkan senyuman padanya. “Kamu tambah manis ya kalo senyum” ujarnya bercanda menggodaku lagi. Seperti biasa orang satu ini selalu berusaha berusaha menggodaku dengan kata rayuan yang minta ampun deh. Setelah Leo berlalu dari hadapanku, Iyan dan Ima mendekatiku. Seakan mereka ingin menginterogasiku. Matanya penuh tatapan aneh. Segera kualihkan dengan menanyakan keberadaan Wita dan Ami. Mereka nggak masuk karena ada urusan penting. Tapi kuliah berikutnya mereka akan datang.
93
“Cha, kamu cerita deh, kamu sakit apa sih? Apa ada hubungannya dengan kak Fais ya?” tanya Iyan. “Nggak kok, plis deh jangan sebut nama itu di depanku lagi. Aku nggak suka”. “Kamu udah berubah ya Cha, nggak mau terbuka lagi sama kita-kita. Apa karena kak Fais yang mengubah kelakuanmu? Ingat Cha, kita ini sahabat dan seorang sahabat tak pantas menyembunyikan apapun dari sahabatnya yang lain”. Ucap Iyan. Kalimat itu lagi, semalam pun aku mendengarnya lagi. Kami tenggelam dengan pikiran masing-masing. *** Setelah kuliah kedua selesai, aku mengajak mereka makan siang di warung Mbak Atiek. Perutku sudah meraung kelaparan minta diisi sejak tadi. Aku janji pada mereka untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya dan mengapa aku sakit. Ya, sudah menerima ajakanku debngan syarat mentraktir mereka semua. Aku menuruti keinginan mereka, asalkan mereka mau memaafkanku. Sesampainya di sana kami segera mengambil tempat duduk di sudut kanan lagi. Kami memesan bakso dan pangsit. Setelah pesanan datang. Aku mulai bercerita pada mereka sambil menyuap makananku. Yang lain hanya terdiam mendengar ceritaku, seakan aku telah menghipnotisnya, mereka menatapku sendu penuh belas kasihan, “Apaan sih kalian, aku nggak perlu dikasihani begitu tau?” ujarku menggerutu melihat sikap mereka yang terlalu berlebihan menanggapi ceritaku. “Kalian juga harus tahu kalo ketika nanti kak Fais mendengar kisahku ini dan dia ingin kembali lagi, aku nggak butuh lagi, karena mungkin saja dia hanya mengasihaniku seperti yang kalian lakukan seakarang. Aku nggak butuh dikasihani apalagi cinta. Aku nggak percaya lagi sama cinta, nonsense.” Aku mengeluarkan kekesalanku dengan segala daya yang kumiliki. Mereka hanya mendengus panjang. “Trus, gimana soal Ragil? Kalo saja suatu hari, dia tiba-tiba datang ke hadapanmu dan masih menawarkan cintanya lagi untukmu, apakah kamu masih akan 94
menerimanya? Bukankah kamu menolaknya dulu karena belum adanya kepastian dari kak Fais?” Iyan memberiku pertanyaan yang sulit membuatku bernafas. Aku memandang ke arah baruga Collie Pujie. “Cha, jawab dong Cha, gimana kalo Ragil datang dan mau menerimamu apa adanya?” Iyan mendesakku. “Entahlah, yang jelas sekarang aku tak mau menyimpan perasaan apa-apa lagi untuk seseorang. Aku tak mau berharap dan berkhayal tinggi lagi. Semua harus berakhir. Lagipula aku selalu menyakiti Ragil, aku tak pantas untuknya lagi”. Aku tertunduk lesu dan airmataku berlinang. “Ocha, kamu selalu saja membohongi perasaan kamu, nggak baik Cha, akan menyakiti kamu sendiri. Seperti sekarang kan? Aku tak akan memaksamu lagi, terserah gimana maunya kamu nanti” Iyan mengalah begitu saja. “Aku minta maaf ya, aku telah merepotkan kalian semua”. “Kamu ngomong apaan cha? Jadi, kamu selalu merasa kalo kamu hanya merepotkan kami saja? Picik sekali pikiranmu. Kamu tidak menganggap kami sahabatmu lagi ya?” timpal Ami yang langsung wah. “Bukan begitu maksudku, kalian tetap sahabatku yang terbaik kok, maaf ya?!!” aku segera mengklarifikasi ucapanku tadi. “Sudahlah, kita balik yuk, aku udah kenyang, tempat ini juga semakin lama semakin gerah”. Wita tiba-tiba berdiri. Kami pun menyusul kecuali aku yang belakangan karena membayar tagihanmnya di kasir. Dan kami berlalu meninggalkan tempat itu denga hati penuh tanda tanya. Sisa luka masih tersimpan di sudut kantin dan itu. Kami kembali ke ruang perkuliahan, karena masih ada kuliah setelah Dzuhur nanti. Masih ada waktu setengah jam lagi, kuajak mereka
ke Masjid kampus
menunaikan shalat Dzuhur. Mumpung masih ada waktu, yang lain mengiyakan ajakanku. Kami segera berbalik lagi ke depan untuk pergi ke Masjid kampus yang terletak tidak terlalu jauh dari gedung perkuliahanku.
95
Aku dan teman-teman segera menunaikan shalat secara berjamah. Panasnya cuaca tak kami rasakan lagi setelah menunaikan shalat karena bekas siraman wudhu masih menempel di tubuh kami. Seger sekali. Pikiran pun menjadi tenang dan seolah terlepas dari segala yang membebani. Kami saling berpelukan untuk melepas rindu dan memaafkan segala kesalahan masing-masing. Seperti hari lebaran saja. Tentu saja jamaah lainnya heran melihat tingkah kami yang berpelukan seperti itu di dalam Masjid. Kami hanya tersenyum setelah menyadari apa yang telah kami lakukan. Kami meninggalkan Masjid dengan hati yang kembali ringan. Kecerian pun tercipta dalam sekejap tanpa perintah dari siapa pun. Hari ini, aku bahagia banget. Aku merasa tenang sekali. Berada di dekat sahabat-sahabat yang kucintai membuatku dapat tertawa lagi, menemukan jati diriku kembali sebagai Ocha yang dulu lagi. Periang, angkuh, sinis dan picik memandang cinta. Meski benih-benih cinta itu masih tertanam untuk seorang kak Fais. Namun, pasti lambat laun akan menghilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sudahlah, semua sudah berlalu dan berharap tak menyisakan pendar-pendar melati dan luka yang ada dalam ragaku lagi. *** Setelah kuliah berakhir, aku tak langsung pulang. Iyan cs mengajakku untuk belanja pakaian dan tas di Mal. Aku mengiyakan ajakannya. Lagipula, aku juga sudah lama tak pernah jalan bareng mereka lagi. Apa salahnya, aku juga ingin mencari buku terbaru ‘Dee’ dan belanja di supermarket. Kami segera menahan taksi untuk ke Mall. Bukan tidak ada tempat lain sih tapi, tempat itu terkenal lengkap dan nggak terlalu mahal. Sekalian cuci mata juga sih. Pheww… akhirnya sampai juga. Kami turun dari mobil satu persatu. Dan setelah membayar ongkos taksi, kami melangkah masuk gedung mewah itu yang berlantai 4. Tanpa pikir panjang kami mengunjungi outlet tas kesayangan Iyan “ELIZABETH”. Selanjutnya kami menuju
beberapa outlet pakaian dan sepatu untuk mencari
kebutuhan yang lainnya juga. Setelah yang lainnya menemukan barang mereka 96
