Kasus Ahmadiyah dan Kerukunan Umat Beragama dalam Pandangan Islam dihubungkan dengan Madrasah, Pesantren, dan Organisasi Islam Oleh
: Imam Sidiq
NPM
: 1006674723
Judul
: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam
Penulis
: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Data Publikasi
:http://urang-diri.blogspot.com/2010/11/madrasah.html, http://unik13.info/2011/02/membela-hak-kerukunanberagama-belajar-empati-negara-tidak-boleh-beragama/,
Pekan Kerukunan Beragama 2011 yang dibuka Minggu (6/2/2011) telah dinodai peristiwa serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2/2011), dan aksi massa yang merusak tiga gereja dan satu sekolah di Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (8/2/2011). Serangan di Cikeusik menyebabkan tiga orang tewas dan lima orang luka parah. Prasangka dan kebencian berbuah kekerasan dan menebar ketakutan di Temanggung. Seruan para tokoh agama di Indonesia tentang dialog antaragama dan budaya, perdamaian, penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan lenyap gemanya. Ruang mereka sempit ditelan pernyataan provokatif pejabat dan tokoh politik yang membenarkan bahkan mengundang kekerasan (condoning). Dalam diskusi di suatu stasiun TV, KH Dr Mustafa Ya’qub mengeluarkan pandangan tentang solusi kasus Ahmadiyah dengan mengajukan dua usul alternatif. Pertama,
membubarkan
Ahmadiyah
dan
menjadikannya
organisasi
terlarang
sebagaimana telah dilakukan terhadap PKI. Dan jika ingin tetap diakui sebagai muslim, bekas anggota Ahmadiyah harus “kembali kepada ajaran Islam yang benar”, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai pemegang otoritas keagamaan di Indonesia atau Departemen Agama sebagai otoritas politik yang mengatur kehidupan beragama. Kedua, meminta kepada Jemaat Ahmadiyah untuk mendirikan agama baru di luar Islam,
dengan konsekuensi tidak boleh menjalankan syariat Islam atau mendasarkan doktrin keagamaannya kepada Al-Quran dan Sunnah. Pandangan itu secara implisit menyatakan bahwa, jika salah satu dari alternatif itu tidak dijalankan, tindak kekerasan dari umat Islam akan tetap berlangsung, yang artinya tidak bisa ditolak pembenarannya. Menurut dia, salah satu dari dua pilihan itu, jika dilaksanakan, akan menyelesaikan masalah hingga tuntas. Solusi alternatif pertama Ya’qub bisa saja dijajaki. Prosedurnya adalah, MUI sebagai wakil umat Islam bisa mengajukan gugatan tertentu, misalnya penodaan agama yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub. Namun penggugat harus bisa membuktikan bahwa keyakinan dan kegiatan Ahmadiyah itu bersifat melanggar hukum dan undang-undang, misalnya melakukan aksi-aksi kekerasan, melakukan provokasi yang menimbulkan keresahan masyarakat atau melakukan pembohongan terhadap publik. Dalam hal ini pengadilan harus mendasarkan diri atau berpegang pada ketentuan konstitusi, khususnya UUD 1945 mengenai dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan beragama serta menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Ahmadiyah adalah organisasi Islam yang menerima prinsip sekularisme yang bergerak di wilayah civil society. Karena itu, anggota Ahmadiyah dinilai sebagai warga negara yang baik di semua negara Barat yang sekuler dan diizinkan mendirikan kantor pusatnya di London, Inggris, bahkan melakukan dakwah secara berbudaya. Jika akan dibubarkan, apa salah Ahmadiyah, selain percaya kepada Islam mengikuti misi Ahmadiyah mengikuti mazhab Hanafi ? Jika opsi kedua saran Ya’qub yang diikuti, maka itu adalah langkah murtad yang tidak dikehendaki oleh Ahmadiyah. Tapi misi Ahmadiyah ketika didirikan adalah justru ingin merestorasi syariat Islam di India yang dinilai oleh Ghulam Ahmad telah menyimpang dan mengalami distorsi. Memang berbeda dengan aliran Islam yang lain, visi Ahmadiyah bukanlah dalam versi hukum fikih, melainkan mengikuti haluan tasauf atau spiritualisme dan, karena itu, doktrin yang paling mendasar dari Ahmadiyah adalah kasih sayang dan perdamaian dan menolak aksi kekerasan.
