Keperawatan Anak.docx

  • Uploaded by: eka kurniati
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Keperawatan Anak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,473
  • Pages: 22
KEPERAWATAN ANAK KONSEP PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG GIZI, SIMULASI DAN PENDIDIKAN SEX PADA ANAK

DOSEN PEMBIMBING : Moh Arip. S.Kp. M.Kes Disusun Oleh : 1. BAIQ JESSY FEBRIANI

(071201160

2. EKA KURNIATI

(071201160

3. FATIHATUL WAHYU A

(071201160

4. L. M SANGSIT

(071201160

5. MITA YULIA RAHMAN

(071201160

6. MUHAMMAD RIZKI UMRAN

(071201160

7. NURHAIDAH

(071201160

8. SURIYANAH

(071201160

9. TOETIO ASWATAMTI

(071201160

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII KEPERAWATAN MATARAM 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat serta karunia-Nya kepada kami , sehingga kami kelompok 1 berhasil menyelesaikan makalah ini yang berjudul “konsep pendidikan kesehatan tentang gizi, simulasi dan pendidikan sex pada anak” untuk memenuhi tugas kelompok. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Moh Arip. S.Kp. M.Kes,. selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Anak di Poltekkes Mataram. Karena atas bimbingan beliau kami dapat mengetahui dan mengerti bagaimana cara mengerjakan tugas ini dengan baik dan benar Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat banyak kesulitan karena kurangnya sumber serta fasilitas untuk penyusunan makalah ini, tetapi itu semua kami jadikan tantangan untuk dapat bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami terima. dengan harapan kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta membantu dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Mataram, 13 Februari 2018

Kelompok 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2 DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4 1.1 Latar Belakang......................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 5 BAB II PEMBAHASAN................................................................... ........................ 6 2.1 Pendidikan Seks pada Anak......................................................................6 2.1.1 Definisi Pendidikan Seks pada Anak........................................6 2.1.2 Tujuan Pendidikan Seks pada Anak..........................................6 2.1.3 Manfaat Pendidikan Seks pada Anak …..….………................7 2.1.4 Metode Pendidikan Seks pada Anak..………………….……..7 2.1.5 Materi Pendidikan Seks pada Anak............................................8 2.1.6 Peran Orang Tua dalam Pendidikan Seks pada Anak.................9 2.2 Kasus dan Deskripsi Kasus…….……………………..……………… 9 2.3 Pembahasan Kasus…………………….……………………..………. 10

BAB III PENUTUP...................................................................................................13 3.1.

Kesimpulan..........................................................................................13

3.2

Saran....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14 DOKUMENTASI.......................................................................................................14

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang terus berkembang seperti sekarang, pendidikan seks merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan manusia, terutama pada anak-anak sejak dini. Akan tetapi disisi lain masyarakat terutama orangtua sangat sulit untuk membicarakan apa lagi menerapkan pendidikan seks usia dini pada anak-anaknya. Orangtua cenderung berpikir bahwa seks adalah sesuatu yang sangat tabu dan tidak pantas jika dibicarakan pada anakanak. padahal dengan menerapakan pendidikan ini, orangtua telah memberikan sumbangsi besar bagi perkembangan dan pengetahuan sang anak di masa yang akan datang. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan sulitnya orangtua menerapkan pendidikan seks pada sang buah hati diantaranya karena pengetahuan yang kurang cukup, paradigma budaya yang salah dan ketidak-tahuan orangtua bagaimana cara untuk menyampaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kita akan membahas pentingnya penerapan pendidikan seks usia dini. Sedikit sekali masyarakat terutama orang tua yang peduli akan pendidikan seks dan menempatkan bahwa seks adalah sesuatu yang penting. Bahkan banyak orang tua yang tidak memberikan pendidikan seks pada anak, dengan alasan anak akan tabu dengan sendirinya. Selama ini seks identik dengan orang dewasa saja. "Pendidikan seks tidak selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tapi juga mencakup halhal lain seperti pemberian pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat," ujar Dra Dini Oktaufik dari yayasan ISADD (Intervention Service for Autism and Developmental Delay). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Pendidikan Seks pada Anak? 2. Apa saja tujuan Pedidikan Seks pada Anak? 3. Bagaimana metode Pendidikan Seks pada Anak?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Seks pada Anak 2. Untuk mengetahui tujuan Pedidikan Seks pada Anak 3. Untuk mengetahui metode Pendidikan Seks pada Anak