masing-masing, giliran aku yang minta ditemani ke Gramedia mencari novel terbaru Dee “ PETIR”. Dengan kantongan yang cukup berat, kami menuju ke Gramedia dan menitipkan barang kami di penitipan barang. Ah..lega juga sih, tangan udah nggak pegal lagi. Tanpa pikir panjang lagi , kami berpencar, sementara aku menuju rak buku yang best seller. Biasanya buku-buku terbaru yang best seller bakalan di satukan, jadi nggak susah nyarinya. Ketika aku menemukan buku itu dan berniat mengambilnya, seorang pria berjas berdiri di sampingku dengan senyuman yang cukup manis. Aku berusaha mengingat-ingat siapa pria itu, sepertinya aku kenal. “Hai, Ocha kan? Masih ingat aku nggak?” Tanya pria itu. Aku mengernyitkan dahi dan berusaha sekuat tenaga memkikirkanya. Astaga!!! Bukankah dia adalah Di rektur Gramedia ini. Pak Indra. Pikirku. “Oh iya pak, tentu saja Ocha ingat, bapakkan yang menolongku beberapa bulan yang lalu?” jawabku agak kelabakan. Iyan cs tertawa melihat gayaku berlagak pilon gitu. “Aku kan sudah bilang, nggak usah memanggiku bapak, Indra saja.” “Ah iya, maaf pak, eh maksudku Indra.” Agak kikuk aku dengan sebutan nama itu apalagi karyawan dan pengunjung mulai memperhatikan kami. Dari samping kiri, Iyan mencubit pinggangku dan berbisik agar mengenalkannya pada mereka. “Oh ya, kenalkan, mereka ini adalah
sahabatku.” Aku memperkenalkan
mereka satu persatu. Tentu saja Indra menyambutnya dengan sikap yang penuh wibawa dan kharismatik seperti dulu ketika pertama kali bertemu. Merasa agak canggung dengan situasi seoperti ini, aku mengajak yang lain untuk pulang saja. Sebelumnya aku membayar di kasir dulu. Ada beberapa novel yang kubeli. Saat membayar di kasir, Indra mendekatiku dan mengatakan pada kasir agar aku tak usah membayar. Awalnya aku menolak, nggak enak di liatin orang seperti itu, tapi Indra bersikeras agar aku tak membayarkannya. Dengan berat hati sih aku mengiyakan saja yang langsung disambut sorakan dari Iyan cs. Setelah 97
mengucapkan thankx padanya aku pamit pulang, tetapi indra mencegatku kembali. Dia menawarkan kami untuk ngopi di depan Gramedia. Tempat itu terkenal dengan Capuccinonya yang nikmat. Tanpa menolak lagi aku kembali mengangguk. Kami melangkah ke arah resto itu. Dia memesan 6 Capuccino untuk kami. Waw..rezki nomplok nih, baru saja dia membayarkan buku yang kubeli, sekarang ditraktir lagi, ucapku membatin. Cukup seru pembicaraan kami, tak jarang aku mendapati Indra melirikku. Aku hanya tertunduk setelah itu. sementara yang lainnya tak jarang pula mencandai Indra yang di balas canda juga. Langsung akrab ya mereka, pikirku. Tak terasa waktu berlalu, dan pembicaraan kami semakin seru. Aku melirik jam tanganku, segera kukode mereka untuk pulang. “Ndra, kami pulang dulu ya, udah sore nih, thanks ya atas traktirannya.” “Baiklah, nanti aku telpon kamu ya Cha. Makasih telah memenuhi undanganku ngopi bareng,” ujar Indra ketika kami akan berlalu. Kami menuruni anak tangga escalator. Wita terus saja menggodaku. Aku sih hanya tersenyum kesal ke arah mereka. Tak lupa kuingatkan untuk mampir di supermarket belanja keperluanku. *** Malamnya aku terkapar lemas di tempat tidur. Seharian kuliah dan jalan-jalan membuat seluruh persendianku hampir copot. Aku menatap langit-langit kamarku, seolah-olah pelepas lelahku ada menggantung di atas sana. Terdengar dari luar suara ketukan pintu kamarku. Aduh, siapa sih? Aku bergegas bangun dan membukakan pintu. Aku langsung kaget, setelah tau yang berada di depan kamarku, ada kak Rima, kak Ani, Reyta dan Uni. Mereka seolah ingin menangkap maling. Segera saja di tariknya tanganku ke sisi tempat tidurku. Kak Rima menatapku dalam-dalam. “Cha, sekarang kamu cerita tentang sikap kamu yang berubah selama beberapa bulan ini. Kamu memusuhi kami ya? Dan jangan mengelak lagi, kami sudah 98
membaca isi selembar kertas yang kau tempelkan di papan jadwalmu.” Kak Rima menodongku dengan pertanyaan sinis begitu. Astaga!!! Sudah dua hari ini aku di hadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Aku seolah Napi yang baru saja ketangkap basah karena melarikan diri selama dua bulan lebih. Aku sudah menjelaskanya. Menceritakannya kembali seolah membuka lembaran lusuh kemarin dan akan menyakitiku lagi. Tapi, apa yang harus aku lakukan dengan keadaanku yang terjepit? Aku harus menceritakannya lagi? Sembari menarik nafas dalam-dalam aku mulai bercerita, kak Rima menimpali “Salahnya kamu, kamu ingin berusaha tegar dan berjalan sendirian, tetapi nyatanya hanya menunjukkan kelemahanmu saja. Sikapmu yang tutup mulut seolah mengisyaratkan pada kami bahwa kami ini adalah musuh kamu yang tak pantas mengetahui rahasia lawannya.” Dengan kesal kak Rima menudingku dengan katakata perih. “Iya Cha, kalo ada masalah tuh harus dibicarakan dong, jangan menutupinya . meski kamu tak ingin kami mengetahui rahasiamu, tapi sikapmu sangat berlebihan.” Timpal Reyta yang mulai angkat bicara. Uni hanya diam dan tak menanggapi karena dia sudah mengetahui semuanya. “Kalo begitu, aku minta maaf sama kalian. Aku telah merepotkan dan meyusahkan kalian selama ini,” aku menundukkan kepala beberapa kali. “Sudahlah, jelasnya semua clir, kamu harus seperti dulu lagi, jangan ulangi lagi perbuatanmu ini,” ujar kak Ani mengakhiri obrolan ini. “Tidurlah Cha, kami hanya mengganggumu, sampai besok ya,” mereka kembali tersenyum meski kelihatan dipaksakan. Sebelum mereka ke luar dari kamarku, Uni sempat menoleh dan menyunggingkan senyum yang agak berat padaku. Satu persatu semua masalahku telah terselesaikan. Aku menjadi agak lebih ringan sekarang. Setidaknya, aku mampu bernafas lega kembali. Kuharap ini akhir dari semuanya. Asataga….!!! 99
Aku lupa aku tidak pernah membuka file ‘diaryku’ dan menuliskan apapun. Aku beranjak dari tempat tidur dan menyalakan monitor kembali. Segera kubuka file diaryku dan semua masih utuh di sana. Aku memang sengaja memberi pasword pada fileku ini untuk menghindari tangan jahil orang lain yang berniat membacanya. Meski sekarang mereka sudah membaca rahasiaku yang tertempel di papan jadwal. Dan aku lupa membuangnya waktu pulang dulu.
100
Dear diary!!!! 19 maret Hampir saja aku tak berkutik, semua menghadangku. Berusaha membongkar lembaran luka itu lagi dengan susah payah mengikatkannya pada ruang yang tersisa. Tak pantas aku persalahkan siapa yang memulai, yang pasti luka yang sempat menusuk jiwaku hingga ruang yang paling dalam, telah tenggelam bersama hembusan angin puyuh. Kenangan selalu ada dalam hati, tapi berusaha untuk mengenanglah yang patut dienyahkan dari hati kita-kita, jika tak menginginkan seonggok luka akan terhampar di depan kita lagi. Terima kasih semua yang telah memberiku perhatian lebih. Sayang yang kalian berikan akan kujadikan kekuatan untuk melangkahkan kakiku dengan tegap. Terimakasih dunia.
