BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kepailitan merupakan sub judul dari mata kuliah Hukum Dagang. Keberadaannya di Indonesia sudah ada sejak lama. Dan mempunyai kasus yang besar-besaran terjadi ketika tahun 1997, dimana terjadi krisis moneter yang membuat banyak perusahaan harus gulung tikar. Peristiwa tersebut tercatat sebagai krisis yang paling besar terjadi sejak kemerdekaan Indonesia. kondisi keuangan yang memburuk kala itu menyebabkan tingkat suku bunga yang melonjak tajam, sehingga banyaknya para debitur yang tidak mampu menunaikan prestasi kepada kreditur. Upaya demi upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kasus tersebut, sehingga terjadinya reformasi yang menyebabkan mundurnya Presiden Soeharto kala itu. Nilai tukar rupiah menjadi barometer sehat tidaknya suatu negara, apabila tidak bisa diatasi maka akan berdampak pada kondisi keuangan negara yang melemah dan terjadi krisis dimana-mana. Utang merupakan hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang, utang juga merupakan solusi bagi perusahaan mendapatkan tambahan modal untuk operasional perusahaan selain daripada bursa efek. Akan tetapi, penggunaan utang haruslah bijak. Harus ditempatkan untuk sesuatu yang produktif dan bukan konsumtif. Karena utang yang tidak mampu dibayar akan sangat berbahaya dan mengancam keberlangsungan usaha yang dijalankan. Di masa kini, kepailitan banyak bermunculan pada perusahaan-perusahaan yang berskala kecil. Persoalannya bukan tentang kurangnya modal ataupun fundamental perusahaan yang melemah, akan tetapi terjadi pula ketika suatu perusahaan gagal menunaikan prestasi kepada kreditorPKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan
1
juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi harta pailit). PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur. B. Rumusan Masalah Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Mengetahui mengenai konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
D. Sistematika Pembahasan Makalah ini akan terbagi menjadi tiga bab, yaitu sebagai berikut : BAB I
:Pendahuluan yang meliputi; Kata Pengantar, Latar Belakang dan Rumusan masalah 2
BAB II
: Pembahasan masalah yang meliputi : 1. Konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
BAB III
: Penutup yang meliputi; Kesimpulan.
DAFTAR PUSAKA
3
BAB II PEMBAHASAN A. KEPAILITAN 1. Definisi Hukum Kepailitan Kata pailit, berasal dari kata fallere dari bahasa Latin yang artinya menipu.1 Failliet dalam bahasa Belanda, atau Taflis dalam bahasa Arab, masdar dari fallasa yang artinya menjadikannya miskin, juga disebut iflas (jatuh miskin) masdar dari kata Aflasa yang berarti dia menjadi orang yang dalam keadaan tidak mempunyai uang2, atau bangkrut yang dalam bahasa Inggris disebut dengan bankrupt berasal dari undang-undang di Italia yang disebut dengan banca rupta. Pada abad pertengahan di Eropa, terjadi praktik kebangkrutan yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditornya. Adapun di Venetia (Italia) pada waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur. 3 Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran
terhadap
utang-utang
dari
para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami
kemunduran.
Sedangkan
kepailitan
merupakan
putusan
pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil 1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 2012, hlm 14. 2 Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm. 185. 3 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1.
4
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.4 Dalam kepustakaan, Poerwadarmita mengartikan “pailit” artinya “bangkrut”; dan “bangkrut” artinya ialah menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan.5 Abdul R. Saliman dalam bukunya
Hukum Bisnis dalam
Perusahaan, mengatakan bahwa pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib, agar semua kreditor mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.6 Algra mendenisikan kepailitan adalah “Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”7 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary memberi definisi “Bancrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or, become, due”8 (Bangkrut ialah keadaan atau kondisi seseorang yang tidak mampu membayar hutangnya, atau telah jatuh tempo). Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 memberi arti Kepailititan adalah “sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan
dan
pemberesannya
dilakukan
oleh
Kurator
di
bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
4
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2. Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1. 6 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 133. 7 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2. 8 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Minnesota, 1979, hlm. 134. 5
5
2. Sejarah Hukum Kepailitan Pada masa Romawi di tahun 118 SM, apabila seorang debitor tidak dapat melunasi utangnya, maka pribadi debitor secara fisik yang harus bertanggung jawab. Pada abad ke-5 SM, apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya, maka kreditor berhak untuk menjual debitor sebagai budak. Hasil penjualan pribadi debitor sebagai budak tersebut merupakan sumber pelunasan bagi utangnya kepada kreditor. Namun demikian, sebelum dapat menjual debitor sebagai budak, kreditor harus memberikan waktu selama 60 hari kepada debitor untuk mengupayakan pelunasan utangnya itu. Pada zaman Yunani kuno dan zaman Republik Romawi, kematian, perbudakan, pemotongan atas anggota tubuh, hukuman penjara atau pengasingan terhadap debitor merupakan konsekuensi dari tidak dibayarnya utang oleh debitor. Dan apabila debitor meninggal dunia sementara ia belum melunasi utang-utangnya, kreditor dapat juga menyita jenazahnya sebagai jaminan utang terhadap ahli waris debitor sampai pelunasan utang itu terselesaikan. Praktik tersebut sesuai dengan budaya Romawi pada saat itu, yaitu kepercayaan bahwa jenazah seseorang harus tetap utuh agar arwah dapat berhasil dalam perjalanannya menuju alam baka. Mendekati abad ke-2 M, debitor hanya dapat ditahan sebagai jaminan utang sampai ada teman atau keluarganya yang bersedia melunasi utangutangnya dan si debitor tidak dapat dijadikan pelayan (budak) bagi si kreditor. Di kota-kota dagang di Italia di zaman Romawi itu, seperti, Genoa, Florence, dan Venesia, eksekusi terhadap harta kekayaan debitor untuk melunasi utang-utangnya telah merupakan praktik yang umum dilakukan. Pengawasan pelaksanaan pelunasan utang-utang para kreditor dari hasil penjualan harta kekayaan debitor itu, dilakukan oleh hakim yang memastikan bahwa
pelunasan
tagihan
masing-masing
proposional sesuai dengan besarnya tagihan.