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Pendidikan seks merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi, sehingga ruang lingkup pendidikan kesehatan reproduksi lebih luas dan lebih difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan seks (BKKBN, 2009: 3). Pendidikan seks (sex education) adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di antaranya pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen, agama agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut. Itu sebabnya, pendidikan seks dapat dikatakan sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting. Para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seks yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka.

2.2 Tujuan Pendidikan Seks Pada Anak Tujuan pendidikan seks sesuai usia perkembangan pun berbeda-beda. Seperti pada usia balita, tujuannya adalah untuk memperkenalkan organ seks yang dimiliki, seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara melindunginya. Jika tidak dilakukan lebih awal maka ada kemungkinan anak akan mendapatkan banyak masalah seperti memiliki kebiasaan suka memegang alat kemaluan sebelum tidur, suka memegang payudara orang lain atau masalah lainnya. Untuk usia sekolah mulai 6-10 tahun bertujuan memahami perbedaan jenis kelamin

(laki-laki

dan

perernpuan),

menginformasikan

asal-usul

manusia,

membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit. Sedangkan

usia

menjelang remaja,

pendidikan

seks

bertujuan

untuk

menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya,serta menerima perubahan dari bentuk tubuh. Pendidikan seks berguna untuk memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas), menanamkan moral dan prinsip "say no" untuk seks pranikah serta membangun penerimaan terhadap diri sendiri. Bahkan, pendidikan seks

juga penting diberikan pada anak di usia pranikah untuk pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat. Cara memberikan penjelasan pendidikan seks kepada anak sesuai dengan umur mereka : a)

Balita 1-5 tahun Pada usia ini, Anda bisa mulai menanamkan pendidikan seks. Caranya cukup mudah, yaitu dengan mulai memperkenalkan kepada si kecil organ-organ seks miliknya secara singkat. Tidak perlu memberi penjelasan detail karena rentang waktu atensi anak biasanya pendek. Misalnya saat memandikan si kecil, Anda bisa memberitahu berbagai organ tubuh anak, seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, dan jangan lupa penis dan vagina atau vulva. Lalu terangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki adik yang berlawanan jenis. Selain itu, tandaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan, dan terangkan juga jika ada yang menyentuhnya tanpa diketahui orang tua, maka si kecil harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya. Dengan demikian, anak-anak Anda bisa dilindungi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual terhadap anak.

b)

Umur 3-5 tahun Pada rentang umur ini, mengajarkan mengenai organ tubuh dan fungsi masingmasing organ tubuh, jangan ragu juga untuk memperkenalkan alat kelamin si kecil. Saat yang paling tepat untuk mengajarkannya adalah di saat Anda sedang memandikannya. Diharapkan untuk hindari penyebutan yang dianggap tidak sopan di masyarakat untuk menyebut alat kelamin yang dimilikinya. Misalkan seperti vagina atau penis, jangan diistilahkan dengan kata lain seperti “apem” atau “burung”. Anda tidak perlu membahas terlalu detail mengenai jenis kelamin anak Anda atau mengajarkannya dalam kondisi belajar yang serius. Pertanyaan yang sering dilontarkan anak pada usia ini , seperti “mama, kita lahir dari mana?”, Anda juga bisa memberikan penjelasan mengenai darimana bayi berasal dengan menggunakan sebuah cerita agar si buah hati bisa lebih memahami dan tertarik untuk mendengarkannya. Di usia ini juga, seorang anak sudah bisa diajarkan apa itu