Segera kuakhiri tulisanku. Ada yang melambai di sana mengucapkan selamat tinggal padaku. Mudah-mudahan untuk ke sekian waktu yang lama. Aku kembali membuka dan membaca satu persatu tulisan yang kubuat. Agak bagus juga untuk dijadikan sebagai novel atau kumpulan puisi. But, nonsens. Tak usah berkhayal tinggi lagi deh, ucapku membathin. Ketika akan menghempaskan tubuh lelahku di atas tempat tidur, HP ku berdering. Siapa sih yang menelpon malam-malam begini, sudah jam 10 malam lagi. Kurang kerjaan banget. Umpatku. Aku memperhatikan nama penelponnya, ah Indra, ngapain dia menelponku? Dengan ragu-ragu, aku menjawab telpon Indra. “Halo Ocha, ini aku Indra, maaf ya!!” ucap suara itu. “Nggak apa-apa kok kak, Ocha panggil kakak saja supaya lebih sopan. Lagipula kak Indra kan memang jauh lebih tua dari Ocha, boleh kan?” ucapku menawarinya untuk memanggil kakak. Bagiku tak enak memanggil nama saja, padahal kan dia lebih tua dari aku. “Ya, nggak apa-apa deh, asal bukan bapak lagi,” jawabnya dengan nada bercanda. “Cha, aku mengganggu kamu nggak?” tanyanya lanjut. “Ya begitulah,” jawabku seraya bergurau juga. “Oya? Maaf ya kalo begitu.” “Aku hanya bercanda kok, nggak usah di masukin ke hati, ngomong-ngomong kenapa kakak nelpon aku? Ada apa nih? Mau ntraktir aku lagi?” 101
“Boleh juga, Cha, aku mau ngomong sesuatu ke kamu, boleh nggak?” “Ngomong aja lagi kak, nggak ada yang larang kok.” “Kamu ada acara malam minggu besok nggak?” tanyanya lagi, aku agak degdegan juga. “Nggak ada, emangnya ada apa kak Indra?” tanyaku balik. Penasaran banget aku. “Aku mau ngajak kamu nonton di TO, mau nggak?!” “Aduh gimana ya kak…,” “Emangnya ada yang marah ya Cha? kalo gitu nggak usah deh, entar aku di tonjokin lagi.” “Nggak ada sih.” “Kalo gitu, tunggu aku jam 7 malam ya, aku akan ke rumah menjemput kamu, beritahu saja alamatmu. Makasih ya Cha.” Dia langsung nyerobot tanpa memberiku kesempatan untuk berkata ya atau tidak. Tanpa basa-basi lagi aku menyebutkan alamat rumahku. Pembicaraan kami berlangsung agak panjang, rupanya kak Indra humoris juga, bebarapa kali dia mengerjaiku. Aku pikir, hanya sikap wibawanya saja yang ada di dirinya. Orangnya lucu dan baik, nada bicaranya sih sepertinya menunjukkan kalo penuh kasih sayang. Aku tak perlu secepat itu menyimpulkan sikapnya. Mungkin dia hanya berpura-pura. Akhirnya dia menutup telponnya juga dan mengucapkan selamat malam padaku. Setelah itu aku tertidur, aku tak mau memikirkannya lagi, kepalaku sudah pening tambah pening pula. Aku bermimpi lagi, sosok Ragil yang berusaha ingin berusaha ingin meraih tanganku, tetapi tak bisa. Saat kujulurkan juga tanganku kepadanya untuk di raih olehnya. Namun tak ada mampu meraih satu sama lain. Ragil terus saja menjulurkan tangannya untuk meraihku, kenapa aku tak bisa? Aku terbangun dari mimpi burukku. Mengapa pikiranku sekarang mengingat Ragil terus? Pecundang. Lepas dari tangan kak Fais. Kembali ingin meraih tangan Ragil. Apa arti semua ini? Saat ini, aku hanya tak ingin satu pun membuatku terluka lagi. 102
Luruh rasa terbawa maut Kan jadi abu Pada asap yang mengepul Murka gertakkan benci Tuk tak berbau Kelilingi resah Yang tak pernah sampai Hingga menelan resah Pada jiwa yang hampir tak bernyawa lagi Maut Penat tak tertahankan Hancurkan Biarkan jadi pekat Tak tampak Agar benci tak lagi ikut
**** Kunjungan ke Panti rehabilitasi akhirnya akan terlaksana juga. Tampak beberapa teman sedang bebenah mempersiapkan perlengkapan yang akan di bawa. Tampak di sudut ruangan, kak Wana membereskan persuratan. Dia serius sekali. Aku mendekatinya. “Kak Wana sedang mengerjakan apa sih? Aku bantu ya?” tanyaku menawarkan jasa padanya, dia menoleh padaku dan tersenyum memberi isyarat mengerjakan apa yang ada di hadapanku. “Ini proposal permintaan dana itu ya kak? Berapa instansi lagi yang belum diberikan?” tanyaku di sela-sela pekerjaanku. “Iya Cha, kamu mau nggak bawa ke Gramedia dan Telkom?” “Kalo Gramedia, aku bisa kak, soalnya aku ada kenalan di sana, Ocha yakin deh bakalan dipenuhi, tenang saja.” Ujarku tersenyum ke dia, karena tiba-tiba aku ingat kak Indra yang memegang posisi penting di Gramedia sebagai Direktur. Kontan
103
saja aku mengatakan yes hingga yang lain menoleh ke arahku melihat tingkahku yang ceplos begitu. “Kamu kenapa Cha?” “Nggak apa-apa kok kak,”jawabku tersipu malu. Kemudian aku melanjutkan membereskan berkas-berkas itu. Cukup banyak juga yang belum di benahi. ***** Sore mulai merambati petang, aku tiba di rumah. Dengan langkah gontai aku melangkah masuk ke rumah, terdengar suara riuh dan tawa yang cukup keras dari dalam. Segera kuketuk pintu dan kak ani membukanya. Tampak di ruang tamu, mereka sedang berkumpul minum teh dengan pisang goreng hangat. Enak banget, sore-sore gini lagi. “Lagi ngapain nih ngumpul semua? Boleh ikutan nggak?” “Nggak boleh, kamu harus ganti pakaian dulu, trus cuci tangan,” ujar kak Ani. Aku langsung negloyor masuk kamar ganti pakaian. Setelah itu, ikut bergabung dengan mereka sambil bercanda ria. “Cha, ada telpon dari Bunda kamu tadi siang, katanya kamu pulang besok sore?” pesan kak Rima padaku. “Oh ya? thanks ya kak.” Aku masuk kamar dan mengambil HP ku. Segera kutelpon Bunda. Tuut….tut.. tak ada yang mengangkatnya. Ke mana sih Bunda.? Cukup lama juga. Setelah aku hubungi lagi, barulah ada yang mengangkatnya. “Bunda, ini Ocha, ada apa sih Bunda suruh Ocha pulang?” tanyaku tanpa mengetahui kalo ternyata yang angkat telpon bukan Bunda. “Ocha, ini tante Mirna sayang. Bunda kamu lagi ada di dapur. Eh kapan kamu ke sini lagi? Tante kangen nih sama kamu, kamu baik-baik saja kan Cha?” “Iya tante, oh ya, tante bisa panggil Bunda nggak?” 104
“Tunggu sebentar ya?!!”. terdengar suara tante Mirna memanggil Bunda. “Ocha, kamu bisa pulang nggak sayang besok sore?” “Aduh Bun, kenapa sih? Ocha kan baru 4 hari di sini, kok di suruh pulang lagi?” “Ocha, pokoknya kali ini kamu harus nurutin Bunda, ada yang lupa Bunda omongin ke kamu, mau ya sayang?” tadinya suara Bunda agak keras tapi mulai melemah lagi. “Iya deh Bun, nanti Ocha usahakan, soalnya besok malam Ocha ada janji dengan teman Ocha. Jadi, mungkin agak malam pulangnya nanti, boleh kan Bunda?” “Memangnya kamu ke mana sayang?” tanya Bunda dengan nada penuh selidik. “Teman Ocha ngajak nonton di bioskop besok malam, nggak enak kalo nolak, soalnya dia udah nolongin Ocha beberapa waktu yang lalu.” “Ya sudah, tapi kamu hati-hati yah sayang, kamu nggak boleh pulang lewat dari jam 11 malam, oke? Kalo nggak, Bunda bakalan nutupin kamu pintu dan membiarkanmu tidur di luar!” ancam Bunda “Aduh Bundaku sayang, tega banget sih sama anak sendiri, iya deh tuan putri akan menuruti perintah sang Ratu.” Ucapku tertawa, Bunda juga tertawa mendengar candaanku. Kemudian dia menutup telponnya. “Rani, kamu siap memberitahukan semua ini pada Ocha? Aku takut dia nggak setuju dengan perjodohan ini,” ujar tante Mirna murung. “Sudahlah, biar aku yang ngatur semuanya, kamu bilang kan mereka sudah pernah pacaran? Jadi, pasti nggak akan ada yang menolak.” “Terserah kamu deh, tapi waktu Ragil datang, aku nggak tahu apa yang terjadi sehingga dia ingin langsung pulang ke Bandung secepatnya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua.” “Ocha memang keras kepala. Tetapi, dia tak pernah membantah semua perkataanku. Dia penurut kok, tenanglah Mirna, jelasnya kan kita hanya berusaha
105
mempersatukannya, kalo memang nggak jodoh, semua kita serahkan pada yang DI Atas.” Malamnya aku cepat banget terpulas. Tubuhku lelah dan pegal. Tak kurasakan kalo HP ku berbunyi berulang kali dan ketukan pintu kamarku. Samar-samar sih aku mendengar Uni memanggil namaku, katanya ada telpon untukku. Namun, tak kupedulikan karena tubuh lelahku mengatakan lebih baik aku istrahat saja dulu dan nggak usah mempedulikan yang lain. Aku sih megikuti isyarat lelahku. Malam terus merambat dan ketika tengah malam aku terbangun, karena sadar aku belum melaksanakan shalat Isya. Aku bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan mengambil air wudhu. Rumah sangat lengang sekali. Mereaka sudah tertidur kali ya? karena tak ada suara-suara yang terdengar dari kamar masingmasing. Kulihat jam dindingku, pukul 11 malam. Pantas saja, mereka terlelap, sudah larut malam begini, artinya aku tertidur tadi cepat sekali dong. Segera kutunaikan shalat Isya dan bermunajat panjang pada yang Maha kuasa agar memberiku kekuatan untuk dapat menjalani hidup dengan hati yang tegar dan lapang. Setelah shalat Isya, aku memeriksa HP ku kali-kali aja banyak pesan yang masuk. Astaga..!! kak Indra beberapa kali menghubungiku dan ada sebuah pesan darinya untukku. Cha, besok jadi kan qta pergi bareng? Aq jemput kamu pkl 7 malam ya? kmu siap2 saja. Indra
Aku segera membalasnya dan mengatakan kalo lebih baik perginya pas setelah Maghrib saja, kira-kira sebelum pukul 7 malam. Karena aku ingin pulang ke rumah Bunda. Setelah terkirim, tak ada balasan darinya, aku pikir mungkin dia lelah dengan pekerjaannya selama seharian penuh. Ah, sudahlah, lebih baik aku mengerjakan sesuatu yang bisa mengilangkan jenuhku saja. Aku jadi tidak mengantuk lagi. Lalu, aku membuat secangkir Moccacino.
