Kelompok 5 Bab 6. Akuntansi Perpajakan Baru.docx

  • Uploaded by: GABRIELAW ANGELIKA
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok 5 Bab 6. Akuntansi Perpajakan Baru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,114
  • Pages: 17
AKUNTANSI PERPAJAKAN IWAN CHRISTIAN, SE., M.Si Drs. H. ISKANDAR

DISUSUN OLEH :

Muhammad Junhabi Effendi

BCA 116 142

Nelly Angraini

BCA 116 314

Nanda Diwa Pratama

BCA 116 152

Gabriela W Angelika

BCA 116 286

Nicky Patricia Yolanda

BCA 116 037

Godfriend G S

BCA 116 111

Ichsan P Siregar

BCA 116 328

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS PALANGKA RAYA (UPR) FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS JURUSAN AKUNTANSI 2016

DEFINISI BEBAN DIBAYAR DI MUKA Menurut Wild dan Kwok (2011: 118), beban dibayar di muka adalah pos-pos (items) yang pada awalnya dicatat sebagai harta tetapi diharapkan menjadi beban di kemudian hari setelah melampaui kegiatan normal perusahaan. Beban dibayar di muka biasanya dikelompokkan ke dalam aset lancar. Beban dibayar di muka ini dapat berupa beban dibayar di muka atas asuransi, sewa, dan pajak. Untuk akuntansi komersial, pencatatan beban dibayar di muka dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan harta dan pendekatan beban.

ASURANSI DIBAYAR DI MUKA Asuransi dibayar di muka tidak dikenakan PPN maupun Pajak Penghasilan. Contoh : Pada tanggal 1 Januari 2012 dibayar premi asuransi untuk kendaraan sebesar Rp 12.000.000 untuk 1 tahun. Jurnalnya adalah sebagai berikut. Tanggal 1-Jan-2012

Keterangan Asuransi dibayar di muka Kas/Bank

Debit 12.000.000 -

Kredit 12.000.000

SEWA DIBAYAR DI MUKA Sewa atas Tanah dan/atau Bangunan Penghasilan yang diterima/diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, gudang, dan industri dikenakan PPh final yaitu PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan (PP 5 Tahun 2002 jo. KMK-120/KMK.03/2002 jo. KEP-227/PJ/2002). Persewaan tanah dan/atau bangunan akan dipotong oleh penyewa pada saat pembayaran atau pembebanan biaya, dan pihak penyewa tersebut yang akan membayar atau menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh final Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila tidak dipotong oleh penyewa maka pihak yang menyewakan tanah dan/atau bangunan tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke Kas Negara dengan menggunakan SPP tanggal 15 bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP dengan menggunakan SPT masa PPh final Pasal 4 ayat (2) tanggal 20 bulan berikutnya sesuai dengan PMK-184/PMK.03/2007 jo.PMK-80/PMK.03/2010.

Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta Mulai tahun 2009 sesuai dengan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1a), besarnya pungutan dibedakan antara WP yang berNPWP dengan WP yang tidak ber-NPWP. Tarif WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP. Sebelum tahun 2009 (PER-70/PJ./2007) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dikenakan PPh 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta tersebut dibagi atas : 1. Sewa atas Kendaraan Angkutan Darat 2. Sewa atas Aset Tetap Lainnya

PAJAK DIBAYAR DI MUKA Pajak dibayar dimuka merupakan pembayaran pajak yang dilakukan pemotongan dan atau pemungutan oleh pihak lain serta pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh WP, yang harus diperhitungkan dengan pajak terutang PPh Badan atau Pajak Keluaran WP. Pembayaran pajak dimuka diakui sebagai aset bagi WP. Pajak dibayar dimuka berupa : PPh 22, PPh 23, PPh 24, PPh 25 dan pajak masukan.