Untuk mendirikan agama baru, tidak mungkin dilakukan oleh Ahmadiyah, karena Ghulam Ahmad tidak punya konsep keagamaan selain Islam. Ia mengibaratkan dirinya sebagai bulan dan Muhammad sebagai matahari, sehingga ia hanya merupakan pantulan dari sinar Muhammad (al-Nur al-Muhammady). Ia sebenarnya tidak menamakan diri sebagai nabi pembawa syariat baru, melainkan hanya utusan Tuhan yang membawa kabar baik, yaitu seruan kasih sayang dan perdamaian. Ia tidak pernah mengaku membawa kitab suci sendiri, melainkan hanya membuat catatan tentang ilham-ilham kenabian yang diperolehnya. Salah satu keistimewaan, bahkan Ghulam Ahmad dan putranya, Basyiruddin Mahmud Ahman, telah menulis kitab Tafsir AlQuran yang berjilid-jilid tebalnya. Dan jika Ahmadiyah diminta mendirikan agama baru, apakah mereka diperbolehkan mengikuti ajaran Al-Quran dan Sunnah bermazhab Hanafi? Apakah mereka boleh menjalankan rukun Islam yang lima dan diperbolehkan menunaikan ibadah haji? Pengalaman di Pakistan, mereka tidak diperbolehkan salat di masjid dan tidak boleh melakukan ibadah haji, karena mereka dianggap sebagai non-muslim. Hal ini berarti melanggar kebebasan beragama di negara Pancasila. Atas dasar analisis dan argumen di atas, solusi tuntas untuk kasus Ahmadiyah adalah sebagai berikut. Pertama, mencabut SKB Tiga Menteri yang ternyata memicu aksi kekerasan itu. Kedua, mengembalikan fungsi Departemen Agama sebagai wakil NKRI menjadi lembaga penegak konstitusi dan merestorasi hak-hak sipil, khususnya kebebasan beragama. Ketiga, mencabut fatwa MUI yang menghakimi Ahmadiyah sebagai aliran sesat yang dampaknya melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama. Madrasah, Pesantren, dan Organisasi Islam Akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah (Maksum, 1999: 60) Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau dengan kata lain
fokus studinya keagamaan di samping studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi program pembelajarannya. Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu itu) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241), terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Dalam kenyataannya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya. Pada saat banyak orang bersikukuh tentang ajaran agama, muncul sebuah kelompok akademik yang justru melihat secara kritis bagaimana agama-agama mampu berperan bagi masyarakat. Ternyata, studi yang bisa jadi belum lazim di Indonesia itu justru mampu membuka wawasan dan bukan hujatan terhadap aneka ragam agama dan keyakinan yang tumbuh di Indonesia. Dua tahun pascareformasi 1998, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, terinspirasi untuk membuka Program Pascasarjana Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS). Program studi itu secara khusus melakukan studi akademik tentang agama. CRCS mengakomodasi orang- orang dari berbagai latar belakang agama dan golongan untuk bersama-sama melakukan kajian tentang agama. Titik utamanya adalah bagaimana peran agama di masyarakat dan bukan tentang ajaran-ajarannya. Sejak 2000, CRCS menjadi tempat studi berbagai macam mahasiswa. Mereka berasal dari pondok pesantren, sekolah teologi, universitas Islam, sekolah pendeta, hingga seminari. Selama dua tahun, mereka bersama-sama mempelajari berbagai agama
dari sudut pandang akademik. Harapannya, wawasan mereka menjadi lebih terbuka dan bisa berempati dengan pemeluk agama lain. Direktur Eksekutif Center for Religious and Cross-cultural Studies Program Pascasarjana UGM Zainal Abidin Bagir mengatakan, dari sisi akademik, studi khusus tentang agama-agama yang berkembang di Indonesia sangat diperlukan. Terlebih di Indonesia terdapat bermacam-macam agama maupun aliran kepercayaan. ”Di Indonesia yang terdiri dari banyak pemeluk agama, agama tak cukup dipelajari secara akademik dalam lingkungan yang homogen, seperti pondok pesantren, universitas Islam, atau seminari. Namun, agama juga perlu dipelajari sebagai sebuah subyek ilmu,” ujarnya, Rabu (16/2) di Yogyakarta. CRCS memiliki visi mencari cara untuk melihat dan mengelola keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Hal inilah yang selama ini menjadi pekerjaan utama bangsa Indonesia karena masalah agama sering kali justru memicu banyak konflik di negeri ini. Selama 2010, CRCS mencatat ada 39 rumah ibadah di Indonesia yang dipermasalahkan. Sebagian besar adalah gereja yang dipermasalahkan kelompokkelompok Muslim. ”Dari jumlah tersebut, kami menemukan sebanyak 32 kasus (82 persen) menyangkut masalah antarumat beragama dan 4 kasus (10 persen) menyangkut konflik internal umat beragama. Hal yang memprihatinkan adalah masih adanya kekerasan fisik sebanyak 17 kasus (43 persen),” kata Zainal. Selain itu, persoalan izin pendirian rumah ibadah masih menjadi isu utama dalam kasus-kasus rumah ibadah. CRCS mencatat, sebanyak 24 kasus (62 persen) mengandung unsur belum ada izin pendirian rumah ibadah tertentu. Namun, hal itu tak bisa menjadi alasan terjadinya penolakan pendirian rumah ibadah. Masalahnya terdapat pula 4 kasus (10 persen) rumah ibadah yang telah memiliki izin namun tetap saja dipersoalkan. Kesadaran untuk saling menghargai dan membantu antarumat beragama sebenarnya banyak tumbuh di masyarakat. Namun, tak bisa dimungkiri, sebagian masyarakat
masih
dilingkupi
benteng-benteng
angkuh
eksklusivisme
karena
pemahaman ajaran agama yang sempit. Karena itu, negara ini masih harus banyak belajar dari segelintir masyarakat yang mampu memahami dan berempati terhadap siapapun.