106
Dear diary!!! 22 maret Aku seolah tergenggam dalam genggaman yang tak nyata. Tak kuketahui siapa pemilik genggaman itu, namun, yang pasti bukan ‘dia’. Yang lain hadir mengisi hariku, namun aku tak yakin tak menyisakan luka lagi? Dan mungkinkah seonggok luka akan terhampar di hadapanku lagi?biarkanku aku berlari, mengejar hati yang kian pekat. Tak peduli, siapa yang tertancap atau menghadang langkahku, kuingin dia tahu kalo aku tak butuh kepura-puraan. Tubuhku hampir lelah mengeja bait yang tak kunjung selesai. Yang aku tahu, aku ingin pemberhentian.
Sungguh terasa perih yang kurasakan. Aku hanya bisa menatap kesalahanku dari jauh yang telah kuperbuat. Masa lalu membuatku gamang. Hening. Bahkan, meluluhlantahkan ego dan angkuhku saat itu. *** Setelah melaksanakan shalat Maghrib, aku berdandan secantik mungkin. Sebentar lagi kak Indra akan datang menjemputku. Tak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil dari depan rumahku. Aku berlari ke luar dan kak Indra telah berdiri dengan busana casual yang digunakannya. Tampan sekali. Aku bengong menatapnya. Dia hanya melemparkan senyum manisnya dan aku pun membalas senyumannya. Aku menyuruhnya untuk menunggu sebentar karena mau mengambil tas dan HP. Setelah tiba di depan kamarku telah berdiri Reyta dan Uni dengan sorot mata tajam penuh tanda tanya. Aku menjelaskannya dan mengatakan kalo dia adalah temanku. Aku memperkenalkan kak Indra dengan mereka, tentu saja mereka bersalaman dan saling menyebut namanya. Dan kak Indra pun cukup ramah pada mereka. Aku pamitan untuk pergi bareng kak Indra dan langsung pulang ke rumah Bunda. Sepanjang perjalanan. Kak indra terus saja ngoceh, dia membuatku tertawa terpingkal-pingkal dengan cerita lucunya. Humoris banget. Aku tak menyangka. menahan rasa sakit di perutku, dia terus saja bercerita padaku. Akhirnya, kami di
107
tempat itu. Lewat 5 menit dari jam 7 malam, kak Indra memarkirkan mobilnya di sudut parkiran mobil. Setelah itu, dia menyerahkan tiket kepada penjaganya. Untuk pertunjukan jam 7, rupanya kak Indra kenal akrab dengan penjaganya karena kelihatan dari obrolan mereka yang akrab dan sering bercanda. Sebelum masuk ke bioskop, kak Indra menyuruhku untuk menunggu sebentar karena ingin membeli popcorn dan minuman dingin. “Jangan lama ya kak Indra.” “Ya, tunggu di sini saja, aku cuma beli di toko depan kok,” ujarnya meninggalkanku dan menuju ke toko yang terletak di depan bioskop, tak lama kemudian, dia kembali dengan kantongan yang besar. Aku hanya tersenyum melihat sikapnya yang lucu dan baik hati. Kami lekas masuk ke gedung itu. Tak banyak penonton, kami mengambil tempat duduk paling depan. Film yang dipilihnya cukup romantis “Diary of Princess”. Meskipun aku tak mengerti dengan bahasanya, tetapi aku dapat memahami jalan ceritanya. Selama film diputar, kak Indra cukup menghormatiku, dia tak pernah menyentuhku apalagi merabaku. Tentu saja aku juga menghargainya. Akhirnya, film berakhir pukul 9. 45 wita. Aku berulangkali mengucapkan puas banget dan terima kasih pada kak Indra. Ketika tiba di parkiran, kak Indra mengajakku untuk makan malam. Aku setuju saja dengan idenya.
Lalu, dia
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang ke restoran terdekat yang terkenal cukup mahal. Aku terkagum-kagum dengan restoran itu karena seumur-umur aku nggak pernah ke sini. Sumpah deh, mewah banget nih resto. Pikirku. “Cha, kamu mau makan apa?” “Terserah kak Indra saja deh, Ocha kan nggak tahu menu di sini, nanti salah pilih menu lagi,” ucapku. “Ya, baiklah,” lalu kak Indra memanggil pelayan dan memesan makanan yang cukup banyak dan aku tak tahu apa saja yang dipesannya itu. Maklum aku kan nggak pernah makan di tempat seperti ini. Mahal banget sih, hanya kalangan elite saja deh yang bisa makan di sini. Kalo gitu untung banget dong aku kenalan dengan kak Indra. 108
Setelah makanan datang, kak Indra menyuruhku untuk segera memakannya. Aku segera saja makan karena memang sudah sangat lapar sekali. Di tengah-tengah kami sedang menyantap makanan, kak Indra ngomong sesuatu yang membuatku cukup kaget. “Cha, boleh nggak aku ngelamar kamu?” “Apa… kak?” aku pura-pura nggak dengar apa yang diucapakannya. “Apa ada yang marah kalo aku melamar kamu?” tanyanya ulang. “Aduh gimana yah kak, sebenarnya Ocha juga nggak tahu. Kak Indra sendiri tahukan kalo aku masih kuliah. Lagian kita kan juga baru kenalan, eh maksudku baru akrab begini. Aku nggak tahu harus ngomong apaan!!”. “Artinya, kamu menolak ya?’ “Bukan begitu maksud Ocha, Ocha….,” aku nggak tahu harus ngomong apa lagi ke kak Indra. “Jadi, aku masih punya kesempatan kan Cha?” “Ocha juga nggak tahu kak, soal kesempatan itu ALLAH yang ngatur.” Setelah itu kesenyapan tercipta di antara kami. Tanpa banyak kata, kami menyelesaikan makan kami dan segera pulang. Sepanjang perjalanan, kami berkatakata lagi. Aku hanya terdiam seribu bahasa melihat sikapnya yang langsung berubah begitu. ***
109
Delapan Minggu pagi yang sangat cerah di rumah Bunda. Aku masih terlelap di tempat tidur ketika Bunda membangunkan. Katanya sudah pagi, apa nggak shalat Subuh. Dan aku tuh nggak pernah ngalahin si Pipit kalo bangun pagi. Mulai lagi deh Bunda mengungkit-ungkit masalah si Pipit. Ayam kesayangan Bunda. Aku kira Bunda sudah melupakannya. “Cha, bangun dong sayang, sebentar lagi kamu harus siap-siap nih.” “Emangnya mau ke mana
Bunda?” tanyaku mengernyitkan kening. Aku
heran plus bingung Bunda mau ngajakku ke mana. “Kita kan mau berziarah ke kuburan Ayah kamu pagi ini. Kamu lupa ya?” “Oh ya? sory Bunda, Ocha lupa banget!!” aku bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi. Oh.. pantas saja Bunda menelponku kemarin, rupanya hanya karena ingin ditemani ke kuburannya Ayah saja ya? aku kira apaan? Aku mandi cukup lama sekali hingga Bunda harus ngomel-ngomel panjang karena meneriakiku untuk segera cepat mandi. Lelet banget sih katanya. Aku hanya tertawa di dalam kamar mandi mendengar omelan Bunda. Lucu banget. Lama banget aku nggak mendengar omelan Bunda seperti ini. Setelah selesai mandi dan berdandan, Bunda mendekatiku. “Cha, teman kamu yang semalam itu apanya kamu? Pacar kamu ya?” “Apaan sih Bunda, hanya teman Ocha saja kok, lho kok mendadak banget sih tanya teman Ocha? Ada apa Bun?” “Nggak, Bunda kira pacar kamu, soalnya, kamu kan pulang karena di antar dia, jadi apa salahnya sih Bunda berpikiran begituan? Salah ya?” tanya Bunda mencubit pipiku. “Aduh sakit Bunda.” 110