Pajak penghasilan 22 Badan pemungut pajak penghasilan 22 Sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010 jo. PER-15/PJ/2011 tentang pemungutan PPh 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor/kegiatan usaha di bidang lain, adalah sebagai berikut. a. Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang. b. Bendahara pemerintah dan kuasa pengguna anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada pemerintah pusat,pemerintah daerah,instansi/lembaga pemerintah dan lembagalembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang. c. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP). d. KPA/ pejabat penerbit surat perintah membayar yang dibeli delegasi oleh KPA, untuk pembayran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS). e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertasmbaja, dan otomotif yang ditunjuk oleh kepada KPP, atas penjualan hasil produksi di dalam negeri.

f. Produsen atau impoortir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak,gas dan semen. g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh kepada KPP, atas pembelian bahan bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedaganag pengumpul. Tarif pajak penghasilan 22 Berdasarkan UU PPh Nomor 36 tahun 2008 Pasal 22 ayat (3) jo. PMK154/PMK.03/2010 besarnya pungutan dibedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP yang tidak ber-NPWP. Tarif WP yang tidak memilik NPWP lebih tinggi 100% daripad atarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP. Tarif ini berlaku hanya untuk pemungutan PPh 22 yang bersifat tidak final. 1. Untuk transaksi impor barang yang dipungut oleh Bank Devisa dan DJBC, kecuali yang mendapatkan fasilitas pembebasan, mak PPh 22 dikenakan atas: a. Impor barang dimana importir dengan API  Dikenakan tarif sebesar 2,5% dari nilai impor untuk impor barang selain kedelai,gandum, dan tepung terigu.  Dikenakan tarif sebesar 0,5% dari nilai impor untuk impor kedelai, gandum dan tepung terigu. b. Impor barang dimana importir Non-API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor Nilai impor dikurskan menggunakan kurs KMK, apabila nilai impor dalam mata uang asing. c. Hasil lelang atas barang yang tidak dikuasai dan dilakukan pelelangan oleh Dirjen Kekayaan dan Lelang Negara dan/atau DJBC. Pemenang lelang yang beli barang dari hasil lelang DJBC, maka dikenakan 7,5% dari harga jual lelang. d. Pungutan PPh 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (tidak final). e. PPh 22,PPN dan PPnBM harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea masuk dan dalam hal apabila Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka pajakpajak di atas harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan impor barang (PIB). f. PPh 22, PPN, PPnBM ini disetor kekas negara melalui kantor pos, bank devisa atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan oleh DJBC selambat-lambatnya 1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak tersebut, atau oleh importir yang bersangkutan dengan menggunakan formulir surat setoran Pabean, Cukai dan Pajakdalam rangka impor (SSPCP) yang berlaku sebagai Bukti pemungutan pajak. g. PPh 22, PPN dan PPnBM wajib dilaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan SPT masa ke KPP dengan batas pelaporan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya. 2. Berdasarkan PMK-154/PMK.03/2010 jo PER-15/PJ/2011 untuk transaksi pembelian yang berhubungan dengan bendahara pemerintah dan KPA berkenaan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah dikenakan PPh 22 sebesar 1.5% dari harga pembelian

(belum termasuk PPN). Pembayan yang dapat dipehitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (tidak final). PPh 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak terutang dan dipungut pada saat pembayaran. Wajib disetor oleh pemungut kekas negara melalui kantor pos, bank devisa atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan dengan menggunakan SSP diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak, pada hari yang sama saat memungut pajak tersebut.