6
kreditor
dilakukan
secara
Ketentuan Romawi-Italia tersebut diikuti oleh Perancis dan berlaku terutama di Lyon, yang pada waktu itu banyak dikunjungi oleh para pedagang dari Italia. Ketentuan induk tentang kepailitan di Perancis terdapat di dalam Ordonnance du Commerce (Peraturan Dagang) tahun 1673. Di dalam salah satu bab dari Ordonnance tersebut diatur tentang kepailitan, yaitu Bab IX tentang Des Faillites et Banqueroutes. Di dalam Ordonnance itu, sudah dikenal perbedaan perlakuan antara kreditor konkuren dan kreditor preferen. Pada tahun 1807, Ordonnance tersebut disempurnakan menjadi Code de Commerce (KUH Dagang). Di Inggris, hukum kepailitan Inggris lama yang paling penting adalah The Statute of Bancrupts tahun 1570. Undang-undang itu bertujuan untuk menindak dan menghukum debitor-debitor yang curang. Undang-undang itu hanya berlaku untuk para debitor yang pekerjaannya adalah pedagang. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan pengaduan, Lord Chancellor dapat menunjuk suatu komisi yang terdiri atas orang-orang yang “wise, honest, and discreet” yang diberi wewenang untuk menyita harta kekayaan debitor yang pailit dan menjualnya untuk melunasi secara pro rata utang-utangnya. Debitor pailit tetap harus bertanggung jawab sepanjang utang-utangnya belum dilunasi dan dapat ditempatkan di penjara oleh komisi yang kemudian ditempatkan di pillory dan kehilangan kupingnya. Pikiran untuk memperkenankan seorang debitor secara sukarela mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu sebagai cara keluar karena kesulitannya karena utangutang yang harus dibayar kepada para kreditornya, baru masuk ke dalam hukum kepailitan Inggris pada abad ke-19. Kini, undang-undang kepailitan yang berlaku di Inggris ialah Insolvency Act of 1986. The Statute of Bankcrupts of 1570 yang berlaku di Inggris juga berlaku di Amerika Serikat selama masa kolonial. Undang-undang kepailitan pertama yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat adalah The Bankruptcy Act of 1800. Lalu kesempatan bagi debitor untuk menyatakan secara sukarela dirinya permohonan pailit baru ada pada Bankruptcy Act of 1841. Hukum kepailitan
7
Amerika Serikat selalu berubah seiring berkembangnya zaman, setelah The Bankcruptcy Act of 1898, lalu pada akhirnya lahirlah Bankcruptcy Code pada 1979 yang sampai sekarang ini masih digunakan di Amerika Serikat. 9 Hukum Kepailitan di Indonesia sendiri pada awalnya diatur dalam dua peraturan perundang-undangan, yaitu Wet Book Van Koophandel atau WvK dan Reglement op de Rechtvoordering (RV). Wet Book Van Kophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de vorzieningen in geval van onvormogen kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang adalah peraturan
kepailitan
untuk
pedagang,
sedangkan
Reglement
op
de
Rechtvoordering (RV) Stb. 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kennelijk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi, ternyata dalam pelaksanaannya kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain: a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya. b. Biaya tinggi. c. Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan. d. Perlu waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya. Maka, lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo. Stb. 1906-556) untuk menggantikan dua peraturan kepailitan tersebut. Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku untuk golongan Eropa, Tionghoa, dan Timur Asing (Stb. 1924-556). Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348).
9
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 2012, hlm. 10-14.
8
Kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama terletak pada kemam puan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan, akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat sehingga wajarlah jika kebutuhan penyediaan sarana hukum yang memadai, yakni yang cepat, adil, terbuka, dan efektif semakin mendesak guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian nasional. Kemudian, dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan undangundang tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998. Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 13510 dikarenakan krisis ekonomi yang sangat bergejolak yang melanda Indonesia dimana hampir seluruh sendi kehidupan perekonomian nasional rusak, termasuk dunia bisnis dan masalah keamanan investasi di Indonesia. Krisis tersebut, dengan sisi lain, membawa makna perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di Indonesia selanjutnya. Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No. 37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk
10
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 213.
9
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain: a. Agar tidak menimbulkan berbagai tafsiran dalam UU ini, pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. b. Terdapat syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk didalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang. 3. Asas Hukum Kepailitan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengandung beberapa asas yang sejalan dengan yang seharusnya dianut oleh suatu undang-undang Kepailitan yang baik. Asas-asas tersebut antara lain adalah: a. Asas Keseimbangan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengandung beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang beritikad tidak baik. b. Asas Kelangsungan Usaha Dalam
Undang-Undang
Kepailitan
dan
PKPU,
terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. c. Asas Keadilan 10
Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya. d. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.11 4. Tujuan Hukum Kepailitan Tujuan-tujuan dari adanya hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah: a. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya; b. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor; c. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut Profesor Radin dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, tujuan semua undang-undang kepailitan (bankcrupty laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya.12
11
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 132. 12 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 2012, hlm. 28.
11
5. Fungsi Hukum Kepailitan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berfungsi baik untuk kepentingan debitor maupun kepentingan kreditor, antara lain: a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor; b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya; c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.13 Mengutip Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang berpendapat bahwa hukum harus merupakan sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, diharapkan undang-undang ini juga berperan dalam pembaharuan masyarakat untuk menyelesaikan utang-piutangnya.14 Dan dapat memenuhi fungsi dan peran hukum di tengah-tengah hidup bermasyarakat.
13
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI, Bandung, 2010, hlm. 72. 14 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI, Bandung, 2010, hlm. 74.
12
6. Syarat-Syarat Kepailitan Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ini telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya” Ketentuan di atas mempunyai arti bahwa untuk mengajukan permhonan pailit terhadap seorang Debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Debitor yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua utang, artinya mempunyai dua atau lebih kreditor. Oleh karena itu, syarat ini disebut syarat concurcus creditotorium. b. Debitor tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya. c. Utang yang tidak dibayar lunas itu haruslah utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due/expired and payable). Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.15
15
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 133.
13
7. Pihak-Pihak yang Berkaitan dalam Proses Kepailitan a. Pihak pemohon pailit Adalah mereka yang mengajukan permohonan pailit sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 b. Pihak debitor pailit Adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. c. Hakim niaga Adalah hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara di pengadilan niaga. Perkara kepailitan hanya boleh diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim tunggal). Baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. d. Hakim pengawas Adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. e. Kurator Adalah salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam suatu proses perkara pailit. f. Panitia kreditor Adalah pihak yang mewakili pihak kreditor sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditor. Panitia kreditor ada dua macam: 1) Panitia kreditor sementara Yakni panitia yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit
14
2) Panitia kreditor tetap Yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditor sementara. g. Pengurus Pengurus hanya dikenal dalam proses penundaan pembayaran, tetapi tidak dikenal dalam proses kepailitan. 8. Kurator a. Orang yang berhak menjadi Kurator Di dalam Undang-Undang Kepailitan, yang dapat bertindak menjadi kurator adalah sebagai berikut: 1) Balai Harta Peninggalan (BHP), atau 2) Kurator lainnya. Yang dimaksud dengan kurator lainnya (yaitu kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan) adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus
dan atau
membereskan harta pailit, dan 2) Telah terdaftar pada departemen kehakiman sebagai Kurator. b. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika menjadi kurator Untuk melakukan tindakannya, kurator haruslah memerhatikan hal-hal sebagai berikut:16 1) Apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut
16
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hlm. 42.