“Anak Bunda yang semata wayang ini sudah besar dan sudah pintar berdandan rupanya, lama banget sih?” “Ah, Bunda bisa saja, wajar dong. Bun, Ocha udah cantik nggak?” tanyaku sambil memperlihatkannya kepada Bunda. “Udah sayang, nggak usah cantik banget deh, kita kan hanya ziarah saja. Paling hanya hantunya doang yang bakalan menggoda kamu.” Ujar Bunda dengan tawa cekikikan sambil berlalu di hadapanku. Aku sih hanya jengkel melihat Bunda yang mengerjaiku. Akhirnya aku berangkat bareng Bunda ke kuburan untuk menziarahi Ayah. Ayah meninggal ketika aku berumur 12 tahun. Waktu itu aku masih SMP kelas 2. tentu saja aku kehilangan banget apalagi aku nggak punya saudara dan hanya Bunda yang kumiliki. Aku menangis mengingat kenangan itu bersama orangtua yang sangat kusayangi. Tiba di Pemakaman umum itu, kami segera mendekati kuburan Ayah dan Bunda langsung terkulai jatuh di atas kuburan ayah dengan menangis sesunggukan. Tak jelas apa yang dikatakannya. Bunda menumpahkan semua yang ada di dalam hatinya pada arwah Ayah. Seakan Bunda berhadapan langsung dengan Ayah dan berbicara langsung dengan ayah. Aku hanya terharu melihat pemandangan itu. Ternyata Bunda sangat mencintai Ayah, buktinya setelah Ayah meninggal, Bunda nggak pernah lagi menikah. Dia nggak ingin menodai cintanya dengan pria lain selain Ayah. Lamat-lamat aku mendengar Bunda mengucapkan sesuatu di tengah isak tangisnya. “Pak, anak kita sudah besar sekarang, sudah cantik dan semandiri Bapak. Saya ingin meminta restu Bapak untuk pertunangan anakmu nanti, restui ya Pak.” Deg..!! aliran darahku seakan berhenti dalam waktu sekejap. Bunda ternyata memanggilku ke sini hanya untuk urusan ini saja. Aku bagai disambar petir mendengar semua itu. Aku semakin tak kuasa menahan beban yang kurasakan semakin berat ini. 111
Aku memeluk Bunda dari belakang yang masih terisak. Aku berusaha menenangkannya, dan menenangkan hati dan pikiranku yang sedang kacau balau dan berkecamuk ini. Aku tak menanyakannya dulu pada Bunda saat ini, dia masih labil. Di atas taksi yang kami tumpangi tak ada yang berbicara satu pun. Kami terdia dengan pikiran masing-masing. Aku hanya memeluk Bunda dari samping dengan sejuta pertanyaan yang mengumpul di benakku. Kami tiba di rumah dalam keadaan yang cukup lemas. Aku ke dapur mengambilkan Bunda air putih dan aku juga. Setelah Bunda agak tenang, barulah aku angkat bicara. “Bunda, aku dengar tadi ngomongin pertunangan. Pertunangan siapa Bunda?” “Cha, kamu maukan tunangan dengan Ragil?” Aku terhenyak mendengar nama Ragil yang disebut Bunda. “Bunda ingin mengatakan semua ini padamu sejak dulu, tapi Bunda nggak sempat dan takut kamu belum siap dengan semuanya.” “Tapi, Bunda, sekarang pun Ocha juga belum siap dengan semua ini”. ‘Lho, kenapa Ocha? Bukankah kalian pernah pacaran?” “Bukan begitu Bunda, kami memang pernah pacaran tapi sudah bubaran kok. Dan kejadiannya sudah lama banget. Lagipula, Ocha juga sudah ngomong ke Ragil kok soal semua ini.” “Lalu. Ragil bilang apaan sayang aku menolaknya?”tanya Bunda penasaran. “Nggak kok, dia langsung menghilang setelah itu, tapi Ocha juga nggak langsung menolaknya dengan kasar, hanya saja Ocha bilang kalo kami kuliah dan perjalanan kami masih panjang.” “Lalu, Bunda harus ngomong apaan ke mama Ragil kalo dia menanyakannya kejelasannya nanti, Cha?!” “Yah, bilang saja kalo kita semua belum siap baik Ocha maupun Ragil sendiri. Plis ya Bunda, Ocha nggak bermaksud untuk menentang Bunda, tetapi untuk saat ini, Ocha belum bisa.”
112
Lama Bunda terdiam memikirkan kata-kataku. Dan akhirnya Bunda mengangguk juga. “Ocha, semua ini Bunda lakukan demi kamu, kamu anak semata wayang Bunda, Bunda hanya ingin yang terbaik buat kamu, jadi Bunda nggak akan maksa lagi kok.” Bunda segera memelukku dan menangis. Aku terharu banget dengan semua ini. “Ocha sayang banget sama Bunda.” “Bunda juga sayang sama kamu, sayang.” *** Majalah yang terhampar di depanku terus saja ku bolak balik sambil melirik sesekali ke arah kak Indra yang sedang serius membaca proposal yang kubawa. Beberapa kali dia manggut-manggut, lalu menyimpan proposal itu. Kemudian mendekatiku di kursi yang kududuki. Aku menjadi agak grogi, apalagi dinginnya AC membuatku semakin grogi. Aduh, tenang Ocha, ucapku membathin. “Cha, proposal kamu sangat bagus, tapi kok dana kalian besar juga ya untuk kegiatanmu in?” “Ya, begitulah kak, gimana kak, ada masalah nggak?”tanyaku deg-degan. Setelah lama berpikir, kak Indra mengatakan kalo nggak ada masalah. Kemudian dia bangkit dari kursi yang dia duduki dan beralih ke mejanya kembali. Dia membuka laci mejanya, mengeluarkan seonggok kertas yang cukup tebal berukuran panjang pendek. Lalu, kak Indra menuliskan sesuatu ke kertas itu. Sepertinya selembar cek yang ditulisi nilai nominal yang entah berapa aku tak tahu. Kak Indra mendekatiku lagi,lalu menyerahkan kertas itu. Dengan tangan gemetar segera ke ambil dan membaca nilai nominal yang ditulisnya. Ah, Rp 10 juta. Banyak banget. “Kak. Banyak banget?”tanyaku dengan mata melotot pada kertas itu. Kak Indra hanya tersenyum saja melihat tingkahku yang seperti baru melihat uang. 113
“Nggak kok, lagipula acara kalian juga cukup besar kok, jadi sepantasnyalah kalian menerimanya. Dan aku sangat setuju banget kegiatan yang akan kalian laksanakan. “Thanks ya kak. Kak Indra baik banget deh.” Ujarku sambil memasukkan kertas cek itu ke dalam tasku. “Kalo gitu, Ocha balik saja ya kak, soalnya masih ada urusan yang harus Ocha selesaikan?” aku berdiri dari kursi yang kududuki dan secepat kilat kak Indra mencegahku. “Buru-buru banget sih, kita makan siang saja yuk, aku traktir kok,” kak Indra menawarkanku lagi makan bareng dengannya. “Nggak usahlah kak, lain kali saja. Dan lagian juga kak Indra terus yang traktir Ocha? Nggak enak nih. Maaf ya kak?” “Nggak apa-apalah Cha. Aku juga senang kok dan merasa direpotkan, mau ya Cha?” Setelah berpikir cukup lama, aku mengangguk. Lagipula, dia telah menyumbangkan dananya cukup banyak. Kalo aku tolak, bisa saja dia menarik kembali. Tetapi kalo terima, aku yang keenakan. Eittss.. siapa bilang. Jujur, berada di dekatnya aku nggak nyaman banget. Aku selalu ingin menghindar dari dia. Entah kenapa sejak kak Indra mengutarakan niatnya dulu kalo dia suka aku, aku jadi sangat membencinya dan nggak ingin menemuinya. Hanya karena ini urusan mendadak, makanya aku berusaha menutupi kejengkelanku. Setelah tiba di resto yang dipilih kak Indra, kami memesan makanan pada pelayan. Dan segera menyantapnya ketika makanan telah terhidang di depan kami. “Cha, gimana kesan Bunda kamu waktu melihat aku? Kamu bilang kan kalo aku sudah melamarmu?” tanyanya di sela-sela kami makan. Aku hampir saja tersedak, namun segera kuminum minuman ayang ada di depanku. “Oh iya kak, malahan Bunda nanya, kapan kak Indra datang lagi?” aduh, ngomong apaan sih aku. Bisa-bisa dia berpikir kalo aku juga menyetujui lamarannya. Padahal nggak mungkin deh. Hanya sekadar basa-basi saja kok. 114