3. Untuk transaksi yang berhubungan dengan industri tertentu (PMK-154/PMK.03/2010) yang terdiri atas berikut ini :  Industri semen dikenakan tarif PPh 22 sebesar 0,25% dari harga jual  Industri kertas dikenakan tarif PPh 22 sebesar 0,10% dari harga jual  Indutri baja dikenakan tarif PPh 22 sebesar 0,30% dari harga jual  Industri otomotif dikenkan tarif PPh 22 sebesar 0,45% dari harga jual 4. Untuk transaksi yang berhubungan dengan PT Pertamina serta badan usaha yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, dan gas dikenakan PPh 22 dengan tarif sebagai berikut: Pemungutan PPh 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur atau agen bersifat final. Tetapi, apabila penjualannya bukan kepada penyalur atau agen maka pemungutan PPh 22 bersifat tidak final. PPh 22 dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang( delivery order). Penyetoran PPh tersebut wajib disetorkan ke kas negara melalui kantor pos, Bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan dengan menggunakan SSP. 5. Untuk transaksi yang berhubungan dengan industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,pertanian dan perikanan dikenakan tarif PPh 22 sebesar 0,25% x harga pembelian (tidak termasuk PPN) bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul, PMK-154/PMK.03/2010 (industri plywood, tepung terigu,eksportir kayu gelondongan, industri ikan kaleng, penghasilan cold storage) Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya: a. Mengumpulkan hasil kehutanan,perkebunan,pertanian, dan perikanan, dan b. Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan. PPh 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul terutang dan dipungut pada saat pembelian. 6. Berdasarkan PMK-253/PMK.03/2008 jo. SE-13/PJ/2009 untuk transaksi penjualan barang yang tergolong sangat mewah dikenakan PPh 22 sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM. PPh 22 dipungut pemungut pajak pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi WP yang melakukan pembelian barang tersebut. PPh 22 disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan SPT masa.

Barang yang termasuk sangat mewah meliputi : a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 Miliar. b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500m2. d. Apartemen, kondominium dan sejenisnyya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2. e. Kendaraan bemotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,jeep,sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle, minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 miliar da dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Bukan objek pemungutan pajak penghasilan 22 Dikecualikan dari pemungutan PPh 22 sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010 jo. PER-15/PJ/2011 adalah: a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuaan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh: dengan syarat ada Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/atau PPN. c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC. e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak Bendahara Pemerintah dan KPA berkenaan dengan: (1) pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; dan (2) pembayaran untuk pembalian bahan bakar minyak,listrik,gas,pelumas,air minum/PDAM, dan benda-benda pos. f. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perum Bulog. g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan darri emas untuk tujuan ekspor. h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Pajak Penghasilan 23 PPh 23 adalah pajak penghasilan yang pemenuhan kewajibannya dilakukan dengan cara pemotongan atas pembayaran penghasilan yang diterima WP dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari penghasilan dari harta/modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21.

Pemotong PPh 23 adalah (a) badan pemerintah; (b) subjek pajak dalam negeri; (c) penyelenggara kegiatan; (d) BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri; dan (e) orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk Dirjen Pajak, yaitu akuntan, dokter, notaris/PPAT kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas serta OP yang menjalankan usaha dengan menyelenggarakan pembukuan atau pembayaran berupa sewa. Pemotongan PPh 23 dilakukan pada saat dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo. Setelah dilakukan pemotongan PPh 23 maka pemotong pajak harus menerbitkan bukti pemotongan PPh 23, di mana pemotong memiliki kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan ke KPP. Penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan. Sedangkan pelaporan menggunakan SPT Masa PPh 23/26 dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pemotongan pajak tersebut. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1a), besarnya pungutan dibedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP yang tidak ber-NPWP. Tarif WP yang tidak ber-NPWP lebih tinggi 100% daripada WP yang ber-NPWP. Dividen Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (2c) jo. PP 19 Tahun 2009 jo. SE-01/PIJ.O3/2009, dividen yang dikenakan pajak adalah dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri. Atas penghasilan berupa dividen tersebut dikenakan pajak yang bersifat final dengan tarif 10% dari penghasilan bruto. PPh final atas dividen ini dikenakan kepada pihak penerima dividen pada saat menerima dividen dan atas pajak tersebut pihak penerima dividen tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dibayar pada saat menghitung PPh Kurang/Lebih Bayar pada akhir tahun pajak. Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3), dividen yang dikecualikan dari objek PPh 23 adalah dividen yang diterima oleh PT sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/D dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat: dividen yang dibagikan berasal dari cadangan saldo laba dan untuk PT, BUMN/D kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

Bunga Bunga yang dikenakan PPh 23 adalah bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang yang merupakan bunga antar pinjaman dari WP badan ke WP badan, WP badan ke WP orang pribadi atau sebaliknya, serta bunga obligasi yang tidak dijual pada bursa efek. Tarif PPh 23 atas bunga tersebut adalah 15% dari penghasilan

bruto.