15
2) Apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu 3) Apakah terhadap tindakan tersebutdiperlukan terlebih dahulu persetujuan/izin/keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti dari pihak hakim pengawas, pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor, dan sebagainya. 4) Apakah terhadap tindakan tersebut memerlukan prosedur tertentu, seperti harus dalam rapat dengan kuorum tertentu, harus dalam sidang
yang
dihadiri/dipimpin
oleh
hakim
pengawas,
dan
sebagainya 5) Harus dilihat bagaimana cara yang layak dari segi hukum, kebiasaan
dan
sosial
dalam
menjalankan
tindakan-tindakan
tertentu. Misalnya, jika menjual aset tertentu, apakah melalui pengadilan, lelang bawah tangan dan sebagainya. c. Hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan khusus kurator Diantara hak dan kewajiban kurator antara lain:17 1) memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang belum atau baru sebagian dipenuhi oleh Debitor (Pasal 36 ayat (1) UUK) 2) berwenang menghentikan sementara sewa menyewa barang yang telah dilakukan oleh Debitor (Pasal 38 UUK), menghentikan hubungan perburuhan (Pasal 39 ayat (1) UUK). 3) mengangkat atau mengubah syarat penangguhan hak eksekusi Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, haktanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 57 ayat (2) UUK).
17
Moch Zulkarnain Al Mufti. “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit di Bawah Harga Pasar”, Lex Renaissance, No. 1 Vol. 1 Januari 2016, hlm. 95.
16
4) menuntut kepada Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya untuk
menyerahkan
berakhirnya
jangka
benda
yang
menjadi
waktu
bagi
Kreditor
agunan, tersebut
setelah untuk
melaksanakan hak eksekusi atas benda yang menjadi agunan seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 59 ayat (2) UUK). 5) melanjutkan usaha Debitor, dengan persetujuan panitia Kreditor, kurator berkuasa untuk melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit, walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila dalam putusan pernyataan pailit tidak diangkat panitia Kreditor, persetujuan untuk melanjutkan usaha tersebut diatas, dapat diberikan oleh Hakim Pengawas (Pasal 104 ayat (1) UUK). 6) membuka surat dan telegram yang ditujukan kepada Debitor (Pasal 105 UUK). 7) memberikan suatu jumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas untuk penghidupan Debitor pailit dan keluarganya (Pasal 106 UUK). 8) mengalihkan harta pilit, dengan pertimbangan untuk menutup ongkos kepailitan atau apabila penahanan barang-barang akan mengakibatkan kerugian pada harta pailit, maka atas persetujuan Hakim
Pengawas,
kurator
dapat
mengalihkan
harta
pailit.
Pengalihan harta pailit ini dapat diselenggarakan, meskipun terhadap putusan pernyataan pailit diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 107 ayat (1) UUK). 9) mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya perkara (Pasal 109 UUK). 10) meminta
kepada
Kreditor
memasukkan
surat
yang
belum
diserahkan, memperlihatkan catatan dan surat bukti asli, dalam rangka pencocokan perhitungan piutang Kreditor (Pasal 116 ayat (2) UUK). 17
11) berhak menarik kembali pengakuan sementara atau bantahannya, atau menuntut supaya Kreditor menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya yang tidak dibantah oleh Kurator atau salah seorang Kreditor (Pasal 124 ayat (3) UUK); 12) kurator dapat melakukan penjualan barang secara dibawah tangan, dengan izin Hakim Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UUK).
9. Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Permohonan Pailit a. Kreditor atau beberapa kreditor Menurut Pasal 55 UU No 37 Tahun 2004, kreditor atau para kreditor meliputi: 1) Golongan separatisen, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut kreditor preferen atau secured creditors yaitu para kreditor yang mempunyai hak didahulukan, disebut demikian karena para kreditor yang telah diberikan
hak
untuk
mengeksekusi
sendiri
haknya
dan
melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dalam arti lain, kreditor ini dapat menyelesaikan secara terpisah di luar urusan kepailitan. Meskipun demikian, untuk melaksanakannya menurut ketentuan undang-undang para kreditor tidak bisa langsung begitu saja melaksanakannya. 2) Golongan dengan
hak
privilege, yaitu orang-orang yang
mempunyai tagihan yang diberikan kedudukan istimewa, sebagai contoh, penjual barang yang belum menerima bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari pendapatan penjualan barang yang bersangkutan. 18 3) Kreditor lainnya atau unsecured creditors adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor yang lain secara proposional,
18
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 135.
18
atau disebut juga secara pari pasu yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan Harta Pailit yang tidak dibebani hak jaminan. Disebut juga sebagai kreditor konkuren.19 b. Debitor sendiri Seorang debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya (voluntary petition) apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor. b. Debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih.20 c. Kejaksaan untuk kepentingan umum Hal yang dimaksud dengan “untuk kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Kejaksaan dalam hal ini dapat sebagai pemohon pernyataan kepailitan karena dikhawatirkan terjadi hal berikut: 1) Debitor melarikan diri. 2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan. 3) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat. 4) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu. 5) Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.21 d. Bank Indonesia
19
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 144. 20 Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 134. 21 Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 215.
19
Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan sematamata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan sevara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indnesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. e. Badan Pengawas Pasar Modal-LK (BAPEPAM-LK) Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Peminjaman, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Permohonan pailit sebagaimana dimaksud hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Mdal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap Bank. f. Menteri Keuangan Dalam
hal
debitor
adalah
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.22
22
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 136.