“Oh ya? nanti deh aku ke sana kalo aku ada kesempatan. Kamu nggak marahkan?” “Eh..iya…tentu saja nggak.” Aduh apaan lagi nih. Kenapa sih aku semakin keliatan bego di depannya. Kami makan dengan pikiran yang berlarian di benakku. Setelah itu, aku pamitan pulang setelah kak Indra membayar kas bonnya di kasir. “Kak, Ocha langsung pulang saja ya? Makasih banget atas traktirannya ya?”ujarku sambil berlalu dari hadapannya. Kak Indra hanya menatapku bengong. Aku terus memikirkan semuanya. Mengapa aku seperti ini? Memanfaatkan Kak Indra dengan cinta yang dia tawarkan. Sementara aku sangat membencinya. YA ALLAH, apa yang harus hamba lakukan? Hamba juga tak ingin seperti ini, memanfaatakan orang. Tetapi perasaanku terhadap dia memang nggak ada dan aku nggak mau lagi dengan yang namanya cinta. Tetapi, aku juga nggak mau mati rasa dengan pria lain, aku masih punya perasaan. Hanya saja perasaan ini aku tak tahu untuk siapa? Apakah hatiku memang sekeras batu? Aku juga tak ingin seperti itu. Aku masih ingin memiliki cinta yang ada dalam hatiku. Menyayangi orang yang akan kusayangi, namun untuk saat ini, aku tak berkeinginan melakukan semua itu. Lalu, aku harus melakukan apa? Semuanya begitu samar di depanku. *** “Cha, tadi tante Mirna nelpon Bunda, dia nyariin kamu, katanya mau nggak jemput Ragil besok siang di bandara?” “Nggak ah Bunda.” “Cha, kamu nggak boleh gitu dong sayang.” “Bukan begitu Bunda, tetapi besok Ocha ada kuliah, jadi nggak bisa pergi,”ucapku dengan muka sebal. “Ya sudahlah, terserah kamu deh sayang Bunda juga nggak akan maksa kok “ 115
“Makasih yah Bunda?” aku bergegas masuk ke kamar menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Terasa lelah dan penat tubuh ini. Rasanya ingin mandi. Aku membuka pakaianku dan ke kamar mandi. Tubuhku terasa lengket sekali. Byurr…!!! Segar sekali sesegar pikiranku sekarang. “Ada apa yah Ragil muncul lagi?Apakah akan memamerkan padaku bahwa dia sedang sakit hati denganku? Aku hanya pembawa luka baginya. Menancapkan besi tajam ke dalam dadanya. Pantaskah aku dicintai olehnya? Dan mengapa dia tiba-tiba muncul di hadapanku lagi menawarkan luka yang semakin teriris? Aku berganti pakaian setelah mandi sore. Dan mendekati Bunda yang sedang berada di dapur sedang memasak. “Bunda, Ocha bantu ya?” ujarku menawarkan diri untuk menawarkan jasa membantu Bunda yang sedang memasak sayur.
Aku memang sangant senang
masakan Bunda. Sangat lezat dan nggak ada tandingannya. “Nggak usah cha, kamu telpon tente Mirna saja, bilang kalo kamu nggak bisa jemput Ragil besok siang, mau kan sayang?” Aku merungut ke Bunda, aku malu sama tante Mirna. “Ah Bunda saja deh yang nelpon, aku nggak tahu harus ngomong apaan ke tante Mirna kalo dia menanyaiku macam-macam.” “Kamu tuh ya, nggak pernah nurut kalo disuruh sama Bunda, udah besar gini masih bermanjaan dan keras kepala,” “Ah, Bunda, bisa saja, biar Ocha deh yang gantiin Bunda masak nih sayur, boleh kan Bunda?itung-itung Ocha belajar masak.” Di ruang tengah Bunda sedang asyik menelpon tante Mirna. “Ocha nggak bisa jemput Ragil di bandara Besok Mirna, katanya ada kuliah yang nggak boleh ditinggalin. Aku minta maaf ya?” “Nggak apa-apa, mereka kan bisa ketemu nanti, biar aku suruh sopir saja.” “Terimakasih ya Mirna, nanti aku bilang ke Ocha. Oh ya, mengenai keberangkatan Ragil ke Jerman nanti, jadi ya?” 116
“Sepertinya begitu, makanya dia pulang ke sini untuk pamitan, katanya sih mau kangen-kangenan dulu, baru akan pergi, lagipula perginya lama lagi, 2 tahun.” “Oh begitu? ya sudah deh, aku nitip salam saja buat Ragil, nanti aku bilang ke Ocha kalu Ragil akan pergi ke luar negeri,” ujar Bunda ingin menutup telponnya. “Nggak usah Rani, biar Ragil sendiri yang beritahu Ocha, biar jadi surprise.” “Baiklah kalo begitu, sudah ya?” Bunda menutup telponnya dan kembali ke dapur, aku yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Bunda hanya diam membisu, pura-pura nggak dengar apa yang telah dibicarakan mereka berdua. Ragil akan ke Jerman? Untuk apa? Apakah untuk menghilangkan rasa sakit yang ada dalam hatinya ke aku? Bukankah dalam suratnya dulu, dia mengatakan kalo dia takkan berhenti mencintaiku? Lalu untuk apa dia akan ke Jerman? Aduh aku memikirkan apa sih? Nggak penting banget lagi. Aku menggelengkan kepalaku dengan keras dan mengatakan tidak. “Cha, kamu sedang apa sayang?” Bunda heran melihat sikapku barusan. “Nggak kok Bunda, kepala Ocha agak sakit,” jawabku sambil berpura-pura memegangi kepalaku yang tidak sakit. “Kamu istirahat saja di kamar sayang.” Ujar Bunda sambil memegangi kepalaku. “Baik Bunda,” Aku menuju ke kamar tidurku dan segera menjatuhkan tubuhku diatas tempat tidur. Dear diary!!! Mey Luka itu kembali datang kepadaku. Ingin kuhempaskan, namun semakin menghampiriku hingga aku tak bisa berkutik. Akankah aku harus menancapkan kembali keris yang telah tertancap di dadanya itu? Sementara melepaskannya aku tak tahu. Atau ‘dia’ tahu melepaskan diri dari tusukannya?. ‘Dia’ semakin mendekat dan aku tak tahu harus menjauh ke arah mana? Karena di setiap sudut ‘dia’ menghadangku.
117
Akankah Ragil akan muncul dengan sosok baru? Atau tetap seperti dulu dengan kepolosan dan ketulusan cinta yang dia berikan? Mengapa aku begitu sakit? Belakangan ini aku memang sering memimpikan dia dengan mimpi-mimpi burukku itu yang selalu mendatangiku. Ingin meraih tanganku yang yang tak bisa kuraih dan dia pun tak mampu meraihnya. Hingga detik aku belum memahami arti mimpi itu semua? Dengan pesona yang Ragil miliki memang pernah membawaku terhanyut ke dalam perangkap cinta yang kupermainkan sendiri. Dan hingga sekarang pesona yang dia miliki tak pernah pudar. Tetap Ragil yang lembut dan tulus mencintaiku. Dan sekarang dia akan muncul, apakah masih dengan pesona yang sama? Semakin banyak pertanyaan yang menghinggapi benakku hingga membuatku bingung. *** “Hai Cha, apa kabar? Masih ingat aku kan Cha?” suara seorang pria dari horn telepon menyapaku. “Tentu saja, kapan datang Gil?” “Siang tadi, eh ada waktu nggak?” seperti biasa pertanyaan yang selalu muncul ketika bertemu denganku. “Ya, nggak ada sih, emangnya ada apaan?” tanyaku pura-pura bego. “Masih boleh nggak aku pinjem kamu untuk menemani aku jalan-jalan?” “Emangnya barang dipinjem? Nggak ah, aku nggak mau disamai dengan barang,” aku pura-pura ngambek. “Segitu aja marah, aku minta maaf deh tuan Putri.” “Ya. aku maafin kok. Memangnya mau ngajak aku ke mana?” “Ya ke mana saja sih, yang penting kamu senang.” “Lho, siapa yang mau jalan sih? Aku atau kamu?”