Pihak

yang

menerima penghasilan berupa

bunga

tersebut dapat

mengkreditkan pajak yang dibayar di muka PPh 23 atas bunga pada saat menghitung PPh Kurang/Lebih Bayar pada akhir tahun pajak. Royalti atau Imbalan atas Penggunaan Hak Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 royalti dapat berupa berikut ini: 1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesustraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual atau industrial atau hak serupa lainnya. 2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah. 3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial. 4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3. 5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio. 6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual atau industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. Atas penghasilan yang berupa royalti tersebut, pihak yang menerima royalti dikenakan PPh 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto dan pajak yang dibayar di muka PPh 23 atas royalti tersebut dapat menjadi kredit pajak bagi pihak penerima royalti. Khusus untuk royalti dari hasil karya sinematografi, perlakuan PPh 23 diatur dalam PER-33/PJ/2009 jo. SE58/PJ/2009.

Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya Hadiah yang objek pajak yaitu hadiah perlombaan, penghargaan dan prestasi tertentu, dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan atau pemberian jasa. Tarif PPh 23 atas hadiah adalah sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh 23 ini dikenakan kepada pihak yang menerima hadiah dan pajak yang dibayar di muka PPh 23 atas hadiah ini dapat menjadi kredit pajak bagi pihak penerima hadiah. Hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun melalui cara undian yang diterima atau diperoleh orang pribadi dalam negeri dan luar negeri, badan dalam negeri dan luar negeri dikenakan PPh final sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian (UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) huruf b jo. PP 132 Tahun 2000 jo. Kep-395/PJ./2001 jo. SE19/PJ.43/2001). Hadiah yang bukan objek pajak yaitu: 1. Diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi. 2. Hadiah diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa. Sewa Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1) huruf c mulai 1 Januari 2009 sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dikenakan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1a), besarnya pungutan dibedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP yang tidak ber-NPWP. Tarif WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP. Imbalan jasa Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1 ) huruf c, imbalan jasa yang menjadi objek PPh 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak, selain yang telah dipotong PPh 21. Berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ./2009 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh Nomor 36 tahun 2008 dikenakan PPh sebesar 2% x penghasilan bruto tidak termasuk PPN. Pemotong memotong PPh 23 pada saat pembayaran (saat yang terutang). Pemotong memberikan Bukti Pemotongan PPh 23 kepada pihak yang dipotong. Untuk pihak yang

dipotong PPh 23 merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh 23 tersebut bersifat final. Kemudian pemotong menyetorkan PPh 23 secara kolektif per bulan pemotongan dan disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP atas nama pemotong PPh 23. Setelah itu pemotong melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh 23 Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menggunakan SPT masa PPh 23.

Bukan Objek Pajak Penghasilan 23 Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (4), pemotongan PPh 23 tidak dilakukan atas: a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan SGU dengan hak opsi (Capital Lease); c. Dividen sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c); d. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; e. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotranya (PP 15 Tahun 2009); dan f. Bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluan pinjaman dan/atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah (PMK251/PMK.03/2008). Pajak penghasilan pasal 24 PPh 24 merupakan pajak yang telah dipotong oleh negara lain tempat WP memperoleh penghasilan yang boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia. Karena menganut asa World Wide Income, maka UU PPh menentukan bahwa WP dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilan yang diterimanya, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Atas penghasilan tersebut maka WP harus melaporkan dengan cara: 

Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan perhitungan KPLN dari WP dalam tahun yang bersangkutan.



Untuk dividen penggabungan penghasilan dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut.