perempuan dan laki-laki. Jadi bila Anda memiliki dua anak yang berlawanan jenis, akan lebih mudah untuk Anda menjelaskan perbedaan penis dan vagina kepadanya. Ajarkan juga kepada anak bahwa seluruh tubuhnya, termasuk alat kelaminnya, adalah milik pribadinya yang harus dijaga baik-baik. Dengan demikian, anak harus diajarkan untuk tidak menunjukkan kelaminnya secara sembarangan. Tekankan kepada mereka bahwa mereka memiliki hak dan bisa saja menolak pelukan atau ciuman dan segala macam bentuk kasih sayang yang dinyatakan melalui sentuhan fisik. Hal ini menjadi penting, karena disukai atau tidak, banyak pelaku pelecehan seksual adalah orang-orang yang dekat dengan kehidupan si anak. Orang tua juga diharapkan untuk tidak memaksa seorang anak untuk memeluk atau mencium orang lain jika dia tidak menginginkannya agar si anak bisa belajar untuk menyatakan penolakannya. c)

Umur 6 - 9 tahun Anak-anak sering sekali menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual dari orang dewasa karena ketidakberdayaan dan ketidaktahuan yang bisa dimanfaatkan dengan mudah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Masalah utama dalam kasus pencabulan anak adalah anak kecil tidak sadar bahwa dirinya telah mengalami pencabulan, baik karena keluguan si anak atau karena pelaku berdalih bahwa hal yang dilakukan adalah tanda “kasih sayang”. Di rentang umur ini, si kecil diajarkan mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri. Orang tua bisa mengajarkan anak menolak untuk membuka pakaian bahkan jika ada imbalan sekalipun atau menolak diraba alat kelaminnya oleh temannya. Anak Anda harus diajarkan untuk berteriak sekencang mungkin meminta pertolongan dan melapor ke orang tua jika orang dewasa yang berada di sekitar mereka mengancam untuk memberikan hukuman atau mengintimidasi mereka di saat mereka menolak untuk melakukan hal-hal yang menurut anak tidak nyaman untuk dilakukan. Selain itu, di rentang umur ini, Anda bisa menggunakan hewan tertentu yang tumbuh dengan cepat dan terlihat jelas perbedaan jenis kelaminnya (seperti: anak ayam) di saat bertumbuh dewasa untuk mengajarkan mengenai perkembangan alat reproduksi. Ajaklah anak anda untuk turut mengamati perkembangannya. Jika mereka tidak terlalu memperhatikan hingga detail terkecil, Anda bisa berikan informasi lebih lanjut nanti

sembari menekankan bahwa alat kelamin mereka juga akan berubah seiring mereka bertumbuh dewasa nanti. Orang tua harus memperhatikan suasana hati anak agar saat menyampaikan materi seksualitas, si anak tidak merasa terpojokkan, malu, bodoh, ataupun menjadi terlalu liar dalam menyikapi seks. d)

Umur 9 - 12 tahun Berikan informasi lebih mendetail apa saja yang akan berubah dari tubuh si anak saat menjelang masa puber yang cenderung untuk berbeda-beda di setiap individu. Ajarkan kepada anak bagaimana menyikapi menstruasi ataupun mimpi basah yang akan mereka alami nanti sebagai bagian normal dari tahap perkembangan individu. Pada umur 10 tahun, sebelum menjelang masa puber, Anda sudah bisa memulai topik mengenai kesehatan alat kelamin. Pastikan juga pada anak Anda, jika dia mengikuti semua peraturan kesehatan ini, maka mereka tak perlu banyak khawatir.

e)

Umur 12 - 14 tahun Data yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 51 persen remaja di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah berhubungan seksual sebelum menikah. Penulis memang tidak mendapatkan angka pasti untuk data di tahun 2012, tetapi dengan adanya berita di berbagai media massa yang menyatakan adanya peningkatan dalam tingkat aktivitas seksual remaja, maka tentunya harus ada pendidikan yang memadai untuk menanggulangi hal ini. Dorongan seksual di masa puber memang sangat meningkat, oleh karena itu, orang tua sebaiknya mengajarkan apa itu sistem reproduksi dan bagaimana caranya bekerja. Penekanan terhadap perbedaan antara kematangan fisik dan emosional untuk hubungan seksual juga sangat penting untuk diajarkan. Beritahukan kepada anak segala macam konsekuensi yang ada dari segi biologis, psikologis, dan sosial jika mereka melakukan hubungan seksual. Orang tua selain mengajarkan keterbukaan komunikasi dengan anak terutama dalam membicarakan seksualitas, juga perlu menambahkan keuntungan menghindari aktivitas seksual terlalu dini sebelum mencapai masa dewasa. Hindari penggunaan kata-kata yang menghakimi remaja agar ia tidak merasa ragu, takut, enggan ataupun marah saat membicarakan pengalaman seksual mereka. Jika orang tua merasa agak berat untuk membicarakan topik-topik seksual dengan anak,