118
“Kalo gitu, kita liat saja nanti deh, tapi tuan putri bersediakan?” gombalannya semakin membuatku gerah. Hobinya yang satu ini ternyata tak bisa dihilangkan. “Terserah Paduka Raja saja deh.” Aku juga mulai membalas candaannya. “Kalo, gitu, tunggu aku ya di rumah kamu, aku akan jemput!!” “Baiklah, Paduka.” “Ok deh, bye..bye sayang..” tuut..tuuut, dia langsung menutup telponnya. Ada apa yah Ragil kedengarannya dia senang banget? Malam ini Ragil mengajakku ke sebuah restoran di Jl. Boulevard ‘Mega court’. Dengan Katana merahnya, dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang. “Cha, kamu terima kan surat yang aku kirimkan waktu itu?” tanyanya memulai percakapan. “Iya, memangnya ada apa Gil?” tanyaku berusaha setenang mungkin. “Nggak, waktu itu aku nggak sempat memberitahumu kepulanganku ke Bandung. Sory ya Cha.” “Nggak apa-apa kok Gil, toh aku juga pikir kamu sangat marah padaku dan aku kira kamu sudah lupa,” aku memalingkan mukaku ke arah luar jendela mobil, mengamati pemandangan kota Makassar pada malam hari. Setelah itu kami terdiam hingga tiba di restoran itu. Ragil memarkirkan mobilnya di parkiran paling bealakang, karena hampir semua sudut parkiran telah di penuhi dengan kendaraan. Ragil menjulurkan tangannya
padaku ketika akan turun dari mobil. Aku
menyambutnya dengan terpaksa untuk menghargainya. Kami berjalan beriringan ke dfalam resto itu laiknya sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Ragil memilih meja paling sudut, biar leluasa bicara. Setelah memesan makanan pada pelayan, Ragil memandangku dengan tatapan aneh dan tajam hingga menusuk ke ruang paling dalam hatiku. Astaga..!!! apa yang telah kurasakan ini? Aku nggak boleh menyukainya. Bantahku. “Cha, kamu baik-baik saja kan?” tanyanya menatapku aneh sperti itu. “Ya, iyalah Gil, seperti yang kamu liat sekarang kan?” 119
“Kamu bohong, Cha. Kenapa kamu selalu menutupi semua tentang kamu dariku Cha?” “Maksud kamu apaan Gil?” “Ah sudahlah, lagian kamu juga selalu mengelak dari aku.” Ada nada kesedihan tergambar di wajah itu. Kami terdiam cukup lama, tenggelam dengan pikiran-pikiran masing-masing entah apa ayang ada di benak kami, hanya kesenyapan yang tercipta. Gamang. “Cha, aku mo ngomong sesuatu ke kamu?” “Apaan?” tanyaku singkat. “Cha, gimana dengan perjodohan itu? Kamu setuju kan?” dia mulai ke inti pembicaraan. “Gil, aku……,” aku tak melanjutkan kata-kataku. “Cha, aku hanya butuh jawaban ya atau tidak sekarang.” “Kenapa sih Gil? Sepertinya jawabanku ini buru-buru banget kamu ingin tahu, boleh aku tahu kenapa?” Ragil menundukkan kepalanya, tergambar gurat-gurat kesedihan dari mukanya. Aku tak boleh luluh dengan keadaan ini. “Cha, minggu depan aku akan ke Jerman. Aku dapat beasiswa dari kampus untuk melanjutkan studi di sana. Sebenarnya aku berat hati menerimanya karena pastinya aku akan meninggalkan hati seorang gadis yang sangat aku sayangi. Aku nggak mau kehilangan gadis itu, Cha. Tapi, sekarang aku nggak tahu kepastian gadis yang hingga sekarang masih membeku seperti gunung es dan aku tak yakin akan dapat meluluhkannya.” Aku terhenyak mendengar kalimat Ragil yang cukup panjang itu. Ada perih yang menjalar dalam tubuhku. Sakit yang tak tertahankan. Untuk siapa sakit yang kurasakan ini? Untuk Ragilkah yang begitu tulus menyayangiku? TIDAK. Aku nggak boleh selemah ini? Luluh dengan ucapannya.
120
“Cha, apalagi yang akan kamu sangkal? Aku tahu kalo kamu sudah bubaran dengan Fais. Dan aku tahu juga kalo kamu menolak perjodohan kita dulu hanya karena Fais kan? Lalu sekarang kamu akan mengatakan apalagi?” Aku terus saja terdiam. Dadaku terasa sesak dengan semua ini. Begitu mendadak. “Cha, kamu ingin mengatakan lagi kalo kamu nggak percaya cinta lagi selain Fais kan? Dan nggak butuh cinta lagi kan Cha?” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Cukup kaget juga aku mendengar semua ucapan Ragil. Darimana dia tahu semua ini? “Cha, kenapa kamu diam?” Ragil mulai kelihatan jengkel dengan sikap diamku. “Aku harus jawab apaan lagi Gil? Sementara kamu telah tahu semuanya, aku bingung.” Aku memalingkan muka dengan angkuhku yang kembali menyeruak. Dalam saat seperti pun angkuhku muncul lagi. “Cha, hingga saat ini pun kamu masih mempertahankan ego dan angkuhmu itu. Begitu bencinyakah kamu terhadap cinta hingga harus selalu membohongi perasaanmu sendiri? Kamu menyakiti diri sendiri Cha!!” Ragil terus saja menudingku dengan kata-katanya. “Sudah..diam Ragil..!!” aku berteriak di hadapannya mendengar semua ocehannya. “Nggak Cha, keangkuhan dalam dirimu membuatmu seperti ini.” Suaranya makin keras. Pengunjung lainnya melihat ke arah kami. “Lalu aku harus ngapain Gil? Kamu nggak tahu apa-apa. Kamu bisa mengatakan semua ini karena bukan kamu yang merasakannya,” aku menangis terisak “Cha, justru aku yang sangat merasakannya, perih yang kau rasakan dapat aku rasakan Cha, hanya saja kamu nggak tahu semua itu. Karena kamu terlalu egois, nggak pernah memikirkan apa yang terjadi di sekitarmu. Bahkan, kamu sendiri nggak
121
pernah bisa menengok ke depan selalu ke belakang hingga apa yang kamu peroleh sekarang?” Suasana tegang menyelimuti makan malam kami dengan pertengkaran. Ragil terus saja memojokkanku dengan bukti-bukti yang ia dapatkan. “Cha, aku selalu berusaha agar akulah orang pertama yang kembali bisa mencairkan kebekuan gunung es itu, tapi nyatanya aku memang tak bisa. Aku terkalahkan oleh sesuatu yang tak nyata.” Sungguh menghentakkan dadaku semua perkatan Ragil. Dan aku tak bisa berkutik lagi. Perang bathin pun terjadi begitu hebat dalam ragaku. “Cha, lebih baik dicintai daripada mencintai, dan aku ingin mewujudkan kalimat itu untukmu, karena aku pikir kamu pantas mendapatkan itu. Tetapi ternyata hatimu sekeras batu.” Aku berdiri dan mengajaknya pulang. Aku sudah tak tahan lagi. Aku muak. Ragil pun mengikutiku dan kemudian kami pulang dengan kebisuan dan ketegangan hati. Peperangan batin yang kualami semakin mengukuhkan hatiku untuk berontak. Sepanjang perjalanan pulang, tak ada diantara kami yang berani membuka mulut. Semua hanya tergugu dalam diamnya, tengelam dengan pikiran yang berkecamuk. Hingga tiba di rumah, aku tak mengucapkan sepatah katapun. *** Ragil mendatangi rumah Iyan dengan tiba-tiba. Tentu saja Ian kaget melihat kedatangan Ragil secara mendadak. “Ragil? Kapan kamu datang?” tanyanya. “3 hari yang lalu.” “Hey, kenapa kamu jadi serius gini sih, ada apa? Ada masalah ya dengan Ocha?” tanya Iyan yang menangkap gelagat seius di wajah Ragil. “Iya, aku ingin kamu menolong aku untuk bicara dengannya. Aku sudah tak sanggup menghadapi dia lagi. Dia terlalu keras kepala. Dan angkuhnya itu terlalu di 122
