TANAM PAKSA Awal Mula Sejarah Indonesia abad ke-19 tidak terlepas dari beberapa kebijakan yang diterapkan oleh penjajah di tanah Hindia Belanda. Sistem sewa tanah (landrent) yang diberlakukan pada masa pemerintahan Raffles mengalami berbagai kegagalan dalam pelaksanaannya. Selain itu, masa pemerintahan Raffles di Hindia Belanda harus berakhir setelah adanya Konvensi London (Persetujuan antara Inggris dan Belanda). Berdasar Konvensi tersebut, semua daerah di Hindia Belanda yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda. Dengan begitu, berakhirlah pemerintahan Raffles di Indonesia. Setelah berakhirnya pemerintahan Raffles, Hindia Belanda kembali diduduki oleh Belanda. Pada saat itu, di parlemen Belanda terjadi perbedaan pandanngan antara golongan liberal dengan golongan konservatif. Pada akhirnya perbedaan pandangan tersebut dimenangkan oleh golongan konservatif yang menginginkan penggunaan cara lama yaitu penerapan politik Batig Slot (eksploitasi skala besar) terhadap Hindia Belanda. Kemudian datanglah usulan dari Johannes Van den Bosch yang dinamakan cultuurstelsel. Cultuurstelsel secara harfiah diterjemahkan sebagai sistem kultivasi (sistem produksi tanaman) atau sistem budi daya. Oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai sistem Tanam Paksa berupa kewajiban menanam tanaman komoditas yang bernilai ekspor tinggi di pasar dunia. Cultuurstelsel diberlakukan mulai tahun1830, dan berlngsung selama 40 tahun hingga 1870. Sistem tanam paksa serupa dengan Priangerstelsel yang sudah diberlakukan sebelumnya di Priangan. Pada Priangerstelsel rakyat pribumi Priangan diwajibkan untuk menanam kopi yang hasilnya menjadikan Belanda sebagai penyalur kopi dunia tanpa perlu bersaing untuk mendapatkan kopi Yaman dan memberikan sumbangan besar bagi pendapatan Belanda. Peperangan yang dilakukan Belanda pada awal abad 19 menimbulkan defisit dari pihak Kerajaan Belanda. Hal itu lah yang mendorong Belanda untuk mengisi kekosongan kas Negara melalui sistem Tanam Paksa. Ketentuan dan Pelaksanaan Tanam Paksa Tanam paksa diterapkan di Jawa dan luar Jawa. Pelaksanaan tanam paksa di luar Jawa tidak seekstensif yang dilakukan di Jawa. Di Jawa seluruh desa melaksanakan tanam paksa
dengan pengecualian beberapa wilayah antara lain, Vorstenlanden, tanah partikelir, atau desadesa yang berada di luar kekuasaan penguasa feudal. Sedangkan hanya sedikit lahan yang digunakan untuk pelaksanaan tanam paksa di luar Jawa. Komoditas yang menjadi tanaman wajib untuk tanam paksa antara lain:
Jawa
: tebu, indigo, kopi, tembakau
Sumatra Barat
: kopi
Lampung
: lada
Sulawesi
: kopra
Dalam pelaksanaan tanam paksa dibentuk beberapa ketentuan dalam pelaksanaannya dan tertera dalam ketentuan sistem pokok Tanam Paksa di dalam stadsblad (Lembaga Negara)tahun 1834,No.22 yang berbunyi: 1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di Pasar Eropa. 2. Bagian Tanah Pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. 3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. 4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. 5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat,selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat. 6. Panen tanaman dagang yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah ,sedikit dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,sedangkan
pegawai-pegawai
Eropa
hanya
membatasi
diri
pada
pengawasanapakah membajak tanah,panen,dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya. Di dalam ketentuan tersebut memang tidak terlampau menekan rakyat di Jawa namun dalam pelaksanaanya ternyata banyak penyimpangan dari ketentuan pokok yang telah dituliskan dan haltersebut tentunya merugikan rakyat. Dalam Lembaran Negara tahun 1834 Nomor 22 setiap perjanjian antara pemerintah Hindia-Belanda dengan rakyat yang berkaitan dengan penggunaan sebagian lahan untuk penanaman tanaman wajib adalah berdasarkan pada kerelaan rakyat Indonesia dan tidak ada paksaan dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Namun,dalam kenyataanya pelaksanaancultuurstelsel didasarkan pada unsur paksaan dengan menyalahgunakan kekuasaan tradisional dengan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan sebagian tanah untukditanami tanaman dagang.Untuk menjamin pencapaiantugas dengan baik pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada bupati dan kepalakepala desa.