orang tua bisa meminta bantuan psikolog atau konselor untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak dan membantu orang tua merasa nyaman membicarakan topik ini. f)

Usia Menjelang Remaja Saat anak semakin berkembang, mulai saatnya Anda menerangkan mengenai haid, mimpi basah, dan juga perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada seorang remaja. Anda bisa terangkan bahwa si gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara, atau terangkan akan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya.

g)

Usia Remaja Pada saat ini, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Anda perlu lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibatakibat secara emosi. Diharapkan, pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar pernikahan saat anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Tidak perlu tabu membicarakan seks dalam keluarga. Karena anak Anda perlu mendapatkan informasi yang tepat dari orang tuanya, bukan dari orang lain tentang seks. Karena rasa ingin tahu yang besar, jika anak tidak dibekali pendidikan seks, maka anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih menakutkan jika informasi seks didapatkan dari teman sebaya atau Internet yang informasinya bisa jadi salah. Karena itu, lindungi anak-anak Anda sejak dini dengan membekali mereka pendidikan mengenai seks dengan cara yang tepat. Menurut Zulia Ilmawati, psikolog, pemerhati masalah anak dan remaja di antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah sebagai berikut :

1.

Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.

2.

Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya

perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki 3.

kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).

4.

Memisahkan tempat tidur mereka. Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orangtuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

5.

Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu). Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.

6.

Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin. Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri,

mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat. 7.

Mengenalkan mahram-nya. Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahram tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 22-23.

8.

Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata. Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.

9.

Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât. Ikhtilât adalah bercampur-baurnya lakilaki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara mereka. Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.

10. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat. Dinamakan khalwat jika seorang lakilaki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. jika

bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat. 11. Mendidik etika berhias. Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat. 12. Ihtilâm dan haid. Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang paling penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim dan Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.

2.3 Metode Pendidikan Seks pada Anak 1. Balita 1-5 tahun Pada usia ini, Anda bisa mulai menanamkan pendidikan seks. Caranya cukup mudah, yaitu dengan mulai memperkenalkan kepada si kecil organ-organ seks miliknya secara singkat. Tidak perlu memberi penjelasan detail karena rentang waktu atensi anak biasanya pendek. Misalnya saat memandikan si kecil, Anda bisa memberitahu berbagai organ tubuh anak, seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, dan jangan lupa penis dan vagina atau vulva. Lalu terangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki adik yang berlawanan jenis. Selain itu, tandaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan, dan terangkan juga jika ada yang menyentuhnya tanpa diketahui orang tua, maka si kecil harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya. Dengan demikian, anak-anak Anda bisa dilindungi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual terhadap anak.

2. Umur 3-5 tahun Pada rentang umur ini, mengajarkan mengenai organ tubuh dan fungsi masingmasing organ tubuh, jangan ragu juga untuk memperkenalkan alat kelamin si kecil. Saat yang paling tepat untuk mengajarkannya adalah di saat Anda sedang memandikannya. Diharapkan untuk hindari penyebutan yang dianggap tidak sopan di masyarakat untuk menyebut alat kelamin yang dimilikinya. Misalkan seperti vagina atau penis, jangan diistilahkan dengan kata lain seperti “apem” atau “burung”. Anda tidak perlu membahas terlalu detail mengenai jenis kelamin anak Anda atau mengajarkannya dalam kondisi belajar yang serius. Ajarkan juga kepada anak bahwa seluruh tubuhnya, termasuk alat kelaminnya, adalah milik pribadinya yang harus dijaga baik-baik. Dengan demikian, anak harus diajarkan untuk tidak menunjukkan kelaminnya secara sembarangan. Tekankan kepada mereka bahwa mereka memiliki hak dan bisa saja menolak pelukan atau ciuman dan segala macam bentuk kasih sayang yang dinyatakan melalui sentuhan fisik. Hal ini menjadi penting, karena disukai atau tidak, banyak pelaku pelecehan seksual adalah orang-orang yang dekat dengan kehidupan si anak. Orang tua juga diharapkan untuk tidak memaksa seorang anak untuk memeluk atau mencium orang lain jika dia tidak menginginkannya agar si anak bisa belajar untuk menyatakan penolakannya.