20
10. Tata Cara Permohonan Kepailitan Permohonan kepailitan harus diajukan secara tertulis oleh seorang advokat (kecuali jika permohonan diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan tidak diwajibkan mempergunakan advokat). Surat permohonan berisikan anatara lain: a. Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan; b. Nama,
tempat
kedudukan
pengurus
perusahaan
atau
direktur
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas; c. Nama, tempat kedudukan para kreditor; d. Jumlah keseluruhan utang; e. Alasan permohonan. Selanjutnya, panitera pengadilan setelah menerima permohonan itu melakukan pendaftaran dalam registernya dengan memberikan nomor pendaftaran dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang. Tanggal bukti penerimaan itu harus sesuai dengan tanggal pendaftaran permohonan. Dalam jangka waktu tiga hari panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada ketua pengadilan untuk dipelajari selama dua hari untuk kemudian oleh ketua pengadilan akan ditetapkan hari persidangannya. Setelah hari persidangan ditetapkan, para pihak (pemoohon dan termohon) dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan kepailitan. Pemeriksaan harus sudah dilakukan paling lambat dua puluh hari sejak permohonan didaftarkan di kepaniteraan. Apabila dalam pemeriksaan terbukti bahwa debitor berada dalam keadaan berhenti membayar, hakim akan menjatuhkan putusan kepailitan kepada debitor. Putusan atau penetapan kepailitan harus sudah dikeluarkan atau diucapkan
paling
lambat
tiga
puluh
hari
sejak
tanggal
pendaftaran
permohonan kepailitan dan putusan ini harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 21
Setelah putusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, pengadilan dalam jangka waktu dua hariharus memberitahukan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir tentang putusan itu beserta salinannya kepada: a. Debitor yang dinyatakan pailit; b. Pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit; c. Kurator serta hakim pengawas. Dalam hal putusan telah dikeluarkan, dalam jangka waktu paling lambat lima hari sejak tanggal diputuskannya permohonan kepailitan, maka kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurangkurangnya dalam dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas. Dalam pengumuman itu harus dikemukakan hal-hal yang menyangkut: a. Ikhtisar putusan kepailitan; b. Identitas, pekerjaan, dan alamat debitor; c. Identitas, pekerjaan, dan alamat anggota sementara kreditor (apabila telah ditunjuk); d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor; e. Identitas hakim pengawas. Di samping itu, panitera pengadilan wajib menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat setiap perkara kepailitan yang secara berurutan harus memuat: a. Ikhtisar putusan pailit atau pembatalan pailit; b. Isi singkat perdamaian dan pengesahannya; c. Pembatalan perdamaian; d. Jumlah pembagian dalam pemberesan; e. Pencabutan kepailitan; dan
22
f. Rehabilitasi, dengan menyebut tanggalnya masing-masing.23 11. Upaya Hukum a. Upaya Hukum Kasasi Permohonan kasasi diajukan dalam jangka waktu paling lambat delapan hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan, dengan mendaftarkannya pada panitera di mana pengadilan yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit berada. Mahkamah
Agung
wajib
mempelajari
permohonan
kasasi
dan
menetapkan hari sidang paling lambat dua hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. 24 b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan PK dapat diajukan apabila: a. Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda;
23
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 216219. 24 Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 138.
23
b. Atau dalam putusan hakim Pengadilan Niaga yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.25 Jika putusan Pernyataan Pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tersebut, tetap sah dan mengikat debitor. 26 12. Akibat Kepailitan a. Akibat terhadap harta kekayaan. Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan sertta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri debitor. Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa debitor demi
hukum
kehilangan
haknyauntuk
menguasai
dan
mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Beberapa harta debitor yang tidak dimasukkan sebagai Harta Pailit: 1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh dibitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya, yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; 2) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, 25
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti, Jakarta, 2012, hlm. 167. 26 Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 139.
24
pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau 3) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.27 b. Akibat terhadap transfer dana. Pasal 24 Ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan dimaksud, transfer tersebut wajib diteruskan. Hal demikian juga terjadi pada transfer Efek, yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, bahwa transaksi Efek di Bursa Efek tersebut wajib diselesaikan. c. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit. Pasal 25 UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa apabila sesudah debitor dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan debitor tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit. d. Akibat terhadap hukuman kepada debitor. Pasal 25 Ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa penghukuman badan yang didapatkan debitor tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. e. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa mereka yang merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit debitor, harus mendaftarkan piutangnya itu umtuk dicocokkan dalam verifikasi. f. Akibat hukum terhadap eksekusi (pelaksanaan putusan hakim).
27
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 140.
25
Pasal 31 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa dengan adanya putusan pernyataan pailit mengakibatkan segala sitaan pelaksanaan (exeturial beslag) dan sitaan jaminan (conservatoir beslag) menjadi hapus. g. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan. Penyanderaan (gijzeling) adalah tindakan penahanan terhadap debitor agar mau melunasi utangnya, pemikirannya ialah agar sanak saudaranya mengeluarkannya dari penyanderaan dengan menebus utang debitor tersebut. Namun Pasal 31 Ayat (3) UU Kepailitan menyatakan debitor yang sednag dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah pernyataan pailit diucapkan. h. Akibat kepailitan terhadap uang paksa (dwangsom). Pasal 32 UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa selama kepailitan tidak dikenakan adanya uang paksa, mencakup uang paksa sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. i.
Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik. Pasal 36 UU Kepailitan dan PKPU mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan
pelaksanaan
bersangkutan
dan
perjanjian
kurator
dapat
tersebut.
Pihak
yang
membuat
kesepakatan
mengenaik jangka waktu pelaksanaannya; 2) Apabila kesepakatan jangka waktu tersebut tidak tercapai maka Hakim
Pengawas
yang
menetapkan
jangka
waktu
yang
dimaksud; 3) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan kurator tidak memberikan
jawaban
atau
pelaksanaan perjanjian maka: a) Perjanjian berakhir.
26
tidak
bersedia
melanjutkan
b) Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat menuntut ganti kerugian dan berkedudukan sebagai kreditor konkuren. 4) Apabila kurator menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjanjian,
kurator
wajib
memberikan
jaminannya
atas
kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian dimaksud; 5) Ketentuan tentang akibat disebut di atas tidak berlaku untuk perjanjian yang mewajibkan debitor melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan. j.
Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa. Pasal 38 UU Kepailitan dan PKPU mengatur tentang kemungkinan apabila sebelum dinnyatakan pailit, debitor telah menyewa suatu barang kepada pihak lain, yaitu: 1) Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian perjanjian sewa tersebut dilaksanakan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat; 2) Untuk
melakukan
penghentian
perjanjian
sewa
menyewa
tersebut harus dilakukan pembeitahuan menurut perjanjian atau kelaziman dalam waktu palling singkat 90 hari; 3) Apabila uang sewa telah dibayar di muka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut; 4) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit, uang sewa merupakan utang harta pailit. k. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja. Pasal 39 UU Kepailitan dan PKPU mengatur tentang akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja, bahwa pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan
hubungan
memberhentikannya
kerja.
dengan
Di
pihak
mengindahkan 27
lain, jangka
kurator waktu
dapat menurut
persetujuan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemutusan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling sedikit 45 hari sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan pernyataan pailit, upah yang terutang sebelum atau sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. l.