Dampak Tanam Paksa dalam bidang Ekonomi.
1. Sistem Tanam Paksa dianggap telah mengubah hak-hak pemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya telah merusak hak-hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya sudah ada. 2. Penelitian-penelitian pada abad ke-19 tentang sejarah sosial ekonomi di Indonesia, menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa di daerah-daerah memperlihatkan dampak atau akibat yang berbeda-beda. Di Pulau Jawa, pelaksanaan sistem tersebut telah mendorong kembali suatu pertumbuhan ekspor yang signifikan, di mana Jawa terlibat praktis dalam perdagangan internasional. secara komprehensif masyarakat pertanian Jawa tetap miskin 3. Sementara itu pelaksanaan sistem Tanam Paksa di luar Jawa, seperti halnya di Sumatera Barat, telah melahirkan stagnasi ekonomi dan politik dalam masyarakat.
Dampak tanam Paksa Dalam Bidang sosial Budaya 1. M.R. Fernando dan O’Malley melalui penelitiannya tentang perkebunan kopi di Cirebon menunjukkan adanya segi-segi positif dari penerapan cultuur stelsel bagi masyarakat Jawa Fernando mengemukakan bahwa dampak cultuur stelsel adalah: “cara hidup keluarga subsistensi secara berangsur-angsur mengalami perubahan ke arah matrialistik yang komersil. Dengan sistem tersebut penduduk pedesaan semakin terbiasa untuk membeli berbagai macam kebutuhan rumah tangga dengan menggunakan uang. 2. Terjadi homogenitas sosial diama tidak ada pemebeda antara majikan dengan seorang petani yang adanya pemerataan dalam pembagian tanah. Dampak Tanam Paksa Dalam Bidang Pertanian. Adanya tanam paksa menjadi penanda bahwa di bukanya komoditi tanaman baru yang ada secara luas seperti kopi,teh,tembakau,tebu yang dulunya hanay sebagai tanaman hias dan akhirnya terkenal karena memiliki nilai jual yang tinggi di Eropa. Pelaksanaan sistem Tanam Paksa. Dalam pelaksanaan tanam paksa dibentuk beberapa ketentuan dalam pelaksanaan tanam paksa dan tertera dalam ketentuan sistem pokok tanam Paksa di dalam stadsblad (Lembaga Negara)tahun 1834,No.22 yang berbunyi 1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di Pasar Eropa. 2. Bagian Tanah Pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. 3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. 4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat,selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat. 6. Panen tanaman dagang yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah ,sedikit dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat. 7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah,panen,dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya. Di dalam tulisan kebijakan tersebut memang tidak terlampau menekan rakyat di Jawa namun dalam pelaksanaanya ternyata banyak penyimpangan dari ketentuan pokok yang telah dituliskan tersebut dan hal itu tentunya merugikan rakyat.dalam isi perjanjian Lembaran Negara tahun 1834 Nomor 22 dalam perjanjian pemerintah Hindia-belanda dengan Rakyat itu dengan menggunakan sebagian tanah pertanian untuk ditanami tanaman dagang itu berdasarkan pada kerelaan rakyat Indonesia dan itu tidak ada paksaan dari pihak pemerintah Hindia Belanda namun,dalam kenyataanya pelaksanaanya didasarkan pada unsur paksaan dengan menyalahgunakan kekuasaan tradisional dengan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan sebagian tanah untukditanami tanaman dagang.Untuk menjamin pencapaiantugas dengan baik pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada bupati dan kepala-kepala desa.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Hendra. (2014). Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-1870. Ilmu-Ilmu Sosial. 11(2). 163-172. Pusponegoro, Marwati Joened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4. Jakarta: Balai Pustaka. Zulkarnain. (2010). Serba-Serbi Tanam Paksa. Istoria. 8(1). 1-23.