3. Umur 6 - 9 tahun Di rentang umur ini, si kecil diajarkan mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri. Orang tua bisa mengajarkan anak menolak untuk membuka pakaian bahkan jika ada imbalan sekalipun atau menolak diraba alat kelaminnya oleh temannya. Anak Anda harus diajarkan untuk berteriak sekencang mungkin meminta pertolongan dan melapor ke orang tua jika orang dewasa yang berada di sekitar mereka mengancam untuk memberikan hukuman atau mengintimidasi mereka di saat mereka menolak untuk melakukan hal-hal yang menurut anak tidak nyaman untuk dilakukan.

vvhild abuse dan neglect adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Komite Perlindungan Anak Indonesia melaporkan sepanjang tahun 2007 di Jakarta tercatat 365 kasus child abuse. Bentuk kekerasan yang terjadi berupa kekerasan fisik (136 kasus), kekerasan seksual (117 kasus), dan kekerasan mental dan psikologis (112). Pada kasus kecurigaan adanya child abuse harus diidentifikasi adanya faktor risiko. Faktor risiko tersebut dapat berasal dari orangtua, masyarakat/sosial, dan anak. Faktor risiko adalah faktorfaktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu masalah atau kejadian. Variabel dalam faktor risiko secara bermakna mempunyai asosiasi dengan hasil akhir yang buruk. Faktor risiko dari masyarakat/sosial, seperti: – Tingkat kriminalitas yang tinggi – Layanan sosial yang rendah – Kemiskinan yang tinggi – Tingkat pengangguran yang tinggi – Adat istiadat mengenai pola asuh anak – Pengaruh pergeseran budaya – Stres para pengasuh – Budaya memberikan hukuman badan kepada anak – Pengaruh media massa Faktor risiko dari orangtua: – Riwayat orangtua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil – Orangtua remaja – Imaturitas emosi – Kepercayaan diri rendah – Dukungan sosial rendah – Keterasingan dari masyarakat – Kemiskinan – Kepadatan hunian (rumah tinggal) – Mempunyai banyak anak balita – Riwayat penggunaan zat obat-obatan terlarang narkotika-psikotropika-zat adiktif (NAPZA) atau alkohol – Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga – Diketahui adanya riwayat child abuse dalam keluarga – Kurangnya persiapan menghadapi stress saat kelahiran anak – Kehamilannya disangkal – Orangtua tunggal – Masalah interaksi dengan masyarakat – Kekerasan dalam rumah tangga – Riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia, dll)