Akibat kepailitan terhadap harta warisan Pasal 40 UU Kepailitan dan PKPU mengatur dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama kepailitan, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima harta warisan tersebut, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas.28
28
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI, Bandung, 2010, hlm. 107-119.
28
B. PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN HUTANG 1. Definisi Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang adalah penawaran rencana perdamaian oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditor. PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayan debitur, dimana selama berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksakan untuk membayar uangutangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang ditangguhkan.29 2. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan PKPU PKPU diatur dalam pasal 222 s.d. 294 UU Kepailitan. PKPU ini sangat erat kaitannya dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) dari debitur terhadap utang-utangnya kepada kreditor. PKUP dapat diajukan oleh : a. Debitur
yang mempunyai lebih dari 1(satu) kreditor; atau debitur yang
tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang -utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditor. b. Kreditor. Dalam hal ini adalah kreditor konkuren dan kreditor preferen (kreditor yang didahulukan). Kreditor yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi PKPU, untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
29
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2, hal. 240
29
c. Pengecualian : Debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. 1) Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. 2) Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 3) Dalam
hal
debiturnya
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
3. Permohonan PKPU dan Permohonan Pernyataan Pailit Pada dasarnya, pemberian PKPU kepada debitur dimaksudkan agar debitur yang berada dalam keadaan insolvensi, mempunyai kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian, baik berupa tawaran untuk membayar utang secara keseluruhan atau sebagian atas utangnya ataupun melakukan restrukturisasi (penjadwalan ulang) atas utangnya. Oleh karena itu PKPU merupakan kesempatan bagi debitur untuk melunasi utang-utang agar debitur tidak sampai dinyatakan pailit. Dalam hal ada permohonan dinyatakan pailit dan permohonan PKPU yang diajukan dan diperiksa pada saat bersamaan maka Pengadilan Niaga wajib memberikan putusan terlebih dahulu atas permohonan PKPU dibandingkan dengan permohonan pernyataan pailit. Adapun dalam hal permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitur maka agar permohonan PKPU tersebut dapat diputus terlebih dahulu, permohonan PKPU tersebut harus diajukan pada sidang pertama
30
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit diatur dalam pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepailitan.30 4. Syarat Pengajuan Permohonan PKPU Pengajuan PKPU ditunjukan kepada Pengadilan Niaga dengan melengkapi persyaratan : a. Surat
permohonan
bermaterai
yang
ditunjukan
kepada
ketua
Pengadilan Niaga setempat, yang ditandatangani oleh debitor dan penasihat hukumnya; b. Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukan kuasa pada orangnya bukan pada law-firm-nya); c. Izin advokat yang dilegalisir; d. Alamat dan identitas lengkap para kreditor konkuren disertai jumlah tagihan pada masing-masing debitur; e. Financial report; dan f. Dapat dilampirkan rencana perdamaian (accoord) yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor konkuren.31
5. Jangka Waktu Pemberian Putusan PKPU PKPU sendiri terbagi dalam 2 tahap, yaitu sebagai berikut : a. PKPU Sementara Ini merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Sebagaimana diatur dalam UUKPKPU, apabila debitur mengajukan permohonan PKPU,
sejauh
syarat-syarat
administrasi
sudah
dipenuhi,
Pengadilan harus segera mengabulkannya paling lambat tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan. Sedangkan dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh kreditor, Pengadilan harus 30 31
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.169-170 Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.148
31
segera mengabulkan permohonan PKPU selambat-lambatnya dua puluh
hari
sejak
didaftarkannya
permohonan.
Pengadilan
kemudian harus menunjuk hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus. Putusan Pengadila Niaga tentang PKPU sementara ini berlaku selama maksimum empat puluh lima hari dan setelah itu harus diputus apakah PKPU terseut dapat dilanjutkan menjadi suatu PKPU secara tetap. b. PKPU Tetap Setelah
ditetapkan
penundaan
sementara
kewajiban
pembayaran utang, maka Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil
debitur
dan
kreditor
yang
bersangkutan
untuk
menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat pada hari ke empat puluh lima terhitung sejak ditetapkannya putusan PKPU sementara. Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah dapat diberikan PKPU secara tetap dengan maksud untuk memungkinkan
debitur,
pengurus,
danpara
kreditor
untuk
mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian. Adapun PKPU secara tetap dapat disetujui apabila : 1) Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan 2) Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak angunan atas kebendaaan lainnya, yang hadir dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuaanya yang hadir dalam sidang tersebut.
32
Dalam hal syarat-syarat diatas dipenuhi, maka Pengadilan Niaga akan menetapkan PKPUtetap berikut perpanjangannya yang PKPU tidak boleh melebihi dua ratus tujuh puluh hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan.32 6. Pengurus dalam PKPU Pengurus yang diangkat pada saat PKPU haruslah independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditor. Pengurus yang terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah, sbb: a.
Orang-perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur; dan
b.
Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Kemenkuham).
a. Tanggung Jawab Pengurus Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitur. Besarnya imbalan jasa pengurus ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan setelah PKPU berakhir dan harus dibayar lebih dahulu dari harta debitur. b. Pengangkatan Pengurus Lebih Dari Satu Pengadilan mengangkat pengurus tambahan berdasarkan : 1) usul Hakim Pengawas
32
Diwa Ardhaza, Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Ketentuan UUK-PKPU (Tinjauan Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Pdt.Sus PKPU/2013), FH UI, hal. 12-13
33
2) permohonan kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan apabila didasarkan atas persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor. 3) permohonan pengurus sendiri; dan 4) permohonan pengurus lainnya, jika ada. c. Laporan dari Pengurus Setiap tiga bulan sejak putusan PKPU diucapkan, Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitur, dan laporan tersebut harus disediakan pula di
epaniteraan
Pengadilan.
Jangka
waktu
pelaporan
tersebut
dapat
diperpanjang oleh Hakim Pengawas. 7. Pengangkatan Ahli Pada saat PKPU Jika PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta debitur dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 8. Panitia Kreditor Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila : a. Permohonan PKPU meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ bagian dari seluruh tagihan yang diakui. Pengurus
dalam
menjalankan
tugasnya
wajib
meminta
dan
mempertimbangkan saran panitia kreditor. 9. Saksi-Saksi Apabila diminta oleh pengurus, Hakim Pengawas dapat mendengar saksi atau memerintahkan pemeriksan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Dalam hal saksi tidak hadir atau menolak untuk mengangkat sumpah atau memberikan keterangan, berlaku ketentuan Hukum Acara Perdata. Istria tau suami, bekas istri atau suami, dan kelaurga sedarah 34
menurut keturan lurus ke atas dan kebawah dari Debitur dapat mengguanakan hak merkea untuk dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian. 10. Akibat Hukum Atas Penetapan PKPU Selama PKPU berlangsung, DEbitur tapa persetujuan Pengurus todal dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Apabila debitur melanggar ketentuan tersebut, Pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk mekasitkan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitur sejauh hal itu menguntungkan karta debitur.Dalam
Pasal
242
ayat
(1)
UUK
ditentukan
bahwa
selama
berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksa membayar untangutangnya, termasuk melakukan semua tidakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan. Kecuali telah ditetapkan tanggal ang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sitaan yang telah diletakkan gugur, dan dalam hal debitur disandera, debitur harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan PKPU tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan atas permintaan pnegurus dan Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk hara debitur. a. Debitur dalam Melakukan Pinjaman Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Pengurus, debitur dapat melakukan pinjaan dari pihak ketiga dalam rangka meningkatkan nilai harta debitur. Apbila dalam melakukan pinjaman perlu diberikan agunan, debitur dapat membebani hartanya dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggunan, hipotek, atau hak aguanan atas kebendaan lainnya, sejauh pinjaman tersebtu telah memperoleh persetujuan dari Hakim Pengawas. b. Tagihan yang Dikecualikan dalam PKPU 35
Dalam Pasal 244 UUK dinyatakn secara tegas bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagigan yang dijamin dengan gaidai, jaminan fidusia, hak tanggunan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya; 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewaiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan 3) Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitur maupun terhadap seluruh harta Debitur yang tidak tercakup pada poin b di atas. c. Perkara-Perkara yang sedang Berlangsung Penetapan PKPU tidak menghentikan berjalannya perkara yang sudah dimulai oleh Pengadilan atau menghalangi diajukannya perkara yang baru. Apabila perkara tersebut mengenani gugatan pembayaran suatu piutang yang sudah diakui debitur, sedangkan penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk memperoleh suatu putusan untuk melaksanakan hak terhadap pihak ketiga, setelah dicatat pengakuan tersebut, hakim dapat menangguhkan putusan sampai berakhirnya PKPU. Tanpa persetujuan Pengurus, debitur tidak dapat menjadi penggugat atau tergugat dalam perkara mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya. d. Pembayaran Utang Selama PKPU Pembayaran semua utang yang sudah lahir sebelum diberikannya PKPU selama berlangsungya PKPU, tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua Kreditor, menurut piutang
masing-masing,tanpa
mengurangi
berlakukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3) UUK.
36
ketentuan
e. Pelaksanaan Hak Kreditor Separatais Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 UU Kepailitan berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitian dan Kreditor yang diistimewakan dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya PKPU. f. Perjumpaan Utang Orang yang mempunyai utang kepada Debitur atau piutang terhadap Debitur tersebtu dapat memperjumpakan utang piutang tersebut, dengan syarat bahwa utang piutang tersebut atau perbuatan hukum yang menimbulkan utang piutang telah terjadi sebelum PKPU berlangsung. Piutang terhadap Debitur tersebut dihitung menurut ketentutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dan Pasal 275 UU Kepailitan. g. Perjanjian TImbal Balik Apabila pada saat pututsan PKPU diucapkan terdapat perjnanian timbal balik (kecuali perjanjian yang mewajibkan debitur mealkukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan) yang belum atau baru sebgaian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitur dapat meminta kepada pengurus untuk memberikan kepasitan tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka wakut yang disepakati oleh pengurus dan pihak tersebut. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai janga wakut itu, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut. Apabila pengurus menaytakan kesanggupannya, pengurus
memberukan
jaminan
atas
kesanggupannya
untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Adapun apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, perjanjian itu, perjanjian berakhir dan pihak yang mengadakan perjanjian itu dapat menutut ganti rugi sebagai Kreditor konkuren. 1) Perjanjian Penyerahan Barang 37
Apabila terdapat perjanjian antara debitur dan pihak lawan tentang penyerahan benda yang biasa diperdagangkan suatu jangka waktu dan sebelum penyerahan dilaukan telah diucapkan putusan PKPU sementara, maka perjanjian tersebut menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan yang dirugikan karena penghaosan tersebut, pihak lawan dapat mengajukan diri sebagai Kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Akan tetapi. Apabila harta dirugikan karena penghapusan tersebut, maka pihak lawan wajib menbayar kerugian tersbeut. 2) Perjanjian Sewa-Menyewa Dalam hal Debitur telah menyewakan suatu benda, maka debitur dengan persetujuan pengurus, dapat menghentikan perjanjian
sewa
tersebut,
dengan
sayarat
pemberitahuan
pengehentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan
adat
kebiasan
setempat.
Undang-undang
juga
menetukan bahwa untuk melakukan penghentian perjanjian swa ersbeut, harus pula diindahkan jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan ketentutan bahwa jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari adalah cukup. Dalam hal telah dibayar uang sewa di muka, perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar uang muka. Sejak hari putusan PKPU sementara diucapkan maka uang swa merupakan utang dari harta Debitur. 3) Perjanjian Kerja Segera setelah diucapkannya putusan PKPU sementara maka Debitur berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya, dengan catatan tetap mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 240 UU Kepailitan dan dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan
perundang-undangna
yang
berlaku,
dengan
pegneritan bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan 38
dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Sejak berlakunya PKPU smentara, gaji dan biaya lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta Debitur.
11. Pembayaran oleh Pihak Lain kepada Debitur Pembayaran yang dilakukan kepada Debitur, setelah diucapkannya utusan PKPU sementara yang belum diumumkan, untuk memenuhi perikatan yang terbut sebelum putusan PKPU sementara, membebaskan pihak yang telah melakukan pembayaran terhadap harta Debitur, kecuali dapat dibuktikan bahaw pihak tersebut telah mengetaui adanya putusan PKPU utang sementara.33 12. Perdamaian dalam PKPU Perdamaian (akkoord) dalam tahapan PKPU merupakan tahapan yang paling penting, karena dalam perdamaian tersebut debitor akan menawarkan rencana perdamaiannya kepada kreditor. Dalam perdamaian tersebut dimungkinkan adanya restrukturisasi utang-utang debitor. Biasanya programprogram restruturasi utang tersebut antara lain : a. Moratorium, yakni yang merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo; b. Haircut, merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga; c. Pengurangan tingkat suku bunga; d. Perpanjangan jangka waktu pelunasan; e. Konversi utang kepada saham; f. Debt forgiveness (pembebasan utang); g. Bailout, yakni pengambilalihan utang-utang, misalnya pengambilalilahn utang-utang swasta oleh pemerintah; h. Write-off, yakni penghapusbukuan utang-utang.
33
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.173-179
39
Jika perdamaian disetujui ole para kreditor, maka PKPU demi hukum akan berakhir. Perdamaian hanya dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 UUK termasuk kreditor sebagaimana dimaksud dala Pasal 280 UUK, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang jadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) baigan dari seluruh tagihan dari kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Ketentuan rencana perdamaian yang melibatkan persetujuan kreditor separatis merupakan ketentuan baru. Dalam UUK 1998 tidak ada ketentuan yang demikian. Menurut Fred B. O. Tumbuan ketentuan merupakan terobosan besar UUK 2004 ini. lebih lanjut Fred B. O. Tumbuan mengemukakan bahwa PKPU kita membuat terobosan yang memungkinkan resirukturasi dengan mengiziknkan kreditor separatais yang mempunya agunan ikut menentukan perdamaian tapi lalu terikat. Sehingga kreditor separatis tidak bisa nanti membuyarkan meniadakan perdamaian dalam rangk restrukturasi. Itu justru terobosan dalam PKPU berdasarkan undang-undang atau katakanlah revisi undang undang kepailitan. Perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor, harus dihomologasikan di pengadilan. Pengadilan dalam memeriksa permohonan homologasi bisa menerima bisa pula menolaknya. Alasan yang dapat dijadikan landasan untuk menolak adalah :
40
a. Harta debitor, termasuk barang-barang dengan hak retensi, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau sekongkol dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal itu; d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus belum dibayar atua tidak diberika jaminan untuk pembayarannya. Putusan pengesahan perdamaian tersebut mengikat bagi para pihak, baik debitor maupun para kreditor yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap perdamaian tersebut. 13. Pengakhiran PKPU Setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, PKPU dapat diakhiri. Adapun yang dapat mengajukan pengakhiran PKPU adalah atas permintaan hakim pengawas, atas permohonan pengurus, atas permintaan kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan Niaga. Sedangkan beberapa alasan untuk mengajukan pengahiran PKPU adalah : a. Debitor bertindak dengan iktikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya selama waktu penundaan kewajiban pembaran utang; b. Debitor telh merugikan atau mencoba merugikan kreditornya; c. Debitor melanggar Pasal 240 ayat (1) UUK yang mengharuskan debitor beritndak mengenai hartanya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pengurus; d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang
diberikan,
atau
lalai
melaksanakan
tindakan-tindakan
disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta deibtor;
41
yang
e. Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang; atau f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya. Jika penundaan kewajiban pembayaran utang diakhiri berdasarkan sebabsebab tersebut diatas, maka debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama. Terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran penundaan kewajiban pembayaran utang, maka berlaku mutatis mutandis ketentuan yang ada dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 UUK. Pasal 11 mengatur mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengakhiran PKPU adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 9 UUK, yang mengatur prosendru kasasi dimana pemohon kasasi waib menyampaikan memoeri kasasi. Pasal 13 mengatur prosedur kasasi ke Mahkamah Agung dimana dalam waktu 60 hari Mahkamah Agung harus memutuskan kasasi tersebut. Sedangkan Pasal 14 megnatur tentang kemungkinan peninjauan kembali.34
34
Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.150-153
42
ANALISIS KASUS KEPAILITAN PT. DIRGANTARA INDONESIA Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 41/Pailit/2007/PN. Niaga/jkt.Pst.
Permohonan pernyataan Pailit diajukan pada tanggal 3 Juli 2007 oleh HERYONO, NUGROHO, dan SAYUDI adalah mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia sebagai Kreditor (yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon). Terhadap PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang beralamat di Jln. Pajajarn No. 154, Bandung (yang selanjutnya disebut sebagai Termohon). Adapun duduk perkaranya sebagai berikut : I. Adanya Utang yang Jatuh waktu dan dapat ditagih 1. Bahwa pemohon adalah termasuk dari 6.561 orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh termohon berdasarkan putusan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4 Pusat) No: 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatanm hukum tetap. 2. Bahwa berdasarkan amar putusan P4 pusat menyebutkan bahwa : PT Dirgantara Indonesia wajib memberikan kompensasi pension dengan mendasarkan pada upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992. 3. Bahwa perhitungan dana pension menjadi kewajiban termohon untuk membayar kepada pemohon. Yang besarnya adalah: pemohon I : Rp. 83.347.862,82, pemohon II: Rp. 69.958.079,22, pemohon III: Rp. 74.040.827,91. 4. Bahwa kewajiban termohon untuk membayar kompensasi pension kepada pemohon adalah merupakan hutang termohon kepada pemohon sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
43
5. Bahwa utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan P4 Pusat tanggal 29 Januari 2004. 6. Bahwa dengan tidak dilakukannya pembayaran oleh termohon, walaupun utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka termohon menurut UndangUndang dapat dinyatakan pailit. II. Adanya kreditor lain 7. Bahwa disamping pemohon, termohon juga mempunyai hutang kepada : 7.1. Nelly Ratnasari, sebesar Rp. 12.701.489,25 7.2. Sukriadi Djasa, sebesar Rp. 79.024.764,81. adapun Nelly Ratnasari dan Sukriadi Djasa dan para pekerja lain yang totalnya 3500 orang dengan total piutang sejumlah kurang lebih Rp. 200.000.000.000,00. akan hadir dan akan mengikuti persidangan selaku para kreditur dari termohon. 7.3. Bank Mandiri, dengan piutang sebesar Rp. 125.658.033. 228,00 8. Bahwa oleh sebab itu pemohon, memohon kepada ketua Pengadilan Niaga c.q. Majelis Hakim yang memeriksa dan megadili perkara ini agar termohon dapat dinyatakan pailit karena telah terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 9. Pemohon mengusulkan Taufik Nugraha,S.H sebagai Kurator guna kepentingan pemberesan harta pailit. Dengan dasar bahwa ia cukup capable dan juga ia tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor sebagimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 10. Bahwa untuk kepentingan pemberesan harta pailit diperlukan seorang Hakim Pengawas dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
44
11. Bahwa apabila Termohon dalam permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon mengajukan penundaan kewajiban membayar utang maka tetap mengangkat Taufik Nugraha,S.H sebagai pengurus harta pailit.
Berdasarkan alasan hukum di atas, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga untuk memutus sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya 2. Menyatakan termohon, PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Menunjuk Taufik Nugraha,S.H sebagai kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit 4. Menunjuk Hakim pengawas dari pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat. 5. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini. Atau. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon yang seadil-adilnya.
Terhadap permohonan pemohon, termohon mengajukan tanggapannya tertanggal 7 Agustus 2007 yang mengatakan sebagi berikut: “Termohon pailit menolak dan membantah permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit dengan alasan-alasan yaitu sebagi berikut : “ − Alasan Penolakan Pertama Permohonan pailit cacad hukum karena pemohon pailit tidak mempunyai kepastian hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap termohon pailit. Termohon pailit adalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran 45
Utang,
yang
dapat
mengajukan kepailitan terhadap termohon pailit selaku BUMN hanyalah Menteri keuangan. − Alasan Penolakan Kedua Termohon pailit menyangkal adanya utang karena termohon pailit tidak memiliki utang atau kewajiban dalam bentuk apapun kepada pemohon pailit. − Alasan Penolakan Ketiga Permohonan Pailit diajukan berdasarkan Putusan P4P padahal atas Putusan P4P tersebut proses hukumnya belum selesai. − Alasan Penolakan Keempat Unsur Utang dapat di tagih dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak terpenuhi karena yang didalilkan tidak ada − Alasan Penolakan Kelima Unsur jatuh tempo dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak terpenuhi karena tidak ada utang yang telah jatuh tempo atau utang yang menyatakan waktu pembayaranya dari termohon pailit kepada pemohon pailit. − Alasan Penolakan Keenam Unsur pembuktian sederhana dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak pernah terpenuhi karena utang yang didalilkan tidak pernah ada. − Alasan Penolakan ketujuh Permohonan pailit cacat hukum karena utang yang didalilkan oleh pemohon pailit masih dalam taraf perselisihan dan saat ini perselisihan yang dimaksud sedang ditangani oleh Pusat Mediasi Nasional. Dalam penolakan tersebut termohon mendasarkan pada buktu-bukti yang ada.
46
Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim mempunyai PertimbanganPertimbangan, antara lain sebagai berikut: a. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas maka, Majelis Hakim sependapat dengan pemohon bahwa termohon pailit PT. Dirgantara Indonesia tidak termasuk adalm kategori sebagi BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara sebagimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga dengan demikian pemohon pailit mempunyai kapasitas hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap termohon pailit PT. Dirgantara Indonesia. b. Pertimbangan lain adalah bahwa majelis hakim menilai bahwa tidak cukup alasan bagi majelis hakim untuk mempertahankan eksistensi termohon pailit, hal ini dengan mendasarkan pada kinerja keuangan Termohon belum menunjukkan perbaikan yang berarti. c. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : − Mempunyai dua atau lebih kreditor Setelah majelis hakim meneliti dengan seksama maka majelis hakim berpendapat bahwa syarat tersebut sudah terpenuhi, yaitu mempunyai lebih dari kreditur. − Tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, syarat tersebut berdasarkan bukti-bukti telah terpenuhi, Dengan memperhatikan Pasal 2, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang- Undang47
Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diganti Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Maka majelis hakim mengadili sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya 2. Menyatakan bahwa PT. Dirgantara Indonesia (persero) pailit dengan segala akibat hukumnya 3. Mengangkat Taufik Nugroho,SH sebagi curator dalam kepailitan ini. 4. Menunjuk H. Zulfahmi, SH, M.Hum, Hakim Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. 5. Membebankan kepada Termohon Pailit untuk membayar biaya parkara sebesar Rp. 5.000.000,00.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini diucapkan pada hari selasa, tanggal 4 September 2007 dalam persidangan terbuka untuk umum, Hakim Ketua Ny. Andriani Nurdin, SH. MH Dalam Putusan Pengadilan Niaga diatas, alasan mengapa PT. Dirgantara Indonesia dinyatakan pailit, karena menurut hakim Pengadilan Niaga, PT. Dirgantara Indonesia bukan lah BUMN yang bergerak dibidang kepentingan public yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah dan tidak terbagi atas saham sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU. PT. Dirgantara Indonesia merupakan perseroan berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas, dan sahamnya terbagi atas saham. Sehingga pemohon disini memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia.
48
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pailit Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursikursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
2. PKPU Menurut pendapat Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undangundang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut
kepada
memusyawarahkan
kreditor
dan
cara-cara
debitor
diberikan
pembayaran
kesepakatan
utang-utangnya
untuk dengan
memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabita perlu merestrukturisasi utangnya tersebut 49
Di dalam Undang-undang Kepailitan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.
50
DAFTAR PUSTAKA Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Mataram: Erlangga. 2012. Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. Minnesota: Thomson West. 1979. Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Muhammad, Abu Bakar. Terjemahan Subulussalam. Surabaya: Al Ikhlas. 1995. Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana. 2005. Sastrawidjaja, Man. S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: PT. ALUMNI. 2010. Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan. Jakarta: Kencana. 2015. Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2010. Sjahdeini, Sutan Remy.
Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun
2004. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti. 2012. Dr.
M.
Hadi Subhan,
S.H.,
M.H.,
CN.,
Hukum Kepailitan
Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015. Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Kencana, 2005 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005 Diwa Ardhaza, Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Ketentuan UUK-PKPU (Tinjauan Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Pdt.Sus PKPU/2013), FH UI. 51
Kheriah,
S.H.,M.H.,
Independensi
Pengurus
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2 Moch Zulkarnain Al Mufti. “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit di Bawah Harga Pasar”, Lex Renaissance, No. 1 Vol. 1 Januari 2016
52
PERTANYAAN DALAM DISKUSI 1.
apakah bumn dapat dinyatakan pailit?
2.
Jika invoicenya itu palsu, bagaimana pengaturannya di pengadilan?
3.
Jika induk perusahaan pailit, apakah perusahaan cabang masih dapat menjalankan perusahannnya?
4.
Jika
induk
perusahaan
dinyatakan
pailit,
bagaimana
nasib
cabang
perusahaan yg berada diluar negeri? 5.
dalam PKPU, jika seseorang melunasi pembayaran dengan cara gali lubang dan tutup lubang akan diperbolehkan?
53