pertahankan. Aku nggak suka dia seperti itu. Aku hanya ingin Ocha yang dulu lagi.” Ragil bercerita tanpa mendapat kode dari Iyan. “Aku akan coba, mudah-mudahan dia bisa mendengarkanku.” “Plis ya, Iyan, 2 hari lagi aku akan ke Jerman. Aku ingin semuanya jelas sebelum aku pergi, aku sangat mencintai dia, Iyan. Aku nggak bisa hidup tanpa dia.” Ragil kelihatan sedih, dia menundukkan kepalanya. “Kamu serius mau ke Jerman? Berapa lama?” “Iya, nggak pasti, bisa dua tahun atau lebih.” “Gil, kamu bersabar ya, besok aku akan menemuinya.” “Makasih ya Iyan.” Kemudian Ragil pamitan, katanya masih ada urusan yang perlu dibereskan sebelum dia pergi. Iyan menatap kepergian Ragil dengan mata sendu. “Kasihan banget Ragil, dia terlalu mencintai Ocha. Ocha, kenapa sih kamu masih pertahankan ego kamu,”gumam Iyan sendirian. *** Aku terbaring lemas tak berdaya di kamarku. Sudah bebarapa hari ini, aku tidak pulang ke kosan, bete. Dengan pikiran yang tumpah tindih, perkataan Ragil malam itu sempat membuatku shock hingga sekarang. Aku tak tahu harus melakukan apa? Mempertahankan egoku atau meraih tangan Ragil? Pintu kamarku di ketuk oleh seseorang. Terdengar teriakan Bunda dari luar yang memanggil namaku. “Cha, teman kamu tuh.” Teman aku? Siapa ya? aku segera bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, aku kaget karena yang ada di depanku adalah Iyan. Dia tak bersama siapa pun. “Tumben kamu datang ke sini? Ada apa?” tanyaku setelah di dalam kamar. “Nggak apa-apa kok, aku kebetulan lewat dan mampir ke sini. Kamu marah yah?” tanyanya sembari mengamati kamarku tiap sudut. 123
“Nggak kok, aku malah senang dong, kamu mau ke sini. Sebentar ya, aku bikinin teh buat kamu. Aku berdiri meninggalkan Iyan yang terduduk di sisi tempat tidurku. Setelah selesai membuatkan minuman buat Iyan, dia mengutarakan niatnya. “Cha, sebenarnya aku bohong kalo hanya kebetulan lewat dan mampir, tapi aku memang berniat ke sini kok.” katanya minta maaf. Aku hanya tersenyum dan mengatakan aku tahu, karena dia nggak bisa berbohong. “Cha, kamu jangan marah ya?” “Apaan sih?” aku dibuatnya penasaran juga. “Kemarin, Ragil datang ke rumah dan meminta aku untuk bicara dengan kamu. Kamu pasti sudah tahu apa yang akan aku omongin kan?” “Ya, pasti ingin menanyakan, apakah aku mau menerimanya lagi?” tatapanku tajam ke Ian hingga membuat dia harus berpaling. “Cha, kapan sih kamu bisa membuang jauh-jauh sifat angkuhmu itu? Aku kan pernah bilang ke kamu tempo hari, gimana kalo Ragil tiba-tiba datang?” “Lalu, mau kamu aku harus menerimanya?” “Cha, apa salah Ragil sih? Dia tulus mencintai kamu, apalagi dia akan pergi ke Jerman besok, kamu ingin pergi dengan membawa luka dari kamu yang sekian lama di tahannya? Kamu ternyata jahat ya Cha, aku baru tahu sekarang.” Aku semakin terjepit dengan semua ini. Semua menghadangku dan menyergapku dengan berbagai macam pertanyaan. “Cha, sampai kapan kamu akan begini terus? Sampai Ragil meninggalkan kamu lagi? Dan kamu akan bersorak gembira karena dia telah jauh? Uh….picik benar ya pikiran kamu Cha. Aku kecewa, aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Lebih baik aku pulang saja. Percuma di sini aku bicara dengan hati yang sekeras batu. Aku ingatkan sekali kamu Cha, Ragil tulus sama kamu, dan lebih baik di cintai daripada kita yang setengah mati mencintai.” Setelah berkata begitu, Iyan benar-benar pergi meninggalkan aku yang terdiam membisu. Ragil, haruskah aku mencintai dia? Diakah gletser yang akan mencairkan gunung es. 124
*** “Cha, kamu nggak mau mengantar Ragil pergi? Hari ini dia akan berangkat ke Jerman, tapi mungkin setelah di Jakarta, baru dia akan berangkat bersamaan dengan mahasiswa lainnya,”tanya Bunda yang masuk ke kamarku dan mendapatiku masih menelungkupkan wajah ke bantal. Aku tak menjawab pertanyaan Bunda, terus saja aku menutup telingaku. Kemudian pergi setelah meneriakkan jam 10 pagi ini, Ragil akan berangkat. “Tante, Ocha nggak ikut?” tanya Ragil pada Bunda setelah tiba di bandara. “Nggak, mungkin dia tak ingin melihat keberangkatanmu, nak Ragil.” Terlihat kesedihan di muka Ragil setelah tahu aku nggak jadi ikut. Ternyata Ocha memang nggak menginginkanku lagi. Selamat tinggal, Ocha. Bisik bathin Ragil. Terdengar dari pusat informasi, operator memanggil para penumpang tujuan Makassar-Jakarta untuk segera menuju pintu 2. Sebentar lagi, pesawat akan berangkat. Dengan hati masih deg-degan, Ragil masih menanti kedatanganku. Harapan itu masih ada. Di bandara, semua orang merasa bingung dan kasihan melihat Ragil yang terus saja mengamati pintu masuk menanti kedatanganku. Terdengar lagi, panggilan operator. Ragil segera menuju pintu 2. selamat tinggal Ocha, ucapnya membatin. Setelah tiba di pintu 2, Ragil masih menoleh, dan saat itulah dia mendapatiku sedang berdiri di sudut pintu memandangnya dari jauh. Ternyata matanya jeli juga mendapatiku berdiri di situ. Dan saat dia ingin berlari mendekatiku, pintu 2 telah ditutup untuk para penumpang dan tidak boleh lagi keluar. Dia hanya melambaikan tangannya padaku dengan senyum lebar yang tersungging di bibirnya. Aku hanya membalas senyumannya, dan kontan saja, Bunda dan yang lain menoleh ke arah lambaian tangan Ragil. Akankah senyuman dan lambaian itu akan membawa arti yang baru buat keduanya……????!!!!!!
125
***
Sinopsis Novel ‘KETIKA KAU HADIR’ Rianty Syafna Tak cukup banyak yang mengetahui makna cinta yang sebenarnya. Begitu pun Ocha. Sekian waktu, angkuh. Sinis, kepicikan akan cinta membungkus raganya. Ocha terperosok dalam permainannya sendiri hingga dia harus merasakan bagaimana perihnya. Keangkuhan hatinya semakin terkukuhkan dengan menyakiti hati dan perasaan pria yang mencintainya. Banyak pria tersakiti olehnya hingga sosok Fais dan Ragil berseliweran silih bergantian mengisi hidupnya dan dihempaskannya juga dengan begitu saja. Namun, ketika Fais ditinggalkannya dulu dengan alasan tak jelas, barulah hatinya mulai merasakan sakit yang teramat perih. Hingga sekarang, Ocha tidak percaya lagi akan cinta terhadap pria lain, karena di dalam hatinya selalu tertanam untuk seorang kak Fais. Hingga ketika ocha pun akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan seseorang yang ternyata adalah Ragil, mantan pacarnya juga. Dengan tegas, Ocha masih menanti Fais akan datang ke hadapannya. Dan hari itu pun tiba, ketika Ocha harus berhadapan dengan sosok Fais yang begitu dirindukannya. Dan keputusan untuk menerima pertunangannya dengan Ragil. Ocha di hadapkan pada dua pilihan, Kemunculan Fais dan Ragil yang begitu tiba-tiba. Fais dengan segala pesona yang ia miliki, akankah mengukuhkan hatinya untuk tak lagi angkuh? Atau Ragil dengan segala ketulusan cinta yang ia tawarkan pada Ocha, akankah diterimanya kembali?
126
A novel by Rianty Syafna Atau Hasnarianti
127
Biodata penulis Nama
:Hasnarianti
Nama pena
: Rianty Syafna
Tempat tanggal lahir: Jeneponto, 22 Juli 1984 Alamat
: Jl. Mannuruki 2 Lr. Mamoa Dalam No. 2 Makassar Sulawesi Selatan 90221
No. telepon
: (0411) 841682
128