Mengajukan permohonan KPLN, sesuai dengan KMK-164/KMK.04/2002. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka

WP harus melakukan pembetulan SPT Tahunan dngan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. Apabila akibat pembetulan tersebut terjadi PPh kurang bayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007. Namun, apabila akibat pembetulan tersebut terjadi PPh lebih bayar, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat dikembalikan kepada WP setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau yang terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan UU PPh. Metode kredit pajak yang demikian disebut metode pengkreditan terbatas (ordinary credit method). Saat Penggabungan Penghasilan Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut: a. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut, b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut. c. Untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 18 Ayat (2), dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan PMK-265/PMK.03/2008, Kerugian luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung PhKP (Penghasilan Kena Pajak). Ketentuan Umum 1. Apabila dalam PhKP terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang di Indonesia. 2. Pengkreditan dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.

3. Jumlah kredit pajak paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu. Jumlah tertentu dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap PhKP dikalikan dengan pajak yang terutang atas PhKP. Paling tinggi besarnya sama dengan pajak yang terutang atas PhKP, apabila dalam hal ini PhKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri. 4. Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara. 5. PhKP tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. 6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dngan PPh yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi. Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) A. Perhitungan KPLN dilakukan sebagai berikut. 1. PPh dikenakan atas PhKP yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima WP, dari dalam negeri dan luar negeri. Dalam menghitung PPh, seluruh penghasilan digabungkan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak sesuai PMK-256/PMK.03/2008 untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh. 2. Dalam menghitung PhKP, kerugian yang diderita oleh WP di luar negeri tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia. 3. Dalam hal WP memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan penghasilan pada saat menghitung PhKP. B. Pembetulan SPT Tahunan karena perubahan penghasilan dari luar negeri, dilakukan sebagai berikut: 1. Dalam hal terjadi koreksi fiscal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar

negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan dan pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan PPh di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh WP melalui pembetulan SPT, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih. 2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiscal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga PPh menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan ke WP setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

Pajak Penghasilan 25 PPh 25 harus dibayarkan atau disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan penyampaian SPT masa PPh 25 selambatlambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Konsep Umum A. PPh 25 Setiap Bulan Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan:  PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22  PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. B. PPh 25 sebelum penyampaian SPT Tahunan Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. C. Tahun Pajak Berjalan Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran PPh 25 dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP. Hal-hal Tertentu Dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25 ayat (6) dan Kep-537/PJ/2000 diatur mengenai penetapan penghitungan besarnya angsuran pajak dalamtahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:

1. WP berhak atas kompensasi kerugian Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan, SKP, SK Keberatan, atau putusan banding, sesuai dengan pasal 6 ayat (2) atau pasal 31A UU PPh. Besarnya PPh 25 adalah sebesar PPh yang dihitung dengan dasar perhitungan sebagai berikut. PPh 25 =

{Jumlah penghasilan neto SPT PPh tahun lalu−kompensasi rugi}−kredit pajak 12 bulan atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

Apabila SPT PPh tahun pajak yang lalu menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil) maka besarnya PPh 25 adalah nihil. 2. WP memperoleh penghasilan tidak teratur Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan/atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang atau piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. 3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan. a) WP tidak diberikan izin perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh b) WP tidak diberikan izin perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Menurut KEP-537/PJ./2000, apabila terdapat kurang bayar maka atas kekurangan pembayaran PPh 25 akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. Namun, apabila terjadi lebih bayar maka atas kelebihan setoran PPh 25 dapat dipindahbukukan ke bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan. 4. WP membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan. Dalam hal WP dalam tahun pajak berjalan membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, maka besarnya PPh 25 dihitung kembali berdasarkan SPT

Tahunan Pembetulan tersebut dengan memperhatikan kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur. Besarnya PPh 25 hasil penghitungan kembali tersebut, berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

5. WP mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan WP (KEP-537/PJ./2000), berakibat dari dampak krisis keuangan global yang dapat mengakibatkan perubahan keadaan usaha atau kegiatan WP maka ditetapkan PER-10/PJ./2009 dan SE33/PJ./2009. Dalam aturan tersebut, WP yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009 dapat diberikan pegurangan PPh 25. WP dapat diberikan pengurangan PPh 25 sampai dengan 25% untuk masa pajak Januari s.d. Juni 2009. Pengurangan PPh 25 tersebut dihitung dari besarnya PPh 25 bulan Desember 2008. Apabila WP menyampaikan SPT PPh tahun 2008 maka pengurangan PPh 25 dihitung dari besarnya PPh 25 berdasarkan SPT PPh tahun pajak 2008. Namun, pengurangan PPh 25 tersebut tidak berlaku untuk WP bank, BUMN/D, WP masuk bursa, dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala.