– Riwayat bunuh diri pada orangtua/keluarga – Pola mendidik anak – Nilai-nilai hidup yang dianut orangtua – Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak Faktor risiko anak: – Prematuritas – Berat badan lahir rendah – Cacat – Anak dengan gangguan tingkah laku/masalah emosi Skrining adanya child abuse dan neglect secara umum pada anak akan ditemukan adanya: – Adanya perubahan tingkah laku dan performa di sekolah – Tidak mendapat perhatian dari orangtua terhadap masalah fisik dan kesehatannya – Adanya gangguan belajar – Gelisah dan cemas dalam perilaku sehari-hari – Tidak adanya perhatian dari orang dewasa lainnya – Sikapnya pasif, menarik diri – Datang ke sekolah terlalu pagi dan terlambat untuk pulang ke rumah Secara umum pada orangtua akan dijumpai: – Kurangnya perhatian terhadap anak – Menyalahkan anak terhadap masalah yang timbul baik di sekolah maupun di rumah – Menyarankan guru untuk menghukum anak secara fisis bila anak mengalami masalah – Menganggap anak selalu salah, buruk, dan bermasalah – Tidak memberikan kebutuhan anak secara penuh, baik perhatian,kebutuhan fisik, dan emosi Skrining physycal abuse (kekerasan fisis) – Orangtua/pengasuh tidak melaporkan atau mengeluhkan trauma yang ada pada anak – Orangtua yang tidak memberikan perhatian atau kepedulian yang sesuai dengan derajat beratnya trauma yang terjadi pada anak – Orangtua/pengasuh tidak tahu atau tidak jelas dalam menceritakan riwayat terjadinya trauma – Riwayat kecelakaan yang tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma – Terdapat rentang waktu yang lama antara terjadinya trauma sampai dibawa ke petugas kesehatan – Riwayat terjadinya trauma berubah-ubah atau berbeda, atau bertentangan apabila diceritakan kepada petugas kesehatan yang berbeda – Riwayat terjadinya trauma yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak masuk akal Pemeriksaan fisis: – Adanya jejas atau trauma pada lokasi tubuh yang tidak lazim – Jejas multipel dengan berbagai stadium penyembuhan – Jejas dengan konfigurasi yang mencurigakan Skrining sexual abuse Curiga apabila ditemukan lebih dari 1 indikator sebagai berikut :

– Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus – Infeksi vaginal berulang pada anak < 12 tahun – Rasa nyeri, perdarahan, atau keluar sekret dari vagina – Ganggguan mengendalikan buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) – Kehamilan pada usia remaja – Cedera pada payudara, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin, atau dubur – Pakaian dalam robek atau ada bercak darah pada pakaian dalam – Ditemukan cairan semen di sekitar mulut, genitalia, anus, atau pakaian – Nyeri bila BAB atau BAK – Promiskuitas yang terlalu dini Tanda dan gejala adanya neglect: – Tingginya angka absensi sekolah – Tindakan mencuri uang atau makanan – Tidak terpenuhinya kebutuhan akan perawatan kesehatan, gigi, dan imunisasi – Penampilan yang kotor dan bau Tidak menggunakan pakaian yang memadai – Mengkonsumsi alkohol dan obat obatan – Tidak ada orang yang mengasuh/merawat anak di rumah Dampak Pada Anak 



Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia, secara jangka pendek dan jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Gangguan fisik yang terjadi adalah resiko gangguan kesehatan. Saat melakukan hubungan kelaminpun seringkali masih belum bersifat sempurna karena organ vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sesempurna orang dewasa. Bila dipaksakan berhubungan suami istri akan merupakan siksaan yang luar biasa, apalagi seringkali dibawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS, karena penderita pedofilia kerap disertai gonta ganti pasangan atau korban. Bahaya lain yang mengancam, apabila terjadi kehamilan. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia anak atau remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Usia anak yang sedang tumbuh dan berkembang seharusnya memerlukan stimulasi asah, asih dan asuh yang berkualitas dan berkesinambungan. Bila periode anak mendapatkan trauma sebagai korban pedofilia dapat dibayangkan akibat yang bisa terjadi. Perkembangan moral, jiwa dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat bervariasi. Tergantung lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat trauma yang ditimbulkan lebih berat. Trauma psikis tersebut sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Dalam keadaan tertentu yang cukup berat bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak ringan. Dalam keadaan ini pendekatan terapi sejak dini mungkin harus segera dilakukan. Secara sosial, baik lingkungan keluarga atau lingkungan