Wajib Pajak Tertentu Menurut PMK-225/PMK.03/2009, Wajib Pajak tertentu adalah sebagai berikut: 1. WP baru yaitu orang pribadi atau badan baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Pengahasilan Neto adalah: a) Wajib pajak badan yang wajib melakukan pembukuan dan dari pembukuanya dapat dhitung besanya penghasilan neto setiap bulan maka penghasilan neto fiscal dihitung berdasarkan pembukuan. b) Untuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan pencatatan dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuanya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan Neto setiap bulan, maka penghasilan neto fiscal dihitung berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto. 2. WP bank dan Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi Untuk WP bank dan SGU dengan hak opsi lama, maka besarnya angsuran PPh 25 dihitung berdasarkan jumlah PPh yang dihitung berdasarkan tariff PPh Pasal 17.

3. WP Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik daerah 4. WP masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala. WP Orang Probadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

Pajak Masukan (PPN Masukan) Pengusaha yang melakukan: a. Penyerahan Barang Kena Pajak didalam daerah pabean b. Penyerahan Jasa Kena Pajak didalam daerah Pabean c. Melakukan ekspor BKP berwujud d. Ekspor JKP e. Ekspor BKP tidak berwujud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut,menyetor,serta melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang Pajak yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Pada saat PKP terebut membeli BKP atau menerima JKP dari PKP lain juga membayar yang terutang yang dinamakan pajak masukan (input tax). Dalam hal jumlah pajak keluaran lebih besar daripada jumlah paja masukan, maka kekurangannya dibayar paling lama alkhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT masa PPN disampaikan. Sebaliknya, apabila pajak masukan yang jumlahnya lebih besar daripada pajak keluaran maka kelebihan pembayaran

pajak

masukan

dapat

dikompensasikan

pajakberikutnya atau diminta kembali. 1. Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan 2. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan 3. pengkreditan pajak masukan pada masa Tidak Sama

dengan

utang

pajak

masa

Kesimpulan 1. Beban dibayar dimuka memiliki 2 pencatatan yaitu pendekatan harta dan pendekatan beban. 2. Penghasilan yang diterima / diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah atau bangunan berupa tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung ,perkantoran, rumah kantor, gudang dan industry dikenakan PPH Final yaitu pph pasal 4 ayat 2 dengan tariff 10% dari junmlah nilai bruto. 3. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh pasal 4 ayat 2 di kenakan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. 4. Pemungutan PPh 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor/ kegiatan usahan dibidang lain dikenakan berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 dimana yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% dari pada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak ber-NPWP. 5. Pajak penghasilan 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan WP dalam negeri BUT yang berasal dari penghasilan harta/modal, penyerahan jasa, atau penyelenggara kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21. 6. Pajak penghasilan 24 merupakan pajak yang telah dipotong oleh negara lain tempat WP memperoleh penghasilan yang boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia. 7. PPN masukan terjadi apabila membeli BKP atau menerima JKP dari PKP juga membayar pajak yang terutang, sedangkan PPN Keluaran terjadi pada saat menjual barang atau jasa. Jika pajak masukan yang jumlahnya lebih besar dari pada pajak keluaran maka kelebihan pembayaran pajak masukan dikompensasikan dengan utang pajak dalam masa pajak berikutnya atau diminta kembali namun jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukanya maka kekuranganya dibayarkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT masa PPN disampaikan.

Related Documents


More Documents from "Muhammad Arshavin"