kehidupan anak kadang merasa diasingkan dengan anak sebaya dan sepermainan. Beban ini dapat memberat trauma yang sudah ada sebelumnya. Dampak Sodomi adalah rentan terkena virus HIV, sifilis, hepatitis, dan infeksi Chlamydia, bakteri yang masuk melalui lubang anal akan sangat mempengaruhi kedua pasangan homoseksual, virus ini bisa mengakibatkan berbagai macam penyakit yang sangat merugikan. Jika si anak mengalami masalah psikis berat maka akan terjadi trauma yang berkepanjangan dan bisa membuatnya menjadi aseksual ketika dewasa alias tidak tertarik melakukan hubungan seksual. Anak korban sodomi yang mengalami trauma berat harus dikeluarkan dari lingkungannya yang lama. Orangtua harus terus memberikan semangat agar si anak bisa melupakan pengalaman pahitnya. Anak korban sodomi memiliki masalah krisis percaya diri sehingga lebih banyak menjadi penyendiri dan pemurung ketika dewasa. Jika si anak korban sodomi merasakan kenikmatan maka peluang untuk mengulangi lagi pengalaman yang dialami semasa kecil akan terjadi. Ketika si anak dewasa, dia akan kembali mencoba melakukannya meskipun nantinya dia adalah heteroseksual. Yang dikhawatirkan kalau dia kembali melakukannya dengan anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Studi yang dilakukan British Columbia 1997 yang menemukan pria yang melakukan sodomi tidak akan mencapai usia 65 tahun. Laki-laki yang melakukan sodomi lebih besar tertular penyakit menular seksual dan HIV. Risiko terkena kanker dubur, hepatitis, dan penyakit kencing nanah (gonorrhea).

Penanganan 







Meskipun pedofilia belum ada obatnya, berbagai perawatan yang tersedia yang bertujuan untuk mengurangi atau mencegah ekspresi perilaku pedofilia, mengurangi prevalensi pelecehan seksual terhadap anak.Pengobatan pedofilia sering membutuhkan kerjasama antara penegak hukum dan profesional kesehatan. Sejumlah teknik pengobatan yang diusulkan untuk pedofilia telah dikembangkan, meskipun tingkat keberhasilan terapi ini sangat rendah. Terapi perilaku kognitif (“pencegahan kambuh”) Terapi perilaku kognitif telah terbukti mengurangi residivisme pada orang yang memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan seks. Menurut seorang seksolog asal Kanada Michael Seto, perawatan perilaku kognitif mempunyai sasaran, keyakinan, dan perilaku yang dipercaya untuk meningkatkan kemungkinan pelanggaran seksual terhadap anak-anak, dan “pencegahan untuk kambuh” adalah jenis yang paling umum dari pengobatan perilaku kognitif.[53] Teknik-teknik pencegahan untuk kambuh kembali didasarkan pada prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengobati kecanduan. Ilmuwan lain juga melakukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat residivisme pedofil dalam terapi lebih rendah dari pedofil yang menjauhi terapi. Intervensi perilaku Perilaku perawatan terhadap target gairah seksual kepada anak-anak, menggunakan teknik kejenuhan dan keengganan untuk menekan gairah seksual kepada anak-anak dan sensitisasi terselubung (atau rekondisi masturbatori) untuk meningkatkan gairah seksual bagi orang dewasa.Perilaku perawatan tampaknya berpengaruh terhadap pola gairah seksual pada pengujian

  



 









phallometriK, tetapi tidak diketahui apakah perubahan uji mewakili perubahan kepentingan seksual atau perubahan dalam kemampuan untuk mengendalikan stimulasi genital selama pengujian. Analisis perilaku terapan telah diterapkan dengan pelaku seks dengan cacat mental Intervensi farmakologi. Dilihat dari berbagai bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofilia bisa dikatakan anak-anak dieksploitasi sebagai korban. Apalagi sebagian kasus pedofilis akan membunuh korbannya bila merasa terancam rahasianya. Anakanak sebagai korban mestinya dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus, terutama di bidang hukum. Secara juridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya atau pelakunya. Selama ini undang-undang yang sering dipakai untuk mengadili penjahat ini adalah dengan KUHP Pasal 292 juncto pasal 64. Tentang Pencabulan. Tuntutan maksimalnya 5 tahun dipandang banyak aktivis perlindungan anak sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku. Kaum Pedofilis harus segera sadar, dengan kenistaan yang hanya memburu kenikmatan sesaat itu ternyata dapat menghancurkan anak seumur hidupnya. Semua lapisan masyarakat, institusi swasta, instasi pemerintah, pemerintah, aktifis dan pemerhati anak harus bahu membahu tiada henti bekerjasama melawan dan melindungi anak Indonesia dari ancaman segala kekerasan terutama pedofilia. Para orangtua harus selalu waspada dan hati-hati terhadap singa berbulu domba seorang pedofilia. Anak jalanan adalah sasaran empuk kaum pedofilia, karena mereka tidak ada yang melindungi. Semua pihak atau siapapun masyarakat yang peduli dengan pengabaian hak anak tersebut harus cepat melakukan aksi nyata melawan pedofilis yang kejam ini. Jangan sampai di masa mendatang terlahir seorang Robot Gedeg atau Babe yang lain hanya karena masyarakat meremehkan hak sebagian anak Indonesia yang mulai pudar. Dampak yang Dirasakan Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual Menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual akan memberikan banyak dampak negatif yang dirasakan pada diri korban. Beberapa dampak yang paling sering dijumpai adalah: 1. Dampak Psikologis Dari hasil studi sebanyak 79% korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya. 2. Dampak Fisik Kekerasan dan Pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). 3. Dampak Cidera Tubuh Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Hal ini dipengaruhi oleh umur korban dan tingkat kekuatan pelaku saat melakukan kejahatannya. 4. Dampak Sosial Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal yang seharusnya kita hindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya.

 

BAB III PENUTUP



III.I



Pendidikan seks bukanlah tentang mendukung anak untuk melakukan hubungan

Kesimpulan

seksual, tapi menjelaskan fungsi alami seks sebagai bagian diri mereka serta konsekuensinya jika disalahgunakan. 

Orang tua merupakan aktor utama dalam hal pendidikan anak. Orang tua sebagai wahana belajar utama bagi anak, karena orang tua lah yang paling tepat untuk memberikan pendidikan seks pada usia dini. Orang tua tidak perlu ragu lagi akan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Hilangkan rasa canggung yang ada dan mulailah membangun kepekaan akan kebutuhan pendidikan seks pada anak.



Kurangnya pembekalan tentang seks dan apabila tidak dimulai sejak dini maka akan lebih membahayakan apabila anak beranjak remaja. Para remaja bisa mencari informasi yang berhubungan dengan seks melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, film, internet dengan mudah membuat anak menjadi bingung dan bias sebab didapat dari narasumber yang tidak layak. Padahal, informasi yang didapat belum tentu benar dan bahkan mungkin bisa menjerumuskan atau menyesatkan. Hasil akhirnya pun tentu tidak sesuai dengan harapan dan manfaat.

       

DAFTAR PUSTAKA



Sumber :



http://health.detik.com/read/2010/04/03/162239/1331267/764/pentingnyapendidikan-seks- pada-anak-kebutuhan-khusus

 

http://www.frisianflag.com/id/ruang-media/liputan-media/4669-pentingnyapendidikan-seks-pada-anak http://ruangpsikologi.com/memberikan-pendidikan-seks-yang-sesuai-denganumur-anak/

 

http://asrofudin.blogspot.com/2010/06/pentingnya-sex-educationpendidikan.html http://deskamudina.blogspot.com/2013/04/perkembangan-dalammenerapkan.html

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Surtiretna, Nina, 2001, Bimbingan seks Bagi Remaja, Bandung: Rosdakarya Offset.



Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendidkan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.



Soewarmin, 1983, Pendidikan Sistematis I. Jogjakarta: Panca Dewi.



Suyud, Rahmad 1978, Pokok Ilmu Jiwa Perkembangan, Yogyakarta: Fak, Tarbiyah IAIN SU-KA



Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendidikan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya



Surachmad, Winarno. 1998. PengantarPenelitian Ilmiah; Dasar Metode, Teknik. Bandung; Tarsito. 



DAFTAR PUSTAKA

Hurlock Elizabent, 2006 Perkembangan Anak jilid 1 edisi ke- 6, PT Gramedia Jakarta

  

Monks f, J , Dkk. 2002. Psikologi Perkembangan, gajah mada university press. Soepartinah pakasi, 2003, Anak Dan Perkembanganya , PT Gramedia Jakarta. Santrock 2002. Child Develoment. Education sex , Lowa wm,c Brown Publisher

Related Documents


More Documents from "Wahyu